oleh Tom Finaldin
Dulu di awal-awal reformasi antara 1998 s.d. 1999, kita melepaskan diri dari kungkungan dan kekerasan orde baru untuk melaksanakan demokrasi tanpa embel-embel. Artinya, bukan Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Pancasila, tetapi cenderung mengembalikan kondisi negeri pada Demokrasi Pascakemerdekaan yang ditandai dengan membangga-banggakan Pemilu 1955. Padahal, Pemilu 1955 telah melahirkan PKI sebagai partai komunis terbesar di dunia serta menjadi pemenang keempat Pemilu di Indonesia. Selanjutnya, negara berada dalam ketidakstabilan politik yang menyedihkan sehingga harus lahir Dekrit Presiden setelah sebelumnya negara berbentuk serikat, RIS, bukan NKRI. Pendeknya, demokrasi saat itu telah gagal karena ngaco.
Meskipun demikian, para elit zaman awal reformasi menganggap bahwa demokrasi yang ngaco itu terbaik sehingga ingin mengulanginya. Setidaknya, dengan Pemilu yang lebih bersih, akan didapat orang-orang kredibel yang merupakan perwujudan aspirasi murni rakyat. Mereka yang telah terpilih sesuai dengan nurani rakyat itulah yang akan berdiskusi, saling mengisi untuk memajukan bangsa menuju kemakmuran. Kira-kira begitulah idealnya. Kita semua, warga negeri ini, begitu tersihir dengan keinginan tersebut.
Akan tetapi, meskipun memiliki pandangan dan harapan lebih baik dengan menggunakan demokrasi tanpa embel-embel itu, para penggagas reformasi tidak menyatakan 100% bahwa sistem politik baru reformasi pasca-orde baru adalah mutlak bisa menyelamatkan negeri ini untuk mencapai kejayaan. Hal itu bisa diperhatikan dari pernyataan Lokomotif Reformasi Amien Rais dan Pemikir Wahid Nurcholis Madjid (Alm.). Keduanya mengatakan kita melaksanakan demokrasi dalam zaman reformasi ini dalam rangka trial and error, ‘coba-coba’, ngajaran, ‘eksperimen’.
Dalam kenyataannya, sampai hari ini sistem politik yang telah dibangun sudah tampak sekali error-nya. Itu sudah menjadi bukti empiris bahwa sistem politik sekarang sudah benar-benar error, salah. Bagi orang-orang yang berpikir, kalau sudah mencoba sesuatu dan salah, akan meninggalkan kesalahannya untuk kemudian melakukan sesuatu yang lain yang lebih baik lagi. Berbeda dengan orang yang pinter keblinger, akan tetap bandel karena ingin menang sendiri, padahal jelas salah.
Sistem politik demokrasi sudah menunjukkan error-nya dari masa ke masa di negeri ini. Kalau sudah jelas error, jangan di-try-try lagi atuh. Sudah sangat jelas bahwa demokrasi itu hanya melak sugan dina lamunan diceboran ku boa-boa nu buahna leubeut ku meureun, ‘menanam benih coba-coba di tanah lamunan disirami siapa tahu yang ranum buah mungkin’.
Hantem we dicobaan! Geus nyaho ruksak, eureun atuh! Naha embung make cara hirup urang sorangan? Kan karuhun urang teh jalma-jalma hade. Make percaya sagala ka karuhun batur. Jadi we sasab! ‘Terus saja dicoba-coba! Sudah tahu rusak, berhenti atuh! Kenapa tidak mau menggunakan cara hidup diri sendiri? Kan leluhur kita itu orang-orang yang baik dan hebat. Pake percaya segala sama leluhur orang lain. Akhirnya, jadi tersesat!’.
No comments:
Post a Comment