oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Paling tidak umat Islam
berdoa tujuh belas kali dalam sehari semalam untuk mendapatkan petunjuk dari
Allah swt. Kaum muslim berharap Allah swt memberinya petunjuk dalam kehidupan
agar tidak salah arah, tidak salah langkah, dan tidak salah tujuan. Doa itu ada
di dalam Surat Al Fatihah ayat 6:
“Tunjukilah kami
jalan yang lurus.”
Jalan yang lurus itu apa, bagaimana?
Di dunia ini banyak sekali ditawarkan jalan-jalan
kehidupan yang diklaim sebagai jalan yang paling lurus, paling benar, dan
paling hebat. Ada yang menawarkan agama, keyakinan tertentu, pandangan hidup, sistem
pergaulan, atau sistem sosial lainnya. Jika dilihat sekilas, tawaran-tawaran
itu tampak baik, hebat, masuk akal, dan patut untuk dijalani. Akan tetapi, itu semua hanyalah khayalan,
dugaan, kira-kira, pendapat, pandangan, dan pemikiran yang banyak sekali
mengandung celah kesesatan.
Dalam bahasa aslinya jalan
yang lurus itu adalah shiraatal
mustaqiim. Saya jadi ingat ceritera masa kecil dulu bahwa yang namanya shiraatal mustaqiim itu sangat tipis,
bagaikan seutas rambut dibelah tujuh. Sesungguhnya, itu bukanlah ceritera
bualan atau dongeng tanpa dasar, melainkan kondisi yang digambarkan oleh
orangtua kita bahwa jalan yang lurus itu
adalah sangat samar bagi kebanyakan manusia. Jika tidak diberi pandangan yang
tajam dan petunjuk oleh Allah swt, kita bisa memilih dan melangkah di jalan
yang sesat, tetapi kita menduganya jalan yang benar. Itulah shiraatal mustaqiim, jalan yang sering
disamarkan oleh jalan-jalan syetan sehingga manusia tidak benar-benar melangkah
di jalan itu. Manusia hanya menduga saja bahwa dirinya sedang melakukan hal
yang benar, padahal sesungguhnya berada dalam jalan syetan.
Bayangkan saja gambaran para orangtua kita bahwa shiraatal mustaqiim itu bagaikan seutas
rambut dibelah tujuh. Seutas rambut saja sudah sangat tipis, kadang-kadang
kalau terjatuh, kita tidak bisa melihatnya. Apalagi kalau rambut yang sudah tipis
itu dibelah tujuh, semakin tidak terlihat. Kalau ingin melihatnya, terpaksa
kita harus menggunakan alat yang mampu membuat benda tipis dan kecil tampak
ribuan kali lipat besarnya. Biasanya alat itu disebut mikroskop.
Nah, begitulah shiraatal
mustaqiim yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang telah ditajamkan
matanya, dicerahkan pikirannya, dibeningkan hatinya, diluaskan pandangannya,
dan disucikan perilakunya oleh Allah swt. Kepada merekalah sebenarnya umat
Islam harus menuju, belajar, meminta pandangan, dan berharap nasihat agar tak
salah langkah dan tak salah arah.
Tak heran jika pada masa ini banyak sekali manusia yang
gelisah, bingung, mudah marah, mudah sedih, grasa-grusu,
sering cemas, gemar bertengkar, gampang memfitnah, enteng berbohong, ketakutan
terhadap masa depan, kehilangan wibawa dan harga diri, dan berbagai kekusutan
lainnya. Padahal, mereka sudah merasa seolah-olah melakukan hal yang benar,
menjalankan ritual agama dengan baik, mengeluarkan uang untuk orang lain, dan lain
sebagainya. Hal itu disebabkan kebanyakan manusia hanya menduga telah berjalan
pada jalan yang lurus, padahal
sesungguhnya sedang terjerembab dalam kesesatan.
Jadi, bagaimana dan apa sesungguhnya jalan yang lurus itu?
Allah swt sudah sedikit memberikan dorongan berupa
penjelasan mengenai jalan lurus itu. Yang dimaksud Allah swt sebagai jalan yang lurus adalah sebagaimana
dalam firman-Nya pada Surat Al Fatihah ayat 7:
“(Yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Jelas, kan?
Meskipun sudah jelas, agar kita lebih mudah untuk
melaksanakannya dan agar kita tidak salah, harus dipilah dulu mana jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat serta jalan mereka yang dimurkai dan sesat. Jika kita tidak memilah-milah
dulu, kita bakalan terjerumus dengan mencampurkan antara kebaikan dan
kesesatan.
Ada
dua jalan yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu jalan orang-orang yang diberi kenikmatan yang harus kita ikuti serta
jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat
yang harus kita hindari.
Siapa saja orang-orang yang telah diberi kenikmatan tersebut?
Siapa saja orang-orang yang dimurkai dan sesat itu?
Orang-orang yang
telah diberi kenikmatan tentu saja para nabi dan orang-orang yang mengikuti
para nabi tersebut secara utuh dan terlepas dari dorongan hawa nafsunya sendiri
yang rendah.
Nabi yang mana?
Ya para nabi yang sudah disebutkan Allah swt dalam Al
Quran. Bukan orang-orang yang mengaku-aku nabi setelah kenabian ditutup oleh
Muhammad Rasulullaah saw.
Terus, siapa saja orang-orang yang dimurkai dan sesat
itu?
Mereka adalah orang-orang yang merendahkan ajaran para
nabi, menyingkirkan ajaran nabi hanya untuk upacara keagamaan, mengampanyekan
bahwa pikiran manusia lebih hebat, menuding bahwa ajaran para nabi sudah tidak
lagi bisa dilaksanakan pada masa ini, membanggakan hasil pikirannya sendiri, tidak
menyentuh ajaran para nabi, dan atau membanggakan diri sebagai pengikut
orang-orang yang sudah sesat.
Lihat bagaimana sudah sangat tersesatnya kita!
Jika kita sekolah atau menyekolahkan anak, apa tujuannya?
Sebagian besar dari kita berharap agar kita dan atau anak
kita mendapatkan pekerjaan yang baik, bergaji besar, dan terhormat!
Benar kan?
Saya tanya nabi siapa yang mengajarkan hal seperti itu?
Tidak ada!
Itu adalah ajaran para syetan kapitalis yang berasal dari
luar negeri.
Para nabi mengajarkan bahwa kita memang wajib menuntut
ilmu adalah agar kita dapat lebih baik lagi mengabdikan diri kepada Allah swt
dan bermanfaat bagi manusia lain dan lingkungan sekitar kita. Khairunnas anfauhum linnas, ‘sebaik-baik
manusia di antara kamu adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi
manusia lainnya’.
Karena kita sudah tersesat dengan pikiran-pikiran sesat,
tetapi kita menganggapnya sebagai “kebenaran dan kebaikan”, lihat apa hasil
dari itu semua. Orang-orang berlomba mencari uang sebanyak-banyaknya dan
kehormatan setinggi-tingginya tanpa mempedulikan etika dan orang lain. Mereka
kemudian tenggelam pada perilaku korupsi, kolusi, kerja sama rahasia,
melecehkan orang lain, tidak menghargai karya orang lain, berupaya menjatuhkan
orang lain, dan lain sebagainya. Di pikiran mereka hanya ada “uang” dan “kehormatan”.
Pikiran dan tujuan “sekolah” yang hanya untuk kerja,
uang, dan kehormatan jelas membuat jauh dari ajaran kebenaran, ajaran orang-orang yang telah diberikan nikmat,
yaitu para nabi. Coba kita perhatikan apakah korupsi, kolusi, kerja sama
rahasia, bersaing secara buruk, curang, menjatuhkan orang lain, dan melecehkan
itu merupakan cerminan dari khairunnas
anfauhum linnas?
Apakah perilaku-perilaku itu merupakan perilaku yang
bermanfaat bagi orang lain?
Jelas tidak!
Penyebabnya padahal sepele, yaitu bersekolah untuk
mendapatkan uang, kedudukan, dan kehormatan.
Berbeda jauh dengan “sekolah” yang bertujuan memberikan
manfaat kepada orang lain. Ilmu yang telah didapatnya dan posisi yang telah
ditempatinya akan digunakan sebagai alat untuk memberikan manfaat kepada orang
lain dan sarana mengabdikan diri kepada Allah swt. Soal uang, materi, kekayaan,
dan harta benda akan mengikuti sendiri. Allah swt akan melengkapi kehidupan
seseorang agar seseorang itu melaksanakan tugasnya untuk memberikan manfaat
kepada manusia lainnya.
Jika menjadi dokter, dia akan berhati-hati agar tidak
merugikan pasien dan tidak akan mengambil keuntungan secara curang dari
pasiennya. Jika menjadi guru atau dosen, tidak akan memberatkan siswanya,
apalagi jualan ijazah palsu. Jika menjadi pemimpin masyarakat, ia tidak akan
menyedot harta rakyat karena hal itu membuatnya menjadi pengkhianat bagi
dirinya sendiri. Orang yang tujuannya hanya Allah swt dengan cara memberikan
manfaat kepada orang lain akan terhindar dari perilaku buruk karena jika
berperilaku buruk, sama saja dengan mencederai cita-cita sebagai orang yang
ingin memberikan manfaat bagi manusia lainnya.
Sekarang contoh lain.
Masih ingat bahwa kita tidak boleh sombong dan jika memberi
dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu?
Ajaran itu adalah ajaran para nabi.
Akan tetapi, dengan hidup menggunakan politik demokrasi,
kita dituntut menjadi orang-orang sombong yang suka menyebarluaskan
kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan. Untuk mendapatkan kedudukan dalam
proses demokrasi, jelas harus menampilkan diri dan berteriak-teriak bahwa kita
adalah paling baik dibandingkan orang lain serta merinci segala kegiatan baik
kita di hadapan orang banyak. Bahkan, adapula orang yang cuma mengarang dan
menipu masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang seolah-olah baik, padahal
palsu.
Kita menganggap bahwa demokrasi adalah baik dan benar,
tetapi lihat apa buktinya. Kita jadi gemar menuduh, suka bertengkar, rajin
korupsi, sombong, mudah stress, berupaya mencari celah dari jeratan hukum padahal
sudah jelas bersalah, kerap berdusta, ringan memfitnah, senang sekali melihat
orang lain jatuh, dan lain sebagainya.
Begitukah ciri-ciri orang yang khairunnas anfauhum linnas?
Padahal, yang namanya
jabatan itu adalah beban di dunia dan penyesalan di akhirat. Jabatan itu
sesungguhnya amanat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan diakhirat.
Kini kita sudah sangat sering melihat bahwa banyak sekali orang yang dulunya
menduduki jabatan tinggi, lalu terlempar ke penjara.
Demokrasi itu kelihatannya ajaran yang baik, tetapi
sesungguhnya mendorong orang untuk menjauh dari ajaran para nabi, ajaran orang-orang yang diberikan kenikmatan.
Bahkan, sesungguhnya hanya memancing orang untuk mengikuti jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat.
Lihat saja orang-orang yang lebih dahulu melaksanakan
demokrasi di negeri asalnya. Mereka sudah sangat sering gelisah, tak tahu hidup
untuk apa, penghormatan kepada orangtua sudah hampir musnah, seks bebas jadi
kewajaran, sering sekali memfitnah orang lain, gemar berdusta, mudah
bertengkar, tidak menghormati perempuan, gampang membunuh, grasa-grusu, meragukan eksistensi Tuhan, menjatuhkan orang lain
merupakan kebiasaan, korup, dan seabrek kemaksiatan lainnya.
Hanya
Satu Jalan
Hanya ada satu jalan dan
jalan itu sebenarnya ada di depan mata, hanya kita harus menguatkan mental dan
keinginan kita untuk melangkah pada jalan itu. Jalan itu adalah milik para nabi
yang jelas-jelas diberikan kenikmatan
oleh Allah swt.
Jalan-jalan lain yang menyimpang dan bertentangan dengan
para nabi adalah jalan yang dimurkai dan
sesat.
Sebagai seorang muslim, kita harus menampakkan bahwa kita
berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mengikuti jalan para nabi.
Kita hanya harus mengikuti jalan
orang-orang yang diberikan kenikmatan.
Jika kita ternyata menggunakan cara hidup atau jalan
hidup sebagaimana orang-orang yang
dimurkai dan sesat, lalu apa bedanya kita dengan mereka?
Kita harus menjadi cahaya dalam kehidupan dunia ini,
bukan hidup dalam kegelapan sebagaimana mereka yang tenggelam dalam kegelapan.
Begitulah seharusnya muslim bersikap dan bangga dengan hal itu karena kita pun
akan sama-sama diberikan kenikmatan oleh
Allah swt bukan kemurkaan dan
kesesatan.
Akan
tetapi, jika kita hidup berada di jalan orang-orang
yang dimurkai dan sesat, tanyalah diri kita sendiri, “Apakah kita
benar-benar muslim atau hanya seorang beridentias muslim yang senang mengikuti
jalan hidup orang-orang yang dimurkai dan
sesat?”