Friday 16 July 2010

Kita Memerlukan Ayah

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Untuk bisa melangsungkan pemerintahan baru di Indonesia dengan sistem politik yang bersumber dari jiwa bangsa, bukan dari menjiplak orang lain, diperlukan figur ayah yang dapat diterima semua komponen bangsa. Sang Ayah ini menjadi tumpuan semuanya. Akan tetapi, figur ayah ini harus benar-benar ayah sebagaimana ayah yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, bukan ayah seperti yang dulu, ‘dipaksa-paksakan’ meskipun memalukan, seperti, Bapak Ini, Bapak Itu.

Semua orang sepakat tentang figur ayah yang baik, yaitu kepala rumah tangga yang mau dan mampu menanggung beban bagi keberlangsungan hidup keluarganya. Ia harus bersedia berletih-letih untuk membangun keluarganya. Ia juga yang berada di depan untuk melindungi keluarga jika terdapat ancaman. Di samping itu, Sang Ayah rela mendapat kritikan dari anggota keluarganya meskipun dalam keadaan lelah setelah bekerja seharian. Dengan demikian, ia akan terus mendapat tempat terhormat di dalam keluarganya, tidak seperti ayah yang tidak bertanggung jawab. Ayah yang tidak bertanggung jawab sudah pasti tidak akan mau dan tidak akan mampu menanggung beban bagi hidup keluarganya. Ia mungkin mengandalkan istrinya, mertuanya, orang tuanya, atau kerabatnya yang lain. Bahkan, yang lebih mengerikan adalah ia bukannya mencari nafkah untuk keluarga, melainkan memeras keluarganya untuk kepentingan dirinya sendiri. Akan tetapi, anehnya ia ingin mendapat tempat khusus dalam keluarganya. Ia bukanlah figur ayah yang baik.

Ayah yang baik akan mampu memberikan hukuman dan hadiah atas dasar cinta dan kasih sayang, bukan dendam atau pilih kasih. Ia akan menjadi rujukan seluruh keluarga.

Ki Ageng Suratmo Suriokusumo, pendiri dan Ketua Pinisepuh pertama Taman Siswa, dalam tulisannya yang terbit 1920, Sabdo Pandito Ratoe, mengakui keagungan persamaan sesama manusia berdasarkan persamaan sumber yang satu. Akan tetapi, kehidupan mengenal berbagai ragam manifestasi, jadi tidaklah sama semua. Dalam rangka ini, kompetisi bebas akan senantiasa mengalahkan Si Lemah. Oleh sebab itu pula, persamaan hak tidak pada tempatnya. Muncul ketidakwajaran bila seorang pandai dihadapkan pada seorang yang bodoh, seorang yang bekerja dengan akal dengan seorang tenaga kasar, seorang yang bermoral tinggi dengan yang bejat.

Suriokusumo mempersamakan kehidupan bersama suatu masyarakat dengan kehidupan suatu keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga mempunyai kedudukan tertentu. Dalam keluarga Si Ayah menentukan, berdasarkan pendapat bahwa ia yang di dalam keluarga tersebut yang bijaksana. Sebaliknya, dengan persamaan hak dalam demokrasi yang dikembangkan di Barat hanya yang kuatlah yang kuasa dengan kemungkinan bahwa yang lemah akan tertindas. Sebenarnya, kata Suriokusumo, tidak ada salahnya kalau yang kuat berkuasa asalkan kebijaksanaannya yang bicara dan bukan nafsu kehewanannya. Untuk jatuh pada kehewanan seperti ini, akan mudah saja.

Oleh sebab itu, yang penting ialah kebijaksanaan dan ini diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang bijaksana. Ialah yang harus dipercayakan memegang kekuasaan. Ia dipilih oleh orang-orang yang bijaksana pula, bukan oleh rakyat umumnya (Deliar Noor: 1986).

Sabdo Pandito Ratoe-nya Suriokusumo ini tidak mendapat tentangan. Akan tetapi, sejak dulu sampai sekarang menimbulkan banyak pertanyaan. Siapakah yang bijaksana ini? Bagaimana mencarinya? Suriokusumo sendiri tidak memberikan jawaban.

Kita pun yang hidup di zaman ini merindukan figur ayah tersebut. Rasanya, kita akan merasa aman dan nyaman jika berada dalam pelukannya.

Untuk mendapatkan Sang Ayah dari sistem demokrasi, sangatlah tidak mungkin. Paling banter kita hanya akan punya ayah yang rapuh serapuh demokrasi itu sendiri. Ayah yang rapuh akan membuat pula keluarganya rapuh. Pantas kalau negeri ini rapuh.

No comments:

Post a Comment