Sunday 10 April 2011

Orang-Orang yang Tertipu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya


Jika dikatakan bahwa demokrasi itu salah dan penuh dengan kejahatan, kemudian diserukan untuk segera menghentikan sistem politik tersebut, orang-orang yang belum mengetahui ilmunya biasanya menolak. Hal itu disebabkan mereka masih berpandangan bahwa demokrasi itu luhur dan agung serta merupakan sistem politik yang dapat menjawab kebutuhan manusia. Mereka kurang pengetahuan karena hanya mendengar isu. Isu yang dikembangkan memang demokrasi itu adalah sistem politik terhebat, padahal sangat buruk. Maklum, demokrasi itu kan hanya isu dan penerapannya di Indonesia pun atas dasar isu, tidak pernah ada pengkajian serius terlebih dahulu tentang baik-buruknya demokrasi diterapkan di Indonesia. Karena hidup berdasarkan isu, tak heran jika kualitas hidupnya pun sebatas isu, tidak bernilai tinggi.

Dalam Al Quran, menurut penafsiran saya, orang-orang yang menolak untuk menghentikan demokrasi itu diibaratkan orang-orang yang tertipu, bahkan mereka memang benar-benar tertipu. Tertipu karena kurang pengetahuan.

Perhatikan firman Allah swt berikut ini.

“Apabila dikatakan kepada mereka ‘Janganlah berbuat kerusakan di muka Bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan’.

Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.”
(QS Al Baqarah : 11-12)

Demokrasi adalah sistem politik yang membuat Bumi menjadi rusak. Buktinya bisa dilihat dalam kehidupan kita sehari-hari di berbagai belahan dunia lainnya. Ayat di atas tepat sekali dialamatkan kepada orang-orang yang tertipu oleh isu demokrasi. Adapun orang-orang yang telah mendapatkan pencerahan menyadari bahwa demokrasi itu bejat dan merusakan Bumi, lalu memberitahukan kepada khayalak ramai agar menghentikan sistem politik rendahan yang merusakkan Bumi itu. Akan tetapi, orang-orang menolak dan memberikan bantahan bahwa sesungguhnya demokrasi itu penuh kebaikan dan bermaksud memperbaiki kehidupan umat manusia. Mereka sendiri mengklaim diri dengan bangga sebagai pejuang demokrasi karena meyakini perilaku mereka adalah benar untuk perbaikan. Itulah yang digambarkan dalam ayat di atas dengan mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan’.

Akan tetapi, sayangnya mereka sebenarnya justru sedang melakukan kerusakan di muka Bumi ini, tetapi tidak menyadarinya, sebagaimana ayat di atas, ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya. Mereka tidak sadar bahwa dengan melakukan praktik-praktik demokrasi berarti membuka banyak peluang untuk bermunculannya perilaku-perilaku yang merusak, baik itu merusakkan pikiran manusia, fisik manusia, ekonomi, tatanan pergaulan, maupun merusakkan alam semesta. Soal demokrasi merusakkan alam semesta ada pada tulisan lain di blog ini. Gampang kok menerangkannya, soalnya kan demokrasi itu digembar-gemborkan oleh kapitalis. Kapitalis itu sangat senang mengeruk keuntungan dari berbagai lini sampai-sampai merusakkan lingkungan yang akhirnya menimbulkan kerusakan ekosistem. Rusaklah alam semesta. Sekarang ini kan kita sudah merasakan kerusakannya, ya nggak? Mudah kan mengilustrasikannya?

Hakikat Demokrasi: dari Pengusaha oleh Pengusaha untuk Pengusaha

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kita menyangka bahwa demokrasi itu agung karena mementingkan rakyat, semuanya terserah rakyat, seluruhnya untuk rakyat. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Dalam kenyataannya, semua itu dusta, bohong, omong kosong, karena demokrasi itu hanya tipu daya syetan. Sesungguhnya, yang terjadi adalah dari pengusaha oleh pengusaha untuk pengusaha. Hal itu bisa diperhatikan dari perjalanan sejarah demokrasi itu sendiri sampai hari ini. Tidak perlu terlalu jauh melihat sejarah demokrasi dari awalnya sekali, yaitu dari Athena kuno meskipun sebetulnya saat itu pun sudah ditentang oleh Plato dan Aristotle. Ingat, jangan dibolak-balik kenyataannya, soalnya sampai sekarang banyak yang berpendapat bahwa Plato itu menyetujui demokrasi. Itu salah besar. Justru dia menganggap bahwa demokrasi itu berbahaya dan merupakan sistem politik yang rendahan.

Mari kita perhatikan dimulainya demokrasi modern akibat revolusi industri di Perancis. Perancis disebut-sebut sebagai negeri peletak awal demokrasi modern. Dulu Perancis dikuasai oleh pemerintahan otokrasi. Raja adalah wakil Tuhan. Bentengnya adalah para bangsawan dan penghulu agama (bukan Islam!). Raja, bangsawan, dan pemimpin agama itu disebut masyarakat feodal.

Dalam perkembangan sejarahnya, timbul golongan masyarakat baru, yaitu golongan pengusaha. Mereka punya banyak perusahaan, industri, dan karyawan. Agar perusahaannya lebih untung, mereka harus memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Mereka memang yang paling tahu aturan-aturan dan undang-undang yang bisa menguntungkan usahanya, bukan raja, bangsawan, ataupun pendeta.

Para pengusaha merasa tidak bebas, tertekan oleh pemerintahan feodal. Hanya golongan pemerintah yang untung. Mereka tidak bisa mengembangkan usahanya ke tingkat maksimal. Akhirnya, mereka sepakat untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi, mereka tak memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pemerintahan.

Setelah berpikir, mereka pun memutuskan untuk menggunakan rakyat jelata sebagai senjatanya. Rakyat pun dipengaruhi, ditipu, dikaburkan pemikirannya, diajak bergerak. Mereka membohongi rakyat agar mau bergerak untuk mewujudkan liberte, fraternite, egalite (kebebasan, persamaan, persaudaraan). Rakyat pun bergerak karena memang pemerintahan feodal itu benar-benar menyengsarakan. Kaum pengusaha berhasil membuat rakyat menjadi alat perangnya.

Revolusi pun berhasil, menang. Raja hancur, bangsawan minggir, para pendeta tersungkur. Para pengusaha menang. Selanjutnya, dibentuklah sistem pemerintahan demokrasi. Setiap orang bisa memilih, bisa menjatuhkan menteri, bisa rapat berkumpul seperti rapat para raja, dan rakyat ikut bersuara dalam pemerintahan. Akan tetapi, pada saat yang sama pula rakyat dengan mudah di-PHK, ditindas, diberi upah kecil, dibeli paksa tempat tinggalnya, hasil produksi rumahannya ditolak oleh pengusaha, dipersulit dengan bunga pinjaman mencekik, tak jelas apa yang bisa dimakan esok hari. Hal itu disebabkan rakyat yang telah digunakan berperang itu tidak memiliki bagian dalam menentukan aturan-aturan perusahaan. Mereka yang duduk di parlemen adalah orang-orang yang dekat dengan para pengusaha atau pengusahanya itu sendiri. Tentunya, pasti aturan-aturan yang dibuat adalah untuk kepentingan pengusaha, bukan untuk rakyat. Rakyat tetap menderita. Jadilah negeri itu kapitalistis.

Semboyan yang dulu digunakan adalah hanya teriakan kosong sebagai penyemangat. Setelah para pengusaha itu mendapatkan kekuasaan, semboyan itu ditinggalkannya, cuma tercatat dalam sejarah. Semboyan itu dipergunakan lagi apabila ada masalah pelik untuk dijadikan alasan dusta mengukuhkan kepentingannya sendiri.

Dari sejarah demokrasi modern, jelas sekali bahwa yang punya banyak peranan adalah para pengusaha. Oleh sebab itu, yang beruntung ya pengusaha juga.

Soekarno pun mewanti-wanti masalah demokrasi ini.

“Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen bilamana di masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Hal itu disebabkan stelsel inilah yang menjadi kemadean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur dari kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, zat-zat masyarakat kita.

Orang akan menanya, kenapa tidak cukup dengan parlemen? Tidakkah dapat terkabul semua kehendak rakyat jelata di dalam parlemen setelah dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak? Tidakkah rakyat dapat meneruskan semua ia punya kehendak ekonomi asal saja suaranya di dalam parlemen sudah lebih dari separo?


Pembaca, di dalam praktiknya, parlemen, nyatalah hal yang demikian itu tak dapat terjadi. Pertama, oleh karena biasanya kaum borjuislah yang mendapat lebih banyak kursi. Mereka, kaum borjuis itu, banyak alat propagandanya. Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioskop-bioskop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai. Semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi borjuis di dalam parlemen. Semuanya itu menjamin bahwa biasanya utusan-utusan rakyat jelata kalah suara. Kedua, kalaupun rakyat jelata bisa menang suara, kalaupun rakyat jelata dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak, maka toh tetap tak mungkin terjadi kesamarataan ekonomi itu. Sejarah parlemen democratie sudah beberapa kali mengalami kejadian arbeidersmeerderheid. Misalnya, dulu di Inggeris pernah terjadi di bawah pimpinan Ramsay Mc Donald. Akan tetapi, dapatkah waktu itu dilangsungkan kesamarataan ekonomi?


Ya, demokrasi politik itu hanya bau-baunya, bukan?


Di negeri-negeri modern benar ada parlemen, benar ada ‘tempat perwakilan rakyat’, benar rakyat namanya ‘boleh ikut memerintah’, tetapi ach, kaum borjuis lebih kaya daripada rakyat jelata. Mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan midrasah-midrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal pikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua aktivitas politik. Mereka, misalnya, membikin ‘kemerdekaan pers’ bagi rakyat jelata menjadi suatu omongan kosong belaka. Mereka menyulap ‘kemerdekaan pikiran’ bagi rakyat jelata menjadi suatu ikatan pikiran. Mereka memperkosa ‘kemerdekaan berserikat’ menjadi suatu kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat, mereka punya perang menjadi peperangannya ‘negeri’. Oleh karena itu, benar sekali perkataan Caillaux bahwa kini Eropa dan Amerika di bawah kekuasaan feodalisme baru.


Akan tetapi, kini kekuasaan feodal itu tidak digenggam oleh kaum tanah sebagaimana sediakala. Kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap kepada staat.’


Benar sekali juga perkataan de Brouckere bahwa ‘demokrasi’ sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme! ‘Demokrasi’ yang demikian itu harus kita lemparkan ke dalam samudera, jauh dari angan-angan dan keinginan massa.”


Sekarang mari kita lihat bagaimana ujung demokrasi pada waktu ini. Tak salah jika kita melihat demokrasi di AS karena negeri ini dianggap paling demokratis dan selalu mendesakkan keinginannya kepada setiap negara untuk mencontoh cara-cara hidupanya.

Sejarah sudah mencatat bahwa pengusahalah yang sebenarnya bermain dan kemudian menarik keuntungan. Para pengusaha itu bisa memelihara orang di dalam kekuasaan atau langsung masuk sendiri di dalam kekuasaan. Ternyata, saat ini pun sama saja. Itu bisa dilihat dari para penguasa Amerika yang ternyata terdiri atas para pengusaha yang menggunakan wewenangnya untuk kepentingan para pengusaha, baik untuk dirinya sendiri, teman-temannya, maupun industri-industri yang mendukung tegaknya kekuasaan. Perhatikan bahwa Dick Cheney, sebelum menjadi wakil prersiden, adalah CEO Halliburton yang berbasis di Dallas, Texas. Condoleezza Rice adalah Direktur Chevron antara 1991-2001. Donald Rumsfeld adalah direktur non-eksekutif perusahaan ABB, sebuah perusahaan enginering raksasa yang berbasis di Zurich antara 1990-2001. Presiden Bush Senior pernah mendirikan perusahaan minyak bernama Zapata Oil yang berkedudukan di New York pada 1953. Sampai 1966, Bush Tua menjadi presiden Zapata Off-Shore. Presiden Bush Junior juga belepotan dengan minyak. Di Texas ia mendirikan perusahaan minyak kecil-kecilan, dinamakan Arbusto Energy (arbusto dalam bahasa Spanyol berarti bush/semak belukar). Dalam perjalanan selanjutnya, ia bergabung dengan Harken Energy Corporation. Ketika Harken kedodoran, sebagian besar sahamnya dijual ke pialang Saudi, Shaikh Abdullah Bakhsh. Bush kemudian menjual sahamnya sebesar satu juta dolar sebelum masuk pilihan gubernur di Texas (Amien Rais : 2008).

Bukan mereka saja yang berlatar belakang pengusaha. Banyak juga yang lainnya. Agar kehidupan demokrasinya langgeng, mereka meluaskan operasi usahanya ke negara-negara lain, lalu berkolaborasi dengan pemimpin negara lain untuk merampok kekayaan alam negara yang diincarnya. Hasil rampokan itulah yang kemudian dinikmati oleh negara besar itu di samping tentunya mereka sendiri memiliki sumber daya alam yang besar.

Seorang politisi terkemuka Zimbabwe pernah berujar, “Di gedung PBB bolehlah berkibar bendera warna-warni dengan rupa-rupa negara dan ideologi, tetapi sebenarnya yang berkibar adalah perusahaan-perusahaan transnasional. Semuanya hanyalah bisnis.”

Dari paparan di atas, ternyata tetap saja dari dulu sampai sekarang demokrasi itu hakikatnya adalah dari pengusaha oleh pengusaha untuk pengusaha, bukan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Rakyat hanyalah data angka statistik yang kerap dimainkan untuk ditipu agar sistem politik yang menguntungkan para pengusaha itu tetap langgeng.





Jangan Mau Jadi Bajingan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Semakin jelas dan semakin terang bahwa Indonesia yang kita cintai ini sedang digiring untuk memilliki sistem pergaulan hidup orang lain. Tepatnya, hidup seperti orang-orang Amerika. Hal itu disebabkan banyak orang yang terus memelihara ketertipuan dirinya dengan menganggap sistem politik di Amerika itu adalah yang terbaik.

Setidak-tidaknya, hal itu bisa kita perhatikan dari pernyataan Marzuki Alie yang ketua DPR dan orang terhormat di Partai Demokrat. Ia mengatakan bahwa rujukan demokrasi di Indonesia itu adalah Amerika Serikat. Hal itu dikatakannya saat mengomentari nada-nada miring mengenai pembangunan gedung DPR baru. Saat diwawancarai Tina Talissa dari tvOne, menurutnya, gedung baru yang mewah itu dibangun untuk mengikuti cara-cara berdemokrasi di AS. Di AS setiap anggota DPR memiliki 15 sampai dengan 20 orang staf ahli. Oleh sebab itu, DPR RI memerlukan gedung baru untuk mengakomodasi kepentingan semacam itu.

Dari pernyataan itu, wajar jika timbul berbagai dugaan bahwa sebelumnya Partai Demokrat memiliki sejarah mesra dengan pihak-pihak di AS. Hal itu dapat dipahami karena AS biasanya memberikan berbagai syarat kepada negara-negara yang sering diberinya hibah. Hal itu pun menimbulkan dugaan lanjutan yaitu Presiden RI SBY telah mendapatkan arahan dari pihak AS. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakannya yang dulu terkait nuklir Iran. Rakyat Iran dan dunia tahu ketika Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran, berkunjung ke Indonesia pada 2006, SBY menyatakan bahwa Indonesia mendukung program pengembangan nuklir Iran untuk perdamaian. Akan tetapi, dukungan itu dicabut karena Indonesia akhirnya memilih mendukung Resolusi DK PBB 1747 yang mengenakan sanksi terhadap Iran karena Iran bersikukuh mengembangkan kemampuan nuklirnya. Semua orang tahu bahwa Resolusi PBB itu dimotori oleh AS. Kebijakan politik luar negeri kita pada Iran sebagai negara sahabat dengan gampangnya berubah karena ada telepon dari Presiden Bush. Martabat macam apakah sesungguhnya yang sedang kita pertaruhkan kepada dunia? (Amien Rais : 2008)

Entah ada berapa banyak orang atau berapa elit yang berpikiran mengarahkan kita menjadi seperti AS. Kalau mengarahkan kita menjadi seperti AS, artinya sama dengan menyuruh negeri ini menjadi bajingan. Mau tahu kenapa saya berpendapat seperti itu? Baca terus tulisan ini.

Menurut Soekarno, Presiden ke-1 RI, yang nama dan jiwanya tetap hidup menyertai negeri ini--yang berbeda jauh dengan pemimpin kacangan yang hilir mudik saat ini yang nyawanya masih ada dan masih hidup, tetapi namanya sudah mati duluan, padahal hampir setiap ada kesempatan selalu menghidup-hidupkan namanya lewat poster, baligo, spanduk, acara-acara seremonial, dan aksi-aksi teatrikal memuakkan--, demokrasi itu jika diibaratkan manusia, sama dengan anak-anak. Demokrasi jika sudah tumbuh remaja berubah menjadi liberalis. Remaja itu jika tumbuh lagi dewasa, berubah menjadi kapitalis. Pada masa tuanya akan menjadi imperialis.

Memang Soekarno tidak memberikan pengetahuan secara detail mengenai fase-fase pertumbuhan demokrasi menjadi liberalis, lalu beralih rupa menjadi kapitalis, kemudian tercetak menjadi imperialis tersebut, tetapi kita dapat mengira-ngiranya sendiri. Para ahli politik, tatanegara, atau ahli-ahli ilmu pikir bisa memberikan alasan lebih ilmiah terhadap fase-fase pertumbuhan yang dikemukakan Soekarno tersebut. Saya mungkin hanya bisa memberikan alasan sedikit. Demokrasi itu adalah mengagungkan kebebasan. Kebebasan itu memberikan ruang kepada para pebisnis dan masyarakat umum untuk berpendapat sesuai dengan yang mereka kehendaki setelah lebih dahulu mengupayakan adanya undang-undang agar kepentingan mereka bisa tersalurkan. Semua orang punya hak untuk berbuat sebebas-bebasnya berdasarkan naluri kemanusiaan yang ingin serba bebas, tak mau terkekang. Kebebasan yang telah tercipta dan terjamin dalam konstitusi itu akan menjadikan persaingan bebas pula dalam hal ekonomi. Setiap orang beroleh kesempatan untuk berusaha mengumpulkan kekayaan. Dari kesempatan yang terbuka itu, setiap orang bersaing dan berlomba-lomba untuk mendapatkan materi yang sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, jadilah kapitalis, pengumpul modal, yang selalu berdiri di atas penderitaan orang lain. Yang namanya harta benda, modal, sifatnya selalu begitu dari dulu sampai sekarang, bagaikan air laut yang jika diminum, semakin haus rasanya, tak pernah ada kata puas. Dalam Al Quran dijelaskan bahwa jika manusia itu diberi satu lembah emas, selalu masih menginginkan lembah emas yang lain atau jika diberi satu bukit emas, selalu masih ingin memiliki bukit emas lainnya. Modal yang telah dikumpulkannya selalu saja dirasakan kurang. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk memperluas wilayah usaha. Dari keinginan memperluas bisnis tersebut, timbul dorongan untuk mempergunakan politik dan militer dalam meluaskan daerah operasinya. Selanjutnya, mereka mencari wilayah-wilayah lain untuk memenuhi kehausan terhadap materinya. Jadilah dia imperialis. Imperialis itu adalah bajingan.

Jelas bajingan bukan? Amerika sekarang sudah menjadi bajingan itu dengan bercokol di negeri-negeri orang.

Saya menegaskan bahwa perilaku itu adalah perilaku bajingan tengik!

Pembukaan UUD 1945 sudah menyatakan bahwa negeri ini sudah bulat pendapatnya mengenai imperialis, yaitu harus dihapuskan dari muka Bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Yang wajibul kudu harus dihapuskan dari muka Bumi ini adalah para bajingan tengik, baik itu pribadi, kelompok, maupun berbentuk negara.

Berdasarkan ajaran Bung Karno soal demokrasi-liberalis-kapitalis-imperialis tersebut, sudah jelas sangat bertentangan dengan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang seimbang lahir maupun batin sesuai dengan Pancasila. Pancasila itu bertolak belakang dengan imperialis. Pancasila itu mengajarkan agar kita dapat menggunakan sarana ketuhanan untuk bergotong royong menjadikan materi sebagai alat kemakmuran bersama dan menjadi alat untuk mengabdi kembali kepada ketuhanan. Dari Tuhan dan untuk Tuhan. Begitu maksud dari Pancasila itu.

Sekali lagi, jika mengikuti cara hidup AS, artinya bercita-cita menjadi bajingan tengik. Ingat, Allah swt melalui para founding father sudah memberikan cahaya dan arahan agar kita ini menjadi manusia-manusia Pancasila, bukan bajingan tengik!

Tolaklah apapun yang menggiring kita untuk menjadi penjahat kudisan. Kembalilah pada kesucian Ibu Pertiwi. Di pangkuan Ibu Pertiwi-lah sebenarnya terletak kekuatan terbesar kita.

Siapa Bilang Demokrasi di Amerika Serikat Bermutu?

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya


Beberapa orang menemui ayah saya, lalu membantah pendapat saya bahwa demokrasi itu adalah sistem politik rendah yang rusak. Mereka memang mengakui bahwa demokrasi di Indonesia telah mengacaukan sistem pergaulan dan hubungan di antara sesama warga bangsa serta membuat perjalanan menuju kemakmuran menjadi terhambat. Mereka tidak bisa mengingkari bukti-bukti yang ada telah menunjukkan kerusakan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, mereka tidak bisa menerima bahwa demokrasi itu adalah sistem politik yang rusak luar dalam. Menurut mereka, demokrasi itu tidak salah. Yang salah adalah penerapan demokrasi di Indonesia. Demokrasi di Indonesia dipandang tidak bermutu. Buktinya, demokrasi di luar negeri berjalan baik. Maksud mereka luar negeri itu Amerika Serikat. Menurut mereka, demokrasi di AS itu bermutu.

Sayangnya, mereka tidak mau bertemu langsung dengan saya. Mereka hanya berani berhadapan dengan ayah saya. Ayah saya kemudian menceriterakan pertemuan mereka kepada saya. Karena mereka membantah melalui ayah saya, saya menjawabnya melalui ayah saya juga.

Saya tanya, “Pak, apakah mereka pernah pergi ke Amerika?”

Ayah saya tidak menjawab, tetapi memperhatikan saya sambil diam.

“Apakah mereka mempelajari demokrasi Amerika dari buku-buku atau internet?”

Sikap ayah saya tetap sama.

“Kalau mereka belum pernah ke Amerika dan atau mempelajari demokrasi di sana, apa dasarnya bisa menjelaskan bahwa demokrasi di Amerika bermutu?” jelas saya, “Pak, sebaiknya jika bertemu dengan mereka lagi, tolong katakan agar jangan banyak menduga-duga, itu tidak baik, tidak cerdas.”

Sesungguhnya, yang berpandangan seperti orang-orang yang menemui ayah saya itu banyak, mungkin di antara pembaca ada juga yang berpikiran seperti itu. Kalau para politisi, pengamat, dan birokrat, sangat sering berbicara seperti itu di berbagai media bahwa demokrasi di Indonesia tidak bermutu. Dengan kata lain, demokrasi di luar Indonesia sangatlah bermutu.

Mantan menteri Ryas Rasyid juga pernah mengatakan hal seperti itu dalam wawancara di SCTV ketika mengomentari masalah kerusuhan Pemilihan Kadal dan pemekaran wilayah. Dia bilang Indonesia harus belajar banyak agar demokrasi yang dijalankan bisa lebih bermutu.

Eep Saefulloh Fatah pun saat diwawancarai RCTI mengatakan hal yang mirip ketika mengomentari kunjungan Presiden AS Barack Obama ke kampus UI. Dia membandingkan bahwa demokrasi di AS itu baik dan hebat, sedangkan di Indonesia itu kotor.

Pendapat terbaru yang justru lebih mencengangkan adalah dari Marzuki Alie, politisi pentolan Partai Demokrat, saat mengutarakan pandangannya mengenai pembangunan gedung baru DPR. Menurutnya, pembangunan gedung baru itu salah satunya mencontoh demokrasi di AS bahwa setiap anggota DPR itu didampingi staf ahli sebanyak 15 sampai 20 orang. Pandangannya itu jelas menandakan kekagumannya pada demokrasi di AS sehingga Indonesia harus menirunya.

Saya sendiri jadi bertanya-tanya, jika di Indonesia demokrasi tidak bermutu, lantas demokrasi yang bermutu itu yang bagaimana? Di mana pernah terjadi? Di Amerika?

Sesungguhnya, yang namanya demokrasi bermutu itu hanya ada dalam alam khayal, lamunan, dan mimpi siang bolong para akademisi serta propaganda sesat mereka yang kemaruk harta benda. Kalau mau lebih terpelajar bahasanya, ya demokrasi bermutu itu nilainya sama dengan utopis. Artinya sih, ya khayalan-khayalan juga. Baca saja tentang demokrasi di buku-bukunya Amien Rais, demokrasi yang bermutu itu semuanya hanya utopis.

Sebenarnya, dalam tulisan-tulisan yang lalu banyak diketengahkan keburukan-keburukan demokrasi di mana-mana, terutama di Indonesia, tetapi agar lebih meyakinkan orang-orang yang masih mengagungkan demokrasi, saya uraikan sedikit bagaimana bejatnya demokrasi di Amerika Serikat.

Dalam demokrasi, partai adalah pilarnya. Partai-partai di AS itu perlu hidup dan berebut posisi untuk mendapatkan kekuasaan. Untuk menggerakan berbagai aktivitasnya, partai jelas butuh dana. Kebutuhan dana itu tercium oleh para penjahat. Oleh sebab itu, terjadilah perkawinan antara penjahat dengan politikus. Misalnya, para penjahat di sebuah distrik di Chicago menyelenggarakan berbagai kegiatan ekonomi. Mereka menguasai rumah-rumah pelacuran dan memalaknya untuk membayar polisi korup dan menyumbang partai politik. Para pelacur diharuskan masuk asuransi ke perusahaan yang ditunjuk seorang politikus yang berpengaruh.

Saat Wodrow Wilson berkuasa terjadi kegawatan money politics. Ini terjadi di daerah-daerah berpenduduk padat yang dikuasai kepentingan ekonomi tunggal atau kelompok berbagai kepentingan. Proses perebutan tempat di Senat dengan money politics ini terjadi di tempat-tempat orang bisa membeli hampir segala-galanya. Meskipun ada yang tidak dengan cara memberikan uang secara langsung, kolusi dilakukan dengan persengkongkolan dan pemberian janji-janji kesempatan dalam berbisnis. Dengan demikian, terjadilah pembelian dalam pilihan politik.

Menurut Syed Hussain Alatas (1987), Guru Besar di Universitas Nasional Singapura, gembong partai adalah organisatoris korupsi dan bukan politik masyarakat. Di dalam mesin partai di AS terdapat lingkaran kecil orang-orang yang menjadi intinya. Mesin partai itu dikembangkan bukan untuk menjalankan partai sebagai organisasi, melainkan mengembangkan kepentingan orang-orang yang memiliki mesin itu. Mereka mengembangkan kepentingannya dengan cara membina hubungan yang erat dan rahasia dengan orang-orang yang mengelola keuangan dalam jumlah besar dan perusahaan raksasa dengan para Gembong Buncit yang memegang jabatan puncak.

Perilaku-perilaku korup politisi tersebut menyebar ke departemen-departemen lain. Masih di Chicago, misalnya, para penjahat telah menarik-narik polisi untuk menjadi korup. Mereka memberi polisi uang tip dan hadiah natal kecil-kecilan. Akibatnya, polisi yang berjiwa korup merasa keenakan, lalu memberikan pelayanan khusus kepada mereka. Apabila mereka bermasalah dalam berlalu-lintas, dengan gampangnya menelepon polisi yang sudah dikenalnya untuk diberi keringanan.

Korupsi telah menjadi senjata utama kejahatan terorganisasi untuk memantapkan kekuasaan dan kebebasan bertindak. Pada 1983 sebuah stasiun televisi Amerika menyatakan bahwa kejahatan terorganisasi adalah kejahatan terbesar nomor dua setelah minyak Bumi di Amerika Serikat.

Kejahatan terorganisasi di AS telah menempuh perjalanan sejarah panjang dan makmur. Modus operandinya adalah korupsi. Mereka telah habis-habisan memperalat sistem pemilihan, sistem demokrasi.

Orang-orang bermoral di sana terus melakukan perlawanan terhadap kejahatan. Pelacuran adalah sasaran untuk diserang. Memang setelah terjadi tekanan bertubi-tubi, jumlah rumah pelacuran merosot drastis. Akan tetapi, di pusat-pusat perkotaan lain tumbuh lagi dengan suburnya karena mendapat perlindungan polisi dan jaminan dari politisi yang berpengaruh.

Menarik sekali tulisan Syed Hussain Alatas dalam bukunya Korupsi: Sebab, Sifat, dan Fungsi (1987). Sejak 1920-an kejahatan terorganisasi terus mengembangkan dirinya selama puluhan tahun. Mereka berupaya keras agar kegiatannya dapat terlaksana dengan lancar. Untuk keperluan itu, tokoh penegak hukum adalah orang-orang pertama yang harus dibuat korup. Para tokoh kejahatan selanjutnya menguasai mesin politik. Kondisi perkampungan dan sifat pemilihan sangat menguntungkan para penjahat untuk mengumpulkan suara yang ditujukan kepada calon-calon yang jadi pilihan mereka. Mereka juga membantu penguasa dalam mengatur pelacuran dengan menyingkir dari wilayah-wilayah yang mengundang perlawanan paling besar dan memusatkan kegiatan mereka di wilayah-wilayah yang memungkinkan pelacuran berkembang di bawah perlindungan resmi. Dengan demikian, melalui para banditlah pelacuran itu pada akhirnya diatur.

Semakin lama kepentingan kejahatan terorganisasi semakin kokoh. Mereka memberikan sumbangan dana-dana pemilihan, membagi hasil-hasil kejahatan, menyusupi langsung partai politik, memaksa orang dalam memilih, dan memungut upeti dari penguasa yang terpilih. Oleh sebab itu, kejahatan terorgansisasi semakin kuat dan sulit untuk diatasi. Kejahatan ini telah berkembang sampai berani membunuh polisi dan wartawan. Mereka berani melakukan itu karena telah memberikan bayaran kepada polisi secara tetap. Para polisi ini digunakan untuk menindas saingan dari gerombolan penjahat lain. Pola yang sama juga terjadi di dalam korupsi yang menyangkut perusahaan yang korup, yaitu dengan menekan saingan dari perusahaan-perusahaan lain.

Karena sudah terjadi perkawinan antara politik dan kejahatan, tak aneh jika ada bandit yang tewas dibunuh dalam persaingan kejahatan, jenazahnya diiringi orang-orang penting yang terdiri atas para tukang tembak, politisi, anggota dewan kota, hakim, penyanyi terkenal, pemain opera, teman-teman penjahatnya, pembantu jaksa, dan yang mengherankan masih ada gereja yang mau mengadakan upacara pemakamannya.

Kejahatan itu semakin membesar sehingga benar-benar menguasai mesin politik. Mereka pun akhirnya mengendalikan mesin politik. Perusahaan-perusahaan pun semakin mengukuhkan kemesraan perkawinannya dengan politik.

Dengan menguatnya posisi politik Amerika di dunia, para pengusaha itu pun mendapatkan keuntungan yang besar. Perusahaan-perusahaan Amerika menjalar ke berbagai dunia berkolaborasi dengan penguasa berbagai negara untuk mendapatkan keuntungan.

Amien Rais (2008) dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia, menjelaskan bahwa cara paling mudah bagi korporasi untuk menaklukan kekuatan politik adalah dengan memberikan biaya kampanye tatkala calon presiden atau calon gubernur melakukan kampanye menjelang pemilihan umum. Presiden yang terpilih tidak bisa tidak pasti akan membalas budi pada korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Di Amerika sendiri dana kampanye siluman merupakan salah satu masalah politik dan hukum yang paling pelik. Bukan saja korporasi Amerika yang berlomba-lomba memberikan dana kampanye kepada Capres yang dinilai bakal mudah menjadi fasilitator kepentingan korporat, perusahaan asing (dari luar Amerika) juga ikut-ikutan menimbrung supaya kelak memperoleh kemudahan-kemudahan.

Pada zaman Clinton, misalnya, Narman Hsu, kelahiran Hongkong, seorang agen kampanye, terbukti dapat “memeras” para investor asing sampai 60 juta dolar sesuai hasil investigasi persidangan. Kita juga masih ingat seorang konglomerat Indonesia dapat menembus gedung putih ikut-ikutan menyumbang dana kampanye Clinton. Menurut David Korten, demokrasi Amerika tidak saja dijual untuk korporasi-korporasi Amerika, tetapi juga dijual untuk korporasi Asing.

Uang pelumas yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan dari luar Amerika itu kecil adanya dibandingkan dengan uang sogok dari korporasi Amerika sendiri. Sesuatu yang mudah dimengerti. Pada musim kampanye pemilihan presiden dan anggota kongres 2004, korporasi Amerika mengeluarkan hampir 4 milyar dolar sebagai sogok kepada kongres. Berkat uang pelumas sebesar itu, korporasi-korporasi besar mendapat kontrak dari pemerintah yang besarnya seratus kali daripada uang yang dikeluarkan. Mereka juga mendapat potongan pajak (tax cut) sebesar 1,35 trilyun dolar (dengan nilai rupiah, lebih dari 12.400 trilyun rupiah!). Siapa bilang Demokrasi Amerika demokrasi ideal? Hakikatnya demokrasi di negeri Paman Sam itu telah menjadi demokrasi korporat, tidak lebih, tidak kurang. Sebagian anggota DPR kita mungkin lebih banyak berguru ke Kongres Amerika.

Namun, ada cara korporasi besar Amerika dalam memegang kendali pemerintahan dengan lebih efektif lagi. Caranya langsung menduduki pos-pos kekuasaan yang penting. Pemerintahan Bush merupakan bukti yang meyakinkan. Tokoh-tokoh penentu kebijakan Amerika sangat terkait erat dengan korporatokrasi Amerika yang bergerak di bidang perminyakan. Dick Cheney, sebelum menjadi wakil prersiden, adalah CEO Halliburton yang berbasis di Dallas, Texas. Sekalipun secara formal dia mengaku tidak lagi memiliki hubungan dengan Halliburton, bukti-bukti di lapangan menunjukkan keterkaitan itu semakin akrab. Buktinya, Halliburton memenangi kontrak bernilai milyaran dolar untuk melakukan rekonstruksi Irak.

Condoleezza Rice adalah Direktur Chevron antara 1991-2001. Secara formal, ia juga meninggalkan Chevron, tetapi keterkaitannya dengan kepentingan Chevron semakin menjadi-jadi setelah memegang kekuasaan politik luar negeri Amerika. Bermitra dengan Cheney, C. Rice dapat memenangi kontrak pemipaan minyak (crude oil pipelines) sepanjang 900 mil dari Kazakhstan Barat sampai Laut Hitam. Halliburton mengerjakan pemipaan itu untuk Chevron.

Tidak mau kalah dengan Cheney dan Rice, Rumsfeld ternyata menjadi direktur non-eksekutif perusahaan ABB, sebuah perusahaan enginering raksasa yang berbasis di Zurich. Pada masa Rumsfeld “berkarya” di ABB antara 1990-2001, perusahaannya memenangi kontrak sebesar 200 juta dollar untuk merancang design dan komponen-komponen penting buat reaktor nuklir.
Sementara itu, latar belakang Bush Sr. dan Jr. juga berbasah-basah dengan minyak. Bush Sr. pernah membuat pernyataan yang jelas apa sesungguhnya yang menjadi motivasi penting politik luar negeri Amerika.

Secara terbuka ia mengatakan, “Kerja kita, way of life kita, kemerdekaan kita, kemerdekaan negara-negara sahabat kita di seantero dunia akan menderita bilamana penguasaan sumber-sumber minyak dunia jatuh ke tangan Saddam Hussein.”

Langsung disimpulkan bahwa tidak mungkin pernyataan sepenting itu akan muncul kalau Bush Sr. tidak punya konektisitas erat dengan para petrokrat Amerika. Bush Sr. pernah mendirikan perusahaan minyak bernama Zapata Oil yang berkedudukan di New York pada 1953. Perusahaan ini terus berkembang dan membuka pertambangan lepas pantai di berbagai negara. Sampai 1966, Bush Tua menjadi presiden Zapata Off-Shore. Ketika ia menjadi Direktur CIA (1976-1977), Bush berperan melicinkan kerja sama perusahaan minyaknya dengan CIA.

Riwayat Bush Jr. juga belepotan dengan minyak. Di Texas ia mendirikan perusahaan minyak kecil-kecilan, dinamakan Arbusto Energy (arbusto dalam bahasa Spanyol berarti bush/semak belukar). Dalam perjalanan selanjutnya, ia bergabung dengan Harken Energy Corporation. Ketika Harken kedodoran, sebagian besar sahamnya dijual ke pialang Saudi, Shaikh Abdullah Bakhsh. Bush kemudian menjual sahamnya sebesar satu juta dolar sebelum masuk pilihan gubernur di Texas.

Tidak berlebihan bila dikatakan alasan sejati mengapa Amerika menduduki Irak sampai sekarang karena Amerika ingin menguasai ladang-ladang minyak di Irak sambil tentu memenuhi ambisi berbagai korporasi energi Amerika yang kepentingannya begitu terintegrasikan dengan kepentingan pemerintah Amerika. Alasan agresi Amerika karena Irak menyimpan WMD (Weapon of Mass Destruction), senjata pemusnah massal, dan Irak punya ketertarikan dengan Al Qaeda sudah terbukti merupakan kebohongan publik yang begitu telanjang dan sangat vulgar.

Tak kurang dari Henry Kissinger sendiri sudah mengatakan bahwa penguasaan minyak adalah masalah kunci yang menentukan mengapa Amerika melakukan aksi militer terhadap Irak.

Demikian juga, Alan Greenspan, bekas Chairman of the Board of Governors of the Federal Reserve (1987-2006), membuat pernyataan yang menohok Presiden Bush, “Saya sedih karena sekalipun secara politis tidak mengenakkan, saya harus mengakui apa yang semua orang sudah tahu, perang Irak adalah terutama sekali karena minyak.”

Dari paparan singkat di atas menjadi jelas bahwa elemen terpenting dari korporatokrasi, yakni korporasi-korporasi besar tidak mungkin mencapai tujuan absolutnya jika tidak menggandeng pemerintah yang mempunyai kekuatan politik. Dalam kenyataan riil, kedua unsur tersebut memerlukan satu unsur lagi, yaitu perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internsional.

Demokrasi di AS memang telah menjadikan negara, kemanusiaan, dan ketertiban hanya sebuah objek bisnis. Negeri itu telah menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mengumpulkan materi meskipun harus berdusta, menghilangkan nyawa orang lain, dan berpura-pura sok manusiawi. Negeri itu sudah menjadi negeri sumber kejahatan di muka Bumi ini. Dengan demikian, orang-orang yang sampai saat ini mengagung-agungkan demokrasi di Amerika Serikat, padahal sudah tahu keborokannya, sangat pantas bila disebut orang tolol tidak kepalang tanggung gobloknya. Kalau belum tahu keborokannya, belum bisa disebut goblok atau tolol, paling-paling wajar bila disebut orang yang tertipu.

Jika ada orang atau elit yang mengarahkan Indonesia untuk menjadi seperti Amerika, berarti tujuan orang itu adalah menjadikan Indonesia sebagai negara bedebah karena Amerika itu negara bedebah. Padahal, Indonesia itu arahnya adalah Pancasila, yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang seimbang lahir maupun batin, bukan menjadi manusia-manusia bedebah.

Saat ini pun sebetulnya sama saja penyerangan ke Libya serta menggerakan berbagai demonstrasi dan kerusuhan di berbagai negara di Timur Tengah ujung-ujungnya tetap minyak yang dalam bahasa Indonesia sehari-hari UUD, Ujung-Ujungnya Duit. Mereka memang sudah kemaruk harta benda dan menganggap bahwa kehidupan itu adalah hanya untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan tak peduli halal ataupun haram, namanya juga kapitalis.

Sekali lagi, kita semua harus memberikan pengertian kepada sesama warga bangsa Indonesia bahwa sistem politik demokrasi itu apapun bentuknya tetap menjadi pintu bagi banyaknya kejahatan terhadap kemanusiaan. Di samping itu, kita harus memberi tahu mereka yang masih menganggap demokrasi Amerika itu hebat dengan kasih sayang bahwa anggapan mereka itu keliru. Anggapan yang keliru itu jika dibiarkan akan menyesatkan dirinya. Kasihan mereka.

Penyerangan ke Libya untuk Melindungi Hak Warga Sipil? Dusta!

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Inti dari hubungan internasional itu hanya dua hal, yaitu: war, ‘perang’, dan peace atau reconcilement, ‘perdamaian, saling pengertian’. Perang itu berarti konflik dan negara-negara yang terlibat di dalamnya berupaya menggunakan sumber daya yang ada untuk memenangkan hubungan internasional dalam kondisi perang tersebut. Perdamaian berarti terbentuk saling pengertian di antara negara-negara yang terlibat. Dalam kondisi damai inilah terjadinya berbagai kerja sama positif , seperti, budaya, ekonomi, pendidikan, pertahanan, dan sosial.

Baik dalam keadaan perang maupun damai, setiap negara yang terlibat berarti melaksanakan politik luar negerinya dengan tujuan untuk kepentingan dalam negerinya masing-masing, bukan untuk kepentingan negara lain. Dari seluruh definisi mengenai politik luar negeri, intinya adalah bahwa hubungan internasional yang terjadi merupakan kebijakan politik luar negeri untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan nasionalnya. Jadi, setiap negara yang melakukan kontak secara internasional, baik itu perang maupun damai adalah untuk mencapai keinginan dalam negerinya masing-masing.

Dengan menggunakan pengertian hubungan internasional dan politik luar negeri di atas, kita bisa menilai bahwa pernyataan Presiden AS Barack Obama yang patungnya ada di Jakarta dan sempat dielu-elukan segelintir makhluk itu adalah dusta. Ia mengatakan bahwa penyerangan ke Libya itu adalah untuk alasan kemanusiaan karena Libya tidak demokratis, otoriter, tidak mendengarkan suara rakyat, dan melakukan pembunuhan terhadap warga sipil. Alasan-alasan itulah yang disebarluaskan melalui media massa ke seluruh dunia.

Alasan-alasan itu berupaya untuk mempengaruhi masyarakat internasional bahwa AS dan negara konco-konconya melakukan penyerangan adalah untuk kepentingan negara lain, yaitu warga Libya. Itu adalah pernyataan dan alasan nonsens, omong kosong, bohong, tipu. Mana mungkin AS dan sekutunya itu berjibaku mengorbankan banyak uang dan pemuda-pemudanya untuk mati berperang dengan negara lain jika tidak memiliki kepentingan dalam negerinya sendiri. Pernyataan dan alasan itu sangat bertentangan dengan teori politik luar negeri dalam kajian hubungan internasional. Teorinya kan politik luar negeri itu dijalankan untuk mendapatkan keuntungan bagi negerinya, bukan untuk kepentingan negara lain.

Dengan demikian, menjadi sangat jelas, negeri-negeri pendusta itu melakukan penyerangan adalah untuk mendapatkan keuntungan dari penyerangan itu, terutama menguasai sumber daya alam Libya yang berupa minyak di samping ada alasan spiritual lain. Soal alasan sipiritual lain akan ditulis dalam judul yang lain.

Sebetulnya, bukan cuma Libya yang digoyang, negara-negara di Timur Tengah lainnya pun diganggu stabilitas politiknya. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad sangat paham hal itu. Ia dengan cepat menuding pihak Barat yang menjadi penyebab kekacauan di negerinya dan negara-negara di Timur Tengah lainnya.

Jangan tertipu dengan kata-kata manis penuh dusta dan isu-isu murahan semacam demokrasi dan Ham. Itu semua cuma topeng, kedok untuk menipu dunia agar mendapatkan keuntungan dari ketertipuan yang berskala internasional. Hati-hatilah dan tetap waspadalah.



Indonesia Tak Akan Pernah Diserang Seperti Libya

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Kembali sejarah mencatat terjadi pengeroyokan terhadap Libya oleh pasukan AS dan Nato. Alasan dilakukan penyerangan itu adalah Libya dianggap tidak demokratis, otoriter, tidak mendengar suara rakyat, dan melakukan pembunuhan terhadap warga sipil. Itulah yang dikatakan Presiden AS Barack Obama. Alasan-alasan itulah yang disebarluaskan melalui media massa ke seluruh dunia. Padahal, semua sudah mengerti bahwa bangsa-bangsa Barat itu menginginkan harta kekayaan alam Libya yang melimpah ruah, terutama minyak.

Mereka ingin Moamar Khadafi mundur dengan alasan pemimpin Libya itu menghalangi jalannya demokrasi. Alasan penyerangan itu sebagian memang benar. Para negeri kapitalis dan negeri-negeri kambing congeknya memang menginginkan agar Libya bisa berdemokrasi. Hal itu disebabkan dengan demokrasi, para penyerang yang kapitalis itu bisa dengan mudah membentuk partai atau mendukung partai tertentu dan membiayainya agar mendapatkan balas budi berupa kekayaan alam, terutama minyak. Adapun negeri-negeri kambing congek penjilat negeri para penyerang itu sudah cukup bangga mendapatkan julukan sebagai negara demokratis di dunia, hanya itu, padahal dalam hal ekonomi tetap saja underdog.

Libya diserang karena memang bersikukuh dengan cara hidupnya sendiri. Libya menerapkan sistem ketatanegaraan sesuai dengan keinginan Khadafi sendiri dan itu menghalangi jalannya para negeri kapitalis untuk mendapatkan kekayaan alamnya dengan lebih leluasa. Tak heran dia diserang dari luar dan dari dalam.

Memang benar sistem politik Khadafi tidak sempurna, perlu banyak perbaikan. Akan tetapi, bukan penyerangan fisik penyelesaiannya.

Adapun Indonesia tak akan diserang oleh para kapitalis seperti terhadap Libya. Hal itu disebabkan Indonesia sudah terbuka dengan perampokan korporasi asing. Para kapitalis itu bisa membiayai kampanye satu-dua partai, mendirikan partai, atau jual-beli legislasi dengan pentolan-pentolan politik bermental rendah di Indonesia. Mereka tinggal hitung-hitungan untung-rugi di dalam kalkulator untuk mendapatkan kekayaan alam Indonesia. Mereka sangat paham bahwa di Indonesia sangat banyak anggota legislatif yang tidak memahami legislasi serta sangat tahu bahwa banyak penguasa yang butuh uang pinjaman untuk tetap berkuasa kembali. Oleh sebab itu, tak heran Amien Rais (2008) mengatakan bahwa banyak legislasi dan berbagai peraturan yang disinyalir dibuat oleh pihak asing. Hal itu tampak dari bahasa yang digunakan dalam berbagai regulasi adalah bahasa Inggris yang tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia, bahkan diduga keras hasil mencontek dari negara lain, lebih parah lagi diperkirakan dibuat oleh orang-orang asing yang justru selalu mengincar potensi-potensi yang dimiliki Indonesia. Sementara itu, banyak elit di negeri ini yang manut-manut saja pada negeri-negeri yang dulunya menjajah secara fisik bangsa-bangsa Asia itu.

Dengan demikian, sudah pasti Indonesia tidak akan di-Libya-kan karena gampang sekali untuk dirampok. Buat apa diserang? Toh, dengan disuap, ditipu, dan dipuji saja sudah mabuk kepayang bangga. Dalam alam demokrasi, sangat sulit kita mendeteksi apakah partai-partai atau LSM-LSM itu jelmaan aspirasi rakyat ataukah jadi-jadian antek-antek kapitalis. Indonesia bukan hanya mudah untuk dirampok, tetapi sangat menguntungkan dan menyenangkan dijadikan mangsa empuk bagi para kapitalis yang bekerja sama dengan para penipu rakus di negeri ini. Menyedihkan memang.

Tenang, Indonesia tidak akan di-Libya-kan asal terus saja manut sama mereka.

Kalau tidak manut, pasti terjadi seperti dulu. Negeri-negeri kapitalis mengurung Indonesia dari sana-sini, lalu dikerjain lewat pemberontakan-pemberontakan di daerah seperti PRRI/Permesta. Beruntung saat itu kita punya TNI yang tangguh. Orang-orang kapitalis itu mundur teratur, kemudian menghormati kekuatan Indonesia.

Berbeda dengan sekarang yang sangat banyak orang ketar-ketir jika Indonesia diserang negara lain. Lihat saja kemarin-kemarin dilecehkan Malaysia, Indonesia adem ayem saja seperti yang kumeok memeh dipacok, ‘kalah sebelum berperang’. Apalagi diserang negara Barat yang kabarnya punya banyak senjata pembunuh modern.

Akan tetapi, rakyat negeri ini tetap kuat kok. Seluruhnya siap sedia untuk tanah airnya. Yang belum kita punyai adalah pemimpin kuat yang mampu membangkitkan harga diri bangsa dan mengarahkan rakyat menuju kemerdekaan hakiki. Namun, pemimpin itu kelak pasti ada, tenang saja sambil jauhi itu yang namanya demokrasi.

Kemaksiatan Itu Ternyata Namanya Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dulu, sekitar pertengahan 2001, beberapa bulan sebelum terjadi tragedi menara kembar WTC di Amerika Serikat, saya banyak membaca berbagai literatur yang membahas tentang Imam Mahdi dan Dajjal Laknatullah. Saat itu banyak hadits Nabi Muhammad yang tidak bisa saya pahami karena seluruhnya berbicara tentang masa depan yang tanda-tandanya sama sekali tidak jelas. Hal yang paling mudah saya lakukan adalah mengikuti pendapat para ahli agama yang tidak terlalu konsen terhadap Al Mahdi dan Dajjal. Perlu diingat bahwa hampir seluruh organisasi Islam di Indonesia ini sangat jarang membahas Al Mahdi dan Dajjal, termasuk tiga organisasi besar, yaitu: Muhammadiyah, Persis, dan NU. Hal itu bisa diperhatikan dari berbagai ceramah para ahli mereka yang sangat jarang atau hampir tidak membahas Al Mahdi dan Dajjal. Beberapa orang di antara mereka berpandangan bahwa hadits-hadits tentang Al Mahdi dan Dajjal itu bisa dibilang lemah karena tidak terdapat dalam sumber hadits penting yang berasal dari Bukhari Muslim. Memang, kebanyakan hadits-hadits itu bersumber dari Ibnu Majjah, An Nassai, dan lain sebagainya. Saya saat itu mulai pula menganggap lemah hadits-hadits itu, bahkan memandangnya sebagai dongengan yang dibuat-buat umat Islam yang dulunya beragama nasrani.

Akan tetapi, setelah terjadi penabrakan gedung menara kembar WTC di AS yang menghebohkan pada September 2001 itu, saya merasa aneh. Saya melihatnya seperti sebuah rekaman film. Saya seperti sudah mengetahui kejadian itu sebelum terjadi secara nyata. Hal itu disebabkan saya merasa pernah membaca kejadian itu beberapa bulan sebelumnya, yaitu sekitar Mei 2001. Kemudian, saya mencoba mengobrak-abrik perpustakaan pribadi saya mencari buku yang melukiskan peristiwa tersebut. Akhirnya, saya dapatkan. Bahkan, di buku itu sudah tertulis berbagai malapetaka di Irak yang kemudian terbukti beberapa tahun setelahnya. Sejak saat itu, saya mulai lagi mencoba memahami hadits-hadits yang dulu dianggap lemah, bahkan dianggap sebagai dongengan.

Dalam tulisan kali ini saya ingin berbagi dengan Saudara-saudara pembaca yang budiman mengenai hadits Nabi yang dulu sulit saya pahami. Ada dua hadits yang membuat saya tertarik, yaitu Rasulullah saw menyatakan bahwa Al Mahdi akan datang ketika Bumi ditimpa banyak bencana. Pernyataan selanjutnya adalah Al Mahdi akan datang membersihkan Bumi dan meliputinya dengan kebaikan sebagaimana Bumi telah tertutupi oleh kemaksiatan.

Pada 2001 saya sama sekali tidak bisa paham bahwa Al Mahdi akan datang ketika Bumi ditimpa banyak bencana. Bagaimana mungkin? Bencana apa? Saat itu sama sekali tidak ada tanda-tanda datangnya bencana di muka Bumi ini. Semua berjalan normal. Wajar toh jika saya kemudian mengikuti orang-orang yang ahli agama itu dengan menganggapnya sebagai hadits lemah. Akan tetapi, pada saat ini subhanallah, hadits itu bisa sangat mudah dipahami karena bencana demi bencana sudah menjadi tontonan banyak orang setiap hari di seluruh muka Bumi ini. Bencana-bencana yang terjadi saat ini membuktikan kebenaran hadits Nabi tersebut yang sekaligus pula menjadi petunjuk bagi kita tentang kehadiran Al Mahdi yang akan membersihkan Bumi dari segala kemaksiatan, kemudian memenuhinya dengan kebaikan dan keadilan.

Di samping itu, saya pun tidak bisa mengerti bahwa Al Mahdi akan memenuhi Bumi ini dengan kebaikan setelah sebelumnya diliputi kemaksiatan. Saya tidak bisa mengerti jika Bumi ini bisa diliputi atau tertutupi oleh kemaksiatan. Bagaimana mungkin? Saya tidak bisa paham jika Bumi ini seluruhnya berada dalam kemaksiatan. Hal itu sangat mustahil terjadi. Bukankah setiap hari selalu ada pertarungan antara kemaksiatan dan kebaikan? Orang-orang baik, moralis, humanis, dan religius selalu berupaya keras melakukan perlawanan terhadap kejahatan dan kemaksiatan. Jadi, Bumi ini tidak akan pernah ditutupi seluruhnya oleh kemaksiatan karena selalu ada perlawanan. Demikian pemikiran saya saat itu. Dengan pemikiran seperti itu, wajar pula saya menganggap hadits tersebut lemah karena akal memustahilkannya terjadi.

Akan tetapi, saat ini saya benar-benar paham bahwa Bumi ini akan sungguh-sungguh diliputi awan gelap kemaksiatan. Pada saat ini pun sebenarnya Bumi sedang dalam proses percepatan ke arah kegelapan tersebut. Perlawanan dari orang-orang baik sama sekali tidak mempengaruhi bagi kejahatan dan kemaksiatan untuk menguasai seluruh muka Bumi. Sebentar lagi Bumi akan benar-benar gelap penuh kemaksiatan. Seluruhnya akan tunduk dan takluk pada kemaksiatan. Puncak kejahatan akan merajai seluruh muka Bumi ini. Hal itu disebabkan kaum moralis, orang-orang baik, humanis, religius, dan idealis telah tertipu serta tenggelam dalam kemaksiatan. Orang-orang akan menyangka berbuat kebaikan, padahal sesungguhnya sedang melakukan penguatan dan dukungan terhadap berkuasanya kemaksiatan di muka Bumi ini.

Pada saat itulah berlaku ketentuan Allah swt terhadap orang-orang yang menyangka dirinya telah berbuat kebaikan, padahal sesungguhnya melakukan keburukan.

“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.’.” (QS Al Kahfi : 103-104).

Saudara-saudara sekalian, dulu saya tidak bisa mengerti kemaksiatan macam apa yang akan menguasai Bumi ini sehingga gelap gulita tak ada cahaya. Apakah semua orang menjadi pezinah, pembunuh, pemabuk, penjudi, koruptor, atau penipu? Kini saya mengerti bahwa maksud dari Rasulullah saw bahwa Bumi akan diliputi oleh kemaksiatan itu adalah kemaksiatan yang namanya demokrasi!

Coba perhatikan saat ini di berbagai belahan dunia telah digaungkan dan dikeramatkan itu yang namanya politik demokrasi. Bahkan, di Timur Tengah tengah digenjot dan dipaksa untuk mengikuti sistem politik demokrasi. Syetan Jin Iblis dan Syetan Manusia Dajjal tengah berdendang untuk mencapai kemenangannya. Dengan demokrasi, para penjahat kemanusiaan dan perampok kekayaan negara akan mudah menguasai hajat hidup orang banyak dan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Dengan demokrasi, berarti terbuka lebar ribuan pintu kemaksiatan yang perwujudannya adalah korupsi, aksi tipu-tipu, jual-beli legislasi, kemunafikan, pertengkaran, konflik horizontal, tirani kehidupan, pembunuhan, penganiayaan, degradasi moral, kebebasan tak terbatas, perampokan hak rakyat, pelacuran, kriminalitas, berkurangnya rasa hormat serta persaudaraan, dan lain sebagainya.

Dalam tulisan lain akan dikupas bagaimana kebejatan demokrasi di negara mbah demokrasi, AS.
Jika merujuk pada hadits Nabi di atas bahwa Bumi akan diliputi kemaksiatan, artinya demokrasi akan menguasai dunia. Itu pasti. Demokrasi akan menang dengan beragam bentuknya, tersebar hampir merata di muka Bumi. Mari kita buktikan dengan memperhatikan kondisi dunia pada hari-hari selanjutnya. Kegelapan pun semakin pekat. Para kapitalis, pencoleng, pendusta, dan pemimpin rakus bersuka ria memakan harta-harta rakyat di berbagai negara. Orang-orang baik tertipu dalam posisinya. Orang-orang kecil yang sudah bingung akan tambah bingung.

Khusus di negeri ini, Indonesia yang kita cintai, kondisi kegelapan itu sedang dan terus menyempurnakan kegelapannya. Hal itu telah dilukiskan oleh Prabu Siliwangi ratusan tahun silam dalam bahasa Sunda berikut ini.

Buta-buta nu baruta. Mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Dalam bahasa Indonesia.

Raksasa-raksasa yang beringas semakin hari semakin bandel, sombong, pongah, brutal, dan sewenang-wenang melebihi kerbau bule. Mereka tidak sadar bahwa zaman manusia sudah dikuasai binatang!

Itu sudah takdir yang tidak bisa diubah-ubah lagi. Saat ini kegelapan kemaksiatan belum mencapai puncaknya. Namun, sebentar lagi kejahatan akan benar-benar berkuasa di seluruh muka Bumi ini. Penderitaan, keputusasaan, dan kebingungan akan menghinggapi banyak orang. Gelap, gelap sekali keadaannya.

Akan tetapi, kekuasaan Raja Kegelapan itu hanya akan bertahan sangat sebentar karena Al Mahdi akan segera datang menghapus seluruh kegelapan dan memenuhi Bumi ini dengan kebaikan hingga tak ada seorang pun yang dirugikan. Hal itu sesuai dengan teori dalam ilmu fisika, yaitu semakin besar tekanan, semakin besar pula perlawanan terhadap tekanan itu. Perhatikan balon. Jika balon itu ditekan dan terus ditekan, pada titik tertentu akan terjadi ledakan. Perhatikan pula air dalam pipa atau dalam alat suntik yang jika ditekan, air akan keluar sesuai dengan energi yang dikeluarkan penekan.

Renungkanlah nasihat Syekh Abdul Qadir Jaelani. Jika kemaksiatan, penderitaan, dan kejahatan itu diibaratkan malam, semakin malam akan semakin gelap dan semakin dingin. Semakin malam penderitaan itu semakin menyiksa. Kalau kita berdoa, tak akan dikabulkan karena bukan waktunya. Artinya, jika kita berdoa agar malam segera berakhir, tetapi berdoa pada pukul 10 malam, itu pasti tidak akan dikabulkan. Akan tetapi, doa itu tetap didengar dan mendapatkan pahala atas perilaku berdoanya walaupun tidak akan mengubah keadaan. Sehebat apapun kita berdoa agar cepat siang, Allah swt tak akan mengabulkannya. Demikian pula dalam kehidupan ini. Sehebat apa pun kita berdoa agar kemaksiatan, penderitaan, kehinaan, kebingungan, dan kejahatan ini hilang, tak akan dikabulkan. Hal itu disebabkan memang sedang waktunya kemenangan untuk kegelapan. Semakin gelap, semakin menderita, semakin menyakitkan.

Akan tetapi, Syekh Abdul Qadir Jaelani mengatakan bahwa semakin malam, semakin dingin, semakin gelap, itu artinya pertanda fajar segera tiba. Matahari sebentar lagi terbit. Pada waktu yang tepat Sang Surya kembali menyinari Bumi, kehangatan pun datang menyenangkan. Kegetiran malam pun sudah tak ada lagi. Kehangatan pagi terus berubah menjadi terang benderang sebagaimana Sang Surya menerangi Bumi dengan sinarnya yang terang dan bermanfaat bagi seluruh kehidupan ini.

Al Mahdi datang menghancurkan kemaksiatan. Bumi penuh keadilan. Demokrasi pun terbuang dalam sejarah memilukan. Hal itu disebabkan demokrasi merupakan pintu gerbang ribuan kemaksiatan di muka Bumi ini.

Khusus di negeri kita, Indonesia tercinta, ada pesan leluhur dari Kitab Musarar Jayabaya, yaitu:

Banyak hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian, Raja Kara Murka Kutila musnah. Kemudian, kelak akan datang Tunjung Putih Semune Pudak Kasungsang. Lahir di Bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di Bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa. Letaknya dekat dengan Gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.

Setelah anomali iklim, bencana alam, bencana kemanusiaan, bencana politik, bencana ekonomi, dan bencana-bencana lainnya sempurna menghancurkan negeri ini, maka Raja Kara Murka Kutila pun musnah. Raja Kara Murka itu artinya para pemimpin yang saling jegal, saling menjatuhkan. Kutila itu artinya demokrasi atau reformasi. Maksudnya adalah zaman atau era para pemimpin saling jegal sebagai ciri khas demokrasi yang menyuarakan reformasi itu akan musnah, hilang, hancur. Kemudian, tampil pemimpin baru yang memiliki sifat nasionalis-religius, sebagaimana yang disampaikan Jayabaya tadi, berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa, ‘punya dua istana, yaitu satu di Mekah dan satu lagi di Indonesia’. Maksudnya, pemimpin yang taat menjalankan ajaran Islam serta sangat mencintai rakyat dan tanah airnya. Pemimpin ini akrab di telinga masyarakat Indonesia dengan sebutan Ratu Adil.

Mengapa demokrasi hancur? Penyebabnya adalah perilaku para elit sendiri, sebagaimana yang disebutkan oleh Prabu Siliwangi, yaitu:

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan.

Artinya:

Kekuasaan raksasa-raksasa buta itu tidak terlalu lama, tetapi selama berkuasa itu keterlaluan sekali menindas rakyat susah yang sedang berharap datangnya mukjizat, pohon beringin tumbang di alun-alun. Raksasa-raksasa itu akan menjadi tumbal, tumbal kejahatannya sendiri.

Para elit yang pongah itu akan hancur karena tindakannya sendiri. Mereka akan terbelalak saat kejatuhannya yang tiba-tiba. Mereka tidak percaya bisa terjerembab seperti itu.

Demikianlah. Kembali pada judul tulisan ini. Saya baru paham sekarang bahwa yang dimaksud kemaksiatan yang meliputi Bumi ini adalah sistem politik demokrasi. Saya sangat senang karena demokrasi akan hancur dan dihancurkan oleh Imam Mahdi yang akan memenuhi Bumi dengan kebaikan. Kebenaran akan menang. Kejahatan dan kemaksiatan di muka Bumi ini akan musnah. Demikian pula di negeri ini, demokrasi akan jatuh merana. Situasi akan berubah cepat dalam kepemimpinan Ratu Adil yang akan membuang demokrasi dalam sampah perpolitikan.

Sekarang tinggal keputusan kita sendiri. Akankah posisi kita berada dalam barisan Imam Mahdi dan Ratu Adil atau menjadi musuhnya atau mungkin hanya menjadi penonton?

Ingat, setiap keputusan dan tindakan kita akan menimbulkan akibat terhadap diri kita sendiri, baik di dunia ini maupun di akhirat. Kita harus memilih untuk kebaikan diri kita sendiri. Saat kita memilih posisi, Allah swt memperhatikan apa yang terjadi dalam jiwa kita dan dengan itulah Allah swt menentukan kualitas setiap jiwa di sisi-Nya.