Wednesday, 8 June 2011

Demokrasi Mirip Kencing Berdiri Melawan Arah Angin

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Saya tidak menyarankan, tetapi pernahkah Saudara-saudara kencing berdiri sambil melawan arah angin? Kalau mau coba, silakan, asal sendirian kencing di lapangan terbuka sambil berdiri. Jangan ngajak orang lain, apalagi berbeda jenis kelamin. Sendirian saja jangan rame-rame. Kalau rame-rame, apalagi dengan beda jenis kelamin, bisa kacau situasi. Lakukan saja sendirian, apalagi kalau angin sedang kencang dan berada di tempat yang tinggi, pasti seru hasilnya.

Laki-laki atau perempuan kalau kencing berdiri melawan arah angin, akan sama saja hasilnya. Mungkin perempuan akan lebih heboh hasilnya karena...., tetapi ... ah ... saya tidak tahu... dan tidak ingin membayangkannya. Pembaca juga jangan mulai membayangkan hal-hal yang aneh. Itu tidak baik. Sumpah, tidak baik.

Saya hanya mencoba mencari cara agar pembaca yakin bahwa demokrasi itu sistem politik rendahan yang merugikan semua orang. Kemudian, kita semua kembali pada jati diri kita dan mulai menata kehidupan politik sesuai dengan jiwa kita sendiri.

Ketika kencing memang enak. Maksudnya orang normal kalau kencing pasti enak. Kalau orang sakit di rumah sakit, kan nggak enak.

Ketika air seni keluar, nikmat, bukan? Sayangnya, angin dari depan kencang sekali sehingga membuat air seni yang keluar tidak terkontrol dan tidak bisa dikoordinasikan dengan baik. Semakin lama kencing, semakin merepotkan. Hasilnya, jelas tidak sesuai harapan dan akibatnya pun menjijikan.

Oleh sebab itu, saya sangat tidak menyarankan melakukan hal itu. Namun, kalau ingin meyakinkan, coba saja, tanggung jawab sendiri.

Begitulah demokrasi mirip sekali dengan kencing berdiri melawan arah angin. Ketika di awal-awal reformasi semua orang senang bisa memilih sesuai hatinya masing-masing. Enak dan bebas rasanya. Akan tetapi, dalam hitungan jam akibatnya sudah sangat terasa. Orang-orang yang dianggap penyakit masih bisa duduk berkuasa. Mulailah efek angin depan terasa.

Rakyat adalah yang paling awal merasakan keburukan akibat demokrasi itu. Koruptor masih kuat berdiri, ekonomi tak juga membaik, pertengkaran-pertengkaran mulai terjadi, hukum pun sangat lemah.

Saat ini bukan hanya rakyat yang kecipratan air kencing itu, melainkan juga mereka yang duduk di puncak-puncak kekuasaan. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sangat mempertahankan demokrasi. Borok-borok partai terbuka jelas. Mahalnya membiayai demokrasi memunculkan tindakan korup yang nyata. Untuk menjadi pemenang, cari uang kasak-kusuk entah haram, entah halal. Ketika perilaku-perilaku korup itu terbuka, efek air kencing yang tertiup angin berhamburan itu sangat terasa.

Untuk bisa bertahan dan menang dalam demokrasi, harus punya uang. Uang itu dari mana? Dari iuran anggota? Nonsense! Harus ada departemen dalam partai yang mempersiapkan dana-dana untuk kampanye itu. Keinginan yang besar untuk menang menimbulkan pula kebutuhan yang besar terhadap uang. Semakin banyak uang, semakin besar kemungkinan untuk menang.

Ketika harus dilakukan tindakan hukum terhadap perilaku dan pelaku korup tersebut, banyak yang tersandera karena ternyata banyak juga yang mendapatkan keuntungan dari perilaku korup yang terjadi. Cipratan air kencing itu semakin terasa bau menyengat.

Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi turun. Demikian pula keyakinan terhadap partai dan anggota dewan semakin rusak. Masyarakat pun mulai kesal dengan proses-proses politik yang terjadi dan memang tak ada solusi untuk menyelesaikan itu semua. Ketika ada solusi, pasti ada yang menjegal karena merasa terancam dengan solusi tersebut. Terjadilah adu bacot dan adu kekuatan politik, itulah demokrasi.

Saat masyarakat benar-benar putus asa, kemudian mengambil jalan pintas yang mereka pikir sendiri baik, kekacauan akan menjadi-jadi. Kejijikan air kencing itu akan sangat terjadi nyata. Masyarakat menilai sudah tidak ada lagi yang benar di republik ini. Seluruh lembaga penyelenggaraan negara tidak akan lagi dihormati, kekesalan pun memuncak. Para elit tersandera oleh kepentingannnya masing-masing. Mereka pun bingung sendiri. Saat itulah para elit kudisan akan tenggelam dalam “air kencingnya sendiri”.

Sudah saya bilang, kembali pada diri kita, kembali pada kekuatan kita, kembali pada kesucian diri kita. Dengan itulah kita bisa mengendalikan potensi negeri ini untuk kemakmuran bersama secara utuh, seimbang lahir maupun batin. Masa sih tidak mau.

No comments:

Post a Comment