Thursday, 9 September 2010

Keruntuhan Nasionalisme di Tingkat Elit

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dewasa ini kita bisa melihat begitu semaraknya semangat nasionalisme di kalangan rakyat, terutama generasi muda. Mereka dengan berbagai ide, semangat, dan energinya berupaya memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia dalam berbagai bentuk. Ada yang mengibarkan bendera di puncak gunung, di kedalaman gua, di kedalaman laut, menggubah syair-syair perjuangan, serta melakukan atraksi-atraksi spektakuler lainnya. Di samping itu, mereka pun menunjukkan kehebatan dalam hal akademik dan mampu melampaui kecerdasan para pemuda di lain negeri. Hal tersebut patut kita syukuri bahwa nasionalisme di kalangan generasi muda ternyata tidak luntur, bahkan menguat.

Meskipun demikian, sungguh merupakan sesuatu yang menyedihkan manakala generasi muda Indonesia memiliki rasa nasionalisme yang begitu tinggi dengan berbagai karyanya, para elit dan atau penyelenggara negara justru menunjukkan penurunan dalam hal nasionalisme. Mereka seperti kebingungan dalam menjalankan posisinya.

Hal yang saya sebut penurunan atau keruntuhan nasionalisme di tingkat elit adalah kurangnya pemeliharaan atau rasa ingin mempertahankan simbol-simbol perjuangan atau nasionalisme yang merupakan tanda sejarah Indonesia. Masyarakat sempat dikejutkan dengan adanya isu mengenai akan dijualnya patung Sudirman yang berdiri megah di Jakarta. Publik pun merasa prihatin dengan akan dijualnya rumah di Rengasdengklok yang merupakan simbol sejarah perjuangan Indonesia. Niat menjual itu dilakukan karena para ahli waris rumah itu merasa kesulitan dengan biaya pemeliharaannya. Adapula rumah pengasingan Ir. Soekarno di Brastagi, Tanah Karo, Sumatera Utara, yang kemudian dijadikan mess oleh Pemda setempat dan terbuka untuk umum. Demikian pula rumah Inggit Garnasih di Bandung yang sepi dari perhatian. Bahkan, surat nikah dan surat cerai antara Soekarno dan Inggit akan dijual oleh ahli waris karena biaya pemeliharaan rumah bersejarah itu tidak disetujui pemerintah. Di samping itu, mungkin ada banyak tempat dan simbol sejarah yang juga tidak diurus dengan baik.

Kekurangperhatian pemerintah itu jelas menunjukkan bahwa mereka sangat tidak mementingkan hal itu. Kalangan elit kita tampaknya sibuk dengan upaya mempertahankan posisi dan kepentingannya masing-masing karena demokrasi jelas membuat posisi setiap pejabat di negeri ini amat rapuh, rentan goyangan dan guncangan. Hal itu merupakan pertanda nyata kurangnya, bahkan terjadinya keruntuhan rasa nasionalisme di tingkat elit karena disibukkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi materialistis.

Kita tidak mengerti mengapa pemerintah sampai harus kekurangan dana untuk mengurus itu semua, padahal negeri ini dibangun dengan keyakinan dan semangat perjuangan yang berada di bangunan-bangunan itu. Negeri ini lebih disibukkan dengan mengucurkan dana ke arah yang kurang perlu yang sebetulnya bisa lebih dihemat. Belum lagi dalam pembiayaan-pembiayaan yang kurang perlu itu dijangkiti penyakit korupsi yang jelas membengkakan pengeluaran negara.

Adalah kenyataan yang sangat menyakitkan sementara para pejabat kita berseliweran dengan mobil-mobil mewah dan menghadiri acara-acara seremonial yang memboroskan dana, sebagian melakukan perilaku korup, buang-buang uang untuk kampanye, bikin-bikin anggaran untuk pesta demokrasi bual-bualan, peninggalan-peninggalan dan tanda-tanda heroik perjuangan yang semestinya dijadikan dan dilestarikan sebagai saksi sejarah itu merana sengsara tak diperhatikan dengan baik. Negeri ini memang sedang dikuasai oleh banyak orang yang rasa nasionalismenya kurang dan mulai runtuh yang gemar melestarikan kedudukan, kepentingan, dan kekayaannya sendiri.

Masa ini adalah masa kegentingan. Para pemuda yang berjiwa nasionalis murni harus mampu menggusur generasi “bangkotan” yang sudah tidak lagi peduli dengan sejarah, jati diri, dan keyakinan jiwa bangsa Indonesia.

Merdeka!

No comments:

Post a Comment