Sunday, 21 January 2024

Kebingungan tentang Survey

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak masyarakat yang kebingungan dan keheranan dengan survey, terutama menghadapi peristiwa-peristiwa politik yang melibatkan pemilihan pemimpin politik, baik itu anggota legislatif, kepala daerah, maupun presiden. Ilmu yang digunakan untuk melakukan survey sebetulnya adalah ilmu lama yang selalu diajarkan di perguruan tinggi dari zaman ke zaman, terutama untuk tingkat S1, S2, dan S3. Biasanya, ilmu ini diajarkan dalam mata kuliah Metode Penelitian. Masalahnya, ilmu ini tidak digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sehingga seolah-olah ilmu baru, hal baru, atau sesuatu yang memusingkan. Saya melihat masyarakat yang kebingungan ini disebabkan tidak memahami ilmunya, tidak percaya hasilnya karena tidak sesuai dengan keinginannya, dan penolakan terhadap ilmu pengetahuan.

            Kalaulah boleh diibaratkan, survey ini merupakan dugaan keras terhadap sesuatu yang akan terjadi setelah melihat tanda-tanda bahwa peristiwa itu bakalan terjadi. Sebetulnya, sering kita membuat dugaan-dugaan yang sangat sering terjadi dalam kenyataan. Misalnya, jika langit mendung berat, petir menyambar-nyambar, dan angin meniup kencang daun-daun pepohonan, itu tandanya hujan segera tiba, hujan besar akan turun. Semudah itu memahaminya.

            Pertanyaannya, pastikah hujan akan turun?

            Biasanya, memang seperti itu. Akan tetapi, hujan bisa tidak turun jika tiba-tiba ada angin besar yang meniup awan mendung berat sehingga membuat awan bergeser dan membuat suasana hari menjadi cerah. Jadi, tanda-tanda bakal turun hujan itu tidak membuat turun hujan karena ada peristiwa khusus yang membuat tanda-tanda itu berubah.

            Mudah-mudahan paham penjelasan ini.

            Seperti itulah survey dilakukan. Para tukang survey mencari tanda-tanda bagaimana keadaan politik dan pendapat masyarakat, baik melalui metode kuantitatif maupun kualitatif yang menghasilkan angka-angka. Rakyat yang ditanya disebut sampel, sampel yang diambil secara acak biasanya lebih bagus hasilnya. Jika penelitiannya dilakukan dengan jujur dan dengan cara yang tepat, biasanya hasilnya selalu menjadi kenyataan, kecuali ada peristiwa khusus yang mengubahnya.

            Orang yang tidak biasa menggunakan metode ini, pasti kebingungan. Padahal, metode ini sering digunakan para pengusaha, misalnya, makanan apa yang disukai rakyat, bentuk rumah yang laku dijual, pakaian yang sedang tren, atau kendaraan terbaru.

            Memang tidak semua paham melakukan ini, para akademisi pun masih sering kebingungan, kecuali mereka yang sangat bergairah dalam metode penelitian, terutama kuantitatif yang melibatkan banyak angka. Hal ini bisa dilihat dari sangat banyaknya akademisi yang berbicara dan bertindak tanpa data dan fakta yang tepat sehingga menimbulkan kekacauan berpikir yang sering salah. Misalnya, dulu mengatakan bahwa Prabowo akan menang karena melihat jumlah demonstran 212 di Monas melalui drone. Kenyataannya, Prabowo kalah oleh Jokowi karena tidak begitu caranya membuat simpulan.

            Supaya tidak pusing, saya kasih contoh. Survey ini sejak 1999, menjadi menarik untuk memprediksi pemenang dalam pemilihan presiden dan kepala daerah. Hasilnya, selalu benar meskipun ditolak oleh orang-orang yang kalah pemilihan. Akan tetapi, ada kejadian menarik bahwa hasil survey ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada waktu yang lalu. Dalam survey, Ahok pemenangnya, suaranya paling tinggi, tetapi dalam kenyataannya Anies yang menang.

            Mengapa bisa begitu?

            Hal itu disebabkan ada angin besar yang menyebabkan awan mendung berat bergeser sehingga mengubah prediksi seperti yang saya jelaskan tadi. Angin besar itu berupa perilaku Ahok yang “keseleo lidah” sehingga dinyatakan bersalah oleh hakim dalam kasus penodaan atau penghinaan terhadap agama. Dengan demikian, tanda-tanda kemenangan Ahok itu hanya tanda-tanda yang telah terhapus angin besar. Para pendukung Ahok tidak lagi memilih Ahok karena angin besar itu.

            Mudah-mudah paham penjelasan ini.

            Sekarang, seluruh lembaga survey, tanpa kecuali, menyimpulkan Prabowo-Gibran unggul jauh melebihi Gama dan Amin.  Prabowo-Gibran adalah pemenang Pilpres 2024.

Hal yang masih diperbincangkan adalah Pragib ini apakah akan menang dalam satu putaran atau dua putaran karena belum mencapai angka 50% + 1?

Suvey mayoritas tertinggi adalah sekitar 47% meskipun ada yang mengatakan sudah 58%.

Kemenangan ini akan berlanjut hingga hari pemilihan, 14 Februari 2024, hingga Prabowo-Gibran menjadi presiden dan wakil presiden RI. Hal ini akan benar-benar terjadi jika tidak ada angin kencang yang menggeser awan mendung berat tadi.

Kalau masih pusing dan belum paham, memang harus kuliah. Di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fisip, Universitas Al Ghifari, saya memprogramkan hal ini dalam tiga semester dengan mata kuliah Filsafat Ilmu, Metode Penelitian Sosial, serta Metode Penelitian Hubungan Internasional. Itu pun baru penjelasan secara teori dengan sedikit praktik. Perlu orang yang punya gairah meneliti dan praktik dalam waktu terbang yang cukup tinggi untuk lebih memahami dan melakukannya.

So, seperti itulah.

Kenapa orang sering salah dan kalah?

Karena menentang ilmu pengetahuan.

Mudah-mudahan penjelasan saya ini sedikit mencerahkan. Kalau tidak, ya wayahna.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment