Friday, 29 July 2011

Semua Orang Bisa Jadi Gus Dur

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Gus Dur memang sering nyeleneh, tetapi memang nyeleneh. Gus Dur dulu dianggap memiliki kesaktian yang luar biasa hebat. Banyak orang geleng-geleng kepala menyaksikan “kesaktiannya”, yaitu tidur lama saat rapat, tetapi ketika bangun, bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik dan memahami semua masalah yang dijadikan agenda rapat. Dia tidak perlu serius seperti orang-orang untuk memecahkan masalah dalam rapat. Tidur saja bisa menyelesaikan masalah.

Perilakunya ini menumbuhkan beragam mitos di masyarakat dan cenderung takhayul. Kaum intelektual cuma ngakak mendengar kisah-kisah mitos itu meskipun tetap tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa Gus Dur mampu melakukan hal itu. Penjelasan yang paling sahih adalah ya dari Gus Dur sendiri.

Begini dia menjelaskannya. Dia tahu benar bahwa orang Indonesia itu kalau rapat atau diskusi, selalu berputar-putar di situ-situ saja, tidak pernah beranjak maju ke arah penyelesaian yang lebih baik. Oleh sebab itu, ia memanfaatkan waktu tersebut untuk tidur. Ketika bangun, rapat masih tetap berputar di situ-situ juga. Dengan demikian, Gus Dur selalu dapat dengan tepat mengikuti masalah, bahkan menjawab berbagai kesulitan dengan baik. Jelas itu bukan mistik atau takhayul.

Nah, kita semua pada saat sekarang ini sangat bisa menjadi Gus Dur dan saya pernah membuktikannya. Perhatikan saja masalah yang melilit di negeri ini, misalnya, soal Century, Koalisi Setgab, Nazarudin, Andi Nurpati, Terorisme, Panji Gumilang, korupsi, dan lain sebagainya tidak pernah selesai-selesai, di situ-situ saja, nggak ada kemajuan yang berarti. Kalau kita tidak menonton televisi, tidak buka internet, atau tidak baca koran selama tiga hari, bahkan seminggu, kita tidak akan pernah ketinggalan berita karena masalahnya tetap berputar di sana, nggak berubah, tetap saja kusut. Artinya, kita bisa melakukan hal yang sama seperti Gus Dur karena masalahnya tetap di situ-situ saja. Setelah seminggu tidak memperhatikan berita, kita akan tetap menyaksikan masalah yang sama seperti minggu kemarin.

Kita semua bisa seperti Gus Dur. Terima kasih, thank you Gus Dur, engkau memang hebat dan negeri ini tetap sama seperti ketika engkau masih hidup, semrawut, malah makin samut. Semoga Allah swt menempatkanmu di tempat yang teramat baik dan terlindungi. Amin.

Orang-Orang Hebat Jangan Masuk Sistem

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Negeri ini, Indonesia, benar-benar butuh orang-orang hebat. Hebat dalam arti cerdas pikirannya dan bersih batinnya. Orang-orang hebat inilah yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai kemelut di berbagai bidang yang sedang melanda negeri ini.

Rhenald Kasali, ahli ekonomi, mengatakan hal seperti itu beberapa waktu ke belakang saat menjadi salah seorang tim penyeleksi calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia sangat berharap bahwa banyak orang hebat yang mendaftarkan diri untuk menjadi calon ketua KPK. Dengan demikian, negeri ini memiliki banyak pilihan yang terdiri atas orang-orang hebat. Orang-orang inilah yang diharapkannya mampu untuk membuat beragam terobosan dalam memerangi kejahatan korupsi di Indonesia.

Harapan Rhenald Kasali memang bagus, tetapi normatif. Itu berlaku di segala zaman, di segala tempat, dan di segala situasi. Keinginannya itu mirip kalimat-kalimat orang kuliahan yang sifatnya berlaku umum di tempat umum di dunia ini. Semua orang akan mengatakan hal seperti itu karena begitulah yang seharusnya terjadi.

Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Menurut saya, orang-orang hebat jangan masuk sistem pemerintahan saat ini. Hal itu disebabkan sistem yang berjalan seperti sekarang ini tidak akan memberikan kesempatan kepada orang-orang hebat untuk berkembang secara maksimal. Prestasi atau gagasan yang menjadi potensi untuk memperbaiki negeri akan mendapatkan halangan yang luar biasa besar yang akhirnya tidak bisa terlaksana dan cenderung menimbulkan frustasi.

Sistem politik demokrasi yang meniru-niru cara hidup orang-orang korup ini akan membuat semua cita-cita luhur berantakan. Sehebat apa pun seseorang atau sesuci apa pun seseorang, akan jatuh merana tersiksa, bahkan terpengaruhi untuk berbuat nista dalam sistem politik demokrasi yang borok ini. Orang-orang hebat tak akan sanggup melawan atau membenahi sistem yang sudah rusak parah ini. Bahkan, akan menjadi bagian dari kebusukan.

Sebaiknya, orang-orang hebat untuk sementara ini, harus tetap berada di luar sistem dan memperhatikan semua yang terjadi, kemudian muncul sekali-sekali sebagai pemanasan. Jangan berada dalam sistem. Jangan terbujuk rayu disebut orang hebat yang dapat memperbaiki keadaan. Berdiri saja di luar karena tidak mungkin bisa membenahi sistem. Jika memaksa masuk ke dalam sistem, yang terjadi bukanlah memperbaiki sistem, melainkan menjadi bagian dari sistem rusak yang merusakkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, akan menjadi orang-orang yang dipandang tercela. Hal itu sangat disayangkan.

Untuk sementara ini, orang-orang hebat mestinya tenang saja berada di luar sistem. Biarkan saja sistem yang sudah rusak ini tambah rusak sehingga hancur lebur tinggal abu. Jangan sekali-kali ikut memperbaiki. Nonton saja kehancuran dan kegagalannya. Nah, nanti, ketika situasinya sudah tepat, dalam arti orang-orang sudah putus asa karena sistemnya benar-benar luluh lantak, baru perlahan-lahan masuk. Jangan tergesa-gesa, biarkan masyarakat seluruhnya menyadari kerusakan tersebut, kemudian meminta tolong dengan kepasrahan yang tinggi kepada orang-orang hebat untuk mengatasi keadaan yang ada. Ketika sistem yang baru sudah tercipta atau mulai terbangun sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, bukan sesuai dengan jiwa orang lain, tampakkanlah siapa diri Saudara sebenarnya agar benar-benar berada di dalam sistem baru yang benar-benar menjamin keadilan dan kemakmuran. Kiprah orang-orang hebat pada masa itu akan benar-benar sangat dirasakan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

Saat ini tak mungkin untuk berkiprah maksimal. Lihat saja orang-orang tersandera oleh perilaku-perilaku kotor dirinya dan teman-temannya sendiri. Kalau masuk sistem sekarang, akan ikut tersandera juga dan menjadi bagian dari kejahatan nasional. Biarkan saja sistem yang sekarang hancur lebur karena tak ada gunanya diperbaiki. Nanti saja kalau sistem yang mutakhir sudah dipahami, barulah masuk ke dalam sistem. Dengan demikian, orang-orang hebat akan tampak hebatnya karena memang berada dalam situasi yang sangat tepat, yaitu situasi kemakmuran, kemuliaan, dan kejayaan.

Jangan dulu masuk sistem, sabar, tunggu saat yang tepat. Biarkanlah sistem yang sekarang binasa bebarengan dengan binasanya para pendukungnya hingga seluruh mata memandang bahwa sistem di negeri ini telah nyata-nyata binasa.

Pohon Khayalan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Ada beberapa bupati yang mengatakan bahwa kerusuhan akibat dari Pemilihan Kadal itu harus dibiarkan saja. Mereka beralasan bahwa situasi itu menunjukkan perkembangan demokrasi atau kita sedang tumbuh menuju demokrasi yang sesungguhnya. Goblok benar para bupati itu. Mungkin juga ada gubernur yang sama persis gobloknya. Memang sudah pada goblok mereka. Rakyat jangan ikut-ikutan goblok kayak mereka.

Dengan mengikuti istilah yang mereka gunakan, yaitu tumbuh dan berkembang, saya memastikan bahwa kata-kata itu diambil dari istilah ilmu biologi, terutama tanaman. Para petani atau siapa pun yang akan menanam pohon biasanya tahu lebih dulu tanaman yang akan ditanamnya. Agak aneh jika ada orang yang menaman biji-bijian tanpa tahu terlebih dahulu bakal jadi apa biji yang ditanamnya itu. Pemilik tanah atau petani yang memiliki tanah yang berhektar-hektar akan menanam tumbuhan yang jelas mereka ketahui manfaatnya dan sebelumnya mengenal tumbuhan tersebut sampai berbuah matang dan bisa dipanen. Saya pun demikian, meskipun hanya punya tanah sekitar 350 meter persegi, saya tidak akan pernah mau menanam biji atau pohon yang tidak jelas buahnya. Saya saat ini di samping dan belakang rumah menanam yang jelas-jelas saja, seperti, pisang, ubi, ketela, cabe rawit, talas, leunca, jambu, salak, dan mangga. Saya akan menolak cape-cape mengurusi tanaman yang tidak jelas. Meskipun ada orang yang merayu-rayu agar menanam biji buah yang katanya bagus berwarna ungu dan harganya mahal dengan rasa yang manis, tetapi tidak jelas buah apa dan tidak pernah melihatnya, saya tidak sudi menanamnya karena harus diurus dan dirawat. Kalau ada orang yang mau menanamnya tanpa tahu dulu pohon apa, saya bilang dia itu berani sekaligus gila merangkap goblok nggak ketulungan. Ngapain cape-cape ngurusin pohon yang buahnya masih ada dalam khayalan.

Begitu juga dengan demokrasi. Kata mereka kita harus tetap mendukung demokrasi. Meskipun terjadi banyak kerusakan, kita tetap harus berdemokrasi karena kita sedang tumbuh dan berkembang menuju demokrasi yang lebih baik.

Demokrasi yang lebih baik itu yang bagaimana? Pernah melihat ada negara demokratis dengan hasil gemilang membangun rakyatnya dengan baik lahir maupun batin? Di mana? Ada memang, tetapi di dalam khayalan. Di Amerika Serikat? Masyaallah, coba baca tulisan saya masih di blog ini yang berjudul Siapa Bilang Demokrasi di AS Bagus?

Kalau diibaratkan pohon, kita ini sedang menanam pohon khayalan. Demokrasi itu cuma biji yang ditawarkan isu kapitalis barat yang buahnya adalah khayalan. Khayalannya sih memang bagus, tetapi itu kan cuma ngelamun, bohong. Berulang-ulang saya katakan dalam bahasa Sunda bahwa demokrasi itu adalah melak sugan dina lamunan diceboran ku boa-boa buahna leubeut ku meureun, ‘menanam benih coba-coba di tanah lamunan disirami siapa tahu yang ranum buah mungkin’.

Kalau disebutkan demokrasi kita tumbuh dan berkembang, bakal jadi apa buahnya? Pernah ada yang melihat buah bermutu dari demokrasi? Ada sih buahnya, tetapi buah kerusakan manusia dan alam sekitar. Itu telah terjadi secara nyata, lho. Masih juga percaya ada buah manis dari demokrasi? Gustiii..., hampura manusa, memang benar-benar goblok.

Kalau menanam pohon, harus jelas pohon apa dan bagaimana buahnya nanti, jangan ngelamun. Yang jelas-jelas saja. Kalau menjalankan sistem politik, harus jelas sistem politik apa dan bagaimana buahnya, musti pasti. Sesungguhnya, kita punya benih sistem politik unggulan dari dalam tanah air kita sendiri, tinggal kemauan kita untuk menanamnya dan itu sudah jelas. Sejarah mencatat bahwa negara ini dulunya adalah wilayah-wilayah kerajaan yang makmur dan kuat. Maksudnya, kerajaan yang dulu, bukan kerajaan-kerajaan yang sekarang.

Coba ambil itu benih unggulan, lalu tanam dan rawat dengan baik, maka kita akan panen kemakmuran dan keadilan sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, jangan suudzhon dulu, saya sama sekali tidak menganjurkan untuk membikin sistem politik kerajaan karena sistem itu sudah usang sama usangnya dengan sistem politik demokrasi. Ada lho sistem yang tidak monarki, tidak otoriter, juga tidak demokratis. Itu tepat sekali untuk Indonesia karena berasal dari Bumi Pertiwi. Sumpah. Mau tahu? Cari di dalam diri sendiri, dalam nilai-nilai luhur sendiri, dalam budaya dan pengalaman kejayaan sendiri. Pasti ketemu asal keluar dulu dari kebiasaan kuno yang menyandarkan diri pada produk-produk pemikiran barat.

Berhenti dong jadi orang goblok. Berhenti. Kenapa sih nggak mau berhenti? Senang ya jadi orang goblok?

Lihat tuh ibu kita semua, Ibu Pertiwi. Dia sedang lara menangis sedih karena anaknya yang bernama Indonesia sedang tersesat, terseok-seok karena tidak lagi mengingat dan menghargai nasihat-nasihat ibunya sendiri. Jangan bangga jika tersesat, pulanglah ke pangkuan Ibu Pertiwi. Cepat pulang. Ibunda kita itu pasti menerima kita dengan tangan terbuka, lapang dada, penuh kasih, dan membiarkan kita nyaman terlindung dalam dekapannya.

Kalau Sudah Error, Jangan di-Try-Try Lagi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dulu di awal-awal reformasi antara 1998 s.d. 1999, kita melepaskan diri dari kungkungan dan kekerasan orde baru untuk melaksanakan demokrasi tanpa embel-embel. Artinya, bukan Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Pancasila, tetapi cenderung mengembalikan kondisi negeri pada Demokrasi Pascakemerdekaan yang ditandai dengan membangga-banggakan Pemilu 1955. Padahal, Pemilu 1955 telah melahirkan PKI sebagai partai komunis terbesar di dunia serta menjadi pemenang keempat Pemilu di Indonesia. Selanjutnya, negara berada dalam ketidakstabilan politik yang menyedihkan sehingga harus lahir Dekrit Presiden setelah sebelumnya negara berbentuk serikat, RIS, bukan NKRI. Pendeknya, demokrasi saat itu telah gagal karena ngaco.

Meskipun demikian, para elit zaman awal reformasi menganggap bahwa demokrasi yang ngaco itu terbaik sehingga ingin mengulanginya. Setidaknya, dengan Pemilu yang lebih bersih, akan didapat orang-orang kredibel yang merupakan perwujudan aspirasi murni rakyat. Mereka yang telah terpilih sesuai dengan nurani rakyat itulah yang akan berdiskusi, saling mengisi untuk memajukan bangsa menuju kemakmuran. Kira-kira begitulah idealnya. Kita semua, warga negeri ini, begitu tersihir dengan keinginan tersebut.

Akan tetapi, meskipun memiliki pandangan dan harapan lebih baik dengan menggunakan demokrasi tanpa embel-embel itu, para penggagas reformasi tidak menyatakan 100% bahwa sistem politik baru reformasi pasca-orde baru adalah mutlak bisa menyelamatkan negeri ini untuk mencapai kejayaan. Hal itu bisa diperhatikan dari pernyataan Lokomotif Reformasi Amien Rais dan Pemikir Wahid Nurcholis Madjid (Alm.). Keduanya mengatakan kita melaksanakan demokrasi dalam zaman reformasi ini dalam rangka trial and error, ‘coba-coba’, ngajaran, ‘eksperimen’.

Dalam kenyataannya, sampai hari ini sistem politik yang telah dibangun sudah tampak sekali error-nya. Itu sudah menjadi bukti empiris bahwa sistem politik sekarang sudah benar-benar error, salah. Bagi orang-orang yang berpikir, kalau sudah mencoba sesuatu dan salah, akan meninggalkan kesalahannya untuk kemudian melakukan sesuatu yang lain yang lebih baik lagi. Berbeda dengan orang yang pinter keblinger, akan tetap bandel karena ingin menang sendiri, padahal jelas salah.

Sistem politik demokrasi sudah menunjukkan error-nya dari masa ke masa di negeri ini. Kalau sudah jelas error, jangan di-try-try lagi atuh. Sudah sangat jelas bahwa demokrasi itu hanya melak sugan dina lamunan diceboran ku boa-boa nu buahna leubeut ku meureun, ‘menanam benih coba-coba di tanah lamunan disirami siapa tahu yang ranum buah mungkin’.

Hantem we dicobaan! Geus nyaho ruksak, eureun atuh! Naha embung make cara hirup urang sorangan? Kan karuhun urang teh jalma-jalma hade. Make percaya sagala ka karuhun batur. Jadi we sasab! ‘Terus saja dicoba-coba! Sudah tahu rusak, berhenti atuh! Kenapa tidak mau menggunakan cara hidup diri sendiri? Kan leluhur kita itu orang-orang yang baik dan hebat. Pake percaya segala sama leluhur orang lain. Akhirnya, jadi tersesat!’.