Saturday 18 June 2011

Demokrasi X Pancasila = - X + = -

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Demokrasi dikali Pancasila sama dengan negatif dikali positif sama dengan negatif. Begitu cara membaca judul di atas.

Demikian pula demokrasi dikali gotong royong, sebagaimana yang dikatakan Presiden SBY yang dikatakan lagi oleh Taufik Kiemas, suami Megawati, demokrasi gotong royong, hasilnya pasti negatif. Juga sama dengan yang sering dikatakan Mahfud MD dalam tayangan iklan MK, demokrasi dikali martabat atau demokrasi bermartabat, hasilnya jelas-jelas bakal negatif.

Demokrasi itu memiliki nilai negatif. Adapun Pancasila, gotong royong, maupun martabat memiliki nilai positif. Negatif dikali positif hasilnya jelas negatif.

Kalau mau bertahan dalam demokrasi, tinggalkan Pancasila, gotong royong, dan martabat. Begitupula sebaliknya, kalau mau hidup dalam Pancasila, gotong royong, dan martabat, tinggalkan demokrasi. Harus begitu jalan berpikirnya, hitam putih, haram untuk abu-abu. Nggak ada waktu lagi untuk bersikap ragu-ragu.

Demokrasi tidak bisa disandingkan dengan Pancasila, gotong royong, maupun martabat. Hal itu disebabkan demokrasi merusakkan Pancasila, gotong royong, maupun martabat. Meskipun sudah berkali-kali ditulis mengenai keburukan demokrasi dalam blog ini, tak ada salahnya dijelaskan lagi sedikit. Demokrasi itu akan membuat manusia saling curiga dan itu merusakkan sila kedua dari Pancasila. Demokrasi itu menimbulkan konflik dan itu merusakkan sila ketiga. Demokrasi mengajarkan perdebatan, pertengkaran, perselisihan, persaingan, dan itu merusakkan sila keempat. Demokrasi menghambur-hamburkan biaya dan itu merusakkan sila kelima. Lambat laun demokrasi pun akan menghajar sila pertama karena orang ingin bebas sebagaimana orang-orang di luar Indonesia yang cenderung lebih bebas.

Dalam setiap periode perjalanan bangsa ini, sila-sila dari Pancasila selalu saja menjadi “bulan-bulanan”, tetapi selalu dijadikan landasan kedustaan. Meskipun demikian, satu sila yang lebih kukuh hampir tidak bisa dirusakkan adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Jenderal Soeprapto (2004), penulis buku Pancasila Menjawab Tantangan Globalisasi, sila pertama ini selalu terlindungi ketika sila-sila yang lain dikhianati. Akan tetapi, pada masa ini tampak sila pertama ini pun mulai hampir tersentuh pengkhianatan.

Supaya tidak terlalu pusing, sebaiknya kita sederhanakan, jangan dibahas sila demi sila kemudian disandingkan dengan demokrasi. Begini saja, Pancasila itu jika diperas akan menjadi Trisila. Trisila jika diperas lagi akan menjadi Ekasila. Ekasila itu adalah gotong royong. Gotong royong itulah yang merupakan intisari dari keseluruhan nilai-nilai Pancasila. Gotong royong itu merupakan kebiasaan atau perilaku yang bermartabat. Nilainya positif.

Nah, mari kita lihat apakah demokrasi bisa selaras dengan gotong royong atau tidak. Kita harus melihat dari kenyataannya, bukan dari teori-teori atau kajian-kajian pustaka dari berbagai literatur. Kalau menurut berbagai teori, demokrasi itu bernilai positif, isinya ... bla ... bla ... bla .... pret .... yang semuanya cuma ngalamun, ukur dongeng, kahayang bari wadul, ‘lamunan, hanya dongeng, keinginan tanpa kenyataan’. Demokrasi itu sama dengan melak sugan dina lamunan diceboran ku boa-boa matak panen kumaha engke, ‘menanam benih coba-coba di tanah lamunan disirami siapa tahu yang panennya buah bagaimana nanti’. Berbeda dengan gotong royong yang jelas sudah terlaksana dan terbukti mampu menjadi alat pemersatu kehidupan berbangsa dan bernegara meskipun tidak harus ada di dalam lembaran negara. Gotong royong merupakan jiwa asli dari bangsa Indonesia yang saat ini sudah sangat tergerus demokrasi meskipun tetap masih ada di dalam setiap jiwa. Menurut Pitut Soeharto, penyusun disertasi mengenai Pancasila, jika kita ingin belajar Pancasila, belajarlah dari kehidupan orang-orang kecil (masa lalu karena orang kecil sekarang banyak yang jadi pencoleng akibat susah hidup di alam demokrasi). Itu artinya, Pancasila atau gotong royong sudah tumbuh dan hidup dalam masyarakat Indonesia sejak lama.

Kita lihat kenyataannya. Zaman Demokrasi Masa Pergerakan hancur karena konflik kepentingan dengan kolonial Belanda, tak ada gotong royong di sana. Di samping itu, memang Pancasila pun belum ada.

Zaman Demokrasi Pascakemerdekaan yang ada cuma konflik. Kabinet jatuh bangun dalam waktu yang pendek-pendek, lebih pendek daripada menyelesaikan studi SMP, bahkan mungkin periode kerjanya kurang lebih sama dengan waktu kerja panitia tour pariwisata ke Pangandaran atau Ragunan. PKI membesar dan semakin kukuh. Sipil dan militer curiga-mencurigai. NKRI menjadi RIS. Jatuhlah masa ini. Di mana gotong royong? Di mana Pancasila? Tidak ada. Konflik itu bertolak belakang dengan gotong royong, sedangkan gotong royong itu adalah intisari Pancasila.

Zaman Demokrasi Terpimpin. Dalam periode ini ada kedekatan dengan Pancasila. Pada masa ini negara didorong melaksanakan musyawarah untuk mufakat dengan nilai-nilai gotong royong dalam satu kekuasaan sentral, Ir. Soekarno. Hasilnya oke, bagus, membanggakan. Berbagai kegiatan pembangunan dan hubungan luar negeri berjalan sangat baik. Kedaulatan negara sangat terjaga dan sangat dihormati seluruh bangsa di dunia. TNI menjadi angkatan bersenjata nomor empat terkuat di dunia. Akan tetapi, sayangnya, hanya sebentar, sekitar enam tahun. Hal itu disebabkan Soekarno jatuh sakit. Penyakit partai mulai tampak lagi, yaitu rebutan kekuasaan. Kapitalis dan komunis berebut posisi jika terjadi apa-apa terhadap Soekarno. Syahwat perebutan politik ini terus membengkak sehingga posisi Soekarno menjadi tersudut. Negara pun goncang. Terjadi peristiwa menghebohkan, yaitu G-30-S. Sejak itu masa ini semakin menurun dan jatuh. Sejak Soekarno jatuh sakit, gotong royong sudah tak ada lagi, Pancasila pun semakin jauh. Konflik terus terjadi.

Zaman Demokrasi Pancasila. Konflik dari masa Demokrasi Terpimpin berlanjut pada masa ini. Saling curiga semakin keras. Penguasa membungkam partai-partai saingannya. Pembekuan Ormas-ormas. Penggiringan dan pemaksaan pemilih. Intimidasi. Penculikan aktivis, Pembunuhan misterius. Huru-hara. Korupsi, kolusi, nepotisme jadi tontonan dan tuntunan. Di mana gotong royong? Di mana Pancasila? Ada di dalam dustanya penguasa. Pancasila cuma jadi slogan, kedok, tameng perilaku-perilaku yang justru tidak Pancasilais dan jauh dari gotong royong.

Zaman Demokrasi Masa Reformasi. Wuah, paling males nih. Soalnya kan nggak perlu diterangkan lagi, semuanya sudah pada tahu konflik-konflik yang terjadi dan kekacauan yang timbul. Gus Dur jatuh karena konflik. Megawati konflik dengan Hamzah Haz dan SBY. Partai-partai konflik. Pemilihan Kadal menimbulkan pertarungan fisik. Teroris menjadi-jadi. Penjahat makin banyak. Korupsi berkecamuk. Di mana gerangan gotong royong? Addduuuhhh .... kalau gotong royong tidak ada, berarti tidak Pancasilais.

Dari berbagai pengalaman itu, jelas sekali demokrasi bertentangan dengan gotong royong. Artinya, demokrasi itu tidak Pancasilais. Demokrasi bertentangan dengan Pancasila, bertentangan dengan jiwa bangsa, dan bertentangan dengan hidup bermartabat.

Salam hormat kepada para profesor, guru besar, doktor, birokrat, teknokrat, dan orang-orang cerdas senusantara! Saya diberi tahu kalau suatu fenomena sudah terjadi berulang-ulang selama tiga kali, itu sudah bisa menjadi sebuah teori. Benarkah itu? Kalau benar, demokrasi sudah lima kali bertentangan dengan gotong royong dan Pancasila, itu artinya sudah bisa menjadi teori bahwa demokrasi tidak bisa diterapkan di Indonesia yang memiliki jiwa gotong royong berlandaskan Pancasila.

Ngapain lagi sih memelihara demokrasi? Sudah jelas rusak kok dipelihara? Jadi herman saya ... e eh ... jadi heran saya. Cik atuh euy, kumaha ieu teh.

Sebaiknya, kita semua belajar dari sejarah dan budaya kita sendiri. Itu sudah menjamin kepastian. Tanda-tanda kejayaan Indonesia ada dalam kejayaan sejarah dan budaya kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara pra-VOC. Kita tinggal mengumpulkan semuanya, kemudian meraciknya dengan penuh cinta dan semangat sehingga memiliki sistem dan struktur politik khas Indonesia. Itu adalah lebih baik daripada yang sekarang. Demi Allah swt.

No comments:

Post a Comment