oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Masih segar dalam ingatan kita. Beberapa waktu yang lalu negeri ini menggelar Pemilu legislatif yang tidak diikuti oleh seluruh rakyat pemilik sah hak pilih. Lebih dari 40% kabarnya tidak ikut-ikutan pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sebagaimana tulisan-tulisan yang lalu, saya senantiasa menyebarluaskan pemahaman bahwa sistem politik demokrasi itu adalah ajaran bingung yang menyesatkan dan harus secepatnya ditinggalkan jika Indonesia ingin segera menemukan kemakmuran dan kejayaannya.
Saya sungguh teramat kaget setelah menyaksikan Pemilu kemarin--saya tentunya nggak ikut-ikutan berdemokrasi. Masa harus ikut-ikutan kayak begituan. Saya lebih meneladani Nabi Ibrahim as, yaitu berlepas tangan dari segala apa yang dilakukan orang-orang. Saya tak punya beban untuk bertanggung jawab di akhirat kelak, baik sebagai pemilih maupun yang dipilih. Hati-hati Coy, semua yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt kelak. Terserah, kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas, peristiwa pengadilan Illahi itu pasti terjadi.
Dalam banyak artikel di situs ini, saya memaparkan keburukan-keburukan demokrasi dengan segala risikonya. Misalnya, menyuburkan korupsi, memboroskan uang rakyat, menggadaikan bangsa, meningkatkan aksi-aksi tipu dan fitnah, mendorong pertentangan, menghancurkan jati diri, mengundang penjajah asing dalam bentuk lain dengan hormat untuk mengeruk kekayaan alam, memperbanyak uang palsu, menumbuhkan oligarki, membludakkan kemunafikan, membuat plin-plan, serta seabrek kejahatan lainnya yang ujung-ujungnya membuat negeri ini selalu miskin dan melarat .
Kini setelah Pemilu 9 April 2009, kejahatan demokrasi semakin bertambah. Hal-hal yang tidak saya duga dan belum pernah dikemukakan dalam sejarah kemanusiaan muncul mencolok dan para elit brengsek itu diam-diam saja. Mestinya, elit-elit itu mikir mengapa sampai terjadi, lalu dipikir lagi bagaimana cara pencegahannya di masa datang. Mikir Lu sampai muntah sekalian!
Elit itu ada yang baik dan ada yang brengsek. Hitung saja sendiri berapa gelintir yang baik dan berapa ribu yang brengseknya nggak ketulungan.
Bisa kita lihat demokrasi itu telah mengakibatkan kericuhan, kerusuhan, kecurangan yang menggila, depresi, frustrasi, kegilaan, bahkan kematian. Para putera bangsa yang semestinya bisa menggunakan potensinya dengan lebih baik untuk diri dan bangsanya telah menjadi korban dari kebiadaban demokrasi. Amien Rais pernah mensinyalir bahwa dalam Pemilu kali ini ada kerja-kerja siluman, kecurangan yang aneh. Kita pun melihat dengan prihatin bahwa nilai-nilai kebaikan telah begitu hancur tergantikan nilai-nilai materialistis
Yang lebih parah adalah masyarakat kita malah menertawakan orang-orang yang telah menjadi korban kekejian demokrasi itu. Kita sering mendengar atau mungkin kita sendiri yang bersenda gurau dengan topik kegilaan dan kematian para Caleg yang tidak jadi berkuasa. Tidak sadarkah kita bahwa perilaku menertawakan dan membuat malu orang itu adalah suatu keburukan? Dengan sikap kita yang jelas keliru itu telah menunjukkan bahwa betapa begonya kita, betapa tololnya kita, tak ada rasa kasihankah dalam diri kita? Sungguh, kesempurnaan kegoblokan negeri ini sebentar lagi mencapai puncaknya jika terus berdemokrasi.
Mestinya kita ikut prihatin, sedih, dan bersimpati, bahkan kalau mampu, berikanlah bantuan. Bukankah mereka itu adalah saudara kita sebangsa dan setanah air?
Kita benar-benar sedang ditipu dan menipu diri sendiri karena dengan—eh … ada kata lain yang lebih kasar daripada goblok?—seluruh kebodohan yang berlanjut terus menerus menggunakan sistem politik demokrasi yang sudah jelas-jelas berbahaya, kampungan, dan menyedihkan itu.
Sebenarnya, kita bangsa besar yang bisa benar-benar besar jika menggunakan kebesaran yang telah Allah swt berikan kepada kita sejak dalam kandungan.
Duh, Tuhan, Ya Robbi, selamatkan kami. Hentikan kami dari ketololan yang dibuat bangga ini. Amien.
No comments:
Post a Comment