Thursday, 12 December 2024

Mahasiswa Bicara Makan Bergizi Gratis

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Program pemerintah Presiden RI Prabowo Subianto yang dikenal dengan “Makan Siang Gratis” yang kemudian berubah menjadi “Makan Bergizi Gratis” mendapatkan banyak tanggapan dari masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri, baik dari para pendukung Prabowo-Gibran, maupun dari para penyinyir dan antipemerintah. Kali ini saya ingin mendengar pendapat dari mahasiswa secara murni pikiran mereka, terutama mahasiswa yang saya asuh di Program Studi Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Al Ghifari (Unfari), Bandung.

            Saya bagi mahasiswa di kelas Mata Kuliah Diplomasi Gastro ke dalam tiga kelompok. Salah satu kelompok, yaitu Kelompok 1 saya tugaskan untuk mempresentasikan dan mendiskusikan tentang “Makan Bergizi Gratis” dan hubungannya dengan Diplomasi Gastro. Saya tidak ikut campur ke dalam pikiran dan pendapat mereka. Saya membebaskan mereka untuk bicara apa saja, termasuk mengkritik pemerintah ataupun mendukung pemerintah. Saya hanya memagari mereka untuk tidak jatuh dalam “DFK”, yaitu “disinformasi, fitnah, dan kebencian”, saya memang mengeluarkan fatwa bahwa DFK itu haram.

            Bagi yang ingin mengikuti presentasi dan diskusi mereka, silakan saksikan di link https://www.youtube.com/watch?v=8kF6OHPcfXc&t=818s

            Semua boleh berkomentar, mengkritik, ataupun mendukung demi berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Diplomasi Gastro, termasuk perbaikan dan usulan terhadap program makan bergizi gratis.

            Sampurasun.

Sunday, 8 December 2024

Sesembahan Orang Sunda

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera sang Surya

Karena banyak orang yang sok tahu tentang Islam dan Sunda Wiwitan, lalu menyesatkan banyak orang dengan kata-kata mereka dan tulisan mereka, saya jadi memaksakan diri untuk memeriksa catatan saya sekitar tujuh atau sepuluh tahun lalu. Saya pernah membaca dan merekam beberapa naskah tentang Sunda Wiwitan. Saya pastikan orang yang mengatakan bahwa orang Sunda pada zaman dahulu adalah penyembah pohon, batu, gunung, jin, atau patung, orang itu sudah pasti bodoh, sok tahu, dan berbicara, berpendapat, atau menulis hanya berdasarkan dugaan atau sangkaan belaka, tanpa ilmu. Celakanya, dugaan atau sangkaan itu dianggap sebagai kebenaran yang menghasilkan pemahaman dan perilaku yang salah. Orang Sunda sesungguhnya dari dulu sampai hari ini menyembah hanya satu hal, tidak berubah. Dulu menyembah “itu”, sekarang pun tetap menyembah “itu”. Perhatikan kalimat dari Sunda Wiwitan berikut ini.

            “Hyang tunggal anu Maha Luhung; satemenna tujuan utama manusa sembah Hyang; henteu boga anak henteu boga dulur; boga baraya jeung batur ogé henteu di jagat jeung ieu alam; anu pangunggulna dina sagala rupa hal; hung, tah éta téh nu ngagem bebeneran sajati, ahung.”

            Artinya.

            “Tuhan Tunggal Yang Mahaagung. Sesungguhnya, Dia-lah yang sebenarnya tujuan penyembahan manusia, tidak punya anak dan tidak punya saudara, punya kerabat dan teman juga tidak di seluruh jagat dan seluruh alam ini. Dia yang paling unggul dalam segala rupa hal. Hung! Itulah agama pegangan kebenaran yang sejati. Ahung!”

            Nah, Zat itulah yang disembah orang Sunda dari dulu sampai hari ini, tidak berubah. Sesuatu dengan kriteria itulah yang disembah orang Sunda hingga detik ini.

            Sekarang paham?

            Jadi, berhenti mendengarkan orang-orang bodoh dan sok tahu yang tidak punya pengetahuan. Berhati-hati dalam berpendapat, beropini, atau berfatwa jika belum memahami dengan benar apa yang sedang dibicarakan.

            Sampurasun.

Wednesday, 4 December 2024

Saatnya Berhenti Membenci Gus Miftah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Semua sepakat bahwa apa yang dilakukan Gus Miftah kepada Sunhaji, pedagang es teh dari Magelang adalah keburukan meskipun disampaikan dengan cara bercanda, olok-olok yang niatnya hanya menyegarkan suasana. Sunhaji hanya dijadikan sebagai objek untuk menerangkan bahwa yang memberikan rezeki itu adalah Allah swt.

            Kesalahan yang dilakukan Gus Miftah mudah saja dilakukan oleh orang lain, terutama orang yang bekerja atau yang aktivitasnya banyak berbicara, seperti, saya yang punya ribuan murid, para guru, para dosen, para ustadz, mentor, pembina, trainer, dan lain sebagainya. Bisa saja kita pun pernah melukai orang lain dengan kata-kata, baik sengaja ataupun tidak, bercanda ataupun serius.

            Gus Miftah malah punya keuntungan besar karena ditegur Allah swt secara cepat melalui bulian, hujatan, dan makian rakyat Indonesia. Dengan demikian, dia bisa segera cepat memperbaiki diri. Tampaknya, Miftah pun memperbaiki dirinya. Dia meminta maaf secara langsung kepada Sunhaji, menjanjikannya umrah, dan menggelar pengajian di sekitar tempat tinggalnya. Di samping itu, Presiden RI Prabowo Subianto pun memberikan modal usaha buat Sunhaji karena Miftah sekarang adalah bagian dari dirinya, bagian dari istana yang ditugasi untuk mengurus hal-hal khusus yang berkaitan dengan kerukunan hidup umat beragama serta fasilitas beragama. Tambahan pula, banyak orang yang bersimpati kepada Sunhaji dan dengan dermawan memberikan banyak bantuan.

Sunhaji dan Miftah (Foto: ANTARA Jateng)

            Abah Miftah sudah mendapatkan banyak hukuman dari masyarakat selama berhari-hari. Saya pikir sudah cukup masyarakat memberikan peringatan kepadanya. Dia mungkin akan memperbaiki dirinya. Hal itu pun menjadi keuntungan bagi kita karena kita bisa belajar dari kesalahan dirinya dan tidak perlu melakukan hal yang serupa. Miftah sudah mulai membenahi dirinya. Kita masyarakat tidak perlu terus-menerus membulinya. Kalau kita terus-menerus membencinya, mungkin ada yang salah dalam diri kita. Bisa jadi hidup kita banyak masalah, banyak penderitaan, kekecewaan, dan kegagalan yang kemudian dilampiaskan dengan membuli, menghujat, dan memaki orang lain.

            Kemarahan kita akan menjadi pahala jika diniatkan untuk memperbaiki Miftah agar bisa menjadi gus yang lebih bermanfaat dan tidak berlebihan. Akan tetapi, kemarahan kita akan menjadi dosa dan membuat diri kita buruk jika hanya untuk mengumbar kebencian dan berlebihan.

            Mereka yang sangat marah kepada Miftah saya perhatikan sangat banyak dari para antihabib. Memang Miftah tampaknya masih berat untuk mengakui bahwa para habib bukanlah keturunan Nabi Muhammad saw. Dia masih membela habib meskipun tidak punya bukti karena katanya dirinya adalah murid dari Abah Luthfi atau yang dikenal Luthfi bin Yahya. Memang berat untuk mengakui bahwa kenyataannya gurunya yang dia hormati tidak tersambung nasabnya ke Nabi saw. Miftah punya masalah dengan dirinya soal hal itu.

Soal ejekan atau olokan kepada Sunhaji adalah hal yang berbeda dengan urusan nasab para habib. Olokan kepada Sunhaji adalah masalah adab, sedangkan soal nasab para habib yang justru kabarnya secara DNA tersambung ke Yahudi Israel adalah masalah ilmu pengetahuan. Jangan dihubung-hubungkan karena itu adalah dua persoalan yang berbeda.

 Gus Miftah sudah memperbaiki diri, tinggal kita juga sekarang harus menjaga diri.

Foto Sunhaji dan Miftah saya dapatkan dari ANTARA Jateng.

Sampurasun

Sunday, 1 December 2024

Siapa Bilang Islam Dikalahkan Sunda Wiwitan?

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kemenangan mutlak Dedi Mulyadi dalam Pilkada 2024 Provinsi Jawa Barat lumayan meributkan media sosial. Ada yang bersuara menggunakan ilmu pengetahuan, ada juga yang bersuara menggunakan kebodohan.

            Dedi Mulyadi yang dipandang sebagai pemegang teguh ajaran Sunda Wiwitan dianggap telah mengalahkan Islam di Jawa Barat. Sungguh, saya pastikan orang yang berpendapat seperti adalah orang yang tidak memahami Islam dan sangat tidak memahami Sunda Wiwitan.

            Panjang sebenarnya kalau menulis hal ini, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Akan tetapi, sedikit saja saya jelaskan bahwa Sunda Wiwitan itu adalah sistem sosial yang digunakan leluhur Sunda dalam mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya ada keyakinan yang monoteisme atau “bertuhan tunggal”. Oleh sebab itu, orang Sunda mudah sekali menerima Islam sebagai agama karena memiliki getaran yang sama dengan Sunda Wiwitan.

            Beberapa raja Sunda mencoba mengabadikan ajaran-ajaran Sunda Wiwitan dalam berbagai bentuk tulisan. Misalnya, sebagaimana yang direkam oleh “Prabu Munding Laya bin Gajah Agung bin Cakrabuana bin Aji Putih, Raja Sumedang Larang”.

            “Dina Agama Sunda Wiwitan, aya anu unina kieu, ‘Nya inyana anu muhung di ayana, aya tanpa rupa, aya tanpa waruga, hanteu ka ambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana’.”

            Artinya.

           “Dalam Agama Sunda Wiwitan, ada ajaran seperti ini, ‘Dia-lah Yang Mahaagung dalam keberadaan-Nya, ada tanpa kelihatan rupa-Nya, ada tanpa kelihatan wujud-Nya, tidak tercium keberadaan-Nya, tetapi berkuasa yang kemahakuasaan-Nya adalah sesuai dengan kehendak-Nya’.”

            Itu satu kalimat dari Sunda Wiwitan yang pernah saya baca naskahnya. Kalau penasaran, nanti saya tambah lagi. Sayangnya, saya lupa menulis sumber naskahnya karena dulu saya kurang menganggap penting sumber tulisan, hanya mementingkan redaksinya. Insyaalah, kalau saya temukan sumbernya, saya share lagi.

            Pertanyaannya, adakah dari satu kalimat Sunda Wiwitan tadi yang bertentangan dengan ajaran Islam?

            Kalau ada, kasih tahu saya. Sangat senang saya mendiskusikannya. Kalau tidak ada, kalimat itu tidak bertentangan dengan Islam. Jadi, tidak benar Sunda Wiwitan mengalahkan Islam.

            Sampurasun.