Monday, 8 June 2015

Jalan Lurus



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Paling tidak umat Islam berdoa tujuh belas kali dalam sehari semalam untuk mendapatkan petunjuk dari Allah swt. Kaum muslim berharap Allah swt memberinya petunjuk dalam kehidupan agar tidak salah arah, tidak salah langkah, dan tidak salah tujuan. Doa itu ada di dalam Surat Al Fatihah ayat 6:

            “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

            Jalan yang lurus itu apa, bagaimana?

            Di dunia ini banyak sekali ditawarkan jalan-jalan kehidupan yang diklaim sebagai jalan yang paling lurus, paling benar, dan paling hebat. Ada yang menawarkan agama, keyakinan tertentu, pandangan hidup, sistem pergaulan, atau sistem sosial lainnya. Jika dilihat sekilas, tawaran-tawaran itu tampak baik, hebat, masuk akal, dan patut untuk dijalani.  Akan tetapi, itu semua hanyalah khayalan, dugaan, kira-kira, pendapat, pandangan, dan pemikiran yang banyak sekali mengandung celah kesesatan.

            Dalam bahasa aslinya jalan yang lurus itu adalah shiraatal mustaqiim. Saya jadi ingat ceritera masa kecil dulu bahwa yang namanya shiraatal mustaqiim itu sangat tipis, bagaikan seutas rambut dibelah tujuh. Sesungguhnya, itu bukanlah ceritera bualan atau dongeng tanpa dasar, melainkan kondisi yang digambarkan oleh orangtua kita bahwa jalan yang lurus itu adalah sangat samar bagi kebanyakan manusia. Jika tidak diberi pandangan yang tajam dan petunjuk oleh Allah swt, kita bisa memilih dan melangkah di jalan yang sesat, tetapi kita menduganya jalan yang benar. Itulah shiraatal mustaqiim, jalan yang sering disamarkan oleh jalan-jalan syetan sehingga manusia tidak benar-benar melangkah di jalan itu. Manusia hanya menduga saja bahwa dirinya sedang melakukan hal yang benar, padahal sesungguhnya berada dalam jalan syetan.

            Bayangkan saja gambaran para orangtua kita bahwa shiraatal mustaqiim itu bagaikan seutas rambut dibelah tujuh. Seutas rambut saja sudah sangat tipis, kadang-kadang kalau terjatuh, kita tidak bisa melihatnya. Apalagi kalau rambut yang sudah tipis itu dibelah tujuh, semakin tidak terlihat. Kalau ingin melihatnya, terpaksa kita harus menggunakan alat yang mampu membuat benda tipis dan kecil tampak ribuan kali lipat besarnya. Biasanya alat itu disebut mikroskop.

            Nah, begitulah shiraatal mustaqiim yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang telah ditajamkan matanya, dicerahkan pikirannya, dibeningkan hatinya, diluaskan pandangannya, dan disucikan perilakunya oleh Allah swt. Kepada merekalah sebenarnya umat Islam harus menuju, belajar, meminta pandangan, dan berharap nasihat agar tak salah langkah dan tak salah arah.

            Tak heran jika pada masa ini banyak sekali manusia yang gelisah, bingung, mudah marah, mudah sedih, grasa-grusu, sering cemas, gemar bertengkar, gampang memfitnah, enteng berbohong, ketakutan terhadap masa depan, kehilangan wibawa dan harga diri, dan berbagai kekusutan lainnya. Padahal, mereka sudah merasa seolah-olah melakukan hal yang benar, menjalankan ritual agama dengan baik, mengeluarkan uang untuk orang lain, dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan kebanyakan manusia hanya menduga telah berjalan pada jalan yang lurus, padahal sesungguhnya sedang terjerembab dalam kesesatan.

            Jadi, bagaimana dan apa sesungguhnya jalan yang lurus itu?

            Allah swt sudah sedikit memberikan dorongan berupa penjelasan mengenai jalan lurus itu. Yang dimaksud Allah swt sebagai jalan yang lurus adalah sebagaimana dalam firman-Nya pada Surat Al Fatihah ayat 7:

            “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

            Jelas, kan?

            Meskipun sudah jelas, agar kita lebih mudah untuk melaksanakannya dan agar kita tidak salah, harus dipilah dulu mana jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat  serta jalan mereka yang dimurkai dan sesat. Jika kita tidak memilah-milah dulu, kita bakalan terjerumus dengan mencampurkan antara kebaikan dan kesesatan.   

Ada dua jalan yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu jalan orang-orang yang diberi kenikmatan yang harus kita ikuti serta jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat yang harus kita hindari.

            Siapa saja orang-orang yang telah diberi kenikmatan tersebut?

            Siapa saja orang-orang yang dimurkai dan sesat itu?

            Orang-orang yang telah diberi kenikmatan tentu saja para nabi dan orang-orang yang mengikuti para nabi tersebut secara utuh dan terlepas dari dorongan hawa nafsunya sendiri yang rendah.

            Nabi yang mana?

            Ya para nabi yang sudah disebutkan Allah swt dalam Al Quran. Bukan orang-orang yang mengaku-aku nabi setelah kenabian ditutup oleh Muhammad Rasulullaah saw.

            Terus, siapa saja orang-orang yang dimurkai dan sesat itu?

            Mereka adalah orang-orang yang merendahkan ajaran para nabi, menyingkirkan ajaran nabi hanya untuk upacara keagamaan, mengampanyekan bahwa pikiran manusia lebih hebat, menuding bahwa ajaran para nabi sudah tidak lagi bisa dilaksanakan pada masa ini, membanggakan hasil pikirannya sendiri, tidak menyentuh ajaran para nabi, dan atau membanggakan diri sebagai pengikut orang-orang yang sudah sesat.

            Lihat bagaimana sudah sangat tersesatnya kita!

            Jika kita sekolah atau menyekolahkan anak, apa tujuannya?

            Sebagian besar dari kita berharap agar kita dan atau anak kita mendapatkan pekerjaan yang baik, bergaji besar, dan terhormat!

            Benar kan?

           
Saya tanya nabi siapa yang mengajarkan hal seperti itu?

            Tidak ada!

            Itu adalah ajaran para syetan kapitalis yang berasal dari luar negeri.

            Para nabi mengajarkan bahwa kita memang wajib menuntut ilmu adalah agar kita dapat lebih baik lagi mengabdikan diri kepada Allah swt dan bermanfaat bagi manusia lain dan lingkungan sekitar kita. Khairunnas anfauhum linnas, ‘sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya’.

            Karena kita sudah tersesat dengan pikiran-pikiran sesat, tetapi kita menganggapnya sebagai “kebenaran dan kebaikan”, lihat apa hasil dari itu semua. Orang-orang berlomba mencari uang sebanyak-banyaknya dan kehormatan setinggi-tingginya tanpa mempedulikan etika dan orang lain. Mereka kemudian tenggelam pada perilaku korupsi, kolusi, kerja sama rahasia, melecehkan orang lain, tidak menghargai karya orang lain, berupaya menjatuhkan orang lain, dan lain sebagainya. Di pikiran mereka hanya ada “uang” dan “kehormatan”.

            Pikiran dan tujuan “sekolah” yang hanya untuk kerja, uang, dan kehormatan jelas membuat jauh dari ajaran kebenaran, ajaran orang-orang yang telah diberikan nikmat, yaitu para nabi. Coba kita perhatikan apakah korupsi, kolusi, kerja sama rahasia, bersaing secara buruk, curang, menjatuhkan orang lain, dan melecehkan itu merupakan cerminan dari khairunnas anfauhum linnas?

            Apakah perilaku-perilaku itu merupakan perilaku yang bermanfaat bagi orang lain?

            Jelas tidak!

            Penyebabnya padahal sepele, yaitu bersekolah untuk mendapatkan uang, kedudukan, dan kehormatan.

            Berbeda jauh dengan “sekolah” yang bertujuan memberikan manfaat kepada orang lain. Ilmu yang telah didapatnya dan posisi yang telah ditempatinya akan digunakan sebagai alat untuk memberikan manfaat kepada orang lain dan sarana mengabdikan diri kepada Allah swt. Soal uang, materi, kekayaan, dan harta benda akan mengikuti sendiri. Allah swt akan melengkapi kehidupan seseorang agar seseorang itu melaksanakan tugasnya untuk memberikan manfaat kepada manusia lainnya.

            Jika menjadi dokter, dia akan berhati-hati agar tidak merugikan pasien dan tidak akan mengambil keuntungan secara curang dari pasiennya. Jika menjadi guru atau dosen, tidak akan memberatkan siswanya, apalagi jualan ijazah palsu. Jika menjadi pemimpin masyarakat, ia tidak akan menyedot harta rakyat karena hal itu membuatnya menjadi pengkhianat bagi dirinya sendiri. Orang yang tujuannya hanya Allah swt dengan cara memberikan manfaat kepada orang lain akan terhindar dari perilaku buruk karena jika berperilaku buruk, sama saja dengan mencederai cita-cita sebagai orang yang ingin memberikan manfaat bagi manusia lainnya.

            Sekarang contoh lain.

            Masih ingat bahwa kita tidak boleh sombong dan jika memberi dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu?

            Ajaran itu adalah ajaran para nabi.

            Akan tetapi, dengan hidup menggunakan politik demokrasi, kita dituntut menjadi orang-orang sombong yang suka menyebarluaskan kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan. Untuk mendapatkan kedudukan dalam proses demokrasi, jelas harus menampilkan diri dan berteriak-teriak bahwa kita adalah paling baik dibandingkan orang lain serta merinci segala kegiatan baik kita di hadapan orang banyak. Bahkan, adapula orang yang cuma mengarang dan menipu masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang seolah-olah baik, padahal palsu.

            Kita menganggap bahwa demokrasi adalah baik dan benar, tetapi lihat apa buktinya. Kita jadi gemar menuduh, suka bertengkar, rajin korupsi, sombong, mudah stress, berupaya mencari celah dari jeratan hukum padahal sudah jelas bersalah, kerap berdusta, ringan memfitnah, senang sekali melihat orang lain jatuh, dan lain sebagainya.

            Begitukah ciri-ciri orang yang khairunnas anfauhum linnas?

            Padahal, yang namanya jabatan itu adalah beban di dunia dan penyesalan di akhirat. Jabatan itu sesungguhnya amanat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan diakhirat. Kini kita sudah sangat sering melihat bahwa banyak sekali orang yang dulunya menduduki jabatan tinggi, lalu terlempar ke penjara.

            Demokrasi itu kelihatannya ajaran yang baik, tetapi sesungguhnya mendorong orang untuk menjauh dari ajaran para nabi, ajaran orang-orang yang diberikan kenikmatan. Bahkan, sesungguhnya hanya memancing orang untuk mengikuti jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat.

            Lihat saja orang-orang yang lebih dahulu melaksanakan demokrasi di negeri asalnya. Mereka sudah sangat sering gelisah, tak tahu hidup untuk apa, penghormatan kepada orangtua sudah hampir musnah, seks bebas jadi kewajaran, sering sekali memfitnah orang lain, gemar berdusta, mudah bertengkar, tidak menghormati perempuan, gampang membunuh, grasa-grusu, meragukan eksistensi Tuhan, menjatuhkan orang lain merupakan kebiasaan, korup, dan seabrek kemaksiatan lainnya.


Hanya Satu Jalan

Hanya ada satu jalan dan jalan itu sebenarnya ada di depan mata, hanya kita harus menguatkan mental dan keinginan kita untuk melangkah pada jalan itu. Jalan itu adalah milik para nabi yang jelas-jelas diberikan kenikmatan oleh Allah swt.

            Jalan-jalan lain yang menyimpang dan bertentangan dengan para nabi adalah jalan yang dimurkai dan sesat.

            Sebagai seorang muslim, kita harus menampakkan bahwa kita berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mengikuti jalan para nabi. Kita hanya harus mengikuti jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan.

            Jika kita ternyata menggunakan cara hidup atau jalan hidup sebagaimana orang-orang yang dimurkai dan sesat, lalu apa bedanya kita dengan mereka?

            Kita harus menjadi cahaya dalam kehidupan dunia ini, bukan hidup dalam kegelapan sebagaimana mereka yang tenggelam dalam kegelapan. Begitulah seharusnya muslim bersikap dan bangga dengan hal itu karena kita pun akan sama-sama diberikan kenikmatan oleh Allah swt bukan kemurkaan dan kesesatan.
 
Akan tetapi, jika kita hidup berada di jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat, tanyalah diri kita sendiri, “Apakah kita benar-benar muslim atau hanya seorang beridentias muslim yang senang mengikuti jalan hidup orang-orang yang dimurkai dan sesat?”

No comments:

Post a Comment