Saturday 10 July 2010

Peringatan Soekarno tentang Bahaya Demokrasi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Soekarno sering mewanti-wanti masalah demokrasi ini.

“Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen bilamana di masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Hal itu disebabkan stelsel inilah yang menjadi kemadean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur dari kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, zat-zat masyarakat kita.

Orang akan menanya, kenapa tidak cukup dengan parlemen? Tidakkah dapat terkabul semua kehendak rakyat jelata di dalam parlemen setelah dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak? Tidakkah rakyat dapat meneruskan semua ia punya kehendak ekonomi asal saja suaranya di dalam parlemen sudah lebih dari separo?

Pembaca, di dalam praktiknya, parlemen, nyatalah hal yang demikian itu tak dapat terjadi. Pertama, oleh karena biasanya kaum borjuislah yang mendapat lebih banyak kursi. Mereka, kaum borjuis itu, banyak alat propagandanya. Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioskop-bioskop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai. Semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi borjuis di dalam parlemen. Semuanya itu menjamin bahwa biasanya utusan-utusan rakyat jelata kalah suara. Kedua, kalaupun rakyat jelata bisa menang suara, kalaupun rakyat jelata dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak, maka toh tetap tak mungkin terjadi kesamarataan ekonomi itu. Sejarah parlemen democratie sudah beberapa kali mengalami kejadian arbeidersmeerderheid. Misalnya, dulu di Inggeris pernah terjadi di bawah pimpinan Ramsay Mc Donald. Akan tetapi, dapatkah waktu itu dilangsungkan kesamarataan ekonomi?

Ya, demokrasi politik itu hanya bau-baunya, bukan?

Di negeri-negeri modern benar ada parlemen, benar ada ‘tempat perwakilan rakyat’, benar rakyat namanya ‘boleh ikut memerintah’, tetapi ach, kaum borjuis lebih kaya daripada rakyat jelata. Mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan midrasah-midrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal pikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua aktivitas politik. Mereka, misalnya, membikin ‘kemerdekaan pers’ bagi rakyat jelata menjadi suatu omongan kosong belaka. Mereka menyulap ‘kemerdekaan pikiran’ bagi rakyat jelata menjadi suatu ikatan pikiran. Mereka memperkosa ‘kemerdekaan berserikat’ menjadi suatu kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat, mereka punya perang menjadi peperangannya ‘negeri’. Oleh karena itu, benar sekali perkataan Caillaux bahwa kini Eropa dan Amerika di bawah kekuasaan feodalisme baru.

’Akan tetapi, kini kekuasaan feodal itu tidak digenggam oleh kaum tanah sebagaimana sediakala. Kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap kepada staat.’

Benar sekali juga perkataan de Brouckere bahwa ‘demokrasi’ sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme! ‘Demokrasi’ yang demikian itu harus kita lemparkan ke dalam samudera, jauh dari angan-angan dan keinginan massa.”

No comments:

Post a Comment