Thursday, 9 September 2010

Mental Hibah, Mental Jongos

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sejak zaman Orde Baru soal hibah, hadiah, atau bantuan ini selalu menimbulkan kesalahan sekaligus perbedaan pemahaman di kalangan masyarakat yang beragam pengetahuan dan latar belakangnya ini. Saat itu sangat kentara sekali bangsa ini dengan istilah ”bantuan asing”. Bagi mereka yang paham, bantuan seperti ini tidak lebih dari hutang, pinjaman, yang harus dilunasi. Oleh sebab itu, banyak orang mengkritiknya. Di samping harus dilunasi, juga menyebabkan bangsa ini kurang berdaulat dan harus selalu mempertimbangkan keinginan “luar” yang memberikan bantuan itu. Akan tetapi, di kalangan masyarakat umum yang sudah mengetahui betapa tidak bolehnya negeri ini selalu mengikuti keinginan asing timbul pendapat atau ungkapan “ambil saja bantuannya, toh itu menguntungkan, tetapi jangan diikuti keinginan mereka”.

Saudara-saudara sekalian, pada kenyataannya bantuan itu sangat mengikat kita pada keinginan orang luar, terutama negara yang memberikan bantuan atau pinjaman itu. Pendapat masyarakat seperti yang disebutkan di atas disebabkan oleh kesalahan pemikiran akibat bahasa yang digunakan, yaitu “bantuan”, padahal sebenarnya pinjaman. Masyarakat menilai kata bantuan itu sebagaimana kata bantuan yang lazim beredar di masyarakat Indonesia. Biasanya, kita membantu saudara, kerabat, atau tetangga yang kesulitan itu atas dasar kasih sayang, iba, dan bernilai tulus. Kebiasaan itulah yang mendasari banyak masyarakat yang berpendapat untuk menerima bantuan dari pihak asing. Sesungguhnya, terjadi perbedaan yang jauh antara bantuan yang terjadi dalam keseharian masyarakat Indonesia dengan bantuan yang berasal dari pihak asing, kapitalis. Dalam dunia kapitalis, berlaku no free lunch, ‘tak ada makan siang gratis’, semuanya harus dihitung untung dan rugi. Jika membantu, mereka harus berhitung apa untungnya bagi mereka, sama sekali tidak tulus seperti apa yang terjadi di antara kita.

Sekali kita menerima bantuan mereka, pada saat itu berarti kita menjatuhkan diri untuk selalu dicampuri urusan oleh mereka. Kita akan selalu kesulitan untuk mengatur diri sendiri secara tegas karena kita telah diberi bantuan oleh mereka. Itulah salah satu penyebab mengapa negeri seperti harus selalu tunduk pada kepentingan asing, kapitalis.

Pada zaman ini, Orde Reformasi, sering kita dengar istilah hibah, ‘hadiah’ dari pihak asing. Banyak orang yang senang, terutama mereka yang bermental rendah dengan adanya hibah ini. Mereka dengan sukacitanya menerima hibah tanpa meneliti terlebih dahulu secara mendalam apa akibatnya. Memang hibah ini seperti memberikan hadiah cuma-cuma. Akan tetapi, akibatnya akan sama dengan bantuan yang ada semasa Orde Baru, yaitu pihak yang mendapatkan hibah akan dengan mudah “ditipu” atau dicampuri urusannya oleh pihak yang memberikan hibah. Bahkan, yang lebih mengerikan adalah pihak yang menerima hibah ini terkadang over acting untuk membuat senang pihak yang memberikan hibah. Itu sudah normal dan alamiah. Contohnya, jika diberi hadiah yang besar oleh orang lain, kita akan selalu berupaya santun dan menyenangkan orang yang memberikan hibah, terkadang pula kita bisa menjadi penjilat yang menutup mata jika pemberi hibah itu melakukan keburukan. Hibah telah membutakan akal sehat kita.

Hibah dari pihak asing, kapitalis ini sudah selayaknya dihilangkan dan atau ditolak sama sekali. Dengan demikian, negeri ini akan lebih memiliki harga diri dan mampu berdiri tegak di hadapan bangsa lain.

Kita sangat sedih jika negeri ini begitu gemar menerima hibah, baik akibat dari proposal yang kita ajukan atau dari pemberian karena aktivitas kita yang cenderung menyenangkan pihak luar. Hal itu menunjukkan betapa miskinnya kita dan begitu mudahnya kita dipengaruhi oleh orang lain. Apalagi jika hibah-hibah ini diterima oleh institusi-institusi penting negeri ini, misalnya, militer, kepolisian, atau departemen-departemen lain. Ditambah lagi jika banyak LSM dan media massa, baik cetak atau elektronik yang menerimanya. Di tengah masyarakat akan terbentuk opini dan kondisi palsu sebagaimana yang diinginkan pihak pemberi hibah. Negeri ini akan benar-benar jadi bahan permainan orang lain.

Ada pengakuan dari salah seorang anggota LSM yang dibiayai atau diberi hibah oleh pihak kapitalis. Memang saat itu tidak terjadi dan tidak terasa adanya permintaan berlebihan dari pihak pemberi hibah. Pemberi hibah hanya meminta sejumlah foto di daerah konflik di Indonesia. Akibatnya, kerugian yang diderita negeri ini begitu besar. Jumlah hibah yang saat itu dirasakan besar ternyata nilainya jauh lebih kecil dibandingkan kekusutan yang ditimbulkannya. Foto-foto yang mereka minta ternyata dijadikan bahan untuk mendiskreditkan Indonesia di dunia internasional sebagai negara pelanggar HAM berat.

Mental menerima hibah ini akan menjadikan negeri ini bermental jongos, tak punya harga diri, dan selalu cenderung mengikuti kehendak orang lain. Sudahkah kita lupa dengan ketegasan dari Pemimpin Besar Revolusi kita? Go to hell with your aids!

Penerimaan hibah dan atau pengajuan proposal agar diberi hibah atau bantuan ini, sesungguhnya tidak mendidik kita untuk Berdikari, ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Kita akan selalu gemar membikin-bikin kegiatan yang menyenangkan orang lain agar diberi materi yang tak seberapa dibandingkan kerugian yang akan diderita.

Ada sebuah contoh hebat dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika ada seorang pengusaha besar yang akan memberikan hadiah.

Beliau dengan tegas menolaknya, “Anda tidak perlu memberikan hadiah, bukankah Anda sudah melakukan kewajiban membayar pajak?”

Penolakan itu menutup jalan bagi para pengusaha dan siapa pun yang berusaha mencoba diistimewakan oleh Khalifah. Semua berderajat sama dan memiliki hak yang sama dalam bermasyarakat. Khalifah tetap mampu berdiri tegar dan kukuh dalam menjalankan pemerintahannya tanpa dicampuri pihak lain.

Jika saja para penguasa di negeri ini mampu mendidik diri dan institusinya agar terbebas dari hibah, kemudian mencari sumber lain yang lebih menjamin harga diri, niscaya negeri ini akan lebih bermartabat, lebih berdaulat, dan lebih mampu berdiri di atas kaki sendiri.

No comments:

Post a Comment