Saturday, 29 October 2016

0-2 untuk Kekalahan Tim Jessica

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Kayak pertandingan sepak bola ya, pakai skor segala, 0-2.

            Memang Otto Hasibuan yang penasihat hukum Jessica Kumala Wongso itu sendiri yang membuatnya seperti itu.

            Kata Otto, “Skornya masih kosong-kosong karena ini belum inkrah. Kami masih banding.”

            Hal itu disampaikannya saat wawancara dengan iNews beberapa saat pascavonis dua puluh tahun penjara buat Jessica yang diyakini hakim sebagai “pembunuh Wayan Mirna Salihin” dengan menggunakan racun sianida di dalam Vietnam Ice coffe.      

            Skor kosong-kosong atau 0-0 menurut Otto karena vonis hakim belumlah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Tim Jessica masih mengajukan banding. Itulah dasar Otto berpendapat skornya kosong-kosong. Akan tetapi, bagi saya, Tim Jessica sudah kalah kosong-dua, 0-2. Kekalahan pertama adalah kekalahan dalam sidang praperadilan. Adapun kekalahan kedua adalah dalam sidang yang menghasilkan vonis dua puluh tahun penjara itu.

            Upaya banding memang merupakan hak yang harus dihormati dan diperbolehkan, tetapi harus berhati-hati. Hal itu disebabkan Tim Jessica bisa kalah lagi sehingga skornya menjadi 0-3. Kalau mereka menang, itu bagus meskipun jaksa mungkin juga tidak diam. Kalau mereka kalah, artinya kalah ketiga kalinya. Kalau mengajukan upaya hukum lain, lalu kalah lagi, skornya jadi banyak kalahnya, bisa 0-4, lalu 0-5, dan seterusnya. Kalau menang, itu bagus. Akan tetapi, kalau kalah lagi dan kalah lagi, bahkan mungkin hukumannya bisa jadi diperberat menjadi hukuman mati, sungguh kecelakaan besar bagi mereka. Kalau sudah jadi hukuman mati, lalu minta grasi kepada Presiden RI, tetapi permohonan grasi itu ditolak, skornya bisa menjadi 0-10 untuk kekalahan Tim Jessica-Otto. Itu sungguh kecelakaan yang menimbulkan penderitaan besar berkepanjangan.

            Skor kekalahan 0-10 itu bisa didasarkan pada kekalahan dalam sidang, tak ditemukannya pelanggaran yang dilakukan hakim oleh Komisi Yudisial, penolakan grasi, kekalahan di mata publik, dan lain sebagainya.

            Menurut saya, kekalahan di mata publik adalah yang paling berbahaya bagi tim Otto Hasibuan. Kalau upaya hukum untuk membebaskan Jessica sudah habis dan Otto kalah lagi, kalah lagi, dan terus kalah, sangat mungkin masyarakat akan tidak percaya kepada Otto Hasibuan dan timnya untuk membantu masyarakat apabila ada masyarakat yang sedang memiliki perkara hukum.

            Hal itu mudah sekali dipahami karena siapa yang mau dibantu oleh pengacara yang terus-terusan kalah?

            Jika itu terjadi, sudah bisa diduga bahwa “lonceng kematian bagi karir Otto dan timnya sebagai penasihat hukum” berdentang sangat keras. Hati-hati To karena kasus ini ditonton mungkin oleh lebih dari seratus juta pasang mata.

            Ada baiknya Otto kembali pada kata-katanya yang bijaksana, “Kalah dan menang itu biasa.”

            Toh, Persib Bandung juga tidak bisa terus-terusan jadi juara sepak bola di kancah nasional, bukan?

            Adakalanya menang, adakalanya kalah. Biasa saja.

            Memang sih, kalah dan menang itu biasa, tetapi kalah di depan lebih dari seratus juta pasang mata rakyat Indonesia, rasanya “pasti sesuatu banget”. Apalagi sebelumnya, Otto rajin membangun opini publik bahwa Jessica pasti bebas karena tidak bersalah dan Jaksa Penuntut Umum yang banyak melakukan kekurangan, tetapi ternyata hakim memutuskan Jessica bersalah.

            Eh, … maaf … saya tadi mengatakan bahwa kalah di depan lebih dari seratus juta pasang mata rasanya “pasti sesuatu banget” bukan berarti saya dapat merasakan perasaan Otto, Jessica, dan timnya. Saya hanya menduga. Hal itu disebabkan seperti pendapat Otto bahwa yang namanya “perasaan” hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu. Dia berpendapat seperti itu ketika mengkritisi hakim yang memandang bahwa seolah-olah Jessica “bersandiwara” menangis di depan hakim. Menurut Otto, hakim tidak boleh menuduh seperti itu karena yang tahu apakah Jessica menangis disebabkan sedih atau bersandiwara hanyalah Tuhan dan Jessica sendiri yang tahu. Oleh sebab itu, begitu pula “perasaan” ketika kalah dalam persidangan yang ditonton jutaan pasang mata, hanya Tuhan, Jessica, Otto, dan timnya yang tahu. Jadi, saya tidak memiliki hak dan memang tidak tahu perasaan mereka yang sesungguhnya.

            Meskipun demikian, bagi saya, aneh juga ketika Otto mengatakan bahwa seolah-olah sorot mata Hakim Binsar itu menunjukkan kebencian kepada Jessica.

            Bukankah kebencian itu juga merupakan perasaan?

            Dari mana Otto tahu bahwa sorot mata Hakim Binsar penuh kebencian?

            Bukankah sorot mata Hakim Binsar penuh kebencian atau penuh kasih sayang hanyalah Tuhan dan Hakim Binsar sendiri yang tahu?

            Sudahlah, tidak perlu terus-terusan melakukan upaya hukum jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Kalau mau pun, harus diperhitungkan matang-matang. Ingat, kasus ini diperhatikan jutaan pasang mata yang mengadili segala yang terjadi. Masyarakat adalah hakim yang teramat berbahaya. Vonis dari masyarakat adalah akan memuliakan kalian atau akan melecehkan dan menjatuhkan kalian dengan hancurnya kepercayaan masyarakat kepada kalian. Kalau masyarakat sudah kehilangan kepercayaan, kalian tidak akan dibutuhkan lagi.

            Saya orang Sunda punya pesan, “Sing asak-asak ngejo bisi tutung jagana. Sing asak-asak nenjo bisi kaduhung jagana.”


            Maksudnya, pandai-pandailah mempertimbangkan dan melakukan segala sesuatu dengan tepat dan matang agar tidak menyesal nantinya.

Sunday, 23 October 2016

Deddy Corbuzier, Ario Kiswinar, Mario Teguh

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Masalah yang menimpa Deddy Corbuzier, Ario Kiswinar, dan Mario Teguh sebenarnya jika ingin diselesaikan dengan mudah, pasti selesai dengan mudah. Demikian pula jika ingin dipersulit, pasti akan sangat menyulitkan. Mudah dan sulitnya mereka menyelesaikan perseteruan bergantung ketiganya sendiri. Tidak bisa selesai dengan mudah jika hanya salah seorang yang ingin menyelesaikan masalah dengan mudah, tetapi yang dua orang lagi ingin mempersulitnya.

            Perseteruan di antara mereka berawal dari salah satu tayangan di acara Hitam Putih pada stasiun televisi Trans7. Bintang tamu dalam salah satu acara itu adalah Ario Kiswinar yang kabarnya adalah anak Mario Teguh, motivator tersohor itu. Dalam acara itu terungkap seolah-olah Ario adalah anak kandung Mario Teguh yang tidak diakui oleh Mario Teguh. Kebetulan sekali acara itu sempat saya tonton, padahal jarang-jarang saya menyaksikan Hitam Putih karena acara itu tidak penting-penting amat bagi saya. Bahkan, ketika ada seseorang yang saya kenal menjadi bintang tamu di acara itu pun saya tidak menontonnya. Teman-teman saya saja yang ribut ngasih tahu bahwa Si Anu jadi bintang tamu di Hitam Putih. Saya sih biasa saja meskipun bersyukur juga Hitam Putih mau membantu dia.

            Saya melihat masalah yang melibatkan Deddy, Ario, dan Mario Teguh terbagi dalam dua hal yang tidak boleh dicampur-campurkan karena akan membuat suasana makin runyam. Pertama, soal penayangan acara Hitam Putih yang dianggap “kurang beretika”. Kedua, soal hubungan ayah-anak antara Mario Teguh dan Ario Kiswinar. Kedua masalah itu sebenarnya terpisah, tetapi tampaknya masyarakat melihatnya seperti tercampur hingga banyak yang memiliki pikiran kusut.

            Masalah pertama adalah soal tidak berimbangnya penyampaian informasi dalam tayangan tersebut. Dalam dunia saya, tulis-menulis, termasuk di dalamnya jurnalisme, ada kode etik yang harus selalu dipatuhi apabila menyampaikan informasi yang mengandung konflik, perseteruan, atau perbedaan paham. Seluruh pihak yang terlibat dalam konflik harus diberikan ruang dan hak yang sama dalam menyampaikan pandangannya. Namanya cover both side. Akan lebih baik lagi jika Sang Penyampai Informasi, baik itu wartawan maupun host, melakukan cover all side, yaitu penelitian mendalam sebelum informasi itu disebarluaskan. Penyampai informasi yang melakukan hal-hal tersebut adalah “penyampai informasi yang penuh etika” dan berkualitas tinggi. Apabila tidak melakukan kode etik itu, apalagi dengan sengaja tidak melakukannya, penyampai informasi itu bisa dikategorikan sebagai “penyampai informasi yang tidak beretika” dan berkualitas rendah. Demikian pula informasi yang disampaikannya pun akan memiliki kualitas yang sangat rendah karena hanya berasal dari salah satu pihak tanpa memberikan pihak lainnya untuk menyampaikan pandangannya.

            Tampaknya, persoalan etikalah yang membuat kubu Mario Teguh melayangkan somasi pada Deddy. Mario Teguh merasa bahwa acara itu menyuguhkan informasi yang tidak berimbang kepada masyarakat. Memang tayangan acara itu sangat tidak berimbang karena hanya menampilkan Ario Kiswinar dan itu sangatlah tidak beretika. Seharusnya, sebelum acara itu ditayangkan, pihak Hitam Putih berusaha keras menghubungi Mario Teguh untuk hadir pada saat yang sama dalam acara yang sama bersama Ario Kiswinar. Itu namanya “penuh dengan etika” sehingga informasi yang disampaikannya berkualitas tinggi.

            Tidak masalah jika setelah dihubungi, Mario Teguh menolak hadir atau bahkan sulit sekali dihubungi. Akan tetapi, Deddy harus menyampaikan dengan jelas kepada masyarakat dalam acara langsung itu bahwa dirinya atau tim kreatifnya telah menghubungi Mario Teguh, tetapi Mario Teguh menolak untuk hadir atau sangat sulit dihubungi. Minimal satu kali Deddy wajib secara etika menyampaikan alasan ketidakhadiran Mario Teguh tersebut kepada masyarakat pada saat acara langsung itu berlangsung. Jika itu dilakukan, Hitam Putih dan Deddy sudah menjalankan etikanya secara penuh tanggung jawab dan itu sangat beretika. Jika tidak, itulah yang saya sebut “tidak beretika” dan pasti menimbulkan masalah.

            Meskipun Mario Teguh tidak bisa dihubungi atau menolak untuk hadir bersama Ario Kiswinar dalam acara yang sama, Deddy dan Hitam Putih tetap harus memberikan kesempatan secara baik-baik kepada Mario Teguh untuk memberikan hak jawab dengan ruang dan waktu yang seimbang tentang segala informasi yang disampaikan Ario Kiswinar. Begitu seharusnya.

            Sepanjang yang saya ingat, jika saya tidak lupa, dalam acara itu memang Deddy tidak menjelaskan baik dirinya maupun Hitam Putih telah menghubungi Mario Teguh untuk hadir pada acara langsung itu. Deddy bahkan tampaknya menikmati acara itu yang mempertontonkan secara sepihak seolah-olah Mario Teguh Sang Motivator itu ternyata memiliki keburukan dalam hidupnya dengan “menelantarkan anak kandung” karena tidak mengakuinya sebagai anak.

            Deddy baru menjelaskan bahwa pihaknya telah menghubungi Mario Teguh sebelumnya, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari Mario Teguh setelah adanya somasi yang dilayangkan pihak Mario Teguh. Itu sangatlah disayangkan. Deddy sudah melakukan kewajiban etikanya dengan baik jika memang benar telah menghubungi Mario Teguh sebelumnya. Soal Mario menolak atau tidak bisa dihubungi, itu salah Mario Teguh dan bukan salah Deddy. Sayangnya, Deddy tidak menyampaikan upayanya itu pada saat acara berlangsung dan mungkin tidak bersegera memberikan kesempatan dengan baik kepada Mario Teguh untuk menyampaikan hak jawabnya dengan ruang dan waktu yang berimbang. Deddy malah memberikan kesempatan kepada Mario Teguh dengan kata-kata “tantangan” untuk hadir dalam acara Hitam Putih. Seharusnya, Deddy jangan menantang karena itu sudah merupakan kewajiban etika Hitam Putih untuk memberikan hak jawab kepada Mario Teguh.


Somasi

Somasi itu apaan, sih?

            Kok, orang-orang banyak yang blingsatan nggak karu-karuan kalau mendapatkan somasi?

            Semengerikan apa sih itu makhluk yang namanya somasi?

            Sepanjang yang saya tahu, somasi itu adalah teguran atau peringatan.

            Kalau kita ditegur, kan tinggal dijawab saja. Kalau kita diingatkan, kan tinggal dijelaskan saja.

            Apa susahnya?

            Kalau kita naik bus kota berdesak-desakan, tiba-tiba ada yang menegur atau mengingatkan kita bahwa kaki kita menginjak kaki orang lain, kan tinggal minta maaf saja. Kalau bukan kaki kita yang menginjaknya, tinggal jawab saja bahwa kaki dia bukan terinjak kita, tetapi tertindih kardus barang milik orang lain. Urusan selesai sudah sampai di sana, tidak perlu panjang-panjang. Kalau kita ngotot-ngototan, urusan tambah panjang dan makin rumit, malah membahayakan.

            Begitu kan?

            Buatlah hal yang mudah semakin mudah. Yang sulit, jadikan hal yang mudah. Jangan yang mudah dijadikan hal yang sulit, malahan makin diperumit.

            Deddy Corbuzier itu cuma disomasi Mario Teguh, enteng sekali menyelesaikannya. Kalau saya, pernah disomasi oleh penguasa bersuasana Orde Baru.

            Tahu kan bagaimana menakutkannya jika berhadapan dengan penguasa bersuasana Orde Baru?

            Jika berselisih dengan penguasa saat itu, kita tiba-tiba bisa dituduh PKI, subversif, ekstremis, anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), ditahan tanpa kejelasan, bahkan bisa “hilang” tanpa bisa ditemukan keluarga kita. Mengerikan sekali saat itu jika kita bermasalah dengan penguasa.

            Saya pernah disomasi saat itu. Saya masih sangat muda dan kurang pertimbangan, cepat menantang siapa saja yang saya anggap salah. Saya pernah menulis judul artikel yang besar dengan warna mencolok pada jilid depan sebuah majalah pendidikan. Saya menulis judul yang teramat provokatif, yaitu Pramuka Pandu Gadungan.

            Kenapa?

            Kaget?

            Saya yakin judul Pramuka Pandu Gadungan sampai hari ini masih mengejutkan orang meskipun kita sudah hidup di alam reformasi-kebebasan. Apalagi saat itu yang masih beratmosfir Orde Baru, judul itu menyakitkan hati para Pramuka Indonesia. Pramuka itu bukan organisasi ecek-ecek. Seluruh pejabat di Indonesia secara ex-officio adalah anggota Pramuka. Presiden RI sampai dengan lurah atau kepala desa adalah anggota Pramuka dan memilliki Gugus Depan masing-masing.

            Somasi terhadap saya itu datang malah dari lembaga tertinggi Pramuka di Indonesia, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia (Kwarnas). Kwarnas itu secara langsung di bawah pembinaan Presiden RI, selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional (Kamabinas). Soeharto, semasa masih presiden, adalah Kamabinas. Saya dengar orang-orang Kwarnas marah-marah dan maki-maki saya, tentunya di belakang saya. Saya cuma dengar ceritera dari orang-orang saja.

            Somasi itu datang dari Kwarnas melalui Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Barat (Kwarda Jabar), kemudian kepada pemimpin perusahaan tempat saya bekerja. Teman-teman saya pada kaget, orang-orang yang sejak dulu iri sama saya malah kelihatan senang atas hal yang menimpa saya. Saya dipanggil bos, ditegur, lalu disampaikan somasi yang diterimanya terhadap saya dan saya diwajibkan menghadap ke Kwarda Jabar dan Kwarnas untuk mempertanggungjawabkan “perbuatan” saya. Saya diharuskan hadir pada tanggal yang sudah ditetapkan.

            Saya terangkan saja segalanya kepada bos saya. Dia pun mengerti.

            Saya pun menghadap kepada Ketua Kwarda Jabar, saat itu Didi Edia Kartadinata, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Di atas dia ada Ketua Majelis Pembimbing Daerah (Kamabida), yaitu Gubernur Jawa Barat. Saya datang sendirian, tidak diantar siapa pun, apalagi pengacara. Tak ada pengacara dan memang saya tidak memerlukan pengacara.

            Buat apa pengacara?

            Jika menggunakan pengacara, malah bisa-bisa urusan tambah ribet, nggak selesai-selesai.

            Di dalam ruangan yang sudah ditentukan, saya menghadap Ketua Kwarda Jabar. Saya dikelilingi banyak Pramuka. Ada Wakil Ketua Kwarda dan beberapa pengurus Pramuka Jawa Barat lainnya. Saya diam saja mendengarkan Ketua Kwarda berbicara dari awal sampai dengan akhir.

            Tak ada kata lain yang keluar dari mulut saya, kecuali, “Iya Pak, … iya Pak, … iya Pak, ….”

            Tak ada satu kalimat pun yang saya dengar dari Ketua Kwarda yang menyalahkan saya. Demikian pula para pengurus Pramuka Jawa Barat yang mengelilingi saya, tidak pernah menyalahkan saya.

            Bahkan, Ketua Kwarda Jabar terkesan menyalahkan atasannya sendiri, yaitu Kwarnas yang terlalu cepat men-somasi saya, “Mestinya, mereka baca dulu isi artikelnya secara lengkap, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan.”

            Seperti saya bilang, saya hanya mengatakan, “Iya Pak ….”

            Setelah itu, kami bersalaman, lalu mengobrol beramah-tamah, tertawa-tawa, melucu sebagaimana para Pramuka yang sedang bercanda ria. Kemudian, makan-makan, tak ada yang menyalahkan siapa pun dan tak ada yang disalahkan oleh siapa pun.

            Satu masalah sudah selesai. Tinggal satu lagi proses yang harus saya hadapi, yaitu menghadap Kwarnas yang katanya marah besar terhadap saya dan memaki-maki saya.

            Saya menghadap perwakilan Kwarnas tepat pada tanggal yang mereka tetapkan sendiri dan di lokasi yang mereka tetapkan sendiri pula. Saya ikuti saja keinginan mereka. Tidak susah, kok. Biasa saja.

            Kali ini saya tidak datang sendiri. Bos saya ingin menemani saya, termasuk juga teman dan adik kelas saya yang sedang magang kerja di tempat saya kerja. Jadi, kami berempat menghadap Kwarnas. Saya tidak pernah mengajak mereka karena saya tidak membutuhkannya. Akan tetapi, mereka sendiri yang ingin menemani saya. Saya sih senang-senang saja karena ada teman ngobrol dan diskusi.

            Dari pihak yang mewakili Kwarnas ada beberapa orang yang hadir, termasuk  Bupati Cianjur, Muchtar dan Pramuka Teladan dari Sukabumi.

            Pada awal pertemuan dengan Kwarnas bos saya yang langsung dengan cepat berbicara, “Jangan bikin anak buah saya down!”

            Saya kaget. Wah, alamat rada keras nih urusan. Padahal, sebenarnya saya tidak menginginkan suasana yang tegang.

            Akan tetapi, pada saat wakil Kwarnas berbicara, sama sekali tidak menyalahkan saya. Bahkan, menyinggung judul artikel yang saya tulis pun tidak. Mereka malahan menerangkan dengan panjang lebar tentang sejarah Pramuka, fungsi dan tugas Pramuka, manfaat Pramuka, dan lain sebagainya. Pada akhir pembicaraan mereka meminta bantuan saya untuk bersedia membantu Pramuka jika ada pihak-pihak lain yang menyudutkan atau menjatuhkan nama baik Pramuka.

            Saya hanya bilang satu kata, “Siap.”

            Pertemuan pun selesai. Kemudian, sebagaimana kebiasaan para Pramuka, kami berbincang-bincang tentang banyak hal, bercanda, bertukar informasi, makan-makan, dan lain sebagainya. Somasi pun selesai sudah, tak ada yang diperdebatkan dan tidak ada yang dirugikan.

            Hal yang lebih menyenangkan adalah semenjak adanya somasi tersebut, saya malah banyak diminta ikut terlibat dalam berbagai kegiatan kepramukaan, baik itu di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi. Saya diminta membantu pelaksanaan Jambore Nasional dan Jambore Daerah, termasuk kegiatan Kata, Seni, dan Olahraga (Kanira). Pernah pula diminta menjadi trainer tentang kehumasan untuk para Pandega, termasuk ditunjuk sebagai juri fotografi untuk kegiatan Pramuka nasional. Beberapa kali pula saya diajak untuk meliput kegiatan Wakamabinas Try Soetrisno yang saat itu Wakil Presiden RI.

            Somasi yang pernah dilayangkan terhadap saya oleh Kwarnas Gerakan Pramuka Indonesia itu tak pernah diingat-ingat lagi. Seolah-olah sudah dilupakan. Semuanya baik-baik saja karena memang diselesaikan dengan baik-baik saja. Tak ada permusuhan, tak ada suara keras, dan tak ada kekisruhan. Kami tetap berhubungan dengan baik.

            Coba bayangkan jika saat itu saya ngotot tidak mau menanggapi somasi dari Kwarnas dengan baik dan tidak memenuhi undangan mereka, lalu bos saya pasang pengacara mahal untuk bikin ribut. Situasi pasti akan semrawut dan masalah tidak selesai. Saya mungkin akan terkenal se-Indonesia karena dianggap melawan penguasa yang sangat kuat.

            Akan tetapi, untuk apa?

            Untuk apa menjadi orang terkenal, tetapi terkenal dengan kekisruhan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik?

            Buat apa beken, tetapi dikelilingi suasana yang tidak karuan?

            Saya sebagai orang Sunda memilih untuk “laukna beunang, caina herang”, ‘ikannya dapat, tetapi airnya tidak keruh’.  Artinya, masalah terselesaikan, tetapi suasana tetap tenang, tidak kisruh.

            Sebagai orang Islam, saya meyakini bahwa Allah swt memang memperbolehkan kita untuk menggunakan “ketegasan dan kekerasan” dalam mempertahankan kebenaran dan harga diri. Akan tetapi, Allah swt lebih menyukai jika kita menggunakan jalan damai dan baik untuk mempertahankan kebenaran dan harga diri.

            Jika kita mendapatkan somasi dari siapa pun, jangan cepat bereaksi berlebihan. Pelajari dulu dengan tenang, lalu jawab dengan baik. Kalau harus ada pertemuan, agendakan pertemuan itu sesuai dengan kesepakatan, baik waktunya maupun tempatnya agar semua pihak dapat hadir untuk menyelesaikan masalah. Kalau memang kita salah, minta maaf saja, lalu lakukan sesuatu agar kesalahan kita bisa diperbaiki dengan cepat dan baik. Kalau memang kita tidak salah, jelaskan dengan baik bahwa kita tidak melakukan sesuatu hal yang salah. Tidak perlu marah-marah atau overacting, lucu jadinya.

            Mudah, kan?

            Hal itu akan menjadi sulit jika memang kita tidak ingin menyelesaikannya dengan baik karena “dipenjara” oleh egoisme diri kita serta diperbudak oleh “keangkuhan” diri kita yang sesungguhnya merendahkan martabat diri kita sendiri.


Urusan Keluarga

Urusan Ario Kiswinar dengan Mario Teguh adalah urusan keluarga. Kita tidak perlu kepo-kepo amat tentang urusan orang lain. Semua orang pernah memiliki masalah, malah pernah berbuat dosa. Allah swt pun menegaskan hal itu bahwa tidak ada anak Adam yang tidak berdosa, tetapi manusia yang paling baik adalah yang melakukan taubat dan memperbaiki diri dari kesalahannya. Pertengkaran Mario Teguh dan Aryani sudah selesai dengan perceraian. Hal itu berarti memang pernikahan mereka bermasalah dan sudah diselesaikan pengadilan agama dengan jalan perceraian.

            Untuk apa diungkit-ungkit lagi masalah yang sudah lama?

            Nggak ada kerjaan!

            Soal kesahihan hubungan ayah-anak antara Ario dan Mario kan bisa diselesaikan dengan tes DNA.

            Di mana susahnya?

            Tinggal lakukan saja tes itu. Selesai.

            Sebenarnya, tidak perlu dipublikasikan dan tidak perlu menggunakan pengacara untuk mendapatkan pengakuan Mario. Datang saja Ario sebagai anak dan sebagai pria yang berusia lebih muda kepada Mario, lalu sampaikan kegelisahan hatinya. Lakukan tes DNA, terima hasilnya. Apa pun hasilnya, baik terbukti sebagai anak kandung maupun tidak terbukti, hubungan mereka akan tetap baik-baik saja jika ditempuh dengan jalan yang baik-baik. Tidak perlu diumbar-umbar ke khayalak umum karena itu sangat tidak perlu kalau memang menginginkan hidup lebih baik. Jika untuk memastikan hubungan ayah-anak dengan cara menantang di media massa, bukti hasil apa pun dari tes DNA, tetap menyisakan memori yang buruk karena ditempuh dengan cara yang kurang etis.

            Aneh rasanya jika ada anak menantang ayahnya di depan umum agar ayahnya mengakui dirinya sebagai anak. Biasanya kan seorang anak ingin diakui ayahnya adalah untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, kehormatan, cinta, status, dan hal-hal lainnya yang dapat mengisi kekosongan hatinya. Kalau menantang ayahnya di depan umum sehingga berpotensi mempermalukan ayahnya sendiri, memang sangat janggal. Entah apa yang diinginkannya.

            Jangankan anak yang masih diragukan, anak asli kandung pun banyak yang diusir ayahnya jika mempermalukan ayahnya. Bahkan, sama sekali tidak diakui anak dan dinyatakan sebagai “putus hubungan” meskipun benar-benar anak kandung. Ayah yang masih mengakui anaknya sebagai anak kandung meskipun anaknya telah mempermalukan dirinya, mencoreng nama baik keluarga, merusakkan lingkungan, dan melanggar hukum adalah ayah yang teramat mulia hatinya, lapang dadanya, ayah yang sangat baik.

            Berbeda jika seorang anak datang kepada ayahnya untuk diakui sebagai anak kandung dengan cara yang baik dengan memohon, “Pak, saya ini anak Bapak dan Bapak sampai kapan pun adalah ayah kandung saya. Jika Bapak tidak yakin bahwa saya adalah anak Bapak, saya sangat ingin tes DNA untuk membuktikan bahwa Bapak adalah benar-benar ayah saya. Sungguh, tak ada orang lain yang benar-benar ayah kandung saya, kecuali Bapak. Saya sangat mencintai Bapak, menghormati Bapak, dan bangga terhadap Bapak.”

            Beda kan antara kata-kata lembut dan manis dengan tantangan kasar penuh teriak di media massa?

            Pasti beda atuh!

            Yang mengatakan sama, pasti orang yang begonya nggak ketulungan.

            Jika hal itu dilakukan Ario kepada Mario dengan cara yang baik dan tidak perlu bawa-bawa pengacara atau media massa serta Mario Teguh memang menyayanginya karena memang mengenalnya sejak bayi, urusan akan bisa selesai dengan mudah dan baik. Apa pun hasil tes DNA, hubungan keduanya akan tetap baik, bahkan semakin baik. Jika hasilnya positif bahwa Ario adalah anak kandung Mario, mereka akan semakin bahagia. Kalaupun hasilnya negatif dalam arti Ario bukan anak kandung Mario, hubungan mereka tetap terjalin dengan baik karena masalah diselesaikan dengan baik-baik.

            Bisa kan menyelesaikan masalah tanpa perlu teriak-teriak, marah-marah, atau jual tampang sok jago di media massa?


            Permudahlah urusan orang lain agar Allah swt mempermudah urusanmu.

Friday, 21 October 2016

Televisi Pengadilan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sebagai negara yang ingin menjadikan hukum sebagai panglima, Indonesia sudah selayaknya memiliki cara dan media yang efektif untuk mendidik masyarakat mengenai hukum. Semakin paham masyarakat terhadap hukum beserta prosesnya, semakin besar harapan  bahwa Indonesia dapat hidup lebih tertib, lebih harmonis, lebih aman, dan lebih terkendali.

            Penayangan secara langsung proses hukum yang melibatkan Jessica Kumala Wongso terkait kasus pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin merupakan suatu contoh cara mendidik masyarakat mengenai hukum. Dengan penayangan itu masyarakat lebih banyak mengenal istilah-istilah hukum, memperhatikan dengan saksama diri terdakwa, memahami saksi-saksi, mendapatkan banyak pengetahuan dari proses hukum yang terjadi, belajar untuk tidak melanggar hukum, melihat bagaimana rumitnya membuktikan kesalahan dan mempertahankan kebenaran, dan banyak lagi hal lainnya yang dapat menjadi pelajaran. Itu semua dapat menjadi ilmu pengetahuan mengenai hukum dan pengadilan bagi masyarakat.  Sudah tentu hal itu memberikan banyak manfaat bagi masyarakat.

            Di samping mendapatkan banyak pelajaran dari ruang pengadilan yang melaksanakan peradilan, masyarakat pun dapat menjadi hakim bagi proses peradilan dan bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Masyarakat sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dapat mengadili proses peradilan yang terjadi. Masyarakat pun akan mengadili dan menilai para penasihat hukum, jaksa, hakim, polisi, bahkan para pengunjung sidang. Mereka akan menilai kapasitas dan kapabilitas para pengacara, jaksa, hakim, polisi, dan yang lainnya. Mereka bisa langsung melihat tanpa rekayasa keahlian dan kemampuan para penegak hukum. Masyarakat tak akan tertipu dengan berbagai iklan, kampanye, atau pencitraan dari para penegak hukum, tetapi akan menilai langsung praktik-praktik para penegak hukum itu di ruangan pengadilan. Mungkin akan ada masyarakat yang menilai para penegak hukum itu hebat dan cerdas. Mungkin juga ada yang akan mencibir para penegak hukum itu karena ternyata berkualitas rendah. Sungguh, bukan hanya masyarakat yang akan menilai, melainkan pula para pejabat, tokoh, akademisi, dan para ahli pada berbagai bidang ilmu. Dengan demikian, ruang pengadilan, proses peradilan, dan mereka yang terlibat di dalam proses hukum akan mendapatkan penilaian langsung dari masyarakat. Masyarakat akan menghormatinya jika para penegak hukum bekerja dengan baik. Sebaliknya, masyarakat akan melecehkannya jika para penegak hukum tidak bekerja menegakkan hukum, tetapi hanya bekerja untuk hal-hal lain di luar penegakan hukum.

            Penilaian masyarakat tidak bisa dihindari karena hal tersebut merupakan konsekwensi yang harus diterima para penegak hukum. Oleh sebab itu, penayangan secara langsung proses peradilan sangatlah penting untuk mendorong penegakan hukum dengan lebih baik lagi. Dengan ditayangkannya proses persidangan secara langsung, telah terjadi proses penekanan yang sangat kuat terhadap praktik-praktik Pungli dan kejahatan-kejahatan mafia hukum yang sering dituding sebagai “biang kerok” kekusutan penegakan hukum di Indonesia. Para penegak hukum yang melakukan kejahatan jual-beli hukum akan terlihat jelas oleh masyarakat ketika proses persidangan berlangsung. Masyarakat akan melihat lemahnya argumentasi mereka yang terlibat mafia hukum serta akan menyaksikan langsung bagaimana keganjilan-keganjilan yang terjadi dalam proses peradilan jika disiarkan secara langsung.

            Dengan besarnya manfaat bagi masyarakat Indonesia, bagi penegakan hukum di Indonesia, dan bagi terwujudnya hukum sebagai panglima di Indonesia, sangatlah perlu ada stasiun televisi khusus yang menyiarkan proses-proses peradilan di ruang pengadilan secara langsung. Kasus-kasus besar dan atau menarik perhatian masyarakat akan sangat bermanfaat bagi kehidupan hukum di Indonesia. Di samping itu, penayangan secara langsung proses peradilan akan menjadi ajang “kemuliaan” bagi para penegak hukum yang benar-benar menegakkan hukum, tetapi akan menjadi “kuburan” bagi karir para penegak hukum yang tidak benar-benar serius menegakkan hukum di Indonesia.           


            Indonesia perlu stasiun televisi khusus yang menayangkan proses peradilan secara langsung.

Thursday, 20 October 2016

Duplik Tim Jessica yang Menggegerkan Sejenak

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Otto Hasibuan memang berhasil meyakinkan publik, termasuk Jaksa Penuntut Umum bahwa akan mendengarkan pernyataan Jessica terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang menggegerkan. Sayangnya, pernyataan Jessica yang kemudian diterangkan lebih lanjut oleh kuasa hukumnya itu hanya menggegerkan sejenak, sesaat, tak bertahan lama.

            Saya sebenarnya pada tulisan yang lalu sudah memberikan masukan agar Jessica maupun tim kuasa hukumnya tidak membuat pernyataan yang dapat memperluas permusuhan dengan keluarga Mirna karena hal itu sangat tidak produktif. Akan tetapi, ternyata bukannya menghentikan pernyataan yang berpotensi memperluas perseteruan, mereka malahan lebih memperluasnya lagi dengan ungkapan-ungkapan yang dapat menyeret-nyeret pihak lain di luar keluarga Mirna untuk ikut-ikutan berperang. Mereka telah mengusik Rangga, barista café Olivier. Rangga itu memiliki keluarga, kerabat, teman, dan tempat kerja. Mereka pun bisa ikut terusik dengan ungkapan atau pernyataan Jessica dan tim kuasa hukumnya. Hal itu bisa merugikan Jessica dan tim kuasa hukumnya sendiri. Mungkin tim Jessica tidak memperhatikan hal yang saya nasihatkan pada tulisan lalu atau mereka tidak membacanya atau mereka tidak mau tahu dengan nasihat saya. Entahlah.

            Pada tulisan yang lalu saya mengkritik salah satu paragraf dari pledoi Jessica yang berpotensi memperluas perseteruan dan sangat tidak konstruktif dalam upayanya membebaskan diri dari segala dakwaan. Berikut paragraf yang saya kritisi.

            Tidak pernah terlintas dipikiran saya bahwa Mirna datang dari keluarga yang siap menekan dan mengintimidasi siapa pun yang mereka percaya telah berbuat hal yang buruk walau tanpa penjelasan yang pasti. Itu membuat saya berpikir apakah mereka menjadi jahat karena kehilangan Mirna atau apakah mereka kehilangan Mirna karena mereka jahat?

            Paragraf itu sama sekali tidak perlu karena tidak berhubungan dengan fakta-fakta di persidangan dan memicu konflik baru dengan keluarga Mirna. Terutama, dalam setengah kalimat terakhir “…atau apakah mereka kehilangan Mirna karena mereka jahat?”.

            Saya sebetulnya mengharapkan mereka menghentikan kalimat-kalimat semacam itu lagi karena bisa merugikan diri sendiri. Akan tetapi, apa mau dikata, mereka memilih untuk melanjutkannya lagi.

            Pada kesempatan pembacaan duplik yang merupakan tanggapan atas replik Jaksa Penuntut Umum, Jessica dan tim kuasa hukumnya malahan memperkeras perseteruan dengan keluarga Mirna dan menyeret pula nama lainnya. Di hadapan hakim mereka memberikan informasi baru yang menyebutkan bahwa pada hari sebelum hari kematian Mirna, 5 Januari 2016, ada seseorang yang bersedia bersaksi bahwa dirinya telah melihat Arief Soemarko, suami Wayan Mirna Salihin, telah memberikan kantong kresek hitam kepada Rangga, barista café Olivier, di parkiran Sarinah pada pukul 15.30. Orang ini menduga keras bahwa Rangga adalah orang yang telah meracun Mirna atas perintah Arief dengan sogokan uang Rp140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).

            Informasi ini sesungguhnya kontraproduktif dengan konstruksi pikiran yang sedang dibangun Tim Otto Hasibuan, selaku penasihat hukum Jessica. Hal inilah yang membuat keterkejutan orang menjadi reda seketika. Saya sendiri merasa bingung, aneh, lalu merasa ada yang lucu. Pernyataan mereka saling membantah di antara mereka sendiri.

            Coba perhatikan. Informasi baru yang disampaikan Jessica dan timnya dalam kesempatan pembacaan duplik pada 21 Oktober 2016 itu menyebutkan bahwa Arief telah memberikan kresek hitam yang diduga berisi uang Rp140.000.000,- kepada Rangga untuk membunuh Wayan Mirna Salihin. Jadi, Rangga adalah orang yang patut diduga keras membubuhkan racun sianida pada Vietnam Ice Coffe yang diminum Wayan Mirna Salihin. Artinya, Mirna mati karena racun sianida yang dimasukan Rangga atas perintah Arief.

            Mirna mati karena racun sianida!

            Betul, kan?

            Inilah hal yang kontradiktif dengan konstruksi pikiran yang sedang dikembangkan Otto Hasibuan. Tim kuasa hukum Jessica berulang-ulang meyakinkan majelis dengan berdasarkan pemberitaan di televisi Australia dan pendapat para ahli yang diundang pihak penasihat hukum bahwa Wayan Mirna Salihin tidak mati karena racun sianida.

            Wayan Mirna Salihin tidak mati karena racun sianida!

            Jadi, konstruksi pikiran yang dibangun penasihat hukum bahwa Wayan Mirna Salihin tidak mati karena racun sianida telah melemahkan sekaligus dilemahkan oleh informasi baru yang dijelaskan Jessica dan timnya yang mengarah pada dugaan Mirna mati karena racun sianida yang ditaburkan Rangga atas perintah Arief Soemarko.

            Hal itu sungguh sangat membingungkan saya.

            Konstruksi pikiran mana yang sesungguhnya disuguhkan Jessica dan Tim Otto Hasibuan untuk mempengaruhi pendapat hakim?

            Apakah Jessica harus bebas disebabkan Mirna mati karena racun sianida yang ditaburkan oleh orang lain atau Jessica harus bebas disebabkan Mirna tidak mati karena racun sianida?

            Pernyataan mana yang disuguhkan mereka kepada publik dan hakim, Mirna mati karena racun sianida atau Mirna tidak mati karena racun sianida?

            Saya bukan ahli hukum dan tidak terlalu mengerti hukum. Saya adalah lulusan terbaik dengan nilai tertinggi pada angkatan saya dalam Subprogram Studi Editing, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya adalah orang yang sering diminta bantuan oleh para penulis dan penerbit untuk menjadi editor bahasa. Fungsi saya adalah menjadi penengah antara penulis dan pembaca. Tugas saya adalah menjembatani antara penulis dan pembaca. Saya berupaya keras agar segala informasi yang didapat pembaca dari sebuah tulisan adalah sama persis dengan apa yang ada dalam dalam pikiran para penulisnya. Jadi, semua informasi atau gagasan para penulis dapat sampai kepada para pembacanya dengan utuh. Apabila ada “ketidakkonsistenan” dalam tulisan Si Penulis yang dapat menimbulkan distorsi dan gangguan penafsiran pada pembacanya, saya selalu menghubungi penulisnya untuk memperjelas maksud yang ingin disampaikannya. Hal yang tidak konsisten adalah hal paling buruk dalam dunia “pernaskahan”.

            Dengan teknik penyuntingan dan pengalaman sebagai editor bahasa saya mencoba menganalisa dan menilai segala hal yang disampaikan Jessica dan tim kuasa hukumnya dalam pembacaan duplik 20 Oktober 2016. Sayang sekali, dalam keilmuan saya, hal-hal yang dibaca oleh Jessica dan tim kuasa hukumnya memiliki hal yang tidak konsisten sebagaimana salah satunya telah saya sebutkan.

            Pernyataan mana yang disuguhkan Jessica dan tim kuasa hukumnya kepada publik dan hakim, Mirna mati karena racun sianida atau Mirna tidak mati karena racun sianida?

            Kalau Mirna mati karena racun sianida, konstruksi pikiran yang dibangun tim Otto Hasibuan sejak awal bahwa Mirna tidak mati karena racun sianida sama sekali tidak memiliki arti apa pun, tidak memiliki nilai apa pun alias sia-sia. Sebaliknya, kalau Mirna tidak mati karena racun sianida, informasi baru mengenai Rangga yang disuap Arief untuk meracun Mirna sehingga Mirna mati sama sekali mengada-ada, tidak memiliki nilai apa pun alias sia-sia. Kalau konstruksi pikiran yang dibangun adalah kedua-duanya disuguhkan untuk mempengaruhi pendapat hakim, yaitu Mirna mati karena racun sianida sekaligus Mirna tidak mati karena racun sianida, itu namanya tidak masuk akal.

            Hakim dan seluruh masyarakat Indonesia harus jeli mengenai hal ini sehingga keadilan benar-benar dapat ditegakkan.


Tuesday, 18 October 2016

Pledoi Jessica Bisa Picu Perang Lanjutan

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Proses peradilan mengenai kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang ditudingkan Jaksa Penuntut Umum kepada Jessica Kumala Wongso mendapat perhatian yang luas dari masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat internasional. Proses peradilannya pun disiarkan secara luas dan langsung oleh beberapa stasiun televisi. Masyarakat banyak yang tidak merasa bosan menyaksikannya secara langsung pula.

            Tak jarang jadwal pengadilan Jessica menjadi jadwal wajib pula bagi mereka yang benar-benar serius tertarik memperhatikannya. Banyak yang tidak bekerja atau sengaja yang menunda pekerjaannya hanya untuk menyaksikan proses peradilan tersebut.

            Pembacaan pledoi Jessica adalah salah satu acara yang dinanti-nanti oleh masyarakat. Orang ingin tahu Jessica akan berbicara apa. Saya adalah salah seorang yang memperhatikan ketika Jessica membaca pledoinya yang sangat pendek dan kurang berarti itu. Saya sangat menyayangkan isi pledoi yang “kurang rasa” itu. Seharusnya, untuk mempengaruhi hakim, ia dapat mengeksplor bagaimana hubungan mesra atau teramat baik antara dirinya dengan Mirna. Ia bisa menceriterakan bagaimana bahagianya atau senangnya bersahabat dengan Mirna. Ia bisa mengungkapkan beberapa pertemuan dengan Mirna di tempat-tempat menyenangkan dengan suka cita. Ia pun bisa menerangkan ketika terjadi hubungan baik saling tolong-menolong, saling Curhat, saling melindungi, dan saling menjaga ketika salah seorang di antara mereka mendapatkan kesusahan. Ia bisa menjelaskan bagaimana senangnya berteman dengan Mirna dan bagaimana Mirna merasa senang pula bersahabat dengan dirinya. Di samping itu, Jessica dapat menggali lebih dalam rasa kehilangan dan rasa sedih dirinya telah kehilangan sahabat yang sangat disayanginya, sahabat yang sangat baik dan menyenangkan. Apabila hal-hal itu bisa digali lebih dalam dan lebih panjang diungkapkan, akan ada banyak orang yang terpengaruh, termasuk hakim sehingga bisa membuat pikiran orang bahwa “tidak mungkin” Jessica membunuh Mirna karena mereka adalah sahabat dekat yang saling menyayangi dan Jessica benar-benar kehilangan sahabatnya itu.

            Akan tetapi, sayang sekali Saudara-saudara, pledoi itu sangat pendek, padahal Hakim memberikan keleluasaan yang sangat luas. Hal yang lebih saya sayangkan lagi adalah dia mengucapkan kata-kata yang berpotensi memicu perang lanjutan dalam pledoinya.

            Tidak pernah terlintas dipikiran saya bahwa Mirna datang dari keluarga yang siap menekan dan mengintimidasi siapa pun yang mereka percaya telah berbuat hal yang buruk walau tanpa penjelasan yang pasti. Itu membuat saya berpikir apakah mereka menjadi jahat karena kehilangan Mirna atau apakah mereka kehilangan Mirna karena mereka jahat?

            Para pembaca bisa membaca salah satu paragraf dari pledoi Jessica tersebut. Dalam paragraf tersebut ada yang tidak saya tebalkan dan ada yang saya tebalkan. Bagian yang tidak saya tebalkan saya ambil dari salah satu media online. Bagian yang saya tebalkan saya ambil dari siaran langsung stasiun televisi iNews.

            Saya sungguh heran terhadap beberapa media di internet yang mengutip nota pembelaan Jessica secara tidak lengkap. Padahal, mereka mengklaim beritanya adalah tentang nota pembelaan Jessica yang lengkap.

            Mengapa mereka harus menyembunyikan beberapa kata dan menulis dengan terang kata yang lainnya?

            Mengapa mereka tidak menuliskannya secara utuh?

            Apakah mereka sengaja melakukannya untuk membohongi publik?

            Apakah mereka mendapatkan nota pembelaan itu dari sumber yang telah mengeditnya terlebih dahulu?

            Rangkaian kalimat yang hilang atau tidak ada atau tidak ditulis dalam media-media yang sempat saya baca itu adalah “…atau apakah mereka kehilangan Mirna karena mereka jahat?

            Saya tidak mengerti mengapa rangkaian kalimat itu tidak ada di media-media yang saya baca itu?

            Saya mendengarnya dengan jelas pada saat siaran langsung. Saya juga coba cek lagi melalui tayangan di Youtube yang di-upload stasiun televisi tvOne. Saya dengar lagi ketika tvOne mengulangi siaran pembacaan pledoi itu. Kalimat itu tetap ada dan diucapkan Jessica dengan jelas di depan pengadilan.

            Sungguh, ketika mendengar dan menyaksikan Jessica mengucapkan kalimat “…atau apakah mereka kehilangan Mirna karena mereka jahat?”, saya cukup tersentak.

            Mengapa dia harus membuat kalimat itu?

            Kalimat itu memang bukan tuduhan kepada keluarga Mirna sebagai keluarga yang jahat karena diawali dengan kata tanya “apakah”, tetapi sungguh kalimat tanya itu bisa mengusik keluarga Mirna. Kalimat itu berpotensi memperluas perseteruan dan permusuhan dengan keluarga Mirna dan itu sangat kontraproduktif dengan upayanya membebaskan diri dari segala “dakwaan”.

            Keluarga Mirna pasti mendengarnya, hakim juga, jaksa, dan pengacara pun sama. Demikian pula masyarakat.

            Coba tanyakan saja kepada keluarga Mirna, apakah mereka terusik dengan kalimat itu?

            Kemungkinan besar mereka terusik. Kalau tidak terusik, mereka sungguh keluarga yang memiliki kelapangan dada yang luar biasa hebat.

            Kalimat itu bisa menjadi bahan analisis para ahli ilmu jiwa dan akan dikaitkan dengan pribadi Jessica yang telah diuraikan banyak ahli ilmu jiwa selama dalam persidangan. Masyarakat pun, termasuk saya akan memiliki hasil analisis pula sesuai kapasitasnya masing-masing.

            Kalimat itu menurut saya, sangat tidak perlu diucapkan karena berpotensi menyulut perang dengan keluarga Mirna. Bisa perang urat syaraf, perang opini, atau yang lainnya. Itu lumayan merugikan Jessica sendiri. Seharusnya, Jessica fokus dalam membantah segala tuduhan dengan alasan-alasan logis dan urutan kronologis yang jelas dan bisa dipahami dengan baik kalau memang benar-benar tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan. Akan tetapi, kalau memang benar-benar Jessica melakukan kejahatan itu, sebaiknya dia mengakui saja karena itu adalah lebih baik. Dia adalah perempuan muda cantik yang percaya eksistensi Tuhan. Sebagai orang yang percaya Tuhan, mestinya dia percaya pula bahwa ada pengadilan di akhirat nanti yang akan membuka kedok seluruh manusia. Tak ada yang bisa lari pada saat itu. Semua benar-benar berada dalam kekuasaan Tuhan. Jika dia berbohong, kebohongan itu akan terbongkar juga, bisa di dunia ini atau bisa di akhirat nanti. Hukuman di dunia ini sangat ringan dan bisa dijalani sampai batas akhir hukuman. Akan tetapi, di akhirat nanti, hukuman akan lebih berat dan sangat menyiksa. Lebih celakanya lagi, hukuman itu kekal abadi tanpa batas akhir. Hukuman itu akan terus terjadi berulang-ulang tanpa pernah berhenti.

            Jika Jessica tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan, fokuslah dalam membantah tuduhan itu dan jangan memperluas permusuhan dengan siapa pun karena sangat tidak produktif. Mudah-mudahan bisa berhasil. Akan tetapi, jika benar-benar melakukan kejahatan yang sangat keji itu, akui saja. Semua orang pernah salah, khilaf, dan melakukan hal-hal bodoh. Pengakuan itu lebih baik untuk membebaskan jiwa dan menundukkan hati agar lebih lunak dan tenang dalam menjalani hidup selanjutnya.