oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang SuryaBeberapa orang menemui ayah saya, lalu membantah pendapat saya bahwa demokrasi itu adalah sistem politik rendah yang rusak. Mereka memang mengakui bahwa demokrasi di Indonesia telah mengacaukan sistem pergaulan dan hubungan di antara sesama warga bangsa serta membuat perjalanan menuju kemakmuran menjadi terhambat. Mereka tidak bisa mengingkari bukti-bukti yang ada telah menunjukkan kerusakan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, mereka tidak bisa menerima bahwa demokrasi itu adalah sistem politik yang rusak luar dalam. Menurut mereka, demokrasi itu tidak salah. Yang salah adalah penerapan demokrasi di Indonesia. Demokrasi di Indonesia dipandang tidak bermutu. Buktinya, demokrasi di luar negeri berjalan baik. Maksud mereka luar negeri itu Amerika Serikat. Menurut mereka, demokrasi di AS itu bermutu.
Sayangnya, mereka tidak mau bertemu langsung dengan saya. Mereka hanya berani berhadapan dengan ayah saya. Ayah saya kemudian menceriterakan pertemuan mereka kepada saya. Karena mereka membantah melalui ayah saya, saya menjawabnya melalui ayah saya juga.
Saya tanya, “Pak, apakah mereka pernah pergi ke Amerika?”
Ayah saya tidak menjawab, tetapi memperhatikan saya sambil diam.
“Apakah mereka mempelajari demokrasi Amerika dari buku-buku atau internet?”
Sikap ayah saya tetap sama.
“Kalau mereka belum pernah ke Amerika dan atau mempelajari demokrasi di sana, apa dasarnya bisa menjelaskan bahwa demokrasi di Amerika bermutu?” jelas saya, “Pak, sebaiknya jika bertemu dengan mereka lagi, tolong katakan agar jangan banyak menduga-duga, itu tidak baik, tidak cerdas.”
Sesungguhnya, yang berpandangan seperti orang-orang yang menemui ayah saya itu banyak, mungkin di antara pembaca ada juga yang berpikiran seperti itu. Kalau para politisi, pengamat, dan birokrat, sangat sering berbicara seperti itu di berbagai media bahwa demokrasi di Indonesia tidak bermutu. Dengan kata lain, demokrasi di luar Indonesia sangatlah bermutu.
Mantan menteri Ryas Rasyid juga pernah mengatakan hal seperti itu dalam wawancara di SCTV ketika mengomentari masalah kerusuhan Pemilihan Kadal dan pemekaran wilayah. Dia bilang Indonesia harus belajar banyak agar demokrasi yang dijalankan bisa lebih bermutu.
Eep Saefulloh Fatah pun saat diwawancarai RCTI mengatakan hal yang mirip ketika mengomentari kunjungan Presiden AS Barack Obama ke kampus UI. Dia membandingkan bahwa demokrasi di AS itu baik dan hebat, sedangkan di Indonesia itu kotor.
Pendapat terbaru yang justru lebih mencengangkan adalah dari Marzuki Alie, politisi pentolan Partai Demokrat, saat mengutarakan pandangannya mengenai pembangunan gedung baru DPR. Menurutnya, pembangunan gedung baru itu salah satunya mencontoh demokrasi di AS bahwa setiap anggota DPR itu didampingi staf ahli sebanyak 15 sampai 20 orang. Pandangannya itu jelas menandakan kekagumannya pada demokrasi di AS sehingga Indonesia harus menirunya.
Saya sendiri jadi bertanya-tanya, jika di Indonesia demokrasi tidak bermutu, lantas demokrasi yang bermutu itu yang bagaimana? Di mana pernah terjadi? Di Amerika?
Sesungguhnya, yang namanya demokrasi bermutu itu hanya ada dalam alam khayal, lamunan, dan mimpi siang bolong para akademisi serta propaganda sesat mereka yang kemaruk harta benda. Kalau mau lebih terpelajar bahasanya, ya demokrasi bermutu itu nilainya sama dengan utopis. Artinya sih, ya khayalan-khayalan juga. Baca saja tentang demokrasi di buku-bukunya Amien Rais, demokrasi yang bermutu itu semuanya hanya utopis.
Sebenarnya, dalam tulisan-tulisan yang lalu banyak diketengahkan keburukan-keburukan demokrasi di mana-mana, terutama di Indonesia, tetapi agar lebih meyakinkan orang-orang yang masih mengagungkan demokrasi, saya uraikan sedikit bagaimana bejatnya demokrasi di Amerika Serikat.
Dalam demokrasi, partai adalah pilarnya. Partai-partai di AS itu perlu hidup dan berebut posisi untuk mendapatkan kekuasaan. Untuk menggerakan berbagai aktivitasnya, partai jelas butuh dana. Kebutuhan dana itu tercium oleh para penjahat. Oleh sebab itu, terjadilah perkawinan antara penjahat dengan politikus. Misalnya, para penjahat di sebuah distrik di Chicago menyelenggarakan berbagai kegiatan ekonomi. Mereka menguasai rumah-rumah pelacuran dan memalaknya untuk membayar polisi korup dan menyumbang partai politik. Para pelacur diharuskan masuk asuransi ke perusahaan yang ditunjuk seorang politikus yang berpengaruh.
Saat Wodrow Wilson berkuasa terjadi kegawatan money politics. Ini terjadi di daerah-daerah berpenduduk padat yang dikuasai kepentingan ekonomi tunggal atau kelompok berbagai kepentingan. Proses perebutan tempat di Senat dengan money politics ini terjadi di tempat-tempat orang bisa membeli hampir segala-galanya. Meskipun ada yang tidak dengan cara memberikan uang secara langsung, kolusi dilakukan dengan persengkongkolan dan pemberian janji-janji kesempatan dalam berbisnis. Dengan demikian, terjadilah pembelian dalam pilihan politik.
Menurut Syed Hussain Alatas (1987), Guru Besar di Universitas Nasional Singapura, gembong partai adalah organisatoris korupsi dan bukan politik masyarakat. Di dalam mesin partai di AS terdapat lingkaran kecil orang-orang yang menjadi intinya. Mesin partai itu dikembangkan bukan untuk menjalankan partai sebagai organisasi, melainkan mengembangkan kepentingan orang-orang yang memiliki mesin itu. Mereka mengembangkan kepentingannya dengan cara membina hubungan yang erat dan rahasia dengan orang-orang yang mengelola keuangan dalam jumlah besar dan perusahaan raksasa dengan para Gembong Buncit yang memegang jabatan puncak.
Perilaku-perilaku korup politisi tersebut menyebar ke departemen-departemen lain. Masih di Chicago, misalnya, para penjahat telah menarik-narik polisi untuk menjadi korup. Mereka memberi polisi uang tip dan hadiah natal kecil-kecilan. Akibatnya, polisi yang berjiwa korup merasa keenakan, lalu memberikan pelayanan khusus kepada mereka. Apabila mereka bermasalah dalam berlalu-lintas, dengan gampangnya menelepon polisi yang sudah dikenalnya untuk diberi keringanan.
Korupsi telah menjadi senjata utama kejahatan terorganisasi untuk memantapkan kekuasaan dan kebebasan bertindak. Pada 1983 sebuah stasiun televisi Amerika menyatakan bahwa kejahatan terorganisasi adalah kejahatan terbesar nomor dua setelah minyak Bumi di Amerika Serikat.
Kejahatan terorganisasi di AS telah menempuh perjalanan sejarah panjang dan makmur. Modus operandinya adalah korupsi. Mereka telah habis-habisan memperalat sistem pemilihan, sistem demokrasi.
Orang-orang bermoral di sana terus melakukan perlawanan terhadap kejahatan. Pelacuran adalah sasaran untuk diserang. Memang setelah terjadi tekanan bertubi-tubi, jumlah rumah pelacuran merosot drastis. Akan tetapi, di pusat-pusat perkotaan lain tumbuh lagi dengan suburnya karena mendapat perlindungan polisi dan jaminan dari politisi yang berpengaruh.
Menarik sekali tulisan Syed Hussain Alatas dalam bukunya Korupsi: Sebab, Sifat, dan Fungsi (1987). Sejak 1920-an kejahatan terorganisasi terus mengembangkan dirinya selama puluhan tahun. Mereka berupaya keras agar kegiatannya dapat terlaksana dengan lancar. Untuk keperluan itu, tokoh penegak hukum adalah orang-orang pertama yang harus dibuat korup. Para tokoh kejahatan selanjutnya menguasai mesin politik. Kondisi perkampungan dan sifat pemilihan sangat menguntungkan para penjahat untuk mengumpulkan suara yang ditujukan kepada calon-calon yang jadi pilihan mereka. Mereka juga membantu penguasa dalam mengatur pelacuran dengan menyingkir dari wilayah-wilayah yang mengundang perlawanan paling besar dan memusatkan kegiatan mereka di wilayah-wilayah yang memungkinkan pelacuran berkembang di bawah perlindungan resmi. Dengan demikian, melalui para banditlah pelacuran itu pada akhirnya diatur.
Semakin lama kepentingan kejahatan terorganisasi semakin kokoh. Mereka memberikan sumbangan dana-dana pemilihan, membagi hasil-hasil kejahatan, menyusupi langsung partai politik, memaksa orang dalam memilih, dan memungut upeti dari penguasa yang terpilih. Oleh sebab itu, kejahatan terorgansisasi semakin kuat dan sulit untuk diatasi. Kejahatan ini telah berkembang sampai berani membunuh polisi dan wartawan. Mereka berani melakukan itu karena telah memberikan bayaran kepada polisi secara tetap. Para polisi ini digunakan untuk menindas saingan dari gerombolan penjahat lain. Pola yang sama juga terjadi di dalam korupsi yang menyangkut perusahaan yang korup, yaitu dengan menekan saingan dari perusahaan-perusahaan lain.
Karena sudah terjadi perkawinan antara politik dan kejahatan, tak aneh jika ada bandit yang tewas dibunuh dalam persaingan kejahatan, jenazahnya diiringi orang-orang penting yang terdiri atas para tukang tembak, politisi, anggota dewan kota, hakim, penyanyi terkenal, pemain opera, teman-teman penjahatnya, pembantu jaksa, dan yang mengherankan masih ada gereja yang mau mengadakan upacara pemakamannya.
Kejahatan itu semakin membesar sehingga benar-benar menguasai mesin politik. Mereka pun akhirnya mengendalikan mesin politik. Perusahaan-perusahaan pun semakin mengukuhkan kemesraan perkawinannya dengan politik.
Dengan menguatnya posisi politik Amerika di dunia, para pengusaha itu pun mendapatkan keuntungan yang besar. Perusahaan-perusahaan Amerika menjalar ke berbagai dunia berkolaborasi dengan penguasa berbagai negara untuk mendapatkan keuntungan.
Amien Rais (2008) dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia, menjelaskan bahwa cara paling mudah bagi korporasi untuk menaklukan kekuatan politik adalah dengan memberikan biaya kampanye tatkala calon presiden atau calon gubernur melakukan kampanye menjelang pemilihan umum. Presiden yang terpilih tidak bisa tidak pasti akan membalas budi pada korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Di Amerika sendiri dana kampanye siluman merupakan salah satu masalah politik dan hukum yang paling pelik. Bukan saja korporasi Amerika yang berlomba-lomba memberikan dana kampanye kepada Capres yang dinilai bakal mudah menjadi fasilitator kepentingan korporat, perusahaan asing (dari luar Amerika) juga ikut-ikutan menimbrung supaya kelak memperoleh kemudahan-kemudahan.
Pada zaman Clinton, misalnya, Narman Hsu, kelahiran Hongkong, seorang agen kampanye, terbukti dapat “memeras” para investor asing sampai 60 juta dolar sesuai hasil investigasi persidangan. Kita juga masih ingat seorang konglomerat Indonesia dapat menembus gedung putih ikut-ikutan menyumbang dana kampanye Clinton. Menurut David Korten, demokrasi Amerika tidak saja dijual untuk korporasi-korporasi Amerika, tetapi juga dijual untuk korporasi Asing.
Uang pelumas yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan dari luar Amerika itu kecil adanya dibandingkan dengan uang sogok dari korporasi Amerika sendiri. Sesuatu yang mudah dimengerti. Pada musim kampanye pemilihan presiden dan anggota kongres 2004, korporasi Amerika mengeluarkan hampir 4 milyar dolar sebagai sogok kepada kongres. Berkat uang pelumas sebesar itu, korporasi-korporasi besar mendapat kontrak dari pemerintah yang besarnya seratus kali daripada uang yang dikeluarkan. Mereka juga mendapat potongan pajak (tax cut) sebesar 1,35 trilyun dolar (dengan nilai rupiah, lebih dari 12.400 trilyun rupiah!). Siapa bilang Demokrasi Amerika demokrasi ideal? Hakikatnya demokrasi di negeri Paman Sam itu telah menjadi demokrasi korporat, tidak lebih, tidak kurang. Sebagian anggota DPR kita mungkin lebih banyak berguru ke Kongres Amerika.
Namun, ada cara korporasi besar Amerika dalam memegang kendali pemerintahan dengan lebih efektif lagi. Caranya langsung menduduki pos-pos kekuasaan yang penting. Pemerintahan Bush merupakan bukti yang meyakinkan. Tokoh-tokoh penentu kebijakan Amerika sangat terkait erat dengan korporatokrasi Amerika yang bergerak di bidang perminyakan. Dick Cheney, sebelum menjadi wakil prersiden, adalah CEO Halliburton yang berbasis di Dallas, Texas. Sekalipun secara formal dia mengaku tidak lagi memiliki hubungan dengan Halliburton, bukti-bukti di lapangan menunjukkan keterkaitan itu semakin akrab. Buktinya, Halliburton memenangi kontrak bernilai milyaran dolar untuk melakukan rekonstruksi Irak.
Condoleezza Rice adalah Direktur Chevron antara 1991-2001. Secara formal, ia juga meninggalkan Chevron, tetapi keterkaitannya dengan kepentingan Chevron semakin menjadi-jadi setelah memegang kekuasaan politik luar negeri Amerika. Bermitra dengan Cheney, C. Rice dapat memenangi kontrak pemipaan minyak (crude oil pipelines) sepanjang 900 mil dari Kazakhstan Barat sampai Laut Hitam. Halliburton mengerjakan pemipaan itu untuk Chevron.
Tidak mau kalah dengan Cheney dan Rice, Rumsfeld ternyata menjadi direktur non-eksekutif perusahaan ABB, sebuah perusahaan enginering raksasa yang berbasis di Zurich. Pada masa Rumsfeld “berkarya” di ABB antara 1990-2001, perusahaannya memenangi kontrak sebesar 200 juta dollar untuk merancang design dan komponen-komponen penting buat reaktor nuklir.
Sementara itu, latar belakang Bush Sr. dan Jr. juga berbasah-basah dengan minyak. Bush Sr. pernah membuat pernyataan yang jelas apa sesungguhnya yang menjadi motivasi penting politik luar negeri Amerika.
Secara terbuka ia mengatakan, “Kerja kita, way of life kita, kemerdekaan kita, kemerdekaan negara-negara sahabat kita di seantero dunia akan menderita bilamana penguasaan sumber-sumber minyak dunia jatuh ke tangan Saddam Hussein.”
Langsung disimpulkan bahwa tidak mungkin pernyataan sepenting itu akan muncul kalau Bush Sr. tidak punya konektisitas erat dengan para petrokrat Amerika. Bush Sr. pernah mendirikan perusahaan minyak bernama Zapata Oil yang berkedudukan di New York pada 1953. Perusahaan ini terus berkembang dan membuka pertambangan lepas pantai di berbagai negara. Sampai 1966, Bush Tua menjadi presiden Zapata Off-Shore. Ketika ia menjadi Direktur CIA (1976-1977), Bush berperan melicinkan kerja sama perusahaan minyaknya dengan CIA.
Riwayat Bush Jr. juga belepotan dengan minyak. Di Texas ia mendirikan perusahaan minyak kecil-kecilan, dinamakan Arbusto Energy (arbusto dalam bahasa Spanyol berarti bush/semak belukar). Dalam perjalanan selanjutnya, ia bergabung dengan Harken Energy Corporation. Ketika Harken kedodoran, sebagian besar sahamnya dijual ke pialang Saudi, Shaikh Abdullah Bakhsh. Bush kemudian menjual sahamnya sebesar satu juta dolar sebelum masuk pilihan gubernur di Texas.
Tidak berlebihan bila dikatakan alasan sejati mengapa Amerika menduduki Irak sampai sekarang karena Amerika ingin menguasai ladang-ladang minyak di Irak sambil tentu memenuhi ambisi berbagai korporasi energi Amerika yang kepentingannya begitu terintegrasikan dengan kepentingan pemerintah Amerika. Alasan agresi Amerika karena Irak menyimpan WMD (Weapon of Mass Destruction), senjata pemusnah massal, dan Irak punya ketertarikan dengan Al Qaeda sudah terbukti merupakan kebohongan publik yang begitu telanjang dan sangat vulgar.
Tak kurang dari Henry Kissinger sendiri sudah mengatakan bahwa penguasaan minyak adalah masalah kunci yang menentukan mengapa Amerika melakukan aksi militer terhadap Irak.
Demikian juga, Alan Greenspan, bekas Chairman of the Board of Governors of the Federal Reserve (1987-2006), membuat pernyataan yang menohok Presiden Bush, “Saya sedih karena sekalipun secara politis tidak mengenakkan, saya harus mengakui apa yang semua orang sudah tahu, perang Irak adalah terutama sekali karena minyak.”
Dari paparan singkat di atas menjadi jelas bahwa elemen terpenting dari korporatokrasi, yakni korporasi-korporasi besar tidak mungkin mencapai tujuan absolutnya jika tidak menggandeng pemerintah yang mempunyai kekuatan politik. Dalam kenyataan riil, kedua unsur tersebut memerlukan satu unsur lagi, yaitu perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internsional.
Demokrasi di AS memang telah menjadikan negara, kemanusiaan, dan ketertiban hanya sebuah objek bisnis. Negeri itu telah menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mengumpulkan materi meskipun harus berdusta, menghilangkan nyawa orang lain, dan berpura-pura sok manusiawi. Negeri itu sudah menjadi negeri sumber kejahatan di muka Bumi ini. Dengan demikian, orang-orang yang sampai saat ini mengagung-agungkan demokrasi di Amerika Serikat, padahal sudah tahu keborokannya, sangat pantas bila disebut orang tolol tidak kepalang tanggung gobloknya. Kalau belum tahu keborokannya, belum bisa disebut goblok atau tolol, paling-paling wajar bila disebut orang yang tertipu.
Jika ada orang atau elit yang mengarahkan Indonesia untuk menjadi seperti Amerika, berarti tujuan orang itu adalah menjadikan Indonesia sebagai negara bedebah karena Amerika itu negara bedebah. Padahal, Indonesia itu arahnya adalah Pancasila, yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang seimbang lahir maupun batin, bukan menjadi manusia-manusia bedebah.
Saat ini pun sebetulnya sama saja penyerangan ke Libya serta menggerakan berbagai demonstrasi dan kerusuhan di berbagai negara di Timur Tengah ujung-ujungnya tetap minyak yang dalam bahasa Indonesia sehari-hari UUD, Ujung-Ujungnya Duit. Mereka memang sudah kemaruk harta benda dan menganggap bahwa kehidupan itu adalah hanya untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan tak peduli halal ataupun haram, namanya juga kapitalis.
Sekali lagi, kita semua harus memberikan pengertian kepada sesama warga bangsa Indonesia bahwa sistem politik demokrasi itu apapun bentuknya tetap menjadi pintu bagi banyaknya kejahatan terhadap kemanusiaan. Di samping itu, kita harus memberi tahu mereka yang masih menganggap demokrasi Amerika itu hebat dengan kasih sayang bahwa anggapan mereka itu keliru. Anggapan yang keliru itu jika dibiarkan akan menyesatkan dirinya. Kasihan mereka.