Wednesday 17 March 2010

Demokrasi Tak Ada dalam Pancasila

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya


Masih hafal Pancasila?

Alhamdulillah, banyak yang masih hafal. Namun, generasi sekarang sudah banyak yang tidak hafal Pancasila. Kayaknya, pemerintah kita saat ini merasa rugi banget mewajibkan rakyatnya untuk menghafalkan Pancasila yang cuma lima sila itu. Seolah-olah jika mewajibkan hafal, sama dengan membebani rakyat dengan penderitaan yang mahahebat.

“Tapi … sudahlah itu kan cuma hal kecil yang tidak perlu dipikirkan,” kata pejabat pemerintah yang goblok sambil ketar-ketir tidak terpilih lagi pada Pemilu periode berikutnya.

Ah, sebenarnya sih, bukan cuma pejabat yang goblok soal itu, banyak juga masyarakat yang lebih goblok karena menganggap Pancasila adalah produk kolot dan terbelakang sehingga tidak perlu lagi diperhatikan.

Ya, … sudahlah … tulisan ini bukan untuk mendiskusikan hal itu. Kalau mau tahu bagaimana hebatnya Pancasila, ada pada artikel-artikel lain di situs ini.
Saat ini kita sedang mengeramatkan demokrasi. Sistem politik demokrasi dianggap yang paling paten, paling agung, padahal kita tak pernah benar-benar stabil dalam membangun bangsa disebabkan kita menggunakan sistem demokrasi yang lahir lima ratus tahun sebelum Yesus lahir.

Kalau mau diibaratkan dengan motor atau mobil, pilih mana, yang keluaran tahun 1990, tahun 2000, atau tahun 2008?

Rasanya goblok juga yah kalau ada yang pilih tahun 1990 sementara bisa dengan gratis mendapatkan yang tahun 2008. Demikian pula dengan sistem politik, bagusnya kan yang keluaran terbaru, bukan yang sudah usang. Minimal, kenapa nggak pake sistem politik yang terwujud setelah Yesus lahir?

Nggak mau ya?

Pengennya yang kuno melulu sih. Pantas hidupnya selalu dalam alam yang Jadul.

Eh, … tapi tulisan ini sedang membicarakan kuno dan tidak kuno suatu sistem politik, tetapi mencoba mencari teman diskusi untuk saling tukar pikiran tentang demokrasi dan Pancasila.

Sebagaimana tadi disebutkan bahwa sekarang ini hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia sedang terpersosok dalam demokrasi dalam arti mengkultuskan demokrasi. Inilah sistem termodern, tercanggih yang dapat menyelesaikan masalah. Padahal, tipu. Bahkan, banyak sekali yang berpendapat dan mengajarkan kepada orang banyak bahwa Pancasila juga mengamanatkan demokrasi.

Sungguh, kalau kita baca kata per kata dalam Pancasila, tak ada itu yang namanya kata demokrasi. Saya mau taruhan apa saja jika ada kata itu dalam Pancasila.

Orang biasanya maksa-maksain demokrasi sesuai atau diamanatkan Pancasila dengan bersandar pada sila keempat yang bunyinya begini Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila ini menjadi tiangnya para demokrat.

Jika mau dicermati, anak SD pun tak mungkin mengatakan bahwa ada kata demokrasi dalam sila itu.

Sila ini sesungguhnya mengamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk terbiasa melakukan musyawarah yang dibimbing oleh hikmah dan kebijaksanaan, bukan demokrasi. Terdapat perbedaan yang teramat jauh antara musyawarah yang diajarkan Pancasila dengan musyawarah yang dikembangkan dalam demokrasi menyesatkan itu.

Banyak orang yang sesat berpikir dan juga menyesatkan pikiran orang lain dengan berpendapat bahwa demokrasi sama dengan musyawarah. Sesungguhnya itu sangat jauh berbeda.

Saudara-saudara sekalian, demokrasi itu berasal dari bahasa Yunani, demos kratos yang artinya pemerintahan rakyat. Adapun musyawarah berasal dari bahasa Arab. Dari asal kata saja, sudah berbeda negeri.

Benar dalam demokrasi ada musyawarah, tetapi berbeda dengan yang dikehendaki Pancasila. Musyawarah yang ada dalam demokrasi berujung pada perdebatan sengit dan saling menjatuhkan. Hal itu disebabkan banyaknya kepentingan kelompok dan pribadi yang menjadi ukuran. Coba saja lihat, masyarakat melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, kerap disuguhi hidangan yang tidak mendidik, yaitu adu mulut, debat, dan adu bacot. Pihak-pihak yang katanya memikirkan masalah yang sama dan untuk kepentingan rakyat bersitegang dan tak mau kalah.

Memang hal itu, adu sakti itu, dibenarkan dalam demokrasi, namun sungguh merupakan suatu pengkhianatan terhadap diri sendiri, selaku bangsa Indonesia.

Mengapa mereka harus selalu bersitegang?

Soalnya, mereka itu kan perwakilan partai, kelompok, Ormas, LSM, atau yang sejenisnya. Mereka pasti akan mempertahankan pendapatnya mati-matian tidak pedulil salah atau benar. Mereka harus menang, apalagi jika ditonton orang banyak. Kalau mereka kalah atau mengalah, pasti malu dan kredibilitasnya di depan masyarakat akan menurun. Kalau masyarakat sudah menganggap rendah kelompok itu karena kalah berdebat, pasti jumlah pemilihnya akan berkurang. Pasti rakyat akan memilih pihak yang menang debat, kan lebih cerdas dan lebih unggul. Oleh sebab itu, tak heran akan terus-terusan terjadi perdebatan untuk melindungi berbagai kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tak jarang kelompok-kelompok itu menghasut massa dan membodoh-bodohi rakyat bahwa pihaknyalah yang benar dan paling hebat. Itulah demokrasi.

Dengan demikian, kita sudah terlalu jauh dan tersesat dari jiwa asli kita sendiri. Jiwa asli bangsa Indonesia adalah bergotong-royong, bahu-membahu, saling mengisi untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Musyawarah yang diamanatkan dalam Pancasila adalah musyawarah yang dibimbing oleh hikmah dan kebijaksanaan. Seluruh elemen bangsa melalui wakil-wakilnya berdiskusi, bermusyawarah untuk memecahkan masalah bersama. Dengan hikmah dan kebijaksanaan, yang menjadi prioritas adalah kebenaran, bukan kemenangan. Dalam demokrasi, prioritasnya adalah kemenangan. Dalam Pancasila adalah kebenaran. Jika dalam permusyawaratan itu terjadi perbedaan pemikiran dan pendapat, yang diambil adalah pendapat terbaik dari seluruh pendapat, bukan pendapat terbanyak. Semua pihak harus menyadari bahwa pendapat terbaiklah yang harus diakui dan digunakan. Tak ada yang dikalahkan dan tak ada yang dimenangkan karena semuanya demi kebenaran. Yang pendapatnya tidak tergunakan, tidak akan kecewa karena toh buat apa kecewa bukankah semuanya untuk kepentingan bersama, termasuk dia sendiri? Yang pendapatnya paling benar, paling baik, akan bersyukur karena Tuhan telah menyibakkan hikmah/rahasia baginya untuk menjadi pihak yang dipercaya memiliki pendapat terbaik dan itu di samping merupakan karunia, juga beban yang harus dipikul karena mesti diimplemantasikan untuk kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan kelompoknya.

Begitulah musyawarah yang dikehendaki Pancasila, bukan demokrasi yang berakibat menyesatkan dan tak jarang membuat orang sakit, bahkan gila. Kalau Cuma gila sendirian masih mending, tetapi kalau sudah membuat negeri ini tambah carut marut, itu namanya kebangetan gobloknya. Supaya kita tidak terus-terusan berada dalam kegoblokan, tinggalkan saja demokrasi, lalu kembali pada jati diri sendiri yang dianugerahkan Allah swt kepada kita. Dengan itulah kita akan jaya dan stabil dalam menata diri dan meniti masa depan.

No comments:

Post a Comment