oleh Tom
Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Kenapa mesti
marah dan sedih jika tanah rakyat diambil paksa tanpa hak oleh mereka yang
berkuasa dan banyak uang?
Tidak seharusnya marah atau kecewa
atas penggusuran dan pengambilalihan tanah rakyat, baik legal maupun tidak.
Toh, kita, penduduk negeri ini, sudah sepakat menggunakan sistem politik yang
korup, hina, rendahan, dan kacau ini? Bukankah kita senang menggunakan sistem
politik demokrasi?
Kalau senang dengan demokrasi, ya
jangan marah kayak kebakaran semua bulu jika tanah rakyat diambil paksa. Wajar
saja ada penggusuran dan perampokan hak atas tanah karena kita sudah teken
kontrak untuk dipermainkan dalam sistem politik demokrasi.
Saudara-saudara sekalian,
melaksanakan sistem demokrasi yang penuh penipuan ini sangat mahal, perlu biaya
banyak, boros, serta membutuhkan para investor untuk dijadikan partner dalam
menguasai negara. Oleh sebab itulah, terjadi perkawinan haram antara pengusaha
dan politisi dan itu wajar dalam demokrasi. Para
pengusaha, baik asing maupun dalam negeri akan jor-joran dan habis-habisan
membela dan mendukung jagonya untuk berada dalam penyelenggaraan negara, baik
itu di eksekutif maupun di legislatif, bahkan di yudikatif. Di mana-mana juga
begitu kok. Di seluruh dunia terjadi seperti itu jika menggunakan demokrasi.
Bahkan, bukan hanya dengan penguasa para politisi melakukan perzinahan,
melainkan pula dengan para penjahat dan preman kudisan.
Para pengusaha kapitalis yang telah
membantu menyukseskan jagonya untuk menang dalam Pemilu, baik Pileg, Pilpret,
maupun Pemilihan Kadal, jelas meminta balas jasa kepada para penguasa yang
sudah manggung. Wajar toh terjadi seperti itu? Ya wajar atuh. Seseorang yang telah banyak membantu, kemudian meminta upah
atas bantuannya itu adalah normal sekali.
Nah, kaitannya dengan penggusuran
tanah sudah mulai jelas terlihat. Para pengusaha yang menguasai tanah sengketa
dan berbagai sumber daya alam Indonesia
secara berlebihan itu mungkin adalah mereka yang telah melakukan
pelacuran dengan para politisi. Bisa jadi tanah-tanah sengketa yang mereka
kuasai itu merupakan semacam balas jasa dari penguasa yang sedang manggung
karena dulu telah dibantu dalam proses kampanye serta pemilihan. Kelambanan
aparat dalam membela rakyat yang sesungguhnya pemilik sah negeri ini pun patut
diduga karena besar sekali bantuan yang diberikan para pengusaha pada masa-masa
para penguasa sebelum berkuasa. Demikian pula terjadinya kesan aparat lebih
membela kepentingan pengusaha dibandingkan rakyat adalah besar kemungkinan
karena itu, balas budi atau pembayaran atas pelacuran yang dulu dilakukan
mereka.
Para politisi dalam dunia demokrasi
memerlukan banyak bantuan keuangan untuk berbagai kepentingannya, termasuk untuk
money politics yang ditebarkan kepada
rakyat-rakyat juga. Mereka jelas akan merayu-rayu atau dirayu-rayu para
pengusaha untuk berzinah. Karena memiliki kesamaan kepentingan, yaitu berkuasa
dan kaya raya, mereka pun esek-esek di
tempat-tempat gelap, bahkan ada yang terang-terangan.
Kita semua telah sangat setuju
dengan sistem politik yang melahirkan perzinahan tersebut. Jadi, tidak perlu
marah, sedih, kecewa, ataupun dendam dengan penggusuran atau perampokan tanah
sengketa. Tenang-tenang saja. Bahkan, bergembira rialah karena telah berhasil
menjadi negara demokratis. Normal saja toh, para politisi ingin menang dibantu
oleh pengusaha, lalu para pengusaha itu meminta bagian atas jasanya untuk
menguasai tanah dan sektor-sektor ekonomi lainnya di negeri ini. Soal rakyat
itu kan hanya
soal angka statistik yang hanya digunakan untuk perhitungan suara dan kalkulasi
politik. Rakyat itu nggak masuk hitungan dalam kue pembagian kekuasaan. Bahkan,
dalam masa berkuasa rakyat hanyalah manusia-manusia kelas rendah yang
menyusahkan.
Kalau mau pembagian tanah dan
kepemilikan tanah yang lebih tertib dan memakmurkan rakyat secara keseluruhan,
ya harus ada kebijakan untuk mengembalikan seluruh tanah ini kepada rakyat.
Kemudian, segala potensi negeri ini bergerak bersama mengelola sumber daya alam
untuk kepentingan bersama. Akan tetapi, kebijakan itu tidak akan pernah lahir
dari sistem politik demokrasi. Mustahil sistem politik demokrasi melahirkan
keadilan dan kemakmuran. Bukti nyata yang terjadi di seluruh muka Bumi ini
adalah demokrasi telah melahirkan kekalutan dan kekacauan luar biasa yang
menjerumuskan manusia ke lembah berbagai penderitaan.
Jangan marah dong kalau tanahnya
diambil, wajar saja, kan
demokrasi. Kalau mau makmur bersama, hancurkan dulu demokrasi. Kemudian, mulai
menata sistem politik sesuai dengan jiwa bangsa sendiri. Malu dong sama
orangtua kita dulu sebelum masa kolonial yang mampu makmur, kuat, dan sejahtera
dalam masa kejayaan dan keemasan Indonesia. Hanya orang-orang bego
dan tolol yang menganggap orangtua kita itu kuno dan tidak beradab. Orang-orang
yang berpendapat seperti itu adalah orang sombong yang pikirannya telah
digelapkan karena cinta pada perilaku dan pikiran orang-orang barat kapitalis
yang jauh sekali watak dan kulturnya dengan Indonesia.
Mau semua orang punya tanah? Ingin
semua punya rumah? Ingin semua punya pekerjaan? Mau semuanya layak?
Bunuh dulu demokrasi, lalu kuburkan ke
dalam septictank tempat tinja
perpolitikan. Kemudian, bergerak dan bekerja bersama dalam suasana gotong
royong. Niscaya kita akan menjadi barometer dan mercusuar dunia. Insyaallah.
No comments:
Post a Comment