oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Untuk melaksanakan proses demokrasi, tentu saja tidak gratis, perlu dana yang banyak. Puluhan triliun, bahkan ratusan triliun harus dikeluarkan untuk terselenggaranya proses demokrasi. Coba saja, hanya untuk Pemilu, baik Pilpres, legislatif, serta Pilkada gubernur, walikota, dan bupati sudah pasti membutuhkan dana yang besar. Belum lagi untuk berjalannnya proses demokrasi sehari-hari, pasti jumlahnya bisa ratusan kali lipat dari ratusan triliun itu.
Pada pertengahan 2008, ada seorang pengamat politik di dalam sebuah stasiun televisi swasta yang mengatakan bahwa sejak zaman awal reformasi sudah 900 triliun lebih yang dikeluarkan untuk menggelar Pilkada. Ingat itu hanya Pilkada, belum Pil Pil yang lainnya dan belum dengan biaya lain-lainnya. Sekarang, saat tulisan ini dibuat adalah pada tahun 2010. Sudah berapa uang yang dihambur-hamburkan untuk menyelenggarakan proses politik bodoh itu? Keterlaluan! Mestinya, uang itu dimanfaatkan untuk memperbaiki ekonomi negara dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Selain dari itu, setiap partai, setiap calon legislatif, setiap calon kepala daerah, setiap calon presiden dan wakilnya, pasti akan mengeluarkan dana besar-besaran untuk kemenangannya. Ia akan memaksimalkan kemampuan dananya untuk sukesnya pemenangan Pemilu. Mereka sudah pasti membiayai kendaraan politiknya dan menebar uang untuk menunjukkan kepada calon pemilih bahwa pihaknya adalah yang paling pantas, paling dermawan untuk dipilih.
Jika mau dihitung dari awal sampai akhir, berapa banyak uang yang harus dibuang untuk proses demokrasi? Jika uang itu dihitung, lalu penggunaannya dialihkan ke arah pembangunan masyarakat, Indonesia pasti akan hidup lebih ringan dan enteng.
Demokrasi adalah sistem politik yang boros uang dan waktu. Sifat boros itu adalah sifatnya syetan.
Pada pertengahan 2008, ada seorang pengamat politik di dalam sebuah stasiun televisi swasta yang mengatakan bahwa sejak zaman awal reformasi sudah 900 triliun lebih yang dikeluarkan untuk menggelar Pilkada. Ingat itu hanya Pilkada, belum Pil Pil yang lainnya dan belum dengan biaya lain-lainnya. Sekarang, saat tulisan ini dibuat adalah pada tahun 2010. Sudah berapa uang yang dihambur-hamburkan untuk menyelenggarakan proses politik bodoh itu? Keterlaluan! Mestinya, uang itu dimanfaatkan untuk memperbaiki ekonomi negara dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Selain dari itu, setiap partai, setiap calon legislatif, setiap calon kepala daerah, setiap calon presiden dan wakilnya, pasti akan mengeluarkan dana besar-besaran untuk kemenangannya. Ia akan memaksimalkan kemampuan dananya untuk sukesnya pemenangan Pemilu. Mereka sudah pasti membiayai kendaraan politiknya dan menebar uang untuk menunjukkan kepada calon pemilih bahwa pihaknya adalah yang paling pantas, paling dermawan untuk dipilih.
Jika mau dihitung dari awal sampai akhir, berapa banyak uang yang harus dibuang untuk proses demokrasi? Jika uang itu dihitung, lalu penggunaannya dialihkan ke arah pembangunan masyarakat, Indonesia pasti akan hidup lebih ringan dan enteng.
Demokrasi adalah sistem politik yang boros uang dan waktu. Sifat boros itu adalah sifatnya syetan.
No comments:
Post a Comment