oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Beragam cara dan
pendapat digunakan untuk melakukan pembenaran terhadap sistem politik demokrasi
yang sesungguhnya bejat dan memalukan umat manusia. Orang-orang berlelah-lelah
mencari alasan untuk memperkuat dugaan bahwa demokrasi adalah sistem politik
terbaik. Di samping itu, mereka menutup rapat telinga, mata, dan hati terhadap
kerusakan sistem politik demokrasi. Mereka adalah orang-orang yang masih gemar
mengikuti produk-produk pemikiran barat dan merasa diri sudah cerdas dengan
mengekor pendapat orang-orang kapitalis.
Yang lebih menyedihkan sekaligus memuakkan adalah mereka
menggunakan ajaran Islam untuk mempertahankan demokrasi. Padahal, demokrasi itu
adalah penghinaan terhadap manusia, pelecehan terhadap Islam, lebih jauhnya
pembangkangan terhadap Allah swt. Nggak percaya? Coba pelajari lagi itu Islam
dan keinginan Allah swt terhadap manusia. Dalam Islam, dalam Al Quran, banyak
keterangan yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya
manusia itu kebanyakan tidak beriman, gemar membantah, berpikiran jahil, jauh
dari kebenaran, menolak kebaikan, sering melakukan keburukan, dan lain
sebagainya yang menunjukkan bahwa kelompok yang tidak benar itu jumlahnya lebih
banyak daripada orang-orang yang benar. Semua manusia di muka Bumi ini pasti
sepakat bahwa hanya sekelompok kecil manusia yang beriman, mampu taat, cerdas,
dan memiliki kualitas unggulan. Akan tetapi, dengan demokrasi, kehidupan
manusia diserahkan kepada pendapat terbanyak dari manusia, padahal kebanyakan
manusia itu tidak benar, tidak baik, bodoh, dan tidak beriman. Bukankah itu
merupakan pembangkangan terhadap Allah swt yang diakibatkan ketololan manusia?
Kemudian, kita diharuskan untuk mematuhi undang-undang atau seabrek peraturan
hasil dari pendapat terbanyak manusia yang nggak jelas kualitasnya itu? Masyaallah, kekusutan pikiran ini sudah
sedemikian parah.
Salah satu ajaran Islam yang dijadikan dalil pembenaran
demokrasi adalah kalimat fastabiqul
khoirot, ‘berlomba-lomba dalam kebaikan’. Mereka sering mengartikannya
dengan bersaing dalam kebaikan. Kata bersaing itulah yang dijadikan alasan
bahwa demokrasi disahkan dalam ajaran Islam. Hanya satu kata itulah yang
dijadikan pegangan mereka, bahkan juga mungkin Anda yang sedang membaca tulisan
ini. Padahal, sesungguhnya bersaing dalam
kebaikan tidak boleh dipotong-potong kata-katanya karena merupakan sebuah frasa. Frasa itu artinya adalah gabungan
kata yang memiliki sebuah arti yang jika dipotong-potong akan memiliki arti
berbeda dari gabungan kata itu. Misalnya, duh, jadi ngajarin bahasa Indonesia,
nih. Misalnya, sapu tangan. Gabungan
kata itu adalah frasa yang jelas memiliki arti khusus. Artinya, jika dipotong
satu kata, sapu, akan berbeda artinya
dengan sapu tangan. Demikian pula jika diambil hanya kata tangan, berbeda dengan sapu tangan. Hal itu terjadi pula pada bersaing dalam kebaikan. Kata bersaing atau kata kebaikan saja akan memiliki makna yang jauh dari bersaing dalam
kebaikan.
Kata bersaing
memang sangat erat dan lekat dengan sistem politik demokrasi. Itu tidaklah
salah. Akan tetapi, kebaikan? Kata
itu sangat jauh dari demokrasi yang sesat-menyesatkan dan merupakan sumber
keburukan bagi hidup manusia. Di mana baiknya demokrasi? Iyalah, okelah,
baiklah, demokrasi memberikan kebebasan manusia untuk berpendapat,
berorganisasi, bersikap, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kebebasan semacam
itu bukan hanya milik demokrasi. Hanya orang-orang kurang pengetahuan yang
berpendapat bahwa kebebasan itu hanya milik demokrasi. Artinya, mereka berpendapat
bahwa kalau tidak demokrasi, berarti tak ada kebebasan. Pendapat itu disebabkan
kurangnya pengetahuan yang dimiliki, mental kerdil, dan hobi mengikuti pikiran
orang-orang kapitalis. Saya kasih tahu bahwa ajaran Islam memberikan kebebasan
yang sangat luas untuk berpendapat, bersikap, berorganisasi, dan menyalurkan
aspirasi, bahkan protes sekalipun. Saya kasih tahu lagi bahwa ajaran leluhur
kita memberikan keluasan berekspresi agar kita mampu bergotong royong, hidup
harmonis, seiya-sekata untuk mencapai kemakmuran bersama. Itulah yang dijadikan
dasar negeri ini, Pancasila. Ngerti
kan? Kalau nggak ngerti, kalian bego!
Kalaulah ada orang yang mengatakan jika tidak demokratis
berarti tirani, itu benar. Akan tetapi, itu bukan pengalaman hidup bangsa Indonesia.
Itu adalah pengalaman hidup orang-orang Eropa, barat. Mereka ingin demokrasi
karena terkekang para raja dan pendeta yang sewenang-wenang menyakiti rakyat.
Di Indonesia tak ada raja dan ulama yang menyakiti dan membuat keburukan
terhadap rakyat. Coba baca sejarah. Di negeri ini para raja dan ahli agama
bahu-membahu membangun masyarakat agar hidup seimbang dalam kemakmuran duniawi
dan kemewahan ukhrowi. Perhatikan sejarah masa lalu yang penuh keemasan itu,
masa sebelum VOC datang ke negeri ini. Kalaulah para raja dan ahli agama di
negeri ini melakukan kejahatan, itu benar terjadi, tetapi setelah kehadiran VOC,
setelah bergaul dengan para penjajah rakus itu. Artinya, kejahatan dan
kekisruhan mulai terjadi sejak adanya interaksi dengan orang-orang yang pikirannya
disibukkan oleh hal-hal materialistis.
Kembali ke soal fastabiqul
khoirot. Berlomba-lomba atau bersaing yang dimaksud Islam itu adalah dalam
hal kebaikan. Misalnya, mengapa orang lain bisa bersedekah 10.000 rupiah setiap
jumat, sedangkan kita hanya 500 rupiah? Mengapa orang lain bersedih hati karena
terlambat shalat tahajud satu malam, sedangkan kita bangga baru bisa shalat
tahajud satu kali? Mengapa orang lain bisa memelihara banyak anak yatim hingga
dianggap sebagai anak sendiri, sedangkan kita selalu ketakutan kekurangan harta
benda? Mengapa orang lain bisa memberikan pengajaran secara cuma-cuma,
sedangkan kita harus selalu ingin dibayar? Mengapa orang lain bisa menyantuni
fakir miskin, sedangkan kita selalu berpura-pura banyak urusan? Mengapa orang
lain mampu menyisihkan hartanya untuk orang banyak tanpa ingin dipuji,
sedangkan kita memberikan sumbangan dengan harapan dipuji dan disanjung orang?
Mengapa orang lain bisa mempermudah urusan orang lain, sedangkan kita sering
mempersulit orang lain? Mengapa orang lain mampu berbahasa manis, bertutur kata
lembut, sedangkan lidah kita sering menyakiti orang lain? Mengapa orang lain
mampu memberikan bantuan kepada sesama agar orang yang dibantunya mampu hidup
mandiri, sedangkan kita membantu orang hanya agar orang itu hidupnya selalu
tergantung kepada kita? Mengapa orang lain luas hatinya sepulang dari Mekah
menunaikan ibadat haji tidak ingin menggunakan gelar haji atau hajjah,
sedangkan kita selalu ingin disebut haji atau hajjah? Mengapa orang lain mampu melakukan
ribuan kebaikan tanpa diketahui orang lain, sedangkan kita baru melakukan
kebaikan tak seberapa saja selalu ingin diumumkan? Mengapa orang lain mampu
memberikan jalan keluar bagi orang banyak tanpa ingin diangkat menjadi pejabat,
sedangkan kita berupaya baik kepada orang lain dengan uang hasil ngutang
sana-ngutang sini berharap menjadi pejabat? Mengapa orang lain berbuat baik
tanpa ingin wajahnya dipampang di spanduk, poster, atau baligo, sedangkan kita
belum berbuat baik saja wajahnya sudah ditempel pada berbagai kertas dan kain
dengan janji yang muluk-muluk di setiap tikungan jalan, bahkan di kuburan?
Pendek kata, bersaing dalam kebaikan itu adalah berlomba-lomba untuk berbuat
baik dengan tujuan mendekatkan diri dan menggapai rasa senang Allah swt.
Fastabiqul khoirot itu
bertentangan dengan demokrasi. Bagaimana mungkin disebut bersaing dalam
kebaikan jika kampanye penuh dusta, money
politics, black campaigne, janji palsu, korupsi, ngutang sana-sini, jual
janji sama perusahaan asing, menggadaikan bangsa, mempermainkan hukum,
bersitegang sesama bangsa sendiri, bertengkar rebutan jabatan, curang,
sandera-menyandera kepentingan, manipulasi data dan fakta, menggerakkan massa
untuk membuat dan memperluas huru-hara, menjual murah sumber daya alam pada pihak
kapitalis, menggunakan agama sebagai kedok, saling menyombongkan diri, membela
teman yang salah karena satu partai, menipu rakyat kecil, memeras orang miskin,
dan rupa-rupa keburukan demokrasi lainnya. Bagaimana bisa hal-hal serupa itu
disebut kebaikan?
Goblok itu orang yang menyandarkan demokrasi pada kalimat
fastabiqul khoirot. Sebentar lagi
jika tidak segera sadar, pikiran orang seperti itu akan dipenuhi oleh berbagai
hal jahat yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Pasti.