oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Akhir-akhir ini kita disuguhi banyak berita tentang penggusuran tanah dan bangunan, baik itu dilakukan oleh pemerintah yang merasa memiliki hak, lembaga, institusi, perusahaan, maupun dilakukan oleh perseorangan sebagai hasil dari sengketa. Yang baru-baru ini menghebohkan adalah kasus dua janda pahlawan itu. Urusan persengketaan itu sebenarnya diakibatkan oleh masih terjajahnya mental dan pikiran kita. Sebenarnya, kita tidak perlu bersengketa soal tanah maupun bangunan jika mau memerdekakan diri dengan sebenar-benarnya merdeka.
Para founding father kita sudah berjasa besar mengusir penjajah secara fisik dari Bumi Pertiwi ini. Akan tetapi, itu hanya merupakan gerbang emas menuju kemerdekaan yang hakiki. Kita, sebagai generasi penerus, harus benar-benar menyempurnakan kemerdekaan kita, yaitu memerdekakan mental dan pikiran kita.
Kasus penggusuran tanah dan atau bangunan itu benar-benar menunjukkan bahwa kita masih percaya pada pikiran-pikiran dan hasil kerja para penjajah yang menyengsarakan negeri ini, terutama Belanda. Padahal, dulu ketika negeri ini sangat merdeka dan maju dalam berbagai bidang dalam zaman keemasannya, seluruh rakyat bisa memiliki tanah tanpa harus bersengketa. Semua orang bisa memiliki tempat tinggal dan menggarap tanah. Justru setelah kehadiran penjajah, timbulah berbagai permasalahan, kemudian aturan-aturan penjajah itu masih juga digunakan sampai sekarang karena kita punya mental kerdil dalam urusan tanah ini, pengecut, dan penakut. Kita masih saja tidak berani melakukan terobosan untuk mengembalikan kejayaan negeri ini.
Saudara-saudara sebangsa setanah air, untuk menjadikan Negara Indonesia kembali pada masa keemasannya, tentunya seluruh rakyat harus dilibatkan dalam pembangunan. Tak satu orang pun yang termasuk usia angkatan kerja diperbolehkan menganggur. Semua harus produktif. Untuk menjadi produktif, tentu harus punya hal yang dikerjakan. Oleh sebab itulah, sistem politik Indonesia yang baru harus mampu mengembalikan tanah kepada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat Indonesia.
Dari dulu Tuhan menciptakan tanah ini untuk kepentingan manusia secara gratis. Namun, tiba-tiba keserakahan manusia membuat tanah ini harus diperjualbelikan. Banyak orang bertanya, sejak kapan tanah yang pasti dulunya gratis ini diperjualbelikan? Kok tiba-tiba ada yang ngaku milik Si Ini milik Si Itu?
Saudara-saudara pembaca yang budiman, dulu sekali nenek moyang kita membuka lahan-lahan pertanian untuk kelangsungan hidupnya, baik dari rawa atau hutan. Saat itu pertanian masih menggunakan sistem berladang pindah. Masyarakat akan menggarap tanah yang sudah dibukanya itu selama tanah itu masih subur. Ketika tingkat kesuburannya berkurang, mereka berpindah tempat ke tanah lain yang masih subur. Tanah yang dulu ditinggalkan selama tiga sampai tujuh tahun hingga menjadi gembur kembali, kemudian digarap lagi, demikian seterusnya. Pada masa itu tidak dikenal adanya hak milik individu. Tanah dianggap sebagai milik komunal, milik bersama. Tanah subur yang ditinggalkan oleh penggarapnya, bisa digarap oleh orang lain dan menjadi milik orang lain itu selama digarap.
Seiring dengan tumbuhnya pusat-pusat kekuasaan, pihak keraton pun cukup rajin membuka lahan-lahan pertanian. Rakyat diperbolehkan menggarap tanah milik istana tersebut dengan syarat memberikan upeti dari hasil pertaniannya. Semakin banyak rakyat yang bertani, baik itu dengan cara mengelola tanah keraton, maupun membuka tanah sendiri, semakin senang pula para raja. Hal itu disebabkan jumlah rakyatnya semakin banyak. Artinya, tanah di wilayah kekuasaannya akan lebih produktif serta kerajaannya bertambah kuat. Oleh sebab itu, setiap raja selalu mengingatkan pejabat bawahannya agar tidak membuat “lari” rakyat dari negerinya. Memang saat itu jika pihak penguasa dipandang tidak adil, rakyat protes dengan cara pindah ke kerajaan lain. Kalau sudah begitu, apa artinya sebuah kerajaan yang hanya memiliki sedikit rakyat atau bahkan sama sekali tidak memiliki rakyat?
Ketika kekuatan Islam semakin meningkat yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, semakin intensif pula masyarakat diajari bagaimana caranya mengolah tanah dengan sistem sawah atau menggarap tanah yang sama secara terus-menerus tanpa harus berpindah-pindah. Dengan demikian, setiap bidang tanah dapat terus produktif dan tanah yang lain dapat dipergunakan lagi untuk mengembangkan kekuatan kerajaan.
Memang di setiap wilayah di Nusantara ini terdapat perbedaan soal penggarapan dan pemilikan tanah, tetapi garis besarnya sama, yaitu tanah adalah milik bersama, bukan milik individu. Artinya, tak ada jual beli tanah. Semua bisa memanfaatkan tanah, semua bisa punya tempat tinggal. Tanah yang sudah tidak digarap oleh pemiliknya dapat dipergunakan oleh orang lain yang menggarapnya kemudian. Pada masa-masa itulah negeri-negeri di Nusantara ini hidup dengan makmur, zaman keemasan-kejayaan.
Saat Belanda datang dengan ambisi menjajahnya, dimulailah praktik-praktik pemaksaan terhadap masyarakat yang tengah berkembang dengan nilai-nilai dirinya itu. Pemerintahan kolonial tentunya ingin dapat mengontrol masyarakat seluruhnya. Oleh sebab itu, pada beberapa daerah rakyat ditarik mendekat terkonsentrasi ke pusat kekuasaannya. Mereka tampaknya kesulitan jika harus menguasai rakyat yang terbiasa berpindah-pindah dan jaraknya jauh-jauh. Hal yang sangat jelas dalam urusan ini adalah penjajah ingin lebih mudah dan lebih cepat menarik pajak dari rakyat.
Di Jawa Barat penjajah rakus itu menggunakan Undang-undang Agraria (Agrarischwet) tahun 1870 untuk menetapkan hubungan antara tanah dengan orang-orang yang menempati, menggarap, atau mengusahakannya. Berdasarkan undang-undang tersebut, pemerintah kolonial seolah-olah membagikan tanah kepada rakyat sebagai tanah milik untuk keperluan pertanian. Setiap kepala keluarga mendapat satu bau (500 tumbak atau ± 7.000 m²) tanah. Rakyat yang mendapat tanah secara demikian disebut “cap singa” (Adiwilaga, 1975: 3).
Cap singa adalah istilah saat itu yang didapat dari gambar yang tertera pada cap stempel surat izin yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Gambar singa adalah lambang Kerajaan Belanda.
Sesungguhnya, sistem pemilikan atas tanah di Jawa Barat itu, umumnya di Pulau Jawa yang ditetapkan dengan undang-undang merupakan perkembangan dari keinginan pemerintah, baik pemerintah kolonial maupun bumiputera agar penduduk di wilayah Jawa Barat, terutama di daerah pedalaman, tidak berpindah-pindah tempat lagi, tetapi menetap di suatu lokasi tertentu dan mengolah tanah di lokasi itu. Undang-undang Agraria tahun 1870 dapat dipandang sebagai alat untuk memaksa penduduk wilayah Jawa Barat agar menetap di suatu lokasi tertentu dan memiliki bidang tanah tertentu.
Sejak saat itulah timbul keruwetan-keruwetan. Ketidakpastian dalam menentukan tanah kesultanan, tanah pusaka, tanah yasa, upeti dan kerjabakti, kebijakan kolonial yang sering berubah, kondisi ekonomi sosial masyarakat, dan makin meluasnya akibat perekonomian uang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah melalui sistem gadai dan sistem jual-beli. Kecenderungannya adalah makin terjadinya pemusatan pemilikan tanah pada orang-orang tertentu yang mengakibatkan timbulnya petani-petani yang tidak memiliki lahan pertanian lagi. Pemilik tanah luas disebut Tuan Tanah, sedangkan petani yang tidak memiliki tanah lagi disebut petani penggarap atau buruh tani (Edi S. Ekadjati: 1993).
Di samping jatuhnya rakyat ke dalam kemiskinan karena tidak lagi memiliki lahan, juga mendorong timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Rakyat sama sekali tidak mengerti mengapa mereka yang dulunya aman-aman saja menggarap tanah, membuka hutan, berbagi dengan sesama, dan mengirimkan sepersepuluh dari hasil pertaniannya kepada sultan, tiba-tiba harus membayar pajak tinggi yang disertai dengan kerja rodi untuk kepentingan Belanda? Mengapa lahan-lahan jadi sangat terbatas?
Pemberontakan yang cukup terkenal karena lahan ini adalah Gerakan Petani Saminis. Mereka meneriakan slogan lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe, ‘tanah, air, hutan adalah milik semua orang’.
Kalaulah ada orang yang mengatakan bahwa Belanda mengeluarkan aturan-aturan itu untuk kepentingan rakyat dan lestarinya alam sekitar dari penjarahan rakyat, berarti orang itu cukup pintar, tetapi sudah teramat jauh dari kebenaran itu sendiri. Coba saja lihat orang Baduy. Mereka tidak mengenal krisis ekonomi, tak pernah kelaparan, tak ada anarkisme, dan mampu seimbang dengan alam, tak ada alam yang rusak. Mereka punya hutan larangan yang sama sekali tidak boleh disentuh. Jangankan untuk menebang pohon, hanya sekedar mengambil ranting kering yang patah dari hutan itu, mereka tidak berani. Cukup satu kata, pamali, dari pemimpinnya, rakyatnya akan mematuhinya dengan kata teu wasa (tak kuasa untuk melanggar pemali itu). Hasilnya, semua aman-aman saja, senang-senang saja, dan teratur lebih tertib dibandingkan komunitas yang terdiri atas banyak jebolan perguruan tinggi. Mereka pun punya rumah yang juga pake kata pamali jika menggunakan paku. Rumah-rumah mereka dibangun dengan cara menggunakan tali ijuk. Kata pamali itu bermaksud agar rumah-rumah mereka tidak roboh jika terjadi gempa. Dengan membangun seperti itu, rumah mereka lebih tahan gempa karena elastis.
Berbeda jauh dengan kondisi di luar Baduy yang terus meluncur ke arah kemiskinan. Tampaknya, kondisi kehidupan rakyat yang serba miskin ini pun diakibatkan oleh tidak berubahnya atau tidak dikembalikannya tanah kepada rakyat. Artinya, peraturan penggunaan dan kepemilikan tanah yang ada sekarang merupakan perpanjangan kisah dari aturan-aturan yang dipaksakan penjajah itu. Tak heran jika saat ini banyak pengangguran, tak punya tempat tinggal, harus bayar sewa meskipun harus ngos-ngosan, tinggal di emperan toko, kolong jembatan, luntang-lantung tak karuan, penggusuran, dan berbagai sengketa tanah yang tak kunjung selesai memuaskan.
Adalah kenyataan yang sangat ironis di daerah-daerah tertentu ada satu kamar yang disewa oleh dua pasang suami-istri. Mereka hanya memisahkan kamar itu dengan menggunakan kain kebaya. Sementara itu, banyak rumah yang besar-besar hanya diisi oleh beberapa gelintir orang, bahkan ada yang sama sekali tidak ditempati.
Adalah pelanggaran terhadap Pancasila ketika banyak orang yang kelaparan, megap-megap, banyak tanah yang mestinya bisa produktif dibiarkan kosong tak dimanfaatkan, tetapi dimiliki oleh orang-orang kaya.
Nah, pemerintah Pancasilais adalah yang mampu mengembalikan kejayaan negeri ini diawali dengan membagikan tanah secara gratis kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Urusan ini harus disadari oleh semua pihak, seluruh elemen bangsa karena dalam pemerintahan yang baru sudah tidak boleh ada satu orang pun yang menguasai tanah sejengkal pun dari Bumi Pertiwi ini. Semuanya milik bersama. Tak ada satu orang pun yang berhak memiliki tanah, termasuk orang No. 1 di Indonesia.
Pemerintah Pancasilais harus mampu mencari cara untuk itu karena hanya dengan cara itulah kita bisa kembali, bahkan lebih kaya dan lebih makmur dibandingkan zaman keemasan dulu.
Semua orang, semua keluarga, harus punya tempat tinggal. Tentunya, harus diatur dengan baik seadil mungkin. Misalnya, sebuah keluarga yang menggantungkan hidupnya pada pengolahan tanah secara langsung mendapat hak untuk menggarap tanah 2,5 ha, sedangkan untuk keluarga yang penghasilannya dari upah sebagai karyawan pabrik tentunya tidak seluas itu, cukup 100 m². Demikian pula dengan jabatan-jabatan tertentu, disesuaikan dengan baik dan layak. Jika hendak pindah atau tidak lagi menggarap tanahnya, dipersilakan mencari tempat lain dengan membiarkan tanah miliknya yang dulu digunakan untuk orang lain. Misalnya, sebagaimana hadits Nabi, tanah atau rumah yang tidak dimanfaatkan selama tiga tahun atau lebih akan menjadi milik penggarap berikutnya.
Dengan pengaturan seperti itu, akan didapat efek-efek positif lainnya, yaitu hemat energi, lalu lintas tertib, daya dan semangat kerja tinggi, sehat, silaturahmi semakin sering, dan sebagainya. Logikanya adalah jika diatur dengan baik, semua orang pasti berharap dapat tinggal dekat dengan tempatnya bekerja, dosen dekat dengan kampusnya, pegawai negeri dekat dengan kantornya, karyawan dekat dengan pabriknya, petani ada di lahan pertaniannya, dan lain sebagainya. Sekarang ini orang harus menempuh jarak dan waktu lama dari rumahnya untuk sampai ke tempat kerjanya. Akibatnya, boros energi, macet, mudah lelah, gampang sakit, semakin individualistis, dan boros biaya.
Selintas seperti khayalan, namun toh sejarah kita menunjukkan hal seperti itu. Kejahatan penjajahlah yang menjadikan kita seperti sekarang ini. Dalam praktiknya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi akan ringan jika semua elemen bangsa mau menyadarinya.
Upaya pengembalian tanah menjadi milik semua akan sangat berguna juga untuk menguji seluruh orang Indonesia, apakah benar ingin maju dan berkorban untuk kepentingan bersama atau hanya teriak-teriak dengan penuh kepalsuan menipu rakyat?
Jika bangsa ini telah mampu mengembalikan tanah kepada rakyatnya sebagaimana sebelum kehadiran penjajah, kemerdekaan pun akan semakin terasa. Kita akan benar-benar bisa membangun dan kembali meneriakkan slogan yang selama ini sudah hampir mati, yaitu: Mari Kita Singsingkan Lengan Baju!
Saat ini slogan itu tidak lagi berlaku karena rakyat siap bekerja menyingsingkan lengan baju, tetapi kebingungan apa yang harus dikerjakan. Pemerintahlah yang harus berubah dan menyiapkan lahan agar rakyat yang siap bekerja dan berdikari ini akan menyingsingkan lengan bajunya untuk membangun Indonesia yang benar-benar merdeka.
Saya sangat terharu dengan artikel Anda. Saat ini, hampir semua orang tidak menyadarinya, bahwa sesungguhnya Allah SWT memberikan bumi dan tanah ini secara gratis. Kenapa harus diperjualbelikan. Astaghfirullah al'azim
ReplyDelete