oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Berbicara soal naik kelas,
siapa pun yang membicarakannya selalu mengambil contoh naik kelas di lingkungan
sekolah, baik itu SD, SMP, atau SMA. Naik kelas tidaklah harus selalu memiliki nilai
yang sempurna atau teramat baik. Seorang siswa dinyatakan naik ke kelas yang
lebih tinggi disebabkan nilainya mencukupi untuk naik kelas. Kalau memang semua
mata pelajaran mendapatkan nilai yang sangat tinggi, itu sangat bagus. Akan
tetapi, kalaupun tidak semua mata pelajaran mendapat nilai yang sangat bagus,
asal nilainya mencukupi, seorang siswa dapatlah dinyatakan naik kelas.
Misalnya, yang sering terjadi adalah siswa mendapatkan nilai yang sangat baik
dalam mata pelajaran sosial, bahasa, seni, dan budaya, tetapi nilai untuk mata
pelajaran ilmu eksak mendapatkan nilai yang biasa-biasa saja. Siswa tersebut
tetap bisa naik kelas. Demikian pula sebaliknya, tidak jarang siswa yang sangat
pandai soal mata pelajaran yang penuh dengan hitung-hitungan, tetapi kesulitan
dalam mata pelajaran seni, budaya, bahasa, atau olah raga. Siswa itu pun tetap
bisa naik kelas.
Indonesia memang masih memiliki banyak masalah, tetapi
masalah-masalah itu tidak menghambatnya untuk naik kelas ke level yang lebih
tinggi. Hal itu sebagaimana seorang siswa yang memiliki kelebihan dalam mata
pelajaran tertentu dan kelemahan pada mata pelajaran lainnya. Pada kelas
berikutnya siswa akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi untuk seluruh
mata pelajaran. Artinya, dia akan meningkatkan pengetahuannya untuk pelajaran
yang sangat dia kuasai dengan tetap melakukan berbagai perbaikan pada pelajaran
yang kurang dikuasainya. Demikian pula dengan Negara Indonesia, dalam banyak
hal telah mengalami perbaikan, tetapi masih ada pula yang harus diperbaiki dan
terus ditingkatkan. Pada level berikutnya Indonesia akan mendapatkan banyak
pengalaman baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan ujian yang lebih tinggi
pula, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam percaturan di
tingkat internasional.
Kalau di sekolah, yang menyatakan seorang siswa naik
kelas adalah guru. Adapun dalam kehidupan nyata atau penyelenggaraan negara,
yang menyatakan “naik kelas” adalah
Allah swt.
Tidakkah kita bisa melihat dan merasakan bahwa Allah swt
telah membuat Indonesia naik kelas?
Saat ini keinginan pemerintah dan rakyatnya relatif sama,
tidak ada perbedaan yang runcing. Semuanya sama menginginkan kenyamanan,
keamanan, dan kemakmuran. Seluruhnya sama-sama membenci kejahatan,
kriminalitas, kecurangan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan hal-hal
lain yang menunjukkan kelemahan dan keburukan. Berbeda dengan dulu yang kerap
terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam antara pemerintah dan rakyat dalam
hal berbangsa dan bernegara yang menciptakan kondisi berseberangan antara
pemerintah dengan rakyatnya. Perbedaan yang terjadi pada saat ini antara
pemerintah dengan rakyat adalah lebih tampak dalam hal teknis ke arah pada
pencapaian kemakmuran bersama, bukan lagi dalam hal ideologi atau perebutan
kekayaan alam. Memang sangat tidak lucu jika rakyat dan pemerintah bertengkar
rebutan kekayaan alam.
Dalam hal politik pun ada perbaikan sedikit-sedikit.
Meskipun saya adalah “pembenci berat” demokrasi, tetap mengapresiasi perubahan
yang terjadi. Contoh kecil adalah kalau dulu ada teman satu partai yang
melakukan korupsi dan kejahatan lainnya, teman-teman satu partainya berikut
partainya secara institusi membela mati-matian teman-temannya yang telah
melakukan perilaku menjijikan itu. Sekarang terjadi perbedaan. Partai dan
anggotanya tidak lagi membela anggota yang “kedapatan” melakukan tindakan
korupsi ataupun kejahatan lainnya. Partai lebih memilih untuk menyingkirkan
“penjahat” itu agar tidak merusakkan nama baik partai. Demikian pula ada yang
tidak terlalu bergantung pada partai untuk mendapatkan kekuasaan. Mereka tidak
terlalu takut untuk tidak mendapatkan dukungan partai. Mereka memilih untuk
membuktikan dirinya sendiri sebagai orang yang “bisa dipercaya” dan berjuang
bersama dengan kelompok masyarakat nonpartai. Namanya Independen.
Hal yang sama pun terlihat di institusi kepolisian, TNI,
dan aparat lainnya. Jika ada anggotanya yang jelas-jelas melakukan pelanggaran
atas hukum, institusi tersebut memilih untuk memecat dan menghukumnya. Lumayan
berbeda dengan masa lalu yang kerap menyembunyikan kebusukan orang-orang
busuknya dan membela mati-matian teman satu korpsnya.
Bukankah hal itu merupakan suatu kemajuan?
Iya benar memang kita belum merasa puas, tetapi itu sudah
lebih baik dibandingkan dengan dulu.
Tanda-Tanda
Indonesia Naik Kelas
Kesadaran untuk bersama
hidup dalam NKRI semakin menguat dan menebal. Pemahaman untuk mencapai tujuan
bersama sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sudah semakin
terang. Denah yang ingin dicapai oleh Indonesia yang merupakan tujuan pembangunan
nasional sudah sama. Perbedaan tujuan sudah semakin kecil. Dasar Negara
Pancasila semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Mereka yang masih
menginginkan berbeda dari Pancasila dan Preambul UUD 1945 hanya tinggal segelintir
kecil dan terus mengecil, bahkan dianggap sebagai “pengganggu” yang sama sekali
tidak dihormati. Perang terhadap “gangguan” dan berbagai pelanggaran hukum
sama-sama sangat disetujui oleh pemerintah dan rakyat. Keharusan untuk berbagi
kemakmuran sangat diamini oleh pemerintah dan masyarakat. Kalaupun masih ada
perbedaan, perbedaan yang terjadi lebih banyak pada hal teknis, dana, dan waktu
yang harus digunakan untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
Perbaikan dan kemajuan yang dimulai dari kesamaan
pemahaman tersebut mulai tampak pada langkah-langkah teknis. Perlahan namun
pasti, langkah-langkah teknis itu makin jelas dan makin jelas. Meskipun
perbaikan dan kemajuan itu masih sangat minimal, Allah swt menilainya sebagai
kebaikan dan merupakan peningkatan yang sangat positif. Hal itu pulalah yang
menjadi dasar bagi Allah swt menaikkan Indonesia ke kelas yang lebih tinggi.
Tidak bisakah kita melihat Allah swt telah menaikkan
Indonesia ke level yang lebih tinggi?
Perhatikan ini.
Untuk urusan dalam negeri dalam rangka mencapai kemakmuran
bersama, Indonesia sudah relatif right on
the track, ;’berada pada jalan yang benar’. Oleh sebab itu, Allah swt
memberikan tanggung jawab yang lebih besar lagi, yaitu tantangan untuk lebih
berperan aktif dalam percaturan internasional. Dengan demikian, Indonesia harus
memiliki banyak pemikir yang ikut memberikan sumbangan pikiran dalam
menyelesaikan berbagai masalah internasional. Kalau untuk memecahkan
permasalahan di dalam negeri, sudah sangat banyak orang pintar yang ikut
terlibat, baik di dalam tubuh penyelenggara negara maupun di luar pemerintahan.
Akan tetapi, orang-orang yang matanya mengarah pada perbaikan kemelut
internasional, masih belum banyak terlihat.
Orang mungkin akan berpendapat buat apa ngurusin masalah
orang lain, masalah sendiri saja di dalam negeri belum beres?
Saya hanya ingin balik menanyakan untuk apa seorang siswa
naik kelas kalau belum semua pelajaran mendapat nilai 90-100?
Kalau masih ada pelajaran yang nilainya 70 atau 60,
sebaiknya tidak usah naik kelas.
Begitukah?
Kalau memang harus begitu, saya yakin 99% siswa di
Indonesia tidak akan pernah naik kelas. Semuanya hanya mampu sampai kelas satu
sekolah dasar sampai bangkotan.
Demikian pula dengan Indonesia, jika harus menunggu beres
semuanya di dalam negeri, kita berarti menyia-nyiakan kepercayaan Allah swt
untuk lebih berperan aktif di dunia internasional. Apabila lebih aktif dalam
percaturan internasional, kita akan mendapatkan banyak keuntungan dari kiprah
kita tersebut. Hal itu disebabkan apa yang kita lakukan di tingkat dunia harus
tetap berpegang pada nilai-nilai nasionalisme kita, bukan hanya menjadi
pengikut yang bisanya cuma manggut-manggut pada negeri orang lain yang
sesungguhnya negeri-negeri itu tidak memiliki “jalan yang benar” dan tidak
mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi berbagai permasalahan dunia.
Bahkan, makin hari makin kusut-samut saja kehidupan internasional ini. Tak
jarang bahwa negeri-negeri yang mengklaim diri sebagai negeri yang hebat-hebat
itu justru yang memicu berbagai konflik di dunia ini. Kita harus lebih aktif
dalam pergaulan internasional dengan nilai-nilai kebaikan yang kita miliki
sehingga kita pun akan mendapatkan feedback
positif dari aktivitas kita di dunia internasional.
Perhatikan arahan dari Sang Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia Ir. Soekarno.
“Nasionalisme kita
adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam ruh’
seperti yang saban-saban dikhutbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India
yang besar itu. Dengan nasionalisme yang demikian ini, kita insyaf dengan
seinsyaf-insyafnya bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah bagian dari negeri
Asia dan rakyat Asia juga bagian dari dunia dan penduduk dunia …. Kita, kaum
pergerakan nasional Indonesia bukan saja merasa menjadi abdi atau hamba dari
tanah tumpah darah kita, melainkan kita juga merasa menjadi abdi dan hamba
Asia, abdi dan hamba semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba dunia ….”
Kita harus sudah merasa bukan lagi hanya sebagai warga
negara Indonesia, melainkan sudah harus merasakan sebagai warga dunia, rakyat
dunia, yang bisa terpengaruh oleh situasi dunia sekaligus bisa memengaruhi
kehidupan dunia. Daripada menjadi objek yang selalu terombang-ambing oleh
pengaruh dunia, kita harus berupaya untuk menggerakkan dunia sesuai dengan
nilai-nilai kebaikan yang kita miliki. Indonesia memiliki potensi besar untuk
hal itu.
Nggak percaya?
Saya kasih satu contoh sangat kecil
yang jika diperjuangkan akan memberikan manfaat yang teramat besar bagi
perdamaian dunia. Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas muslim
terbesar di dunia. Sangat tak salah jika mematuhi nasihat-nasihat Nabi Muhammad saw.
Rasulullah saw pernah berpesan dalam kalimat pendek, “Jangan menjual senjata kepada orang yang
sedang bertengkar.”
Nasihat yang sangat berharga itu akan berpengaruh sangat
luas bagi perdamaian dunia. Negeri-negeri yang sedang bertengkar atau terlibat
perselisihan jika tidak mendapatkan pasar atau suplai senjata, akan berpikir
ribuan kali untuk melakukan perang karena mereka pasti akan kehabisan amunisi
untuk membunuh yang akibatnya mereka akan hancur jika musuhnya memiliki
persenjataan yang lebih banyak. Itu artinya, dunia akan mengalami tekanan kuat agar
tidak melakukan perang di mana pun dan senjata yang dimilikinya hanya untuk
membela diri, bukan untuk melakukan invasi ke wilayah orang lain.
Kenyataan yang ada saat ini adalah negeri-negeri yang
sedang bertengkar atau tidak akur berlomba membeli senjata baru dan
memperbanyaknya untuk perang sehingga membuat dunia selalu harus menyaksikan
pembunuhan demi pembunuhan. Hal yang lebih parah adalah para penjual senjata
pun semakin rajin untuk memproduksi senjata baru agar dibeli oleh negara-negara
yang sedang dalam pertengkaran. Kalau negara-negara resmi menahan diri untuk
berperang, para pedagang senjata pun segera menyuplai atau menjual senjata pada
kelompok-kelompok teroris untuk menciptakan ketidakamananan sehingga pasar
senjata lebih bergairah lagi. Kalau orang-orang enggan untuk bermusuhan, para
pedagang senjata pun segera “menciptakan” kelompok-kelompok pengacau atau
“melahirkan” kekacauan yang berujung pada penggunaan senjata.
Begitu kan?
Sungguh, satu kalimat pendek larangan menjual senjata
pada orang-orang yang sedang bertikai dari Junjunan Yang Termulia Muhammad
Rasulullah saw dapatlah mendamaikan dunia.
Demi Allah swt.
Indonesia Sudah Naik Kelas
Indonesia tidak boleh dan
memang tidak bisa menghindar dari “naik kelas” karena memang level kita “sudah
naik”. Allah swt membuatnya seperti itu.
Sebenarnya, dari sejak dulu pun Indonesia sudah terlibat
dalam percaturan politik Internasional. Akan tetapi, sekarang Allah swt
menginginkan kita untuk lebih aktif lagi. Allah swt percaya kepada Indonesia
dan hendak menguji Indonesia. Kalau berhasil dari ujian-Nya, Indonesia akan
lebih meningkat lagi ke level yang belum bisa kita duga. Kalau gagal, kita bisa
jatuh remuk-redam dan terhina. Wallahu
alam.
Beginilah Allah swt membuat Indonesia naik kelas. Tanpa
disadari, tiba-tiba kita dicobai dengan hadirnya para pengungsi Rohingya dari
Myanmar. Rakyat pesisir Aceh yang miskin mendapat beban baru untuk menolong
mereka. Miskin ya miskin, tetapi kewajiban untuk menolong telah mengalahkan
rasa takut untuk hidup lebih miskin. Mereka pun menolong para pengungsi itu dan
pemerintah pun meneruskannya dengan langkah-langkah lebih positif. Kejadian itu
membuat orang-orang ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi di Myanmar sekaligus
memaksa pemerintah Indonesia behubungan dengan dunia untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Peristiwa itu pun mendapatkan perhatian dunia. PBB dan
dunia mengacungkan jempol untuk Indonesia dalam menangani pengungsi. Perasaan
hanya Indonesia yang mendapat acungan jempol dari dunia soal itu. Negara-negara
lain tidak mendapat kehormatan sebesar seperti yang diterima Indonesia. Bahkan,
negara-negara lain segera merasa “terbebani” dengan hadirnya para imigran
sampai saat ini. Allah swt membukakan “kedustaan” mereka yang sering mengklaim
diri sebagai penegak Ham, pengawal “kemanusiaan”, pencipta “kasih sayang”, dan
seabrek klaim manis lainnya yang sesungguhnya hanya senilai bau “kentut” tukang
kuli panggul di terminal. Untuk menolong orang lain saja sampai repot seperti
itu. Harusnya tolong dulu, urusan nanti belakangan. Bahkan, para anti-Islam
mempropagandakan bahwa kehadiran pengungsi itu merupakan “invasi tersamar” kaum
muslimin untuk menguasai dunia. Goblok banget mereka.
Pengungsi memang benar merupakan beban tersendiri. Akan
tetapi, jangan pula sampai diusir tanpa kejelasan.
Di mana rasa kemanusiaan mereka yang selalu mereka
“kentutkan itu”?
Di mana rasa kasih sayang mereka yang selalu mereka
promosikan itu?
Dusta!
Hal yang lebih parah adalah mereka yang mengklaim diri
sebagai penganut ajaran “kasih sayang” itu tidak mempedulikan seruan petinggi
Vatikan. Paus menyerukan agar setiap negara membuka perbatasan untuk menolong
para pengungsi, tetapi perbatasan itu malah ditutup lebih rapat. Mereka hanya
menghitung untung dan rugi serta ‘kekhawatiran” yang tidak beralasan.
Padahal, kalau mau dirunut secara kronologis, kita bisa
melihat bahwa pengungsi itu datang karena adanya kekerasan dan perang di
negerinya. Perang dan kekerasan itu diciptakan oleh orang rakus dan gemar
kekuasan. Orang-orang jahat itu mendapatkan senjata untuk melakukan perang dan
kekerasan.
Dari mana mereka mendapatkan senjata?
Siapa yang menciptakan kelompok-kelompok perusuh itu?
Siapa yang mem-back
up para pemimpin tiran itu?
Dari mana orang-orang rakus itu memiliki uang?
Dengan siapa saja para penjahat dan penguasa itu
berbisnis?
Siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari berbagai
huru-hara itu?
Semuanya berawal dari kapitalisme dan sekarang kembali
membawa akibat pada orang-orang dan negeri kapitalis sendiri. Kalau kata
orang-orang, namanya “karma”. Ketika akibat
huru-hara itu datang pada mereka, anehnya mereka menghindar dan cuci
tangan. Mereka hanya ingin mendapatkan untung tanpa ingin menanggung risiko.
Seharusnya, negeri-negeri kapitalis itu jangan mengeluh dengan kehadiran
pengungsi karena toh itu merupakan akibat dari huru-hara yang mereka bikin
sendiri juga.
Hal lain yang membuat Indonesia harus membuka mata
terhadap masalah Internasional adalah dipercayanya menjadi tuan rumah Oki yang
kemudian mem-blow up pernyataan tegas
Presiden Jokowi untuk memboikot produk-produk Israel dan menegaskan Indonesia
sebagai negara yang sangat antipenjajahan. Upaya mempererat hubungan diplomatik
dengan Palestina yang dilakukan Retno Marsudi merupakan kondisi lebih
“terceburnya” Indonesia dalam masalah Israel-Palestina yang kemudian
ditingkatkan pula dengan hubungan ekonomi yang lebih baik.
Banyak hal yang dapat dilakukan Indonesia untuk
mempercepat proses pembebasan Palestina dari penjajahan Israel. Salah satunya
mengekspor rasa persatuan dalam tubuh Palestina sendiri dan menyadarkan
orang-orang Arab dan Timteng untuk bersatu dalam menyelesaikan masalah itu.
Orang-orang Israel dan pendukungnya akan tetap tenang menjajah Palestina karena
belum adanya kebersamaan di antara orang-orang Arab sendiri. Orang-orang Arab
memang punya penyakit akut yang gemar membangga-banggakan keluarganya, sukunya,
atau kaumnya. Hal itu mempersulit rasa persatuan di antara mereka. Bahkan, pada
zaman Nabi Muhammad saw saja mereka masih saling bunuh, padahal sudah sama-sama
Islam. Ketika ada dua sahabat berbeda suku ditugaskan untuk hal tertentu,
sepanjang jalan mereka bertengkar karena membangga-banggakan sukunya
masing-masing. Hal itu berujung pada perkelahian untuk saling bunuh. Malahan,
di rumah Nabi Muhammad saw sendiri kebanggaan atas nama keluarga itu terjadi.
Zaid yang dinikahkan Rasulullah saw kepada Zainab sangat tidak tahan menjadi
suami Zainab. Hal itu disebabkan Zainab selalu membangga-banggakan silsilah
keluarganya sendiri sekaligus menghina Zaid. Zainab merasa dirinya lebih tinggi
dan tidak pantas menjadi istri Zaid. Ujungnya, Rasulullah saw menyuruh Zaid
untuk menceraikan Zainab. Kemudian, Nabi saw sendiri yang menikahi Zainab untuk
meredam masalah itu.
Memang orang-orang Arab itu sangat sulit untuk bersatu.
Jika mampu berhasil mempersatukan mereka dalam langkah yang sama, Indonesia
akan semakin mendapatkan perhatian dunia dan akan mendapatkan penghargaan yang
teramat tinggi di muka Bumi, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah
swt. Palestina pun akan sangat mudah untuk dibebaskan.
Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau, ribuan
suku, ribuan bahasa, ribuan adat dapat dengan mudah bersatu. Persoalan kesukuan
sudah lama selesai. Memang ada yang terlambat bersatu, yaitu antara Suku Sunda yang
besar dan Suku Jawa yang lebih besar gara-gara Perang Bubat. Permusuhan itu berlanjut dari generasi ke generasi
selama berabad-abad. Akan tetapi, keduanya sama-sama menahan diri untuk tidak
bertempur lagi. Bahkan, terjadi banyak pernikahan di antara kedua suku tersebut
di samping memiliki agama mayoritas yang sama, Islam. Permusuhan pun semakin
mengecil hanya sebatas saling hina, saling ledek, saling tuding, dan
sebagainya. Akan tetapi, permusuhan itu menjadi “sempurna” selesai ketika “keturunan
Majapahit” melakukan upacara “memohon maaf” kepada “keturunan Padjadjaran” pada
2010. Keluarga Majapahit menyadari sepenuhnya bahwa kejadian Perang Bubat itu merupakan kesalahan
yang dilakukan pasukan Jawa kepada keluarga Sunda. Permohonan maaf keluarga
Majapahit yang kemudian diterima dengan teramat baik oleh keluarga Sunda itu
merupakan kejadian luar biasa dan harus diapresiasi dengan sangat tinggi. Jadi,
masalah Perang Bubat itu sudah
seharusnya selesai dan hanya tinggal sejarah memilukan dan memalukan bagi kedua
suku. Jika masih ada yang menghidup-hidupkan dendam lama tentang peristiwa itu,
mereka hanyalah orang-orang yang tidak ingin hidup memandang ke depan dan
menikmati keuntungan dari “ketidakbersatuan” Indonesia. Mereka hanyalah pecinta
rasa benci, dendam, dan huru-hara.
Di Indonesia tidak pernah terjadi rasisme terhadap kulit
hitam Papua, kecuali oleh orang-orang bego yang jumlahnya hanya satu dua.
Bahkan, pemerintah Indonesia berupaya memajukan pendidikan dan taraf hidup
orang Papua serta Indonesia bagian timur. Tak ada yang menikmati kebodohan
orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri. Berbeda dengan yang terjadi di
negara-negara barat yang sampai hari ini terjebak dalam sikap rasisme
menjijikan dan sikap memperbudak orang lain pada beberapa kalangan di
negeri-negeri Arab.
Indonesia pasti memiliki banyak cara untuk mempersatukan
negeri Arab dalam langkah yang sama. Banyak sejarah yang bisa digali dari dalam
diri Indonesia untuk diekspor ke seluruh penjuru dunia.
Contoh lain Indonesia sudah harus memperhatikan interaksi
dunia internasional adalah ketika terjadi pelanggaran batas laut oleh kapal
nelayan pencuri dari Cina yang kemudian dilindungi oleh pasukan lautnya.
Kegeraman Menteri Susi dan protes Retno Marsudi membuat dunia cukup terhenyak
bahwa Indonesia memiliki kemampuan gertak yang tinggi kepada negara sebesar
Cina. Hal itu pun membuat Indonesia untuk lebih memperhatikan permasalahan Laut
Cina Selatan. Akibat dari peristiwa itu, banyak harapan dari berbagai negara
bahwa Indonesia mampu menyelesaikan permasalahan Laut Cina Selatan yang
merugikan banyak negara Asean tersebut. Bahkan, pakar dari Amerika Serikat
memandang Indonesia memang bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Gangguan
untuk Indonesia
Ketika Indonesia mulai
mencuat mendapat perhatian dunia, gangguan pun datang. Mereka tak ingin
Indonesia tenang, semakin kuat, dan tumbuh menjadi negara yang lebih kuat.
Mereka ingin Indonesia tetap dirundung masalah.
Ketika TNI-Polri mulai membuat terdesak Kelompok Santoso,
Indonesia diganggu dengan penculikan yang dilakukan di jalur pelayaran Filipina.
Mereka tak ingin Indonesia bersih dari terorisme. Mereka masih ingin punya
berita bahwa Indonesia masih sibuk dengan terorisme. Penculikan itu pun membuat
Indonesia harus memerankan peran penting dalam pergaulan internasional. Lobi
dan komunikasi dengan Filipina pun semakin sering dilakukan.
Hal yang harus diperhatikan adalah Indonesia harus
mempertahankan adat ketimuran yang penuh sopan santun dan dijaga dengan sikap
beradab yang tinggi. Apabila Filipina atau negara lain tidak memerlukan
Indonesia untuk mengatasi penculikan, Indonesia harus menghormati negara lain
tersebut karena itulah budaya hormat kita. Jangan seperti negara preman Amerika Serikat yang kurang ajar
dan sangat tidak beradab. Mereka menangkap dan membunuh Osama Bin Laden di
Pakistan tanpa meminta izin dulu pada Negara Pakistan. Amerika Serikat itu
tidak beradab dan tak punya sopan santun. Indonesia tidak boleh seperti itu.
Ketika negara lain tidak setuju dengan kehadiran pasukan TNI, tanggung jawab
beralih kepada negara lain itu. Risiko yang harus ditanggung berada pada negara
lain, bukan pada Indonesia. Indonesia sudah berupaya keras, tetapi belum
mendapatkan izin. Hormatilah hal itu karena kita adalah bangsa terhormat, bukan
bangsa preman.
Meskipun demikian, penolakan Filipina atas keterlibatan
TNI pun menjadi semacam gangguan bagi Indonesia karena TNI tidak bisa
memamerkan keahliannya dalam membebaskan sandera sehingga membuat tentara
negara lain memperhitungkan TNI. Demikian pula patroli Amerika Serikat di Laut
Cina Selatan menjadi semacam sedikit hambatan bagi Indonesia untuk lebih
berperan dalam berperan serta di Laut Cina Selatan. Patroli laut AS itu
sedikit-banyak membuat Indonesia merasa tidak perlu-perlu amat untuk lebih
menekan Cina agar tidak melanggar kawasan laut milik negara-negara Asean lain.
Apabila
Indonesia lebih aktif dalam masalah Laut Cina Selatan, pamor AS di kawasan itu
akan jauh berkurang. Oleh sebab itu, AS berupaya narsis dengan berpatroli di
kawasan itu untuk menunjukkan bahwa dirinya masih “polisi dunia”. Padahal,
Hillary Clinton sama sekali tidak didengar Cina untuk kembali mematuhi
batas-batas laut yang disepakati PBB.
Untuk
apa AS berpatroli di sana kalau Cina masih melanggar kedaulatan wilayah laut
negara-negara Asean?
Mereka
hanya narsis, “Aku masih ada di sini, lho.”
Mereka
tidak mau Indonesia mengalahkan AS dalam penyelesaian sengketa Laut Cina
Selatan.
Begitulah.
Ketika Indonesia naik kelas, akan selalu ada pihak yang tidak ingin tersaingi
pengaruhnya. Artinya, kiprah Indonesia di kancah politik internasional mulai
sangat diperhatikan dunia.
So, kalau sudah naik
kelas, hiduplah sebagaimana orang yang sudah naik kelas.