oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Negeri yang sedang dirundung malang ini kerap menyaksikan banyak pihak yang berupaya mencari kekayaan dengan membuat uang palsu. Memang ada ahli yang mengatakan bahwa peredaran uang palsu rupiah sampai saat ini belum menggoncangkan stabilitas moneter Indonesia, artinya jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan uang asli. Akan tetapi, jika perilaku pemalsuan itu berlanjut, bukan tak mungkin akan membengkak yang pada gilirannya akan menambah rumit suasana. Apalagi pada masa ini masyarakat tampak kurang begitu waspada terhadap uang palsu.
Dulu pembuatan uang palsu kelihatannya dilakukan untuk sekedar mencari kekayaan dengan jalan menipu. Saat ini dorongan untuk membuat uang palsu bertambah lagi, yaitu mencari kedudukan dan kekuasaan.
Praktiknya begini. Dalam sebuah stasiun televisi swasta dikemukakan bahwa mereka yang membuat uang palsu itu bermaksud mengongkosi berbagai aksi kampanye memperkenalkan partai dan Calegnya. Rakyat yang katanya sudah “cerdas” ini bersedia berkampanye untuk apa saja, baik untuk partai, Caleg, ataupun demonstrasi dengan catatan diberi upah yang sesuai. Orang-orang ini punya manajer yang sering bertugas menjadi penghubung dengan pihak-pihak yang berkepentingan, Sang Manajer tentunya meminta biaya untuk menggelar arak-arakan itu. Pihak-pihak yang punya “keinginan” itu, sesuai kebiasaan, akan memberikan dana yang dianggapnya cukup.
Uang untuk menggelar arak-arakan itu berasal dari tentunya kalau tak punya sendiri, pasti pinjam sana-pinjam sini dengan menjual sejumlah janji. Jika itu pun masih kurang, kepalanya berputar untuk mencari uang. Lalu, terbersitlah untuk mencetak uang palsu dengan memanfaatkan masyarakat yang sudah semakin tidak waspada dan tidak peduli dengan asli-tidaknya uang yang beredar. Begitulah yang terjadi. Alasannya untuk kampanye yang sangat dibutuhkan dalam dunia demokrasi. Bukankah demokrasi mensyaratkan adanya dukungan masyarakat yang luas? Untuk mencapai dukungan itu, uang jadi alat efektif untuk menarik dan menggerakkan massa.
Jadi, demokrasi adalah benar-benar sistem politik yang berbahaya dan cenderung merusakkan moral, mental, dan spiritual masyarakat. Sepertinya itu indah demokrasi, namun sesungguhnya menyimpan jutaan keborokan yang busuk dan memuakkan.
oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Siapa pun orangnya, jabatan apa pun yang disandangnya, sebanyak apa pun pengikutnya, saya mengatakan orang itu adalah Elit Tolol, Goblok, Bego, dan Bodoh. Mereka itu punya borok di dalam otaknya. Kalau boroknya itu tidak bisa dioperasi sampai sembuh, sebaiknya disuruh diam sampai mati. Soalnya, kalau masih tetap hidup, bisa mengacaukan pikiran orang-orang, rakyat Indonesia, yang mestinya banyak mendapatkan cinta dan bimbingan.
Dari dulu kita sangat menyadari bahwa demokrasi yang terjadi di negeri ini melibatkan perilaku “money politics”. Sehebat apa pun upaya untuk menghentikan perilaku gila ini, tak akan pernah bisa berhasil. Ada elit politik yang pengennya disebut orang baik mengganti istilah itu dengan “cost politics” supaya lebih sopan. Padahal, isinya ya itu–itu juga, namanya suap.
Ingat, yang menyuap dan yang disuap belum tentu masuk penjara, malah bisa menjadi pejabat yang jahat, tetapi pasti tempatnya adalah di neraka. Itu pasti. Percayalah. Nggak percaya? Gimana Elu aja deh.
Karena money politics ini tak bisa dibendung dan terus menerus terjadi, Elit Tolol yang goblok itu ngajarin rakyat dengan kalimat, “Ambil saja uangnya, tapi jangan dipilih.”
Itu ngajarin orang jadi munafik, Bego!
Kalau kemunafikan ini hanya terjadi pada tingkat antarperson, kerusakannya terbatas. Hanya di antara mereka yang terlibat yang mengalaminya. Akan tetapi, kalau kemunafikan ini menyebarluas secara sporadis, akan mengacaukan hubungan pergaulan masyarakat. Kita sudah melihat buah ajaran Elit Bodoh itu.
Banyak Caleg yang meminta kembali barang-barang atau uang yang telah diberikan kepada masyarakat karena masyarakat tidak memilihnya. Ada juga Caleg gagal yang merusakkan fasilitas-fasilitas di sebuah tempat karena merasa ditipu oleh rakyat.
Akibat dari peristiwa itu adalah terjadinya gangguan hubungan baik di dalam masyarakat. Semua jadi tegang, saling curiga, dan marah besar.
Kita dengan spontan menyalahkan para Caleg gagal itu karena dinilai tidak baik. Lalu, rakyat yang telah menerima uang, barang, atau fasilitas itu adalah orang-orang yang baik?
Si Elit Goblok pasti mengatakannya adalah rakyat yang cerdas.
Cerdas dari mana? Dari Hongkong?
Saya pikir wajar saja para Caleg gagal itu kecewa dan marah. Dia merasa telah ditipu mentah-mentah oleh rakyat. Bahkan, mungkin sudah ada yang berjanji padanya untuk memilihnya dan mengajak orang-orang yang dia kenal untuk memilihnya juga karena telah mendapatkan pemberian yang rasanya enak dari Sang Caleg, padahal hatinya bengkok. Bukankah itu sikap yang munafik?
Saya mencontohkan kepada diri saya sendiri. Kalau saya memberikan uang dua puluh lima ribu rupiah kepada seseorang dengan harapan orang itu membantu saya membetulkan genteng yang bocor, kemudian orang itu ternyata tidak melakukannya padahal telah menerima uang dari saya, tetapi malahan membetulkan genteng tetangga, wajarkah kalau saya marah dan kecewa? Tidak bolehkah saya mengambil kembali uang yang telah saya berikan agar dapat diberikan kepada orang lain yang benar-benar akan membantu saya? Saya bisa mengambil uang itu kembali atau membiarkannya, tetapi orang itu sudah ada dalam catatan hidup saya sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.
Dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pasca-Pemilu, kita mestinya sudah bisa mengambil pelajaran dan semakin hari semakin meyakini bahwa sistem politik demokrasi itu mengacaukan kehidupan yang harmonis. Semua orang bisa jadi munafik, baik Caleg maupun rakyat. Bahkan, orang yang pengennya jadi terhormat ngajarin nggak bener sama rakyat.
Seharusnya, kalau tidak akan memilih orang itu atau partai itu, jangan diterima pemberiannya. Itu adalah sikap sportif, ksatria, terpuji, dan Pancasilais.
Sikap yang paling mudah adalah meninggalkan demokrasi. Kembalilah kepada kesucian Ibu Pertiwi. Di sanalah kekuatan kita. Demi Allah.
Heh, Bego! Hai Tolol! Wahai Goblok! Kalau jadi elit politik, kalau jadi figur publik, ngomong harus bener, pikir dulu, pertimbangkan dulu pakai hati dan otak. Jangan asal berkokok. Brengsek juga Lu!