oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sekarang ini mulai deras
penolakan terhadap sebutan “habib”, sama derasnya dengan promosi “habib” waktu
itu seiring dengan Pilpres 2014 dan 2019. Kini, mulai banyak keturunan Nabi
saw, terutama dari jalur wali songo yang menolak disebut habib. Ini terjadi
sejak pertama, diungkapkannya hasil
penelitian K.H. Imaduddin Al Bantani yang menjelaskan bahwa keluarga Alawiyin tidak
tersambung ke Nabi Muhammad saw. Kedua, pernyataan
tegas “Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT)”,
‘Lembaga Pencatat Nasab Wali Songo’ bahwa Bahar bin Smith telah melakukan
fitnah dan NAAT tidak memerlukan pengakuan nasab sebagai keturunan Nabi
Muhammad saw dari Rabithah Alawiyah. NAAT punya catatan sendiri yang lebih
terjaga dan ilmiah.
Sekarang, tambah banyak yang mencoba mengupas penelitian
Kiyai Imad dengan penjelasan yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Dalam
penelitian Kiyai Imad, disebutkan bahwa silsilah yang diproduksi Rabithah
Alawiyah berbeda dibandingkan kitab-kitab silsilah lama yang ada sejak abad 5
hijriyah. Dalam silsilah Rabithah Alawiyah terjadi penambahan orang yang
diklaim sebagai keturunan Nabi saw, padahal dulu tidak pernah ada. Namanya Ubeidillah.
Nama ini seolah-olah dicantolkan belakangan pada sekitar tahun 1800-an. Nama
ini tidak dikenal dalam kitab-kitab silsilah lama. Dari Ubeidillah inilah turun
generasi keluarga Alawiyah yang ada di Indonesia sekarang ini. Artinya, jika
Ubeidillah adalah nama yang dicantolkan belakangan tiba-tiba dan tidak
diketahui anak dari siapa, seluruh habib yang ada di Indonesia ini terputus
darahnya dari Nabi saw. Mereka bukanlah keturunan Nabi Muhammad saw.
Di samping itu, tidak ada catatan mereka di Yaman, negara
asal mereka. Rabithah Alawiyah itu hanya ada di Indonesia dan berdiri pada
1928. Di Yaman tidak ada. Hal ini menimbulkan keraguan karena jika benar tersambung
ke Nabi Muhammad saw, harus ada catatannya dari lembaga di Yaman atau di Irak
karena Yaman itu berasal dari Irak.
Hal yang lebih mengagetkan lagi adalah adanya tuduhan
bahwa keluarga Bani Alawiyin ini adalah antek-antek dan boneka penjajah Belanda
dalam menghancurkan perjuangan umat Islam di Indonesia. Catatan ini dibongkar dengan
dikaitkan pada pencantolan nama Ubeidillah yang terjadi sekitar 1800-an.
Sejarah mencatat bahwa kedatangan Belanda dengan perusahaan VOC terjadi mulai
1602. Sejak saat itu terjadi perlawanan pada Belanda, terutama dari kalangan
umat Islam. Untuk meredam perlawanan umat Islam, atas saran Snouck Hurgronje,
diangkatlah imigran dari Yaman yang bernama Habib Utsman bin Yahya dengan gaji
1.000 gulden per bulan oleh Belanda untuk menjadi Mufti Agung Batavia. Habib
Utsman membuat kitab dan berfatwa “Haram Memberontak pada Penjajah Belanda”.
Bahkan, Habib ini di Masjid Pekajon mendoakan Ratu Belanda Wilhelmina ketika
ulang tahun pada 2 September 1898.
Hal ini pun sama dengan catatan cendekiawan muslim
Azyumardi Azra bahwa Habib Utsman yang berasal dari Yaman, Hadramaut adalah
kontroversial dan bekerja sama dengan penjajah Belanda dengan mengkritik jihad
petani Banten pada 1888. Inilah data yang tersebar pada berbagai Medsos dan
melahirkan banyak kecaman bahwa keluarga Alawiyin ini adalah antek penjajah
Belanda.
Coba
lihat angka tahunnya, sekitar 1800-an bukan?
Sama
dengan perkiraan tahun pencantolan Ubeidillah di silsilah keturunan Nabi saw,
bukan?
Kembali
ke soal penolakan NAAT untuk konfirmasi terhadap Rabithah Alawiyah. NAAT tidak
memerlukan pengakuan Rabithah Alawiyah karena keturunan Wali Songo bukan dari
keluarga Alawiyin. Mereka punya keluarga sendiri yang dicatat oleh banyak lembaga
keluarga masing-masing. Malah NAAT itu punya catatan yang lebih lengkap, ketat
karena harus ada catatan dari negara asal mereka sebagai keturunan Nabi saw,
misalnya, Maroko, Irak, Iran, Mesir, dan lain sebagainya. Kalaupun catatan itu
tidak ada, mereka tidak takut untuk tes DNA.
Dengan
demikian, kita bisa paham mengapa sekarang mulai banyak yang menolak disebut
habib. Itu karena data silsilahnya diragukan dan tidak jelas sumbernya serta sebutan
“habib” itu hanya klaim dari keluarga Alawiyin. Mereka yang bukan dari Baalawi
lebih suka dipanggil “sayid, sayidah, syarif, syarifah”, bahkan ada juga yang
hanya senang dipanggil ‘Ustadz” karena merasa lebih dekat dengan masyarakat dan
murid-muridnya.
Rabithah
Alawiyah harus menjelaskan ini semua dengan riset atau penelitian modern
sebagaimana yang dilakukan Kiyai Imad agar semuanya clear. Kalau bisa, lebih
hebat dibandingkan Kiyai Imad, misalnya, datanya bersumber dari kitab silsilah yang
ditulis pada tahun ketika orang-orang yang ada dalam kitab itu masih hidup. Itu
jauh lebih akurat. Paling tidak, kitab yang ditulis tidak jauh jaraknya dari
waktu hidup orang-orang yang dicatat dalam kitab itu.
Kalau
kita semua mencintai Nabi Muhammad saw dan berharap berlimpahnya rahmat bagi umat Muhammad saw, buka data yang
benar, berdebat yang akademis agar semuanya menjadi lurus. Hasil penelitian
hanya bisa dibantah atau digugat oleh penelitian lain yang lebih akurat. Memang banyak sekarang dari pendukung Rabithah
Alawiyah yang menjawab balik Kiyai Imad, tetapi isinya cuma bantahan-bantahan
murahan yang kalau enggak marah-marah, cengengesan, atau hal bodoh lainnya.
Kalau dijawab dengan hal seperti itu atau sekedar pod cast, mau ribuan tayangan
pun, nilainya hanya “nol”, omong kosong. Bikin satu saja penelitian seperti Kiyai
Imad, itu sangat jauh lebih bermakna dan penuh ilmu pengetahuan. Itu namanya
cerdas. Malu dong sama Nabi Muhammad saw yang “fathonah”, ‘cerdas’. Saya dukung
penuh Rabithah Alawiyah untuk melakukan penelitian. Kalau tidak, penelitian
Kiyai Imad adalah “kebenaran” sebelum ada penelitian lain yang menjatuhkannya.
Begitu cara kerja ilmu pengetahuan.
Buka
dengan jujur, apalagi soal sejarah. Jika sejarah keluarga imigran Yaman digunakan
sebagai boneka Belanda, akui saja. Tinggal kita bekerja sama di Negara
Indonesia yang telah merdeka ini. Kalau tidak dijelaskan, ini bakal menjadi bola
liar karena menganggap bahwa wali songo tidak punya keturunan. Padahal,
keturunan wali songo itu menyembunyikan dirinya supaya tidak ditangkap penjajah
Belanda. Itulah salah satu alasan kenapa keturunan wali songo yang juga
keturunan Nabi saw tidak pernah koar-koar soal nasabnya. Mereka semuanya adalah
pejuang, pemberontak, prajurit yang melawan penjajahan. Jangan sampai ada
pikiran di masyarakat kita bahwa ketika keturunan wali songo sedang berperang,
keluarga Yaman malah enak-enak kerja sama dengan Belanda untuk meredam
perjuangan keturunan wali songo. Itu sangat berbahaya.
Satu
lagi yang mesti dicatat. Jangan takut tes DNA untuk meyakinkan nasab kalau
memang keturunan Nabi saw. Reporter Najwa Shihab, anak dari Quraish Shihab,
berani untuk melakukan tes DNA. Hasilnya, mengagetkan. Hasil dari tes DNA
menunjukkan bahwa komposisi DNA Najwa Shihab jangankan mendekati DNA Nabi
Muhammad saw, dekat ke gen Arab saja tidak, hanya 3,48% untuk “Middle Eastern”. Malah, komposisi Najwa
Shihab lebih dekat ke gen India, 48,54% untuk “South Asian”. Itu yang ada di kompas com. Hasil ilmu pengetahuan.
Baik
Najwa Shihab, maupun ayahnya, Quraish Shihab, tenang-tenang saja. Tidak ada
masalah. Dari dulu juga tidak mau disebut habib. Biasa saja. Mereka orang-orang
cerdas yang terbuka pikirannya. Saya sangat menghormati Quraish Shihab karena
ceramahnya padat ilmu dan menulis tafsir Al Misbah. Tak akan berkurang rasa
hormat saya dan para penuntut ilmu kepada Qurasih Shihab hanya karena hasil tes
DNA. Demikian pula para pengagum, pengikut, pendukung, atau umat Habib Luthfi
bin Yahya, Habib Husein Baagil, Habib Zen Asegaf, Habib Jindan, Habib Husein
Jafar, dan habib-habib lainnya, tidak akan berkurang rasa hormat mereka. Rasa
hormat itu berasal dari manfaat yang dirasakan, ilmu yang bertambah, masalah
yang terpecahkan, ketenteraman dan ketenangan yang terasa, keamanan yang
terjamin agar NKRI tetap utuh, kehidupan yang harmonis, dan lain sebagainya.
Hiruk pikuk soal perhabiban ini terus terjadi
karena memang merupakan akibat hiruk pikuk yang mereka lakukan sendiri pada
waktu yang lalu. Tenang, selesaikan dengan baik, gunakan ilmu pengetahuan
karena Allah swt telah melengkapi kita dengan akal untuk menjadi penengah dalam
kehidupan beragama.
Sampurasun.