Wednesday 18 April 2012

Rakyat Tidak Perlu Marah Jika Tanahnya Diambil

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Kenapa mesti marah dan sedih jika tanah rakyat diambil paksa tanpa hak oleh mereka yang berkuasa dan banyak uang?

            Tidak seharusnya marah atau kecewa atas penggusuran dan pengambilalihan tanah rakyat, baik legal maupun tidak. Toh, kita, penduduk negeri ini, sudah sepakat menggunakan sistem politik yang korup, hina, rendahan, dan kacau ini? Bukankah kita senang menggunakan sistem politik demokrasi?

            Kalau senang dengan demokrasi, ya jangan marah kayak kebakaran semua bulu jika tanah rakyat diambil paksa. Wajar saja ada penggusuran dan perampokan hak atas tanah karena kita sudah teken kontrak untuk dipermainkan dalam sistem politik demokrasi.

            Saudara-saudara sekalian, melaksanakan sistem demokrasi yang penuh penipuan ini sangat mahal, perlu biaya banyak, boros, serta membutuhkan para investor untuk dijadikan partner dalam menguasai negara. Oleh sebab itulah, terjadi perkawinan haram antara pengusaha dan politisi dan itu wajar dalam demokrasi. Para pengusaha, baik asing maupun dalam negeri akan jor-joran dan habis-habisan membela dan mendukung jagonya untuk berada dalam penyelenggaraan negara, baik itu di eksekutif maupun di legislatif, bahkan di yudikatif. Di mana-mana juga begitu kok. Di seluruh dunia terjadi seperti itu jika menggunakan demokrasi. Bahkan, bukan hanya dengan penguasa para politisi melakukan perzinahan, melainkan pula dengan para penjahat dan preman kudisan.

            Para pengusaha kapitalis yang telah membantu menyukseskan jagonya untuk menang dalam Pemilu, baik Pileg, Pilpret, maupun Pemilihan Kadal, jelas meminta balas jasa kepada para penguasa yang sudah manggung. Wajar toh terjadi seperti itu? Ya wajar atuh. Seseorang yang telah banyak membantu, kemudian meminta upah atas bantuannya itu adalah normal sekali.

            Nah, kaitannya dengan penggusuran tanah sudah mulai jelas terlihat. Para pengusaha yang menguasai tanah sengketa dan berbagai sumber daya alam Indonesia secara berlebihan itu mungkin adalah mereka yang telah melakukan pelacuran dengan para politisi. Bisa jadi tanah-tanah sengketa yang mereka kuasai itu merupakan semacam balas jasa dari penguasa yang sedang manggung karena dulu telah dibantu dalam proses kampanye serta pemilihan. Kelambanan aparat dalam membela rakyat yang sesungguhnya pemilik sah negeri ini pun patut diduga karena besar sekali bantuan yang diberikan para pengusaha pada masa-masa para penguasa sebelum berkuasa. Demikian pula terjadinya kesan aparat lebih membela kepentingan pengusaha dibandingkan rakyat adalah besar kemungkinan karena itu, balas budi atau pembayaran atas pelacuran yang dulu dilakukan mereka. 

     Para politisi dalam dunia demokrasi memerlukan banyak bantuan keuangan untuk berbagai kepentingannya, termasuk untuk money politics yang ditebarkan kepada rakyat-rakyat juga. Mereka jelas akan merayu-rayu atau dirayu-rayu para pengusaha untuk berzinah. Karena memiliki kesamaan kepentingan, yaitu berkuasa dan kaya raya, mereka pun esek-esek di tempat-tempat gelap, bahkan ada yang terang-terangan.

            Kita semua telah sangat setuju dengan sistem politik yang melahirkan perzinahan tersebut. Jadi, tidak perlu marah, sedih, kecewa, ataupun dendam dengan penggusuran atau perampokan tanah sengketa. Tenang-tenang saja. Bahkan, bergembira rialah karena telah berhasil menjadi negara demokratis. Normal saja toh, para politisi ingin menang dibantu oleh pengusaha, lalu para pengusaha itu meminta bagian atas jasanya untuk menguasai tanah dan sektor-sektor ekonomi lainnya di negeri ini. Soal rakyat itu kan hanya soal angka statistik yang hanya digunakan untuk perhitungan suara dan kalkulasi politik. Rakyat itu nggak masuk hitungan dalam kue pembagian kekuasaan. Bahkan, dalam masa berkuasa rakyat hanyalah manusia-manusia kelas rendah yang menyusahkan.

            Kalau mau pembagian tanah dan kepemilikan tanah yang lebih tertib dan memakmurkan rakyat secara keseluruhan, ya harus ada kebijakan untuk mengembalikan seluruh tanah ini kepada rakyat. Kemudian, segala potensi negeri ini bergerak bersama mengelola sumber daya alam untuk kepentingan bersama. Akan tetapi, kebijakan itu tidak akan pernah lahir dari sistem politik demokrasi. Mustahil sistem politik demokrasi melahirkan keadilan dan kemakmuran. Bukti nyata yang terjadi di seluruh muka Bumi ini adalah demokrasi telah melahirkan kekalutan dan kekacauan luar biasa yang menjerumuskan manusia ke lembah berbagai penderitaan.

            Jangan marah dong kalau tanahnya diambil, wajar saja, kan demokrasi. Kalau mau makmur bersama, hancurkan dulu demokrasi. Kemudian, mulai menata sistem politik sesuai dengan jiwa bangsa sendiri. Malu dong sama orangtua kita dulu sebelum masa kolonial yang mampu makmur, kuat, dan sejahtera dalam masa kejayaan dan keemasan Indonesia. Hanya orang-orang bego dan tolol yang menganggap orangtua kita itu kuno dan tidak beradab. Orang-orang yang berpendapat seperti itu adalah orang sombong yang pikirannya telah digelapkan karena cinta pada perilaku dan pikiran orang-orang barat kapitalis yang jauh sekali watak dan kulturnya dengan Indonesia.

            Mau semua orang punya tanah? Ingin semua punya rumah? Ingin semua punya pekerjaan? Mau semuanya layak?

            Bunuh dulu demokrasi, lalu kuburkan ke dalam septictank tempat tinja perpolitikan. Kemudian, bergerak dan bekerja bersama dalam suasana gotong royong. Niscaya kita akan menjadi barometer dan mercusuar dunia. Insyaallah.

No comments:

Post a Comment