Friday 2 July 2010

Suara Rakyat Suara Tuhan: Slogan Bodoh

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Adalah hal yang teramat lucu ketika banyak orang mengatakan bahwa suara rakyat suara Tuhan. Dari mana kalimat itu berasal? Siapa yang mula-mula mengatakannya?

Vox populi vox dei, ‘suara rakyat suara Tuhan’, itu omongannya para pendukung dan pejuang demokrasi zaman dulu. Kalimat itu merupakan perlawanan terhadap keyakinan umum di daerah sono yang jauhnya ribuan kilometer dari Indonesia. Saat itu di Eropa raja diyakini dan mengatakan dirinya adalah wakil Tuhan di Bumi dalam mengatur pemerintahan, sedangkan kaum penghulu agama adalah wakil Tuhan untuk urusan spiritual. Raja, bangsawan, dan kaum agama itulah yang menguasai negara, mengatur masyarakat. Kata-kata dan perintahnya diyakini sebagai kata-kata Tuhan. Dalam praktik penyelenggaraan negara, rakyat dan lapisan pengusaha semakin lama semakin terkekang dan menderita karena orang-orang papan atas itu sajalah yang makmur. Semakin tipis pula kepercayaan bahwa kata-kata mereka merupakan kata-kata Tuhan karena Tuhan tidak seperti itu. Oleh sebab itu, terjadilah perlawanan. Di samping bergerak secara massal, mereka pun meneriakkan slogan suara rakyat suara Tuhan. Kata-kata itu menjadi lawan dari suara raja dan suara pemimpin agama adalah suara Tuhan.

Slogan itu sama sekali bukan dari langit yang berupa wahyu, melainkan dari emosi akibat berkurangnya keyakinan masyarakat terhadap keyakinannya yang dulu. Hal itu agak mudah dipahami karena memang di sana terjadi pergolakan sosial dan politik. Sangatlah aneh dan lucu jika ada orang Indonesia yang berteriak-teriak seperti itu. Di Indonesia tidak ada kejadian-kejadian itu yang mengharuskan keluarnya slogan tersebut. Pergolakannya tidak seperti yang terjadi di tanah orang. Jangan ngikut-ngikut yang nggak ada juntrungannya atuh.

Baik di negeri-negeri Eropa maupun di Indonesia atau di seluruh alam raya ini, kalimat itu tidak masuk di akal. Kapan, di mana, bagaimana caranya Tuhan berbicara kepada rakyat? Pernahkah Tuhan berbicara kepada rakyat satu per satu atau secara massal sehingga bisa dipastikan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan?

Tuhan memang selalu berbicara kepada manusia, tetapi tidak seperti itu. Kalau mau berbicara, Tuhan selalu pilih-pilih orang, tidak sembarangan. Kalau sudah berbicara dengan orang “terpilih” itu, Tuhan mewajibkannya untuk disampaikan kepada orang banyak, kepada rakyat. Orang terpilih itu adalah para nabi dan rasul. Setelah kenabian dan kerasulan berakhir, Tuhan masih berbicara juga kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, tetapi bukan lagi wahyu, melainkan bisa melalui mimpi, pengalaman spiritual, bisikan gaib, atau hal-hal lainnya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Tak banyak yang diajak komunikasi oleh Tuhan, hanya orang-orang tertentu yang dikehendaki-Nya.

Nah, dengan demikian, suara nabi adalah suara Tuhan. Rakyat banyak tidak pernah ada yang diajak bicara oleh Tuhan, apalagi secara massal. Rakyat itu kan ada yang baik-baik, saleh, rajin ibadat, ada pula yang suka melacur, korupsi, mabuk-mabukan, judi, maling, suka fitnah, dan melakukan hal-hal buruk. Sangat aneh jika rakyat yang heterogen tingkat ketakwaannya itu diajak bicara oleh Tuhan soal politik dengan kalimat yang sama bunyinya, gulingkan kekuasaan. Tak masuk akal dan ilmu.

Akan tetapi, karena Tuhan adalah Mahamisteri dan Mahagaib, kita harus hati-hati. Iblis dan anak buahnya sering pula melakukan hal yang sama. Mereka memberikan mimpi, pengalaman spiritual, bisikan gaib dengan mengaku-aku sebagai Tuhan atau dari Tuhan. Kalau tertipu dan kita sering menyaksikannya, orang itu biasanya jadi mengaku nabi, Imam Mahdi, Yesus, atau istilah lain sebagai “orang terpilih”. Nah, itu juga harus diyakini bahwa suara dia suara anjing syetan.

Kita orang Indonesia sudah seharusnya menghentikan kalimat suara rakyat suara Tuhan, apalagi jika beragama Islam. Itu cuma slogan perlawanan orang-orang yang sedang dilanda emosi di belahan dunia sana.

Wajar pula jika kalimat itu digebyarkan di Perancis yang disebut-sebut sebagai negeri peletak awal demokrasi modern. Dulu Perancis dikuasai oleh pemerintahan otokrasi. Raja adalah wakil Tuhan. Bentengnya adalah para bangsawan dan penghulu agama (bukan Islam). Raja, bangsawan, dan pemimpin agama itu disebut masyarakat feodal.

Dalam perkembangan sejarahnya, timbul golongan masyarakat baru, yaitu golongan pengusaha. Mereka punya banyak perusahaan, industri, dan karyawan. Agar perusahaannya lebih untung, mereka harus memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Mereka memang yang paling tahu aturan-aturan dan undang-undang yang bisa menguntungkan usahanya, bukan raja, bangsawan, ataupun pendeta.

Para pengusaha merasa tidak bebas, tertekan oleh pemerintahan feodal. Hanya golongan pemerintah yang untung. Mereka tidak bisa mengembangkan usahanya ke tingkat maksimal. Akhirnya, mereka sepakat untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi, mereka tak memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pemerintahan.

Setelah berpikir, mereka pun memutuskan untuk menggunakan rakyat jelata sebagai senjatanya. Rakyat pun dipengaruhi, ditipu, dikaburkan pemikirannya, diajak bergerak. Mereka membohongi rakyat agar mau bergerak untuk mewujudkan liberte, fraternite, egalite (kebebasan, persamaan, persaudaraan). Rakyat pun bergerak karena memang pemerintahan feodal itu benar-benar menyengsarakan. Kaum pengusaha berhasil membuat rakyat menjadi alat perangnya.

Revolusi pun berhasil, menang. Raja hancur, bangsawan minggir, para pendeta tersungkur. Para pengusaha menang. Selanjutnya, dibentuklah sistem pemerintahan demokrasi. Setiap orang bisa memilih, bisa menjatuhkan menteri, bisa rapat berkumpul seperti rapat para raja, dan rakyat ikut bersuara dalam pemerintahan. Akan tetapi, pada saat yang sama pula rakyat dengan mudah di-PHK, ditindas, diberi upah kecil, dibeli paksa tempat tinggalnya, hasil produksi rumahannya ditolak oleh pengusaha, dipersulit dengan bunga pinjaman mencekik, tak jelas apa yang bisa dimakan esok hari. Hal itu disebabkan rakyat yang telah digunakan berperang itu tidak memiliki bagian dalam menentukan aturan-aturan perusahaan. Mereka yang duduk di parlemen adalah orang-orang yang dekat dengan para pengusaha atau pengusahanya itu sendiri. Tentunya, pasti aturan-aturan yang dibuat adalah untuk kepentingan pengusaha, bukan untuk rakyat. Rakyat tetap menderita. Jadilah negeri itu kapitalistis.

Semboyan yang dulu digunakan adalah hanya teriakan kosong sebagai penyemangat. Setelah para pengusaha itu mendapatkan kekuasaan, semboyan itu ditinggalkannya, cuma tercatat dalam sejarah.

Dajjal memang pandai. Ia pada abad 16 tinggal di Perancis. Ia pula yang merancang semboyan indah yang menjalar ke seluruh dunia itu bersama pengikutnya, Pendeta Meyer Rothschild. Tujuannya tak lain adalah untuk membuat berbagai kerusuhan di muka Bumi dan mencuri sumber-sumber daya alam di berbagai negara untuk menyiapkan jalan bagi kemenangannya menyesatkan anak-anak Adam. Itulah yang ditulis oleh Muhammad Isa Dawud (1996). Memang, kenyataannya sejak saat itu banyak terjadi pertumpahan darah di muka Bumi ini.

No comments:

Post a Comment