oleh
Tom Finaldin
Kondisi dan situasi
sosial, politik, ekonomi di Indonesia yang carut marut ini menumbuhkan dengan
subur orang-orang yang disebut pengamat, pemerhati, pegiat, atau apapun namanya
yang sering dimintai pendapat sebagai narasumber dalam media massa, seminar,
atau diskusi-diskusi soal politik. Berulang-ulang atau berkali-kali nama dan
wajahnya muncul dalam media massa dengan seabrek pendapatnya. Celakanya, mereka
ini sering dianggap sebagai sumber kebenaran alternatif yang dijadikan sandaran
karena rakyat sudah tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah. Mereka inilah
yang dijadikan rujukan orang-orang untuk berpikir, bertindak, bahkan menulis
sebuah karya ilmiah.
Sayangnya, tidak sedikit di antara mereka yang sering sekali berdusta sehingga
menimbulkan kekacauan informasi di kalangan rakyat. Rakyat tidak mendapatkan
informasi dan data yang benar sehingga menciptakan kebodohan yang akut dan
semakin parah.
Mestinya, jika mereka tidak menguasai sesuatu masalah,
jujur saja katakan tidak tahu. Jangan terus nyerocos sok tahu yang disebabkan
rasa malu jika dianggap tidak mengerti.
Yang paling membuat saya pusing dan muak adalah mereka
sering sekali membandingkan keadaan di Indonesia dengan di luar negeri. Mereka
berbicara seolah-olah keadaan di luar negeri lebih baik daripada Indonesia. Kedustaan pertama adalah dalam mengomentari soal politik di luar negeri.
Mereka mengatakan bahwa tatanan politik luar negeri lebih bagus dibandingkan
Indonesia, misalnya, dalam hal money
politics. Menurut mereka, di negara-negara itu aturan tentang dana partai,
kampanye, atau sejenisnya lebih baik dan lebih ketat sehingga kondisi demokrasi
lebih baik. Bloon mereka itu! Hal itu disebabkan Indonesia telah memiliki
aturan yang teramat sangat ketat dan hebat soal dana partai tersebut, bahkan
lebih tertata dibandingkan luar negeri. Soal money politics tetap terjadi mewabah di Indonesia meskipun sudah
ada aturan yang bagus, sebetulnya terjadi pula di berbagai negara di dunia ini
yang menggunakan sistem politik demokrasi. Money
politics adalah kutukan yang lahir dari demokrasi. Bohong besar jika ada
yang mengatakan bahwa suatu negara bisa berdemokrasi tanpa money politics.
Kedustaan kedua adalah
menurut mereka demokrasi di luar negeri lebih sehat dibandingkan di Indonesia.
Padahal, kenyataannya di negara-negara itu demokrasi telah membuat kebingungan
luar biasa yang membuat rakyatnya hidup dalam ketegangan, ketakutan,
ketidakamanan, kemaksiatan, dan kehilangan pegangan moral yang kuat. Kehambaran
dan kehampaan hidup mereka pun mulai menghinggapi Indonesia karena Indonesia
mengikuti cara-cara hidup mereka. Artinya, di mana-mana demokrasi sesungguhnya
menumbuhkan persoalan baru dalam kehidupan manusia.
Kedustaan ketiga, mereka
menyebut negara-negara luar yang dibandingkan dengan Indonesia itu sebagai
“negara maju”. Maju darimana, Coy? Akan tetapi, saya paham bahwa mereka
mengatakan negara maju itu adalah maju dari segi ekonomi dan teknologi meskipun
kita tidak pernah berupaya memahami mengapa mereka maju dalam ekonomi. Apakah
mereka melakukan bisnis yang halal atau haram? Apakah usahanya mendatangkan
manfaat bagi manusia dan alam sekitar atau melakukan perampokan dan penipuan
terhadap negara-negara lemah?
Perlu diketahui bahwa istilah “maju” yang disandarkan
pada kekuatan ekonomi adalah pemikirannya Anjing-anjing
Kapitalis. Indonesia memiliki standar sendiri tentang istilah “maju”
tersebut, yaitu sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang intinya adalah
terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang seimbang lahir dan batin. Jika
Indonesia atau negara mana pun telah mampu mewujudkan keseimbangan lahir dan
batin, kita wajib mengatakan negara itu dan atau Indonesia sendiri adalah
negara maju. Artinya, dengan konsep keindonesiaan, kita tidak bisa mengatakan
bahwa suatu negara maju jika hanya tinggi tingkat ekonomi, teknologi, atau
hanya tinggi tingkat spritualitas religinya. Dalam konsep keindonesiaan, salah
satu tinggi, baik lahir ataupun batin, sama sekali tidak maju. Artinya, timpang
karena tidak seimbang. Maju lahir saja adalah manusia serakah yang memiliki
kegilaan materialistis. Maju batin saja adalah pertapa yang terhinakan dari
kehidupan manusia seumur hidup. Maju adalah seimbang lahir dan batin. Artinya, terciptanya
kemakmuran duniawi dan teraihnya kemewahan spiritual dalam waktu yang berbarengan.
Saya yakin seribu triliun persen bahwa manusia yang
teramat maju di mana pun di seluruh muka Bumi ini adalah manusia yang telah seimbang
lahir dan batin. Bullshit, tahi
anjing, tahi monyet, tahi babi untuk
mereka yang berpendapat bahwa manusia maju dan hebat itu cukup hanya tinggi
tingkat materi atau tinggi tingkat batinnya saja. Begitupun dengan negara.
Negara yang maju dan hebat itu adalah negara yang kehidupan rakyatnya telah
memiliki keseimbangan lahir dan batin.
Kedustaan keempat, para
pengamat dan pemerhati sosial-politik pendusta membandingkan Indonesia dengan
negara luar tanpa menjelaskan negara mana yang dimaksud negara luar itu. Mereka
teramat sering mengatakan “negara luar”, “negara maju”, atau “luar negeri”,
tetapi tidak jelas negara mana. Apakah Amerika Serikat, Inggris, Korea,
Inggris, Cina, Arab, Filipina, atau yang lainnya? Para pengamat pendusta itu
tampaknya membiarkan rakyat Indonesia mengira-ngira sendiri sambil tetap
menanamkan pikiran bahwa Indonesia itu selalu tertinggal dan berada di bawah
negara lain dalam berbagai hal. Bukankah perilaku mereka itu boloho bin sarap, ‘tolol bin gila’?
Mereka pun terlihat memanfaatkan ketidaktahuan sebagian besar rakyat Indonesia
mengenai berbagai hal di luar negeri. Mereka merasa aman dengan pendapat dan
komentarnya yang bohong itu karena tahu dengan pasti bahwa rakyat Indonesia
sangat sedikit yang memiliki pengetahuan tentang kondisi di luar negeri dan
mengandalkan pengalaman para pengamat pembohong yang sebetulnya tidak terlalu
jelas hasil pengamatannya. Mereka syik
asyik memanfaatkan situasi rakyat Indonesia yang miskin informasi.
Kedustaan kelima, pendapat
mereka tentang luar negeri, negara luar, atau negara maju itu belum tentu
benar, bahkan sama sekali salah. Mereka sesungguhnya tidak memiliki pengetahuan
tentang yang dibicarakannya. Mereka hanya mengira-ngira dengan menyandarkan
diri pada kebiasaan orang Indonesia yang selalu percaya bahwa negara luar itu
selalu bagus dibandingkan Indonesia. Kedustaan ini adalah kedustaan yang
teramat sangat gila, sok tahu, dan sama sekali tidak ilmiah. Perkiraan mereka
yang sangat bisa salah besar itu diterima oleh rakyat Indonesia yang kurang
memiliki daya analisis yang kuat. Akhirnya, segala yang dikatakan para pendusta
itu hanyalah buang-buang waktu, bahkan menyelimuti rakyat Indonesia dengan
informasi tidak benar yang mengakibatkan kebodohan berkepanjangan. Akan tetapi,
kebodohan rakyat Indonesia bagi mereka adalah ladang bisnis yang teramat
menggiurkan karena mereka selalu dibutuhkan untuk memberikan analisis dari
data-data yang sumir dan tidak bernilai. Jika rakyat Indonesia memiliki
ketinggian ilmu pengetahuan dengan daya analisis yang kuat, para pengamat itu akan
bangkrut karena akan ditertawakan orang banyak.
Sesungguhnya, teramat banyak kedustaan yang dilakukan mereka. Akan tetapi, untuk kali ini saya cukupkan sekian saja. Lain kali akan saya tambah lagi agar rakyat Indonesia tidak mudah menerima dan percaya kepada mereka yang disebut pengamat politik, pemerhati politik, atau apapun istilahnya yang selalu membanding-bandingkan Indonesia dengan “luar negeri” yang sebetulnya luar negeri itu saat ini sedang dicekam ketakutan luar biasa dengan kebangkrutan yang membayangi mereka setiap hari.
No comments:
Post a Comment