Tuesday 7 June 2011

Kadang-Kadang Rada-Rada

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kadang-kadang rada-rada, begitu yang sering diucapkan Coker Cowok Keren dalam sinetron Islam KTP yang ditayangkan SCTV. Saya juga jadi pengen bicara seperti itu melihat situasi negeri ini. Saya juga sebenarnya Coker Cowok Kertas. Saya kan penulis yang setiap hari tidak bisa lepas dari kertas.

Kadang-kadang rada-rada nih orang-orang. Kita, negeri ini, sudah mengalami lima kali terjatuh dalam keburukan yang sama, tetapi anehnya tidak pernah belajar dari kejatuhan tersebut, malahan sepertinya ingin terus terjatuh, bangga lagi. Kadang-kadang rada-rada.

Ayah saya mengajarkan bahwa kalau terjatuh ke dalam lubang satu kali, itu biasa. Kalau terjatuh dua kali pada lubang yang sama, itu normal, wajar. Kalau masih terjatuh juga ketiga kalinya pada lubang yang sama, itu artinya goblok.

Negeri ini, Indonesia tercinta, sudah lebih dari goblok karena sudah lima kali terjatuh, tetapi pengen jatuh lagi untuk yang keenam kalinya. Kadang-kadang rada-rada.

Kejatuhan pertama. Kita sudah melaksanakan demokrasi pertama kali pada masa pergerakan kebangsaan yang ditandai dengan adanya volksraad. Akan tetapi, semuanya sama sekali hampir tidak berguna karena sistem demokrasi ini dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Haji Agus Salim mengatakannya sebagai tempat komidi omong. Mungkin maksudnya tempat orang-orang melawak. Sistem ini jelas jatuh karena bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kolonial Belanda. Sistem ini jatuh oleh proses revolusi.

Kejatuhan kedua. Demokrasi Pascakemerdekaan. Pada masa ini digunakan sistem multipartai. Banyak sekali partai warna-warni. Hasilnya PKI menjadi nomor empat terbesar partai pemenang Pemilu sekaligus mengukuhkan diri sebagai partai komunis terbesar di dunia. Di samping itu, kabinet jatuh bangun dalam waktu yang pendek-pendek sehingga ekonomi tidak berjalan baik. Tambahan pula terjadi situasi curiga-mencurigai antara sipil dengan militer. Kartosoewiryo pun memproklamasikan NII karena tidak setuju hasil Perundingan Renville yang menurutnya menguntungkan Belanda. Ujungnya adalah terciptanya negara boneka RIS (Republik Indonesia Serikat) yang tidak laku itu. Demokrasi ini pun jatuh membuat penduduk RI jatuh pula secara mengenaskan.

Kejatuhan ketiga. Demokrasi Terpimpin. Memang pada masa ini Indonesia mencapai kemajuan yang signifikan di berbagai bidang, tak ada kekisruhan atau kegaduhan politik yang berarti karena semuanya berada dalam kepemimpinan Ir. Soekarno secara gotong royong. Akan tetapi, karena memang masih demokrasi juga, terjadi pertikaian meruncing antara kapitalis dan komunis. Ketika Soekarno jatuh sakit, kapitalis menggunakan kekuatan politik nonkomunis dan militer untuk menghabisi komunis. Sebaliknya, komunis menggunakan PKI sebagai kekuatannya untuk mencapai kekuasaan. Ujung-ujungnya G-30-S yang mengakibatkan terbunuhnya jutaan warga Indonesia, kekacauan politik, dan kesemrawutan sejarah bangsa. Jatuhlah demokrasi ini dalam keadaan rakyat penuh derita.

Kejatuhan keempat. Demokrasi Pancasila. Dalam awal masa ini terjadi peningkatan ekonomi yang cukup tinggi. Akan tetapi, terjadi korupsi, kolusi, nepotisme besar-besaran yang membuat negara berhutang banyak yang harus ditanggung oleh rakyat. Hak-hak politik rakyat dipasung, suara kritis diberangus, banyak terjadi penculikan dan pembunuhan yang tak jelas. Ujung-ujungnya krisis moneter yang berpengaruh langsung pada krisis ekonomi yang berubah menjadi krisis multidimensi. Jatuhlah Demokrasi Pancasila bebarengan dengan jatuhnya Soeharto.

Kejatuhan kelima. Demokrasi Masa Reformasi. Pada awal masa ini digaungkan kembali “kejayaan Pemilu 1955” yang multipartai itu. Menurut banyak pihak, Pemilu 1955 adalah Pemilu yang paling hebat. Paling hebat? Kadang-kadang rada-rada. Okelah, Pemilu itu memang lebih bersih dibandingkan Pemilu dalam zaman Orde Baru. Akan tetapi, proses sistem politik yang terjadi selanjutnya diabaikan, tidak diperhatikan, padahal banyak sekali kekisruhan. Itukah sistem politik yang hebat? Kadang-kadang rada-rada.

Saya tidak ingin menggambarkan kesemrawutan Demokrasi Masa Reformasi sejak awal sekali karena terlalu banyak kekacauan dan terjadinya gap antara harapan dan kenyataan. Kalau saya uraikan satu demi satu, pasti saya akan banyak bilang kadang-kadang rada-rada.

Yang ingin saya tulis adalah yang terjadi baru-baru ini atau sedang berlangsung. Saat ini kita menyaksikan bersama bagaimana terjadinya konflik yang tajam di antara elit yang terkesan mementingkan kepentingannya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Korupsi semakin menjadi-jadi. Penegakan hukum melemah karena tebang pilih dan menyeret pusaran kekuasaan. Pertarungan akibat Pemilihan Kadal tetap terjadi. Borok-borok partai lebih terbuka. Disintegrasi bangsa berlanjut secara bertahap. Penegak hukum tidak lagi memiliki wibawa, bahkan banyak yang mati ditembak secara misterius. Wuih, saya bilang juga pasti akan terlalu banyak. Kadang-kadang rada-rada. Pembaca bisa membuat daftar sendiri kekacauan yang terjadi, sekarang ini mudah kan membuatnya karena ada berbagai stasiun televisi dan inernet.

Memang belum terjatuh benar, tetapi bagaimana pun pasti jatuh. Jatuhnya pasti sakit sekali dan akan banyak orang yang merasa malu. Itu pasti.

Orang-orang yang masih percaya demokrasi pun sebenarnya menyadari kekusutsamutan yang terjadi, tetapi masih percaya juga terhadap demokrasi. Tandanya, mereka memiliki keinginan untuk mengevaluasi sistem politik demokrasi yang terjadi sekarang, kemudian melakukan berbagai perbaikan, menambal bolong-bolong yang ada. Kadang-kadang rada-rada. Kalau sistem demokrasi sekarang diperbaiki, namanya akan berubah lagi entah demokrasi apa. Sudah lima kali kita berdemokrasi, tetapi masih mau melakukan lagi demokrasi dengan nama dan sifat yang lain. Kadang-kadang rada-rada.

Halo semuanya, kalau ban motor atau mobil kita sudah lebih dari tiga kali ditambal, biasanya tukang tambal ban menyarankan untuk diganti saja dengan yang baru karena moal baleg, ‘tidak akan benar’. Masa ini demokrasi yang sudah lima kali bocor mau dipakai lagi? Kadang-kadang rada-rada.

Kalau mau selamat, cepat hentikan demokrasi, kemudian pikirkan sistem politik baru yang berasal murni dari dalam jiwa bangsa. Jangan ngikut-ngikut sistem politik orang lain.

Nggak mampu ya bikin sistem dan struktur politik sendiri? Nggak bisa ya? Kenapa atuh nggak nanya? Kalau nggak ngerti, harusnya unjuk jari. Kalau nggak unjuk jari, berarti pura-pura tahu, padahal nggak tahu, akhirnya jadi sok tahu. Nanya dong, nanya!

Tanya sama Allah swt. Dia kan yang menciptakan kita. Dia tahu jalan keluarnya. Nanya dong! Caranya, baca tulisan saya yang judulnya Teori Jam Dinding, masih di blog ini juga. Kalau masih belum ngerti juga caranya, ntar saya kasih tau.

Nanya! Jangan sok tahu! Nanya donks! Kadang-kadang rada-rada.

No comments:

Post a Comment