Saturday 18 June 2011

Si Pendekar Dusta dari Gua Hantu Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Amerika hebat, pendekar demokrasi, mbah demokrasi, teladan dunia. Begitu kan? Memang benar 100%. Saya sangat setuju. Saya setuju karena demokrasi itu kejahatan dusta. Jadi, bisa diganti pujiannya seperti ini, Amerika hebat, pendekar kejahatan dusta, mbah kejahatan dusta, teladan dunia kejahatan dusta. Memang AS adalah teladan bagi para pemimpin dunia yang menjadi penjilatnya sekaligus teladan pula bagi orang-orang tersesat.

Di dalam Injil pasal Wahyu (17 : 1-6), New York atau AS itu disebut Pelacur Besar dan raja-raja di dunia telah berbuat cabul bersamanya. Begitu yang dikatakan Pendeta Mark Hitchcok dalam bukunya Bible Prophecy (Wisnu Sasongko, 2003). Kalau AS dijelaskan dalam Injil sebagai ibu dari wanita-wanita pelacur dan kekejian di Bumi, berarti para pemimpin negeri yang telah bermesraan dengan AS adalah pelanggan atau hidung belang yang gemar berzina menjadi pelacur pencinta wanita sundal itu. Siapa saja yang telah menjadi hidung belang itu? Tebak aja sendiri. Bagaimana dengan para pemimpin di Indonesia? Halo para Pelacur, halo para Hidung Belang. Yang bukan pelacur dan bukan hidung belang tidak halo. Para pemuja AS sama saja artinya dengan pemuja Pelacur Besar Dunia.

Kelakuan pelacur memang aneh dan penuh kebohongan, maaf ya kepada seluruh wanita pelacur di Indonesia. Sungguh, saya tidak bermaksud menghina saudara-saudara. Saya tahu benar hati saudara penuh tangisan karena saudara sendiri tidak menginginkan pekerjaan itu. Insyaallah, pada masa depan jika Pemimpin Pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia, telah hadir berkuasa di tengah-tengah rakyat Indonesia, semuanya akan berubah. Kemakmuran akan melimpah ruah. Saudara-saudara tidak lagi perlu bekerja menjadi pelacur, sungguh. Dia sendiri sebenarnya menangis melihat kondisi saudara-saudara. Sumpah.

Sedikit saya ingin berdongeng tentang beberapa pelacur di Bandung. Ketika 2001, saat gedung kembar World Trade Centre luluh lantak ditabrak pesawat, AS mempropagandakan kepada dunia bahwa kambing hitam peristiwa itu adalah Osama bin Laden. Propaganda AS itu sampai juga ke telinga para pelacur. Beberapa WTS mendekat mengerumuni saya pada suatu sore di pusat Kota Bandung. Saya duduk di kursi taman yang terbuat dari semen, sedangkan mereka berjongkok membentuk setengah lingkaran di depan saya. Cukup serius mata mereka memandang saya.

Mereka bertanya, “Kang, siapa sih Osama itu?”

Saya jawab sesuai dengan yang saya ketahui saat itu bahwa Osama bin Laden adalah orang kaya raya yang memimpin Al Qaeda, musuh besar Amerika Serikat, dan bla ... bla ... bla ....

Dengan polosnya, salah seorang di antara mereka yang paling cantik, tetapi kelihatan jelas keletihan jiwanya, bertanya lagi, “Ooh, dia orang kaya raya ya? Kang, ... Kang, ... dia bakalan inget nggak ya sama orang miskin kayak kita-kita ini?”

Di matanya terlihat harapan, keinginan yang bercampur kepasrahan menghadapi ketidakmungkinan. Susah melukiskannya dengan kata-kata.

Duh, ... saya tidak bisa menjawabnya. Saya hanya bisa tersenyum kecil menutupi perasaan getir di hati. Mereka orang-orang yang terjebak situasi dan memerlukan kasih sayang. Akan tetapi, mereka akan tetap begitu karena orang-orang kaya di negeri ini banyak yang sombong dan angkuh, bahkan banyak yang mencuri hak-hak mereka. Bukankah mereka juga rakyat Indonesia?

Kita membenci dan mengutuk mereka karena pelacur. Akan tetapi, kita pun tidak memiliki jalan keluar bagi mereka. Mereka mau ke mana lagi?

Ya... sudahlah, itu hanya kisah masa lalu. Yang saya tahu bahwa Allah swt Mahaadil.

Kembali ke soal Pelacur Besar yang tertulis dalam Injil, Amerika Serikat. Pelacur itu memang aneh dan penuh dusta. Dulu sebelum menyerang Libya, mereka mengutuk Khaddafi karena tidak demokratis, memasung hak-hak politik warganya.

Beberapa pengusaha Amerika Serikat ikut bicara bahwa Libya lebih mementingkan stabilitas politik dan ekonomi daripada demokrasi. Menurut saya, pendapat para pengusaha itu cukup bego karena kalau sudah stabil politik dan ekonomi, itu kan artinya bagus. Bukankah demokrasi juga dalam berbagai kajiannya mengarah pada kestabilan politik dan ekonomi? Pusing tuh para pengusaha AS, ngomongnya nggak bener.

Sekarang, berita terbaru, setelah AS dan Nato-nya menggempur Libya yang dibantu penduduk lokal anti-Khaddafi, Khaddafi menyatakan siap untuk berdemokrasi. Anaknya sendiri mengatakan akan melaksanakan demokrasi pada tiga bulan mendatang. Mestinya, pernyataan Khaddafi dan keluarganya itu menghentikan brutalitas AS dan Nato karena dulu kan alasan penyerangannya adalah untuk menciptakan demokrasi. Akan tetapi, apa yang terjadi? Anehnya, Nato dan AS menolak rencana demokrasi yang akan digelar itu. Jadi, apa sebetulnya yang diinginkan orang-orang stress itu?

Para penjahat barat itu tak lain dan tak bukan hanya menggunakan isu demokrasi untuk menggulingkan Khaddafi agar bisa lebih mudah merampok Libya. Mereka itu cuma perampok. Sesungguhnya, nggak ada urusan dengan demokrasi. Demokrasi hanyalah dagangan basi di emperan lokalisasi pelacuran. Mereka tak peduli Libya mau demokratis atau tidak. Mereka hanya ingin merampok.

Penolakan itu mungkin juga berdasarkan perhitungan bahwa demokrasi akan tetap menjadikan Khaddafi penguasa. Khaddafi akan menang dalam pemilihan. Kalau mereka setuju demokrasi, lalu Khaddafi menang, mereka harus pulang gigit jari. Mereka tidak mau itu terjadi. Mereka tetap mau merampok.

Hal tersebut pernah terjadi di Indonesia secara nyata. Dulu pada akhir-akhir kekuasaan Soekarno, Soekarno disebut-sebut sebagai diktator, otoriter, tidak demokratis, dan segerobak fitnah lainnya. Padahal, Soekarno sendiri tidak pernah ingin menjadi diktator dan tidak setuju sistem yang otoriter-totaliter. Salah satu bukti yang menegaskan Soekarno tidak setuju pemerintahan diktator adalah laporan resmi pemerintah berdasarkan dokumen utama Bisap (Biro Informasi Staf Angkatan Perang) sebagaimana di bawah ini.

Kol. Nasution : Kami minta kepada Presiden dapat menerima tentang adanya “keadaan bahaya” di seluruh Indonesia dan supaya Presiden dapat mengambil kekuasaan sebagai Panglima Tertinggi.

Presiden : Apakah Saudara-saudara menghendaki saya sebagai diktator?


Kol. Nasution
: Jika Perlu.


Presiden : Jika saya menjadi diktator, bagaimana saya kalau memecat Saudara-saudara sekalian?


Cukup bukti, bukan?

Meskipun dokumen ini belakangan pada masa Orde Baru dinyatakan palsu, tetapi tak mudah menghilangkan kesan adanya keinginan dari Angkatan Darat untuk menghentikan kerja-kerja DPR yang dianggap telah menggoncangkan keadaan negara saat itu dengan memaksa Soekarno untuk mengambil alih kekuasaan secara mutlak. Buktinya, Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari KSAD Nasution saat itu.

Ketika Soekarno sudah sangat tersudut dan disebut tidak demokratis, ia pun menantang untuk mengadakan Pemilu. Sebenarnya, Soekarno memang sangat anti terhadap demokrasi, baca saja di dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, kita akan menemukan kritikan-kritikan kerasnya terhadap demokrasi, di blog ini juga ada kok, beberapa, cari saja. Kalaupun ia melaksanakan Demokrasi Terpimpin, itu hanyalah sebagai bentuk kompromi antara pendukung demokrasi dengan keyakinannya sendiri yang antidemokrasi. Ia hanya ingin bangsa ini tetap berjalan bersama, tidak terpecah belah. Akan tetapi, meskipun tidak setuju dengan demokrasi, dalam keadaan terpaksa, ia mengamini demokrasi. Ia pun menantang Soeharto dan Angkatan Darat untuk bertarung di kancah pemilihan. Meskipun harus berdemokrasi, Soekarno sangat yakin menang karena sebagian terbesar rakyat masih berada di belakangnya.

Dalam pidato 17 Agustus 1966 yang berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Soekarno berkata lantang menantang:

“Berkali-kali sudah aku katakan bahwa kita harus menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin karena pemilihan umum adalah satu-satunya cara mengetahui kehendak rakyat, mengetahui keinginan rakyat yang sebenarnya, mencari penjelasan tentang tuntutan-tuntutan yang dikemukakan atas nama rakyat dan untuk memperbaiki anggota-anggota lembaga-lembaga negara ....”

Apa yang terjadi setelah tantangan itu?

Soeharto dan Angkatan Darat mulai ketar-ketir. Mereka tahu benar popularitas Soekarno bisa menggulung Orde Baru melalui proses demokrasi. Oleh sebab itu, Soeharto menolaknya. Yang paling nyata adalah pernyataan Konferensi Kerja Kasi Djaja dan Delegasi Kami Konsulat Bandung, yaitu menolak Pemilu dengan alasan tidak sesuai dengan aspirasi Tritura dan Orde Baru. Suatu alasan yang aneh dan lucu. Dulu mereka menyudutkan Soekarno karena tidak demokratis dan otoriter. Akan tetapi, ketika ditantang dalam Pemilu, malah tidak mau karena takut kalah. Hal itu menjelaskan dugaan bahwa demokrasi itu tidak penting karena yang penting adalah mendapatkan kekuasaan, Soekarno jatuh, dan kapitalis yang dipimpin AS bisa senang. Itu saja.

Pemilu memang digelar, tetapi setelah Soekarno wafat. Bisa diduga bahwa Orde baru menggelar Pemilu setelah Soekarno wafat adalah supaya lebih nyaman. Meskipun demikian, ternyata tidak senyaman yang diharapkan karena para pendukung Soekarno sampai hari ini tetap ada dan masih kuat.

Kejadian itu mirip sekali dengan yang terjadi di Libya sekarang, bukan? Menggembar-gemborkan demokrasi, menyudutkan Khaddafi, tetapi ketika ditantang Pemilu, mereka takut, malah ngajak terus perang. Alasan AS tidak mau demokrasi adalah sudah terlambat. Sudah terlambat? Alasan apa itu? Kalau di Indonesia kata-kata itu hanya keluar dari seorang preman egois di pasar-pasar atau terminal. Alasan pemimpin oposisi Libya malahan menunjukkan kebodohan dirinya, yaitu tidak mau Pemilu karena Khaddafi sudah kehilangan legalitas. Kehilangan legalitas? Memang apanya yang hilang dari Khaddafi? Ia masih punya wilayah, masih punya rakyat, berperan sebagai pemimpin, negara-negara di dunia masih mengakui bahwa dia adalah pemimpin Libya. Bukankah itu yang dinamakan legalitas sebuah negara: ada wilayah, ada rakyat, ada pemimpin, dan ada pengakuan dari dunia internasional? Jadi, kekacauan yang ditimbulkan AS dan Nato itu apa artinya?

Artinya, demokrasi itu adalah alat bagi diktator kapitalistis untuk mengumpulkan modal dan kekayaan, baik halal maupun haram di mana saja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan itu cocok sekali dengan kultur AS dan barat yang dalam sejarah hidupnya dipenuhi kekerasan dan pelarian karena tekanan gereja. Kita bukanlah mereka. Jadi, tidak perlu itu yang namanya demokrasi titik.

No comments:

Post a Comment