Tuesday 7 June 2011

Demokrasi Adalah Berhala

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Demokrasi itu adalah berhala. Siapa pun yang menyembah berhala berarti musyrik. Orang-orang musyrik akan beroleh kehinaan di dunia dan jika tidak bertaubat, akan mendapatkan siksa yang mengerikan di akhirat kelak.

Berhala adalah sesuatu yang tidak patut disembah, dipuja, diagungkan, dipatuhi, dan diikuti, tetapi tetap disembah, dipuja, diagungkan, dipatuhi, dan diikuti. Berhala merupakan sesuatu yang dipentingkan, tetapi sebenarnya tidak harus dipentingkan. Bentuk berhala bisa bermacam-macam, bisa materi ataupun nonmateri.

Demokrasi adalah berhala yang berbentuk nonmateri. Ia adalah sebentuk konsep atau gagasan yang disembah, dipuja, diagungkan, dipatuhi, dan diikuti dengan segenap jiwa raga. Orang-orang menganggap bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dan terunggul yang dapat menyelamatkan manusia. Mereka, para pemujanya, menutup diri dari sistem mana pun di luar demokrasi. Bagi mereka, demokrasi adalah segala-galanya, sedangkan sistem lain adalah salah atau rendah.

Wajar, karena di dalam isi kepala mereka cuma ada demokrasi, otoriter-totaliter, atau Negara Islam. Mereka berpikiran seperti itu karena buku-buku yang dijadikan rujukan di tempat kuliahnya berasal dari barat. Jadi, cuma ada pemikiran produk barat yang ada di kepala mereka. Padahal, barat sendiri dari dulu sampai sekarang menderita penyakit tidak enak tidur, sering gelisah, cemas, khawatir terhadap masa depan, curang, iri, dengki, dan seabrek penyakit lainnya. Karena kita juga diarahkan oleh orang-orang yang berpikiran barat, kita pun menjadi punya penyakit yang sama dengan orang-orang barat itu.

Sesungguhnya, ada sistem lain yang belum pernah diajarkan di muka Bumi ini yang tidak demokratis sekaligus tidak otoriter-totaliter. Sistem ini sungguh menghindarkan manusia dari bahaya demokrasi plus kekejaman otoriter. Cobalah selami diri sendiri dalam arti berkaca pada keluhuran nilai-nilai bangsa yang merupakan anugerah besar dari Allah swt, kita akan menemukan sistem yang teramat tepat bagi kita sendiri. Demi Allah swt yang setiap hari tangan-Nya memegang nyawa saya.

Demokrasi sudah menjadi berhala bagi sebagian masyarakat Indonesia. Bagi sebagian masyarakat lain, demokrasi bukanlah berhala karena tidak menganggap sistem itu adalah yang terbaik dan terunggul. Saya contohnya, bukanlah penggemar demokrasi, melainkan penghina berat demokrasi.

Burhanudin Muhtadi, pengamat politik, memperjelas penyembahan berhala itu oleh masyarakat Indonesia. Ia mengatakan bahwa demokrasi itu sudah menjadi iman. Maksudnya, masyarakat tetap mempertahankan demokrasi walaupun banyak kerusakan yang terjadi. Masyarakat tidak menyalahkan demokrasi, tetapi menyalahkan praktik-praktik tidak terpuji yang terjadi dalam rangka melaksanakan demokrasi. Padahal, perbuatan-perbuatan tidak terpuji tersebut bersumber dari Dewa Demokrasi.

Hal tersebut sudah dijelaskan oleh Prabu Siliwangi ratusan tahun silam, yaitu dengan kata-kata naritah deui nyembah berhala, ‘menyuruh lagi menyembah berhala’. Berhala yang dimaksud adalah kultus pemikiran terhadap sistem politik demokrasi. Prabu Siliwangi tahu benar bahwa mereka yang menjadi elit, penguasa, birokrat, politisi, akademisi, sampai ahli agama pada masa sekarang kita hidup ini menyuruh rakyat untuk menyembah berhala yang namanya demokrasi. Mereka yang sekarang sedang manggung di berbagai bidang terus menggembar-gemborkan bahwa demokrasi itu sistem politik yang terhebat tak ada yang mengalahkan meskipun tahu benar bahwa sistem ini telah rusak luar-dalam.

Apa akibat dari penggunaan demokrasi?

Prabu Siliwangi menegaskan akibat buruk dari penggunaan sistem politik demokrasi, yaitu:

Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Artinya:

Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya. Ya pasti atuh, bunga teratai kosong sebagian, bunga kapas hampa buahnya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Apa ada yang salah dari kata-kata Sang Prabu, Raja Sunda, ratusan tahun silam itu? Kalau ada yang salah, coba tunjukkan di mana.

Perhatikan kalimat terkakhir:

Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Menurut Prabu Siliwangi, yang bersalah adalah rakyat karena telah memilih orang-orang yang tidak beres. Artinya, sistem politik demokrasi telah menipu rakyat sehingga digiring untuk memilih orang-orang brengsek. Adapun orang-orang yang pintar kesalahannya adalah tidak menggunakan kepintarannya untuk kemuliaan manusia dan kemanusiaan. Mereka hanya menggunakan kepintarannya sekedar untuk mencari makan, uang, dan kesenangan. Jadi, tidak ada bedanya antara orang pintar dengan tukang kue serabi, tukang jamu, atau tukang rongsokan. Mereka semua cuma cari makan. Itulah yang dinamakan pinter keblinger yang biasanya pengen menang sendiri, padahal tahu bahwa dirinya bersalah.

Hal senada diucapkan pula oleh Jayabaya. Jayabaya dan Prabu Siliwangi berbeda masa, berbeda suku, dan berbeda tempat. Mereka berdua tidak pernah bertemu, tetapi mengatakan hal yang sama tentang Indonesia saat ini. Padahal, mereka hidup ratusan tahun yang lalu.

Jayabaya mengatakan bahwa rakyat Indonesia akan menjadi penyembah arca terlentang. Maksudnya, rakyat Indonesia sebagian besar adalah memuja cara-cara hidup orang lain yang rapuh. Para penyembah berhala zaman dahulu menyembah arca-arca yang berdiri tegak, tetapi rakyat Indonesia saat ini menyembah arca yang terlentang. Artinya, arca/patung yang tidak tegak berdiri alias rapuh.

Cara-cara hidup orang lain itu adalah demokrasi. Arca terlentang itu adalah demokrasi. Patung yang rapuh itu adalah demokrasi.

Kata Jayabaya, “Bergelar pangeran perang. Kelihatan berpakaian kurang pantas, namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak yang menyembah arca terlentang.

Demokrasi membuat hidup orang-orang menjadi ruwet. Keruwetan-keruwetan yang menggoncangkan seluruh bangsa ini akan diselesaikan atau diatasi oleh “seseorang” yang punya gelar Pangeran Perang. Pangeran ini berasal dari golongan ekonomi menengah-bawah karena berpakaian pun tidak pantas, hidup dalam keadaan susah. Ia yang dimaksud Jayabaya dan Prabu Siliwangi sebagai Ratu Adil kelak.

Bagi saya, demokrasi itu adalah sistem politik yang sangat rapuh mirip dengan rumah laba-laba yang kelihatannya canggih, rumit, njelimet, tetapi lemah. Dalam Al Quran, Allah swt menegaskan bahwa bangunan yang paling lemah dan rapuh di muka Bumi ini adalah bangunan rumah laba-laba.

Jadi, sudahi saja menyembah berhala yang namanya demokrasi. Tak ada gunanya diteruskan. Kembalilah pada nilai-nilai luhur yang telah dianugerahkan Allah swt kepada kita.

Jawadah tutung biritna sacarana-sacarana, ‘setiap bangsa memiliki cara hidup yang berbeda-beda’.

Masih ingat teori civilization crash, ‘benturan budaya’?

Mari kita benturkan saja sekalian mulai saat ini, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari yang paling kecil. Kita yakini bahwa Indonesia adalah sangat kaya raya dengan keluhuran budi pekerti manusia dan jika dibenturkan dengan barat pasti, pasti, pasti menang. Jangan takut, kita ini keturunan para pemenang perang.

No comments:

Post a Comment