Wednesday, 17 March 2010

Demokrasi Itu Alat Penjajahan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Negeri ini begitu gembira ketika telah berhasil memerdekakan diri dari penjajahan asing pada 17 Agustus 1945. Kita telah menjadi bangsa yang berdaulat dan memiliki peluang besar untuk mengatur diri sendiri. Akan tetapi, kemerdekaan yang kita dapatkan itu tak lain dan tak bukan hanyalah berupa pergantian orang-orang yang menjadi pemimpin. Kalau saat dulu adalah bangsa asing, sedangkan sekarang bangsa sendiri. Adapun soal kemerdekaan yang merupakan jembatan emas menuju kemakmuran barulah sebatas mimpi di siang bolong.

Negeri-negeri asing tidak mau melepaskan Indonesia begitu saja, soalnya Indonesia itu rasanya nikmat dan lezat. Bolehlah mereka terusir, tak lagi memimpin secara kasat mata di Indonesia, namun Indonesia harus tetap dikuasai. Mereka pun berlelah-lelah putar otak dan putar energi untuk menguasai Indonesia dengan cara yang lain.

Hasil karya dan pemikiran mereka itu disebut oleh Soekarno, Presiden RI ke-1, adalah Nekolim (neokolonialisme imperialisme), ‘penjajahan gaya baru’. Tampaknya, hasil kerja keras mereka berhasil. Buktinya, negeri ini tak kunjung makmur dan orang-orang asing sajalah yang menikmati bagian terbesar sumber daya Indonesia.

Soekarno dari dulu sudah melihat upaya penjajahan yang halus lembut dan terasa bagai hantu menakutkan yang tak dirasakan jahatnya karena tak terlihat, namun tetap ada ini. Oleh sebab itu, ia mati-matian menerangkan kepada rakyat dan elit-elit politik bahwa demokrasi adalah alat penjajahan gaya baru. Akan tetapi, rakyat dan elit-elit itu rupanya punya penyakit yang sama, yaitu menganggap segala sesuatu yang datang dari luar adalah lebih baik, termasuk sistem politik. Hal itu disebabkan telah melihat Amerika yang berhasil dalam bidang ekonomi dan militer. Padahal, belum tentu yang bagus bagi orang lain bagus juga bagi kita. Di samping itu, kini Amerika sudah mengalami kemerosotan di berbagai bidang, terutama moral, religi, dan ekonomi. Negeri itu sudah menjadi sarang penjahat kemanusiaan, penjahat lingkungan, dan penjahat ekonomi. Mereka telah merambah ke berbagai dunia dengan nafsu-nafsu jahatnya.

Merekakah yang menjadi anutan kita? Silakan saja ikuti mereka bagai orang tolol yang begonya nggak ketulungan.

Karena para elit dan rakyat Indonesia sangat terkena wabah penyakit demokrasi, terjadilah paduan pemikiran yang menjadi suatu kebijakan negara. Soekarno mengambil jalan tengah dalam melaksanakan politik, yaitu demokrasi terpimpin. Kata demokrasi tetap dipakai, namun kepemimpinan sentral menjadi rujukan akhir dari setiap musyawarah.

Bagi lawan-lawan politiknya, terutama mereka yang sakit hati karena partai atau Ormas-nya dibubarkan Soekarno, berpendapat bahwa dalam zaman demokrasi terpimpin sebenarnya tak ada demokrasi. Bagi saya, dari seluruh demokrasi di negeri ini, demokrasi terpimpin adalah lebih baik, lebih punya harga diri, lebih kuat, lebih mantap, dan lebih menjanjikan, asal seluruh elemen mampu sabar dan percaya pada kebenaran konsep Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Maksud sabar adalah kita harus lebih kuat menahan diri agar tidak menjadi pengemis pada bangsa asing. Pada tulisan lain akan saya bahas tentang kedahsyatan demokrasi terpimpin.

Di atas tadi telah disebutkan bahwa bangsa asing tak rela meninggalkan Indonesia yang gurihnya bukan main. Didoronglah demokrasi di Indonesia dan dipuji-pujilah Indonesia yang telah berdemokrasi ini. Tujuannya adalah agar mereka tetap bisa bermain dengan lancar dan manis untuk mendapatkan tegukan demi tegukan dan suapan demi suapan dari Indonesia.

Mereka akan bikin partai yang dipimpin oleh orang Indonesia atau membiayai partai yang diperkirakan akan menang atau berupaya keras memenangkan partai tertentu untuk menjadi penguasa di Indonesia. Setelah jagonya menang, mereka akan minta balas budi dan menagih janji dari keroconya di Indonesia yang telah berhasil mendapatkan kekuasaan. Mereka akan minta agar "anjingnya" itu membikin legislasi yang menguntungkan mereka, minta agar beberapa sumber daya alam potensial dimiliki mereka, minta agar hukum tidak terlalu keras kepada kolega-koleganya, minta ini-itu yang pasti sudah jelas tak bisa ditolak. Toh, mereka sudah keluar uang banyak dan energi yang besar untuk membantu kutu kupret-nya yang kini telah memiliki kekuasaan. Soal rakyat, ah … dari dulu mereka tak peduli, rakyat cuma sebuah data statistik yang menyusahkan kepentingan imperialisme.

Oleh sebab itu, tak heran jika kita terus miskin dan menderita. Soalnya, potensi-potensi terpenting kita telah tergadai oleh para kecoa yang berkolaborasi dengan asing. Itulah harga yang harus dibayar karena kita telah melaksanakan politik demokrasi yang menyesatkan ini.

Oleh sebab itu, tak bosan-bosannya saya dengan tegas di mana pun dan kapan pun selalu mengampanyekan agar kita meninggalkan sistem politik demokrasi yang rendah dan hanya bagus bagi orang-orang yang rendah dan kampungan. Soal politik demokrasi rendah dan kampungan ada banyak alasan dalam berbagai tulisan pada situs ini.

Kita ini bukan bangsa kampungan dan rendah. Kita hanya sedang mabuk oleh racun yang setiap saat dihidangkan oleh pihak-pihak asing melalui berbagai sarana, misalnya, melalui media massa, perguruan tinggi, ceramah-ceramah keagamaan, aktivitas-aktivitas sosial, diskusi politik, dan seabrek sarana lain yang kelihatannya positif, tetapi sesungguhnya baunya lebih busuk dari nanah luka borok.

Kita mestinya kembali kepada diri sendiri dan menggunakan cara-cara hidup, sistem politik, yang berasal dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah dilekatkan Allah swt sejak dalam kandungan. Hanya dengan itu kita mampu besar, kuat, punya harga diri, dan bernilai di hadapan Allah swt dan seluruh umat manusia. Jika kita masih terus menggunakan demokrasi yang jelas bukan dari diri kita sendiri, melainkan mengadopsi pemikiran orang-orang yang sedang bingung dan sesat, sudah pasti kita akan melarat dan terus sekarat sampai tubuh kita rapat dengan tanah.

Soal Soekarno sangat anti demokrasi, bisa dilihat dari pernyataan-pernyataannya di bawah ini. Hal ini harus menjadi renungan bersama karena Soekarno adalah sosok yang sangat mencintai rakyat dan menginginkan keluhuran martabat bagi bangsanya.

“Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen bilamana di masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Hal itu disebabkan stelsel inilah yang menjadi kemadean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur dari kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, zat-zat masyarakat kita.

Orang akan menanya, kenapa tidak cukup dengan parlemen? Tidakkah dapat terkabul semua kehendak rakyat jelata di dalam parlemen setelah dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak? Tidakkah rakyat dapat meneruskan semua ia punya kehendak ekonomi asal saja suaranya di dalam parlemen sudah lebih dari separo?

Pembaca, di dalam praktiknya, parlemen, nyatalah hal yang demikian itu tak dapat terjadi. Pertama, oleh karena biasanya kaum borjuislah yang mendapat lebih banyak kursi. Mereka, kaum borjuis itu, banyak alat propagandanya. Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioskop-bioskop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai. Semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi borjuis di dalam parlemen. Semuanya itu menjamin bahwa biasanya utusan-utusan rakyat jelata kalah suara. Kedua, kalaupun rakyat jelata bisa menang suara, kalaupun rakyat jelata dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak, maka toh tetap tak mungkin terjadi kesamarataan ekonomi itu. Sejarah parlemen democratie sudah beberapa kali mengalami kejadian arbeidersmeerderheid. Misalnya, dulu di Inggeris pernah terjadi di bawah pimpinan Ramsay Mc Donald. Akan tetapi, dapatkah waktu itu dilangsungkan kesamarataan ekonomi?

Ya, demokrasi politik itu hanya bau-baunya, bukan?

Di negeri-negeri modern benar ada parlemen, benar ada ‘tempat perwakilan rakyat’, benar rakyat namanya ‘boleh ikut memerintah’, tetapi ach, kaum borjuis lebih kaya daripada rakyat jelata. Mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan midrasah-midrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal pikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua aktivitas politik. Mereka, misalnya, membikin ‘kemerdekaan pers’ bagi rakyat jelata menjadi suatu omongan kosong belaka. Mereka menyulap ‘kemerdekaan pikiran’ bagi rakyat jelata menjadi suatu ikatan pikiran. Mereka memperkosa ‘kemerdekaan berserikat’ menjadi suatu kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat, mereka punya perang menjadi peperangannya ‘negeri’. Oleh karena itu, benar sekali perkataan Caillaux bahwa kini Eropa dan Amerika di bawah kekuasaan feodalisme baru.

’Akan tetapi, kini kekuasaan feodal itu tidak digenggam oleh kaum tanah sebagaimana sediakala. Kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap kepada staat.’

Benar sekali juga perkataan de Brouckere bahwa ‘demokrasi’ sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme! ‘Demokrasi’ yang demikian itu harus kita lemparkan ke dalam samudera, jauh dari angan-angan dan keinginan massa.”

Hmm… masih tidak mengertikah bahwa demokrasi itu adalah alat penjajahan?

Kalau belum juga paham, baca seluruh artikel dalam situs ini, mudah-mudahan Allah swt memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin.


No comments:

Post a Comment