oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak masyarakat yang
kebingungan dan keheranan dengan survey, terutama menghadapi
peristiwa-peristiwa politik yang melibatkan pemilihan pemimpin politik, baik
itu anggota legislatif, kepala daerah, maupun presiden. Ilmu yang digunakan
untuk melakukan survey sebetulnya adalah ilmu lama yang selalu diajarkan di
perguruan tinggi dari zaman ke zaman, terutama untuk tingkat S1, S2, dan S3. Biasanya,
ilmu ini diajarkan dalam mata kuliah Metode Penelitian. Masalahnya, ilmu ini
tidak digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sehingga
seolah-olah ilmu baru, hal baru, atau sesuatu yang memusingkan. Saya melihat
masyarakat yang kebingungan ini disebabkan tidak memahami ilmunya, tidak
percaya hasilnya karena tidak sesuai dengan keinginannya, dan penolakan
terhadap ilmu pengetahuan.
Kalaulah boleh diibaratkan, survey ini merupakan dugaan
keras terhadap sesuatu yang akan terjadi setelah melihat tanda-tanda bahwa
peristiwa itu bakalan terjadi. Sebetulnya, sering kita membuat dugaan-dugaan
yang sangat sering terjadi dalam kenyataan. Misalnya, jika langit mendung
berat, petir menyambar-nyambar, dan angin meniup kencang daun-daun pepohonan,
itu tandanya hujan segera tiba, hujan besar akan turun. Semudah itu
memahaminya.
Pertanyaannya, pastikah hujan akan turun?
Biasanya, memang seperti itu. Akan tetapi, hujan bisa
tidak turun jika tiba-tiba ada angin besar yang meniup awan mendung berat sehingga
membuat awan bergeser dan membuat suasana hari menjadi cerah. Jadi, tanda-tanda
bakal turun hujan itu tidak membuat turun hujan karena ada peristiwa khusus
yang membuat tanda-tanda itu berubah.
Mudah-mudahan paham penjelasan ini.
Seperti itulah survey dilakukan. Para tukang survey
mencari tanda-tanda bagaimana keadaan politik dan pendapat masyarakat, baik
melalui metode kuantitatif maupun kualitatif yang menghasilkan angka-angka.
Rakyat yang ditanya disebut sampel, sampel yang diambil secara acak biasanya
lebih bagus hasilnya. Jika penelitiannya dilakukan dengan jujur dan dengan cara
yang tepat, biasanya hasilnya selalu menjadi kenyataan, kecuali ada peristiwa
khusus yang mengubahnya.
Orang yang tidak biasa menggunakan metode ini, pasti
kebingungan. Padahal, metode ini sering digunakan para pengusaha, misalnya,
makanan apa yang disukai rakyat, bentuk rumah yang laku dijual, pakaian yang
sedang tren, atau kendaraan terbaru.
Memang tidak semua paham melakukan ini, para akademisi
pun masih sering kebingungan, kecuali mereka yang sangat bergairah dalam metode
penelitian, terutama kuantitatif yang melibatkan banyak angka. Hal ini bisa
dilihat dari sangat banyaknya akademisi yang berbicara dan bertindak tanpa data
dan fakta yang tepat sehingga menimbulkan kekacauan berpikir yang sering salah.
Misalnya, dulu mengatakan bahwa Prabowo akan menang karena melihat jumlah
demonstran 212 di Monas melalui drone. Kenyataannya, Prabowo kalah oleh Jokowi karena
tidak begitu caranya membuat simpulan.
Supaya tidak pusing, saya kasih contoh. Survey ini sejak
1999, menjadi menarik untuk memprediksi pemenang dalam pemilihan presiden dan
kepala daerah. Hasilnya, selalu benar meskipun ditolak oleh orang-orang yang
kalah pemilihan. Akan tetapi, ada kejadian menarik bahwa hasil survey ternyata
tidak sesuai dengan kenyataan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada waktu
yang lalu. Dalam survey, Ahok pemenangnya, suaranya paling tinggi, tetapi dalam
kenyataannya Anies yang menang.
Mengapa bisa begitu?
Hal itu disebabkan ada angin besar yang menyebabkan awan
mendung berat bergeser sehingga mengubah prediksi seperti yang saya jelaskan
tadi. Angin besar itu berupa perilaku Ahok yang “keseleo lidah” sehingga
dinyatakan bersalah oleh hakim dalam kasus penodaan atau penghinaan terhadap agama.
Dengan demikian, tanda-tanda kemenangan Ahok itu hanya tanda-tanda yang telah
terhapus angin besar. Para pendukung Ahok tidak lagi memilih Ahok karena angin besar
itu.
Mudah-mudah paham penjelasan ini.
Sekarang, seluruh lembaga survey, tanpa kecuali, menyimpulkan
Prabowo-Gibran unggul jauh melebihi Gama dan Amin. Prabowo-Gibran adalah pemenang Pilpres 2024.
Hal
yang masih diperbincangkan adalah Pragib ini apakah akan menang dalam satu
putaran atau dua putaran karena belum mencapai angka 50% + 1?
Suvey
mayoritas tertinggi adalah sekitar 47% meskipun ada yang mengatakan sudah 58%.
Kemenangan
ini akan berlanjut hingga hari pemilihan, 14 Februari 2024, hingga
Prabowo-Gibran menjadi presiden dan wakil presiden RI. Hal ini akan benar-benar
terjadi jika tidak ada angin kencang yang menggeser awan mendung berat tadi.
Kalau
masih pusing dan belum paham, memang harus kuliah. Di Program Studi Ilmu
Hubungan Internasional, Fisip, Universitas Al Ghifari, saya memprogramkan hal
ini dalam tiga semester dengan mata kuliah Filsafat Ilmu, Metode Penelitian
Sosial, serta Metode Penelitian Hubungan Internasional. Itu pun baru penjelasan
secara teori dengan sedikit praktik. Perlu orang yang punya gairah meneliti dan
praktik dalam waktu terbang yang cukup tinggi untuk lebih memahami dan
melakukannya.
So,
seperti itulah.
Kenapa
orang sering salah dan kalah?
Karena
menentang ilmu pengetahuan.
Mudah-mudahan
penjelasan saya ini sedikit mencerahkan. Kalau tidak, ya wayahna.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment