oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Masalah yang menimpa Deddy
Corbuzier, Ario Kiswinar, dan Mario Teguh sebenarnya jika ingin diselesaikan
dengan mudah, pasti selesai dengan mudah. Demikian pula jika ingin dipersulit,
pasti akan sangat menyulitkan. Mudah dan sulitnya mereka menyelesaikan
perseteruan bergantung ketiganya sendiri. Tidak bisa selesai dengan mudah jika
hanya salah seorang yang ingin menyelesaikan masalah dengan mudah, tetapi yang
dua orang lagi ingin mempersulitnya.
Perseteruan di antara mereka berawal dari salah satu
tayangan di acara Hitam Putih pada
stasiun televisi Trans7. Bintang tamu
dalam salah satu acara itu adalah Ario Kiswinar yang kabarnya adalah anak Mario
Teguh, motivator tersohor itu. Dalam acara itu terungkap seolah-olah Ario
adalah anak kandung Mario Teguh yang tidak diakui oleh Mario Teguh. Kebetulan
sekali acara itu sempat saya tonton, padahal jarang-jarang saya menyaksikan Hitam Putih karena acara itu tidak
penting-penting amat bagi saya. Bahkan, ketika ada seseorang yang saya kenal
menjadi bintang tamu di acara itu pun saya tidak menontonnya. Teman-teman saya
saja yang ribut ngasih tahu bahwa Si Anu jadi bintang tamu di Hitam Putih. Saya sih biasa saja meskipun
bersyukur juga Hitam Putih mau
membantu dia.
Saya melihat masalah yang melibatkan Deddy, Ario, dan
Mario Teguh terbagi dalam dua hal yang tidak boleh dicampur-campurkan karena
akan membuat suasana makin runyam. Pertama,
soal penayangan acara Hitam Putih yang
dianggap “kurang beretika”. Kedua, soal
hubungan ayah-anak antara Mario Teguh dan Ario Kiswinar. Kedua masalah itu
sebenarnya terpisah, tetapi tampaknya masyarakat melihatnya seperti tercampur
hingga banyak yang memiliki pikiran kusut.
Masalah pertama adalah soal tidak berimbangnya
penyampaian informasi dalam tayangan tersebut. Dalam dunia saya, tulis-menulis,
termasuk di dalamnya jurnalisme, ada kode etik yang harus selalu dipatuhi
apabila menyampaikan informasi yang mengandung konflik, perseteruan, atau
perbedaan paham. Seluruh pihak yang terlibat dalam konflik harus diberikan
ruang dan hak yang sama dalam menyampaikan pandangannya. Namanya cover both side. Akan lebih baik lagi jika
Sang Penyampai Informasi, baik itu wartawan maupun host, melakukan cover all
side, yaitu penelitian mendalam sebelum informasi itu disebarluaskan.
Penyampai informasi yang melakukan hal-hal tersebut adalah “penyampai informasi
yang penuh etika” dan berkualitas tinggi. Apabila tidak melakukan kode etik
itu, apalagi dengan sengaja tidak melakukannya, penyampai informasi itu bisa
dikategorikan sebagai “penyampai informasi yang tidak beretika” dan berkualitas
rendah. Demikian pula informasi yang disampaikannya pun akan memiliki kualitas
yang sangat rendah karena hanya berasal dari salah satu pihak tanpa memberikan
pihak lainnya untuk menyampaikan pandangannya.
Tampaknya, persoalan etikalah yang membuat kubu Mario
Teguh melayangkan somasi pada Deddy. Mario Teguh merasa bahwa acara itu
menyuguhkan informasi yang tidak berimbang kepada masyarakat. Memang tayangan
acara itu sangat tidak berimbang karena hanya menampilkan Ario Kiswinar dan itu
sangatlah tidak beretika. Seharusnya, sebelum acara itu ditayangkan, pihak Hitam Putih berusaha keras menghubungi
Mario Teguh untuk hadir pada saat yang sama dalam acara yang sama bersama Ario
Kiswinar. Itu namanya “penuh dengan etika” sehingga informasi yang
disampaikannya berkualitas tinggi.
Tidak masalah jika setelah dihubungi, Mario Teguh menolak
hadir atau bahkan sulit sekali dihubungi. Akan tetapi, Deddy harus menyampaikan
dengan jelas kepada masyarakat dalam acara langsung itu bahwa dirinya atau tim
kreatifnya telah menghubungi Mario Teguh, tetapi Mario Teguh menolak untuk
hadir atau sangat sulit dihubungi. Minimal satu kali Deddy wajib secara etika
menyampaikan alasan ketidakhadiran Mario Teguh tersebut kepada masyarakat pada
saat acara langsung itu berlangsung. Jika itu dilakukan, Hitam Putih dan Deddy sudah menjalankan etikanya secara penuh
tanggung jawab dan itu sangat beretika. Jika tidak, itulah yang saya sebut
“tidak beretika” dan pasti menimbulkan masalah.
Meskipun Mario Teguh tidak bisa dihubungi atau menolak
untuk hadir bersama Ario Kiswinar dalam acara yang sama, Deddy dan Hitam Putih tetap harus memberikan
kesempatan secara baik-baik kepada Mario Teguh untuk memberikan hak jawab
dengan ruang dan waktu yang seimbang tentang segala informasi yang disampaikan
Ario Kiswinar. Begitu seharusnya.
Sepanjang yang saya ingat, jika saya tidak lupa, dalam
acara itu memang Deddy tidak menjelaskan baik dirinya maupun Hitam Putih telah menghubungi Mario
Teguh untuk hadir pada acara langsung itu. Deddy bahkan tampaknya menikmati
acara itu yang mempertontonkan secara sepihak seolah-olah Mario Teguh Sang
Motivator itu ternyata memiliki keburukan dalam hidupnya dengan “menelantarkan
anak kandung” karena tidak mengakuinya sebagai anak.
Deddy baru menjelaskan bahwa pihaknya telah menghubungi
Mario Teguh sebelumnya, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari
Mario Teguh setelah adanya somasi yang dilayangkan pihak Mario Teguh. Itu
sangatlah disayangkan. Deddy sudah melakukan kewajiban etikanya dengan baik
jika memang benar telah menghubungi Mario Teguh sebelumnya. Soal Mario menolak
atau tidak bisa dihubungi, itu salah Mario Teguh dan bukan salah Deddy. Sayangnya,
Deddy tidak menyampaikan upayanya itu pada saat acara berlangsung dan mungkin tidak
bersegera memberikan kesempatan dengan baik kepada Mario Teguh untuk
menyampaikan hak jawabnya dengan ruang dan waktu yang berimbang. Deddy malah
memberikan kesempatan kepada Mario Teguh dengan kata-kata “tantangan” untuk
hadir dalam acara Hitam Putih.
Seharusnya, Deddy jangan menantang karena itu sudah merupakan kewajiban etika Hitam Putih untuk memberikan hak jawab
kepada Mario Teguh.
Somasi
Somasi itu apaan, sih?
Kok, orang-orang banyak yang blingsatan nggak karu-karuan
kalau mendapatkan somasi?
Semengerikan apa sih itu makhluk yang namanya somasi?
Sepanjang yang saya tahu, somasi itu adalah teguran atau peringatan.
Kalau kita ditegur, kan tinggal dijawab saja. Kalau kita
diingatkan, kan tinggal dijelaskan saja.
Apa susahnya?
Kalau kita naik bus kota berdesak-desakan, tiba-tiba ada
yang menegur atau mengingatkan kita bahwa kaki kita menginjak kaki orang lain,
kan tinggal minta maaf saja. Kalau bukan kaki kita yang menginjaknya, tinggal
jawab saja bahwa kaki dia bukan terinjak kita, tetapi tertindih kardus barang
milik orang lain. Urusan selesai sudah sampai di sana, tidak perlu
panjang-panjang. Kalau kita ngotot-ngototan, urusan tambah panjang dan makin
rumit, malah membahayakan.
Begitu kan?
Buatlah hal yang mudah semakin mudah. Yang sulit, jadikan
hal yang mudah. Jangan yang mudah dijadikan hal yang sulit, malahan makin
diperumit.
Deddy Corbuzier itu cuma disomasi Mario Teguh, enteng
sekali menyelesaikannya. Kalau saya, pernah disomasi oleh penguasa bersuasana
Orde Baru.
Tahu kan bagaimana menakutkannya jika berhadapan dengan
penguasa bersuasana Orde Baru?
Jika berselisih dengan penguasa saat itu, kita tiba-tiba
bisa dituduh PKI, subversif, ekstremis, anggota Gerakan Pengacau Keamanan
(GPK), ditahan tanpa kejelasan, bahkan bisa “hilang” tanpa bisa ditemukan
keluarga kita. Mengerikan sekali saat itu jika kita bermasalah dengan penguasa.
Saya pernah disomasi saat itu. Saya masih sangat muda dan
kurang pertimbangan, cepat menantang siapa saja yang saya anggap salah. Saya
pernah menulis judul artikel yang besar dengan warna mencolok pada jilid depan sebuah
majalah pendidikan. Saya menulis judul yang teramat provokatif, yaitu Pramuka
Pandu Gadungan.
Kenapa?
Kaget?
Saya yakin judul Pramuka Pandu Gadungan sampai hari
ini masih mengejutkan orang meskipun kita sudah hidup di alam
reformasi-kebebasan. Apalagi saat itu yang masih beratmosfir Orde Baru, judul
itu menyakitkan hati para Pramuka Indonesia. Pramuka itu bukan organisasi
ecek-ecek. Seluruh pejabat di Indonesia secara ex-officio adalah anggota Pramuka. Presiden RI sampai dengan lurah
atau kepala desa adalah anggota Pramuka dan memilliki Gugus Depan
masing-masing.
Somasi terhadap saya itu datang malah dari lembaga
tertinggi Pramuka di Indonesia, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia
(Kwarnas). Kwarnas itu secara langsung di bawah pembinaan Presiden RI, selaku
Ketua Majelis Pembimbing Nasional (Kamabinas). Soeharto, semasa masih presiden,
adalah Kamabinas. Saya dengar orang-orang Kwarnas marah-marah dan maki-maki
saya, tentunya di belakang saya. Saya cuma dengar ceritera dari orang-orang
saja.
Somasi itu datang dari Kwarnas melalui Kwartir Daerah
Gerakan Pramuka Jawa Barat (Kwarda Jabar), kemudian kepada pemimpin perusahaan
tempat saya bekerja. Teman-teman saya pada kaget, orang-orang yang sejak dulu iri
sama saya malah kelihatan senang atas hal yang menimpa saya. Saya dipanggil
bos, ditegur, lalu disampaikan somasi yang diterimanya terhadap saya dan saya diwajibkan
menghadap ke Kwarda Jabar dan Kwarnas untuk mempertanggungjawabkan “perbuatan”
saya. Saya diharuskan hadir pada tanggal yang sudah ditetapkan.
Saya terangkan saja segalanya kepada bos saya. Dia pun mengerti.
Saya pun menghadap kepada Ketua Kwarda Jabar, saat itu
Didi Edia Kartadinata, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Di atas dia
ada Ketua Majelis Pembimbing Daerah (Kamabida), yaitu Gubernur Jawa Barat. Saya
datang sendirian, tidak diantar siapa pun, apalagi pengacara. Tak ada pengacara
dan memang saya tidak memerlukan pengacara.
Buat apa pengacara?
Jika menggunakan pengacara, malah bisa-bisa urusan tambah
ribet, nggak selesai-selesai.
Di dalam ruangan yang sudah ditentukan, saya menghadap
Ketua Kwarda Jabar. Saya dikelilingi banyak Pramuka. Ada Wakil Ketua Kwarda dan
beberapa pengurus Pramuka Jawa Barat lainnya. Saya diam saja mendengarkan Ketua
Kwarda berbicara dari awal sampai dengan akhir.
Tak ada kata lain yang keluar dari mulut saya, kecuali,
“Iya Pak, … iya Pak, … iya Pak, ….”
Tak ada satu kalimat pun yang saya dengar dari Ketua
Kwarda yang menyalahkan saya. Demikian pula para pengurus Pramuka Jawa Barat yang
mengelilingi saya, tidak pernah menyalahkan saya.
Bahkan, Ketua Kwarda Jabar terkesan menyalahkan atasannya
sendiri, yaitu Kwarnas yang terlalu cepat men-somasi saya, “Mestinya, mereka
baca dulu isi artikelnya secara lengkap, jangan terlalu cepat mengambil
kesimpulan.”
Seperti saya bilang, saya hanya mengatakan, “Iya Pak ….”
Setelah itu, kami bersalaman, lalu mengobrol
beramah-tamah, tertawa-tawa, melucu sebagaimana para Pramuka yang sedang
bercanda ria. Kemudian, makan-makan, tak ada yang menyalahkan siapa pun dan tak
ada yang disalahkan oleh siapa pun.
Satu masalah sudah selesai. Tinggal satu lagi proses yang
harus saya hadapi, yaitu menghadap Kwarnas yang katanya marah besar terhadap
saya dan memaki-maki saya.
Saya menghadap perwakilan Kwarnas tepat pada tanggal yang
mereka tetapkan sendiri dan di lokasi yang mereka tetapkan sendiri pula. Saya
ikuti saja keinginan mereka. Tidak susah, kok. Biasa saja.
Kali ini saya tidak datang sendiri. Bos saya ingin
menemani saya, termasuk juga teman dan adik kelas saya yang sedang magang kerja
di tempat saya kerja. Jadi, kami berempat menghadap Kwarnas. Saya tidak pernah
mengajak mereka karena saya tidak membutuhkannya. Akan tetapi, mereka sendiri
yang ingin menemani saya. Saya sih senang-senang saja karena ada teman ngobrol
dan diskusi.
Dari pihak yang mewakili Kwarnas ada beberapa orang yang
hadir, termasuk Bupati Cianjur, Muchtar
dan Pramuka Teladan dari Sukabumi.
Pada awal pertemuan dengan Kwarnas bos saya yang langsung
dengan cepat berbicara, “Jangan bikin anak buah saya down!”
Saya kaget. Wah,
alamat rada keras nih urusan. Padahal, sebenarnya saya tidak menginginkan
suasana yang tegang.
Akan tetapi, pada saat wakil Kwarnas berbicara, sama
sekali tidak menyalahkan saya. Bahkan, menyinggung judul artikel yang saya
tulis pun tidak. Mereka malahan menerangkan dengan panjang lebar tentang
sejarah Pramuka, fungsi dan tugas Pramuka, manfaat Pramuka, dan lain
sebagainya. Pada akhir pembicaraan mereka meminta bantuan saya untuk bersedia
membantu Pramuka jika ada pihak-pihak lain yang menyudutkan atau menjatuhkan
nama baik Pramuka.
Saya hanya bilang satu kata, “Siap.”
Pertemuan pun selesai. Kemudian, sebagaimana kebiasaan
para Pramuka, kami berbincang-bincang tentang banyak hal, bercanda, bertukar
informasi, makan-makan, dan lain sebagainya. Somasi pun selesai sudah, tak ada
yang diperdebatkan dan tidak ada yang dirugikan.
Hal yang lebih menyenangkan adalah semenjak adanya somasi
tersebut, saya malah banyak diminta ikut terlibat dalam berbagai kegiatan
kepramukaan, baik itu di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi. Saya
diminta membantu pelaksanaan Jambore Nasional dan Jambore Daerah, termasuk
kegiatan Kata, Seni, dan Olahraga
(Kanira). Pernah pula diminta menjadi trainer
tentang kehumasan untuk para Pandega, termasuk ditunjuk sebagai juri
fotografi untuk kegiatan Pramuka nasional. Beberapa kali pula saya diajak untuk
meliput kegiatan Wakamabinas Try Soetrisno yang saat itu Wakil Presiden RI.
Somasi yang pernah dilayangkan terhadap saya oleh Kwarnas
Gerakan Pramuka Indonesia itu tak pernah diingat-ingat lagi. Seolah-olah sudah
dilupakan. Semuanya baik-baik saja karena memang diselesaikan dengan baik-baik
saja. Tak ada permusuhan, tak ada suara keras, dan tak ada kekisruhan. Kami
tetap berhubungan dengan baik.
Coba bayangkan jika saat itu saya ngotot tidak mau
menanggapi somasi dari Kwarnas dengan baik dan tidak memenuhi undangan mereka,
lalu bos saya pasang pengacara mahal untuk bikin ribut. Situasi pasti akan
semrawut dan masalah tidak selesai. Saya mungkin akan terkenal se-Indonesia
karena dianggap melawan penguasa yang sangat kuat.
Akan tetapi, untuk apa?
Untuk apa menjadi orang terkenal, tetapi terkenal dengan
kekisruhan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik?
Buat apa beken, tetapi dikelilingi suasana yang tidak
karuan?
Saya sebagai orang Sunda memilih untuk “laukna beunang, caina herang”, ‘ikannya
dapat, tetapi airnya tidak keruh’. Artinya, masalah terselesaikan, tetapi suasana
tetap tenang, tidak kisruh.
Sebagai orang Islam, saya meyakini bahwa Allah swt memang
memperbolehkan kita untuk menggunakan “ketegasan dan kekerasan” dalam
mempertahankan kebenaran dan harga diri. Akan tetapi, Allah swt lebih menyukai
jika kita menggunakan jalan damai dan baik untuk mempertahankan kebenaran dan
harga diri.
Jika kita mendapatkan somasi dari siapa pun, jangan cepat
bereaksi berlebihan. Pelajari dulu dengan tenang, lalu jawab dengan baik. Kalau
harus ada pertemuan, agendakan pertemuan itu sesuai dengan kesepakatan, baik
waktunya maupun tempatnya agar semua pihak dapat hadir untuk menyelesaikan
masalah. Kalau memang kita salah, minta maaf saja, lalu lakukan sesuatu agar
kesalahan kita bisa diperbaiki dengan cepat dan baik. Kalau memang kita tidak
salah, jelaskan dengan baik bahwa kita tidak melakukan sesuatu hal yang salah.
Tidak perlu marah-marah atau overacting, lucu
jadinya.
Mudah, kan?
Hal itu akan menjadi sulit jika memang kita tidak ingin
menyelesaikannya dengan baik karena “dipenjara” oleh egoisme diri kita serta
diperbudak oleh “keangkuhan” diri kita yang sesungguhnya merendahkan martabat
diri kita sendiri.
Urusan
Keluarga
Urusan Ario Kiswinar dengan
Mario Teguh adalah urusan keluarga. Kita tidak perlu kepo-kepo amat tentang
urusan orang lain. Semua orang pernah memiliki masalah, malah pernah berbuat
dosa. Allah swt pun menegaskan hal itu bahwa tidak ada anak Adam yang tidak berdosa, tetapi manusia yang paling baik
adalah yang melakukan taubat dan memperbaiki diri dari kesalahannya.
Pertengkaran Mario Teguh dan Aryani sudah selesai dengan perceraian. Hal itu
berarti memang pernikahan mereka bermasalah dan sudah diselesaikan pengadilan
agama dengan jalan perceraian.
Untuk apa diungkit-ungkit lagi masalah yang sudah lama?
Nggak ada kerjaan!
Soal kesahihan hubungan ayah-anak antara Ario dan Mario
kan bisa diselesaikan dengan tes DNA.
Di mana susahnya?
Tinggal lakukan saja tes itu. Selesai.
Sebenarnya, tidak perlu dipublikasikan dan tidak perlu
menggunakan pengacara untuk mendapatkan pengakuan Mario. Datang saja Ario
sebagai anak dan sebagai pria yang berusia lebih muda kepada Mario, lalu
sampaikan kegelisahan hatinya. Lakukan tes DNA, terima hasilnya. Apa pun
hasilnya, baik terbukti sebagai anak kandung maupun tidak terbukti, hubungan
mereka akan tetap baik-baik saja jika ditempuh dengan jalan yang baik-baik.
Tidak perlu diumbar-umbar ke khayalak umum karena itu sangat tidak perlu kalau
memang menginginkan hidup lebih baik. Jika untuk memastikan hubungan ayah-anak
dengan cara menantang di media massa, bukti hasil apa pun dari tes DNA, tetap
menyisakan memori yang buruk karena ditempuh dengan cara yang kurang etis.
Aneh rasanya jika ada anak menantang ayahnya di depan
umum agar ayahnya mengakui dirinya sebagai anak. Biasanya kan seorang anak
ingin diakui ayahnya adalah untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan,
kehormatan, cinta, status, dan hal-hal lainnya yang dapat mengisi kekosongan
hatinya. Kalau menantang ayahnya di depan umum sehingga berpotensi
mempermalukan ayahnya sendiri, memang sangat janggal. Entah apa yang
diinginkannya.
Jangankan anak yang masih diragukan, anak asli kandung
pun banyak yang diusir ayahnya jika mempermalukan ayahnya. Bahkan, sama sekali
tidak diakui anak dan dinyatakan sebagai “putus hubungan” meskipun benar-benar
anak kandung. Ayah yang masih mengakui anaknya sebagai anak kandung meskipun
anaknya telah mempermalukan dirinya, mencoreng nama baik keluarga, merusakkan
lingkungan, dan melanggar hukum adalah ayah yang teramat mulia hatinya, lapang
dadanya, ayah yang sangat baik.
Berbeda jika seorang anak datang kepada ayahnya untuk
diakui sebagai anak kandung dengan cara yang baik dengan memohon, “Pak, saya
ini anak Bapak dan Bapak sampai kapan pun adalah ayah kandung saya. Jika Bapak
tidak yakin bahwa saya adalah anak Bapak, saya sangat ingin tes DNA untuk
membuktikan bahwa Bapak adalah benar-benar ayah saya. Sungguh, tak ada orang
lain yang benar-benar ayah kandung saya, kecuali Bapak. Saya sangat mencintai
Bapak, menghormati Bapak, dan bangga terhadap Bapak.”
Beda kan antara kata-kata lembut dan manis dengan
tantangan kasar penuh teriak di media massa?
Pasti beda atuh!
Yang mengatakan sama, pasti orang yang begonya nggak
ketulungan.
Jika hal itu dilakukan Ario kepada Mario dengan cara yang
baik dan tidak perlu bawa-bawa pengacara atau media massa serta Mario Teguh
memang menyayanginya karena memang mengenalnya sejak bayi, urusan akan bisa
selesai dengan mudah dan baik. Apa pun hasil tes DNA, hubungan keduanya akan
tetap baik, bahkan semakin baik. Jika hasilnya positif bahwa Ario adalah anak
kandung Mario, mereka akan semakin bahagia. Kalaupun hasilnya negatif dalam
arti Ario bukan anak kandung Mario, hubungan mereka tetap terjalin dengan baik
karena masalah diselesaikan dengan baik-baik.
Bisa kan menyelesaikan masalah tanpa perlu teriak-teriak,
marah-marah, atau jual tampang sok jago di media massa?
Permudahlah urusan
orang lain agar Allah swt mempermudah urusanmu.