oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebagaimana kita tahu bahwa
Indonesia sangat serius dalam mengatasi peredaran dan penyalahgunaan narkotika
dan obat terlarang (Narkoba). Keseriusan tersebut dapat dilihat dari gencarnya
perang terhadap Narkoba dan pelaksanaan hukuman mati yang diterapkan. Akan
tetapi, di dalam kenyataannya peredaran dan penyalahgunaan Narkoba terus
meningkat dengan beragam jenis. Hal ini pun dikeluhkan aparat kepolisian, BNN,
dan mereka yang peduli terhadap perang melawan Narkoba.
Saya yakin ada banyak penyebab yang membuat peredaran dan
penyalahgunaan Narkoba ini terus meningkat meskipun upaya untuk memeranginya
terus dilakukan tanpa henti. Berdasarkan pengalaman kecil saya sendiri ada dua
penyebab sulitnya memberantas peredaran dan penyalahgunaan Narkoba. Pertama, kurang lengkapnya sarana dan
prasarana kepolisian. Kedua, kekhawatiran
masyarakat untuk ikut terlibat dalam perang terhadap Narkoba.
Begini ceriteranya. Sebetulnya, sudah sejak enam bulan
lalu ada anak muda yang mengeluh kepada saya soal peredaran dan penyalahgunaan
Narkoba di lingkungannya. Kalau saya sebut lingkungan, berarti bisa lingkungan
masyarakat dan bisa pula instansi. Awalnya, saya sarankan untuk menjauhi para
penyalahguna itu. Akan tetapi, seiring dengan waktu, para penyalahguna ini
semakin berani menawarkan obat-obat terlarang itu kepada anak-anak muda di
sekitarnya. Mereka yang ditawari selalu menolak.
Akan tetapi, mereka pun bilang, “Wah, Pak, bahaya kalau
saya ditawari terus-menerus, saya juga bisa terpengaruhi. Saya lama-lama juga
bisa menggunakan Narkoba.”
Segera saja saya konsultasi dengan BNN Kota Bandung.
Hasil konsultasi itu berupa pemahaman saya tentang obat-obat terlarang yang
diedarkan di lingkungan tersebut, yaitu Tramadol
yang termasuk golongan empat berpengaruh halusinogen dan saran untuk segera melaporkan pada Polsek setempat.
Memang obat itu dijual di apotek dan sah, tetapi yang membuatnya menjadi tidak
sah disebabkan perilaku penyalahgunaan. Saya suka mencontohkan bahwa obat nyamuk bakar itu barang legal dan minuman soda itu pun legal dijual di warung-warung
kecil. Akan tetapi, jika obat nyamuk bakar itu ditumbuk halus, kemudian
dicampurkan dengan minuman bersoda, lalu diminum, terjadilah penyalahgunaan
zat-zat legal yang kemudian menjadi ilegal.
Kurang lebih satu bulan sejak konsultasi dengan BNN, saya
menghubungi Polsek setempat. Di sinilah saya mulai memahami adanya penyebab
kesulitan memberantas Narkoba. Kepolisian memang serius, tetapi kekurangan alat
dan dana, terutama untuk melakukan tes urin kepada orang-orang yang diduga menyebarkan
dan menggunakan Narkoba itu. Oleh sebab itu, polisi menyarankan untuk
melibatkan anak-anak muda yang sering ditawari Narkoba untuk ikut serta
menjebak para pengedar dan penyalahguna itu. Hal itu disebabkan kepolisian
tidak bisa melakukan penangkapan jika tidak ada bukti dan barangnya “tidak ada
padanya”. Di sinilah saya mulai khawatir
terhadap keselamatan anak-anak muda itu. Saya berkeberatan meskipun sebenarnya
anak-anak muda itu berani terlibat. Namanya juga anak muda. Saya khawatir atas
keamanan dan keselamatan anak-anak muda itu. Artinya, saya sebagai masyarakat
cukup khawatir jika ikut terjebak dalam “penjebakan” yang dilakukan pihak
kepolisian apabila tidak ada jaminan keselamatan bagi anak-anak muda itu.
Apalagi, jika anak-anak muda itu harus merasa terancam setiap hari karena “ketahuan”
oleh para penjahat telah terlibat dalam memberantas Narkoba.
Inilah dua kesulitan yang saya temui dalam memberantas
Narkoba, yaitu kepolisian kekurangan dana dan alat serta kekhawatiran
masyarakat dalam memberantas lebih aktif penyalahgunaan Narkoba. Oleh sebab
itu, negara harus memfasilitasi kepolisian dengan dana dan alat yang cukup
serta ada perlindungan kepada masyarakat, baik secara rahasia maupun
terang-terangan jika harus ikut terlibat aktif dalam pemberantasan
penyalahgunaan Narkoba.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment