Sunday, 10 April 2011

Hakikat Demokrasi: dari Pengusaha oleh Pengusaha untuk Pengusaha

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kita menyangka bahwa demokrasi itu agung karena mementingkan rakyat, semuanya terserah rakyat, seluruhnya untuk rakyat. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Dalam kenyataannya, semua itu dusta, bohong, omong kosong, karena demokrasi itu hanya tipu daya syetan. Sesungguhnya, yang terjadi adalah dari pengusaha oleh pengusaha untuk pengusaha. Hal itu bisa diperhatikan dari perjalanan sejarah demokrasi itu sendiri sampai hari ini. Tidak perlu terlalu jauh melihat sejarah demokrasi dari awalnya sekali, yaitu dari Athena kuno meskipun sebetulnya saat itu pun sudah ditentang oleh Plato dan Aristotle. Ingat, jangan dibolak-balik kenyataannya, soalnya sampai sekarang banyak yang berpendapat bahwa Plato itu menyetujui demokrasi. Itu salah besar. Justru dia menganggap bahwa demokrasi itu berbahaya dan merupakan sistem politik yang rendahan.

Mari kita perhatikan dimulainya demokrasi modern akibat revolusi industri di Perancis. Perancis disebut-sebut sebagai negeri peletak awal demokrasi modern. Dulu Perancis dikuasai oleh pemerintahan otokrasi. Raja adalah wakil Tuhan. Bentengnya adalah para bangsawan dan penghulu agama (bukan Islam!). Raja, bangsawan, dan pemimpin agama itu disebut masyarakat feodal.

Dalam perkembangan sejarahnya, timbul golongan masyarakat baru, yaitu golongan pengusaha. Mereka punya banyak perusahaan, industri, dan karyawan. Agar perusahaannya lebih untung, mereka harus memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Mereka memang yang paling tahu aturan-aturan dan undang-undang yang bisa menguntungkan usahanya, bukan raja, bangsawan, ataupun pendeta.

Para pengusaha merasa tidak bebas, tertekan oleh pemerintahan feodal. Hanya golongan pemerintah yang untung. Mereka tidak bisa mengembangkan usahanya ke tingkat maksimal. Akhirnya, mereka sepakat untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi, mereka tak memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pemerintahan.

Setelah berpikir, mereka pun memutuskan untuk menggunakan rakyat jelata sebagai senjatanya. Rakyat pun dipengaruhi, ditipu, dikaburkan pemikirannya, diajak bergerak. Mereka membohongi rakyat agar mau bergerak untuk mewujudkan liberte, fraternite, egalite (kebebasan, persamaan, persaudaraan). Rakyat pun bergerak karena memang pemerintahan feodal itu benar-benar menyengsarakan. Kaum pengusaha berhasil membuat rakyat menjadi alat perangnya.

Revolusi pun berhasil, menang. Raja hancur, bangsawan minggir, para pendeta tersungkur. Para pengusaha menang. Selanjutnya, dibentuklah sistem pemerintahan demokrasi. Setiap orang bisa memilih, bisa menjatuhkan menteri, bisa rapat berkumpul seperti rapat para raja, dan rakyat ikut bersuara dalam pemerintahan. Akan tetapi, pada saat yang sama pula rakyat dengan mudah di-PHK, ditindas, diberi upah kecil, dibeli paksa tempat tinggalnya, hasil produksi rumahannya ditolak oleh pengusaha, dipersulit dengan bunga pinjaman mencekik, tak jelas apa yang bisa dimakan esok hari. Hal itu disebabkan rakyat yang telah digunakan berperang itu tidak memiliki bagian dalam menentukan aturan-aturan perusahaan. Mereka yang duduk di parlemen adalah orang-orang yang dekat dengan para pengusaha atau pengusahanya itu sendiri. Tentunya, pasti aturan-aturan yang dibuat adalah untuk kepentingan pengusaha, bukan untuk rakyat. Rakyat tetap menderita. Jadilah negeri itu kapitalistis.

Semboyan yang dulu digunakan adalah hanya teriakan kosong sebagai penyemangat. Setelah para pengusaha itu mendapatkan kekuasaan, semboyan itu ditinggalkannya, cuma tercatat dalam sejarah. Semboyan itu dipergunakan lagi apabila ada masalah pelik untuk dijadikan alasan dusta mengukuhkan kepentingannya sendiri.

Dari sejarah demokrasi modern, jelas sekali bahwa yang punya banyak peranan adalah para pengusaha. Oleh sebab itu, yang beruntung ya pengusaha juga.

Soekarno pun mewanti-wanti masalah demokrasi ini.

“Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen bilamana di masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Hal itu disebabkan stelsel inilah yang menjadi kemadean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur dari kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, zat-zat masyarakat kita.

Orang akan menanya, kenapa tidak cukup dengan parlemen? Tidakkah dapat terkabul semua kehendak rakyat jelata di dalam parlemen setelah dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak? Tidakkah rakyat dapat meneruskan semua ia punya kehendak ekonomi asal saja suaranya di dalam parlemen sudah lebih dari separo?


Pembaca, di dalam praktiknya, parlemen, nyatalah hal yang demikian itu tak dapat terjadi. Pertama, oleh karena biasanya kaum borjuislah yang mendapat lebih banyak kursi. Mereka, kaum borjuis itu, banyak alat propagandanya. Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioskop-bioskop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai. Semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi borjuis di dalam parlemen. Semuanya itu menjamin bahwa biasanya utusan-utusan rakyat jelata kalah suara. Kedua, kalaupun rakyat jelata bisa menang suara, kalaupun rakyat jelata dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak, maka toh tetap tak mungkin terjadi kesamarataan ekonomi itu. Sejarah parlemen democratie sudah beberapa kali mengalami kejadian arbeidersmeerderheid. Misalnya, dulu di Inggeris pernah terjadi di bawah pimpinan Ramsay Mc Donald. Akan tetapi, dapatkah waktu itu dilangsungkan kesamarataan ekonomi?


Ya, demokrasi politik itu hanya bau-baunya, bukan?


Di negeri-negeri modern benar ada parlemen, benar ada ‘tempat perwakilan rakyat’, benar rakyat namanya ‘boleh ikut memerintah’, tetapi ach, kaum borjuis lebih kaya daripada rakyat jelata. Mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan midrasah-midrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal pikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua aktivitas politik. Mereka, misalnya, membikin ‘kemerdekaan pers’ bagi rakyat jelata menjadi suatu omongan kosong belaka. Mereka menyulap ‘kemerdekaan pikiran’ bagi rakyat jelata menjadi suatu ikatan pikiran. Mereka memperkosa ‘kemerdekaan berserikat’ menjadi suatu kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat, mereka punya perang menjadi peperangannya ‘negeri’. Oleh karena itu, benar sekali perkataan Caillaux bahwa kini Eropa dan Amerika di bawah kekuasaan feodalisme baru.


Akan tetapi, kini kekuasaan feodal itu tidak digenggam oleh kaum tanah sebagaimana sediakala. Kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap kepada staat.’


Benar sekali juga perkataan de Brouckere bahwa ‘demokrasi’ sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme! ‘Demokrasi’ yang demikian itu harus kita lemparkan ke dalam samudera, jauh dari angan-angan dan keinginan massa.”


Sekarang mari kita lihat bagaimana ujung demokrasi pada waktu ini. Tak salah jika kita melihat demokrasi di AS karena negeri ini dianggap paling demokratis dan selalu mendesakkan keinginannya kepada setiap negara untuk mencontoh cara-cara hidupanya.

Sejarah sudah mencatat bahwa pengusahalah yang sebenarnya bermain dan kemudian menarik keuntungan. Para pengusaha itu bisa memelihara orang di dalam kekuasaan atau langsung masuk sendiri di dalam kekuasaan. Ternyata, saat ini pun sama saja. Itu bisa dilihat dari para penguasa Amerika yang ternyata terdiri atas para pengusaha yang menggunakan wewenangnya untuk kepentingan para pengusaha, baik untuk dirinya sendiri, teman-temannya, maupun industri-industri yang mendukung tegaknya kekuasaan. Perhatikan bahwa Dick Cheney, sebelum menjadi wakil prersiden, adalah CEO Halliburton yang berbasis di Dallas, Texas. Condoleezza Rice adalah Direktur Chevron antara 1991-2001. Donald Rumsfeld adalah direktur non-eksekutif perusahaan ABB, sebuah perusahaan enginering raksasa yang berbasis di Zurich antara 1990-2001. Presiden Bush Senior pernah mendirikan perusahaan minyak bernama Zapata Oil yang berkedudukan di New York pada 1953. Sampai 1966, Bush Tua menjadi presiden Zapata Off-Shore. Presiden Bush Junior juga belepotan dengan minyak. Di Texas ia mendirikan perusahaan minyak kecil-kecilan, dinamakan Arbusto Energy (arbusto dalam bahasa Spanyol berarti bush/semak belukar). Dalam perjalanan selanjutnya, ia bergabung dengan Harken Energy Corporation. Ketika Harken kedodoran, sebagian besar sahamnya dijual ke pialang Saudi, Shaikh Abdullah Bakhsh. Bush kemudian menjual sahamnya sebesar satu juta dolar sebelum masuk pilihan gubernur di Texas (Amien Rais : 2008).

Bukan mereka saja yang berlatar belakang pengusaha. Banyak juga yang lainnya. Agar kehidupan demokrasinya langgeng, mereka meluaskan operasi usahanya ke negara-negara lain, lalu berkolaborasi dengan pemimpin negara lain untuk merampok kekayaan alam negara yang diincarnya. Hasil rampokan itulah yang kemudian dinikmati oleh negara besar itu di samping tentunya mereka sendiri memiliki sumber daya alam yang besar.

Seorang politisi terkemuka Zimbabwe pernah berujar, “Di gedung PBB bolehlah berkibar bendera warna-warni dengan rupa-rupa negara dan ideologi, tetapi sebenarnya yang berkibar adalah perusahaan-perusahaan transnasional. Semuanya hanyalah bisnis.”

Dari paparan di atas, ternyata tetap saja dari dulu sampai sekarang demokrasi itu hakikatnya adalah dari pengusaha oleh pengusaha untuk pengusaha, bukan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Rakyat hanyalah data angka statistik yang kerap dimainkan untuk ditipu agar sistem politik yang menguntungkan para pengusaha itu tetap langgeng.





No comments:

Post a Comment