Sunday, 25 October 2015

Bencana Kabut Asap Adalah Keberhasilan Pendidikan Indonesia


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Mengapa marah dengan pembakaran hutan?

Mengapa harus bersedih dengan kabut asap hasil dari pembakaran itu?

Mengapa orang-orang menyalahkan mereka yang sedang berusaha mencari nafkah dari hutan dengan cara membakar?

Bukankah kita mendidik manusia agar menjadi orang yang banyak uang? Tinggi kedudukannya? Punya banyak akal dalam bersaing berebut materi? Memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia?

Siapa bilang membakar hutan bukan untuk kepentingan manusia?

Mereka cari uang untuk kemakmuran diri, perusahaan, karyawannya, dan orang-orang yang terlibat bekerja sama dengan mereka. Plus, mereka juga berusaha membayar pajak dari usahanya itu. Normal toh?

Perilaku pembakaran hutan itu sebenarnya merupakan buah dari hasil pendidikan yang kita gunakan selama ini. Hal itu disebabkan kita terlalu bangga dengan pendidikan di negara-negara barat dan banyak mengadopsinya. Hal yang lebih parah adalah kita meminggirkan nilai-nilai luhur Indonesia yang sudah tertanam ribuan tahun dan mampu membuat masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya.

Hal yang pernah saya sampaikan sebagai kesalahan fatal kita dalam mendidik bangsa adalah dengan menyandarkan pendidikan bangsa pada pendidikan yang diberikan oleh orang-orang barat. Hal itu memang bisa dipahami karena orang-orang barat telah menulis banyak materi pendidikan dalam berbagai buku sehingga mudah dicari, dipelajari, dan dipahami. Adapun pendidikan yang diberikan oleh nenek moyang Indonesia, masih berceceran dalam tutur kata para orang tua dan belum tertata dengan baik dalam bentuk buku dengan disusun dalam tatabahasa dan tatakata sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang mudah dipahami.

Kesalahan pendidikan yang diadopsi dari pengetahuan barat adalah menyatakan “dunia dan alam seisinya adalah untuk kepentingan umat manusia”. Pengetahuan itu menyebabkan seluruh energi manusia digunakan untuk mengeksplorasi alam sebesar-besarnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Itu adalah kesalahan! Kita bisa lihat dan rasakan sendiri akibat dari pengetahuan yang salah itu. Karena kita menggerus alam dengan pongah, alam pun melakukan perlawanan terhadap kita berupa ketidakseimbangan dalam kehidupan yang terwujud dalam berbagai bencana.

Memang ada aturan agar lingkungan hidup tetap terjaga dan lestari, tetapi  itu hanya sekedar aturan yang biasanya “ingin” dilanggar. Hal itu disebabkan orang-orang tidak menyadari pentingnya menjaga alam dan hanya menganggap berbagai aturan itu sebagai hukum manusia yang membatasi manusia dalam mengeksplorasi alam. Mereka tidak menganggap bahwa aturan itu dibuat untuk kepentingan manusia sendiri agar tidak mendapatkan “kemarahan” dari alam.

Pendidikan yang disampaikan oleh nenek moyang Indonesia adalah jauh lebih bermutu dan berjiwa. Mereka mengajarkan banyak kebaikan di antara manusia, keseimbangan kehidupan, tetap menjalin keserasian dengan alam, dan tetap mendorong manusia untuk selalu berbuat, berkarya, dan bercita-cita tinggi. Persoalannya adalah pengetahuan yang berasal dari nenek moyang kita hanya berupa tutur kata dan malahan tersembunyi dalam banyak syair yang tidak mudah dipahami. Oleh sebab itu, diperlukan banyak upaya untuk menerjemahkan pendidikan dari nenek moyang kita dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah untuk dipahami. Pengetahuan-pengetahuan itu sangat berguna dan bermutu, bahkan berjiwa mulia dalam mendorong manusia untuk maju dan berrkembang, tetapi tetap hidup harmonis dengan alam dan bermitra dengan lingkungannya. Jadi, kita tidak akan menciptakan generasi-generasi yang berusaha menggali kekayaan alam, tetapi generasi-generasi yang berusaha harmonis dan bermitra dengan alam. Dengan demikian, tak akan ada lagi pembakaran hutan dan penambangan yang menimbulkan bencana karena sebelum melakukan sesuatu akan dipikirkan dengan matang dan dirasakan dengan saksama. Para orang tua kita bahkan sebelum membangun rumah, jalan, atau jembatan, terbiasa melakukan ritual-ritual tertentu, seperti, puasa, mati geni, atau meditasi untuk mendapatkan keseimbangan alam.

Sudah saatnya kita menggali pengetahuan dari kearifan lokal kita agar tidak durhaka kepada alam, tidak membuat marah Tuhan dengan keserakahan, serta tidak membiarkan kita bermusuhan dengan alam. Bermitra dengan alam adalah lebih baik dibandingkan dengan berupaya menguasai alam. Itulah Indonesia!

No comments:

Post a Comment