Thursday 4 June 2015

Berguru Shalat Khusyuk pada Borobudur



oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Shalat khusyuk adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam yang selalu diulang-ulang diingatkan oleh para ustadz, mubaligh, dai, penceramah, dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan kekhusyukan shalat sangat mempengaruhi diterima-tidaknya shalat kita dan atau nilai dari shalat kita. 

            Kita sangat khawatir jika shalat kita hanya dinilai oleh Allah swt sebatas tepukan dan siulan belaka. Teramat rugilah kita melakukan shalat yang dinilai sangat rendah apalagi tidak bernilai sama sekali.

            Untuk mencapai shalat khusyuk, beragam cara yang dilakukan orang. Kita sering berlatih, mencoba mempraktikan isi ceramah para penceramah tentang shalat, mempelajari buku-buku tentang shalat, mengikuti cara-cara shalat orang yang kita hormati, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sampai saat ini banyak orang yang bertanya-tanya tentang bagaimana shalat yang khusyuk tersebut dan banyak yang mengakui bahwa dirinya sama sekali tidak bisa khusyuk dalam shalat meskipun sudah berusaha keras, bahkan teramat keras dan meletihkan. Akhirnya, banyak yang menyerahkan segala upaya itu kepada Allah swt dalam arti mereka menyerah pada kondisi shalat yang terbiasa mereka lakukan tidak khusyuk tersebut.

            Sungguh saya yakin, bukan hanya orang biasa yang kesulitan untuk melaksanakan shalat khusyuk, melainkan pula para penceramah, ustadz, mubaligh, dai, bahkan para penulis buku tentang shalat khusyuk pun masih berjuang berusaha keras setiap shalat agar benar-benar khusyuk sebagaimana yang diinginkan Allah swt. Saya pun sama berupaya menggunakan beragam cara untuk melaksanakan shalat secara khusyuk. Saya juga mereka-reka cara agar mencapai keadaan khusyuk tersebut. Hal itu benar-benar menyulitkan karena kita tidak menemukan kekhusyukan tersebut. Benar-benar susah dan sulit bukan main. Kita seolah-olah tersesat, kemudian menyerahkan upaya kita yang ala kadarnya itu kepada Allah swt.

            Akan tetapi, tidak perlu khawatir karena Allah swt itu Mahaadil, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Allah swt akan menilai upaya kita seberapa pun upaya itu kita lakukan. Kita tetap akan mendapatkan pahala dari Allah swt sebagai hasil dari upaya kita untuk melaksanakan shalat khusyuk tersebut. Mereka yang tidak mendapatkan pahala adalah yang tidak berupaya untuk khusyuk dan shalat seenaknya sendiri. Malahan, orang-orang dari jenis ini kemungkinan akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Bayangkan, orang yang shalat saja masih mendapatkan ancaman siksaan, apalagi yang tidak melaksanakan shalat. Oleh sebab itu, shalat khusyuk itu sangat penting dan berupaya keras untuk shalat secara khusyuk pun sangat penting.


Terpana Penjelasan Borobudur

Beragam buku dan penjelasan para ahli yang saya terima dan praktikan, ternyata belum mengantarkan saya untuk shalat khusyuk, kecuali sedikit. Memang ada manfaat yang saya terima dari itu semua, tetapi hanya mendorong saya untuk sedikit meningkat dalam kekhusyukan.

            Pemahaman dan pengetahuan saya bertambah sangat drastis justru setelah saya memperhatikan penjelasan kisah hidup Sang Buddha yang tergambar dalam Candi Borobudur. Kemudian, saya cermati sendiri bangunan candi itu dan saya menemukan keajaiban yang luar biasa, yaitu panduan shalat khusyuk.

            Sewaktu masih menjadi wartawan sebuah majalah kepemudaan, saya diajak untuk menemani rombongan Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Provinsi Jawa Barat dalam rangka kunjungan kerja ke Candi Borobudur. Mereka mengajak saya karena perlu publikasi mengenai kunjungan tersebut sekaligus laporan kepada masyarakat tentang hal-hal yang mereka kerjakan dalam meningkatkan kualitas generasi muda melalui gerakan Pramuka. 

            Ketika sampai di lokasi, kami dipersilakan memasuki ruangan yang sejuk dan sudah dilengkapi dengan proyektor. Di sana kami mendapatkan penjelasan yang cukup lengkap mengenai Borobudur berikut arti-arti dalam setiap relief yang tergambar pada setiap tingkat di Candi Borobudur. Juru penerang di sana menerangkan bahwa relief-relief tersebut menggambarkan kehidupan Sang Buddha. 

Saya sungguh terpana dengan penjelasan-penjelasan tersebut. Akan tetapi, saya mendapatkan pengetahuan lain dari yang lain. Bagi saya, penjelasan kisah Sang Buddha tersebut merupakan pelajaran bagaimana cara shalat secara khusyuk. Tentunya, bukan tentang tatacara shalat dari awal sampai dengan akhir yang dimulai dengan takbir  dan diakhiri dengan salam, melainkan cara mengondisikan jiwa dan spiritual kita agar mendapatkan kekhusyukan yang paripurna.

Jujur saja, saya tidak berani bilang sama siapa-siapa soal itu karena bisa timbul fitnah dari orang yang tidak berpengetahuan. Saya khawatir akan ada reaksi bodoh dari orang banyak jika saya mengatakan bahwa Buddha Sidharta Gautama telah mengajarkan shalat khusyuk.

Saya sangat khawatir ada orang bilang, “Masa orang Islam belajar shalat sama Buddha?”

Oleh sebab itu, pengetahuan itu untuk saya sendiri saja. Sejak itu pun saya mulai mempraktikan ajaran dari Borobudur ketika saya melaksanakan shalat. Hasilnya, luar biasa, amazing. Tingkat kekhusyukan dalam shalat benar-benar bertambah sangat hebat jika mempraktikan apa yang tergambar dalam relief-relief di Borobudur. Demi Allah swt. Akan tetapi, jika saya lupa melakukannya, kondisi shalat saya ya menurun lagi seperti biasa.

Kehebatan ajaran Borobudur bukan saja membuat shalat kita menjadi lebih khusyuk dari awal sampai akhir, melainkan pula membuat pengaruh yang dahsyat terhadap diri pribadi, bahkan resonansinya mempengaruhi secara positif lingkungan di sekitar kita. Itu apabila kita melakukannya dengan konsisten. Jika tidak, ya turun lagi seperti biasa dan kita tidak pernah benar-benar mendapatkan kenikmatan dari shalat kita serta lingkungan sekitar kita pun biasa-biasa saja. 


Mulai Berani Berdiskusi

Seperti saya bilang, saya hanya sendirian memahami ajaran shalat dari Borobudur dan mempraktikkannya karena khawatir akan ada fitnah atau saya disebut bidah. Maklum, orang kita itu mudah sekali menuding ini-itu sebagai bidah hanya karena belum paham hal tersebut. Akan tetapi, setelah menyaksikan ceramah Quraish Shihab, penyusun tafsir Al Misbah, yang ditayangkan di Metro TV, saya merasa lebih tenang. Hal itu disebabkan ia mengutip pendapat seorang ahli tafsir bahwa Buddha Sidharta Gautama itu adalah nabi. Saya jadi merasa tidak salah jika mempraktikan apa yang diajarkan dalam relief Candi Borobudur dalam setiap shalat, toh Buddha itu adalah nabi. Artinya, saya sama sekali tidak salah belajar shalat dari salah seorang nabi Allah swt.

            Pendapat ahlil tafsir yang dikutip Quraish Shihab itu didasarkan pada firman Allah swt, “Demi pohon Tiin dan pohon Zaitun”.
 
Menurutnya, sampai saat ini yang disebut pohon Tin itu tidak pernah ada secara nyata. Memang susah kita menunjukkan pohon Tin itu ada di mana. Ahli tafsir itu mengatakan bahwa pohon Tin itu adalah pohon Bodi tempat Buddha Sidharta Gautama melakukan meditasi. Begitulah dalilnya.

            Quraish Shihab menjelaskan bahwa siapa pun yang mempercayai Buddha adalah nabi, memiliki dalil. Akan tetapi, siapa pun yang tidak mempercayai Buddha adalah nabi, tidak berdosa karena nama Buddha tidak disebutkan Allah swt secara jelas dalam Al Quran sebagaimana para nabi yang berjumlah 25 itu.

            Penjelasan Quraish Shihab itu bukan saja membuat saya tenang, melainkan pula membuat saya menjadi lebih berani untuk berdiskusi dengan orang lain. Saya memulainya berdiskusi  dengan adik saya dan ibu saya. Mereka pun tertarik, malahan ingin melihatnya sendiri di Candi Borobudur.


Meragukan Kenabian Buddha Sidartha Gautama

Saya termasuk orang yang percaya bahwa Buddha itu nabi berdasarkan penjelasan Quraish Shihab. Akan tetapi, ketika saya diminta menemani seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Mewakili Provinsi Jawa Barat Prof. Dr. H. Mohamad Surya dalam melakukan kunjungan kerja, keyakinan terhadap Buddha itu adalah nabi mulai goyah. 

Saat itu saya diminta menemani kunjungan kerja ke daerah Kadipaten, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Tepatnya, kunjungan kerja ke sebuah Sekolah Menengah Atas. Sekolah itu memiliki taman di tengah-tengahnya yang ditumbuhi berbagai tanaman. Mata saya tertuju pada sebuah pohon rindang yang agak aneh karena saya belum pernah melihatnya sebelumnya.

Saya tanya kepada salah seorang guru yang kebetulan berdiri di dekat saya, “Pohon apa itu, Pak?”

Sang Guru yang juga penduduk di sana menjawab tegas, “Pohon Tin.”

Jawaban itu membuat saya kaget karena setahu saya ada ahli tafsir yang mengatakan bahwa pohon Tin itu tidak ada atau pohon Tin itu adalah pohon Bodi tempat Buddha meditasi.

Ketika saya berada dalam keadaan kaget, Sang Guru itu kembali menegaskan, “Iya itu benar pohon Tin.”

Dari sorot mata dan penjelasannya, ia tampaknya ingin meyakinkan saya bahwa itu benar-benar pohon Tin yang dijadikan Allah swt sebagai sumpah dalam Al Quran.

“Nih, ini buahnya, bisa dimakan,” kata Guru itu lagi sambil mengambil salah satu buahnya, lalu memecahkannya, tetapi tidak sampai dia makan.

Saya benar-benar heran dan ingin mengetahui lebih jauh tentang pohon itu, tetapi sayang, saya kemudian harus segera melanjutkan perjalanan ke tempat lain menemani Prof. Surya. Jadi, saya tidak terlalu jauh memahami tentang pohon Tin.

Karena penjelasan guru tersebut, saya jadi ragu tentang Buddha itu adalah nabi. Hal itu disebabkan dalil Buddha adalah nabi adalah sumpah Allah swt dengan menggunakan pohon Tin. Seorang ahli tafsir mengatakan bahwa pohon itu tidak ada, tetapi merupakan nama lain dari pohon Bodi tempat Buddha meditasi. Akan tetapi, sekarang saya menemukan bahwa pohon Tin itu ada di Kadipaten, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Dengan demikian, otomatis bahwa pohon Tin itu bukanlah pohon Bodi. Pohon Tin itu ada secara nyata sendiri dan bukan nama lain dari pohon Bodi. Hal itu pun membuat dalil Buddha adalah nabi menjadi gugur.

Kalaupun Buddha tetap diyakini sebagai nabi, dalilnya bukanlah pohon Tin, tetapi harus ada dalil lain. Paling tidak, ada sebuah artikel yang ditulis Tamim Pardede berjudul Nabi Idris as adalah Sidharta Buddha Gautama. Dalam tulisannya, ia membandingkan kesamaan antara Nabi Idris as dengan Buddha. Ia menduga sangat keras bahwa Buddha itu adalah Nabi Idris as.

Bagi saya, sekarang tidak penting apakah Buddha itu nabi atau bukan. Toh, baik percaya atau tidak Buddha sebagai nabi, tidak berdosa, bukan?

Akan tetapi, tetap saya meyakini bahwa relief-relief di Candi Borobudur itu mengajarkan shalat secara khusyuk karena saya pernah melakukannya. Hal yang membuat saya bertambah yakin adalah hasil penelitian K.H. Fahmi Basya, ahli Matematika Islam, yang menyatakan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman as dalam hubungannya dengan Ratu Balqis. Hasil penelitian itu menjadikan saya tambah tenang dan yakin bahwa Allah swt mengajari umat Islam melaksanakan shalat khusyuk melalui relief-relief di Candi Borobudur.


Pelajaran dari Relief

Borobudur itu memiliki sepuluh tingkat. Sepuluh itu terdiri dari angka 1 dan 0. Jika kita jumlahkan, 1 + 0 = 1. Artinya, Allah swt itu esa. Setiap tingkatan itu mengandung ajaran tingkat kekhusyukan secara bertahap. Mulai dari kekhusyukan terendah sampai dengan kekhusyukan yang tertinggi.

            Jika kita mau mempelajari lebih detail pada setiap tingkatan itu, akan lebih mantap kita dalam melaksanakan shalat dan menjadi pribadi-pribadi unik yang merupakan cerminan dari kekhusyukan ibadat kepada Allah swt, baik mahdah maupun ghairu mahdah. Akan tetapi, kali ini akan saya paparkan tingkatan-tingkatan kekhusyukan dalam Candi Borobudur yang dapat saya ingat dengan cara merangkumnya. Tentu saja, masih banyak yang tidak saya ingat, tetapi apa yang saya ingat cukup menjadi trigger agar kita dapat melaksanakan shalat lebih khusyuk dan mau bersedia mempelajari Borobudur dengan lebih detail.

            Di kaki Borobudur dindingnya dipenuhi dengan relief tentang hiruk pikuknya kehidupan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Manusia yang digambarkan di sana sangat terikat oleh kehidupan manusia dengan sifat-sifatnya yang materialistis. Di sana ada persaingan, pertengkaran, kegelisahan, kebingungan, kesakitan, kecurangan, kerja sama licik, keuntungan bisnis semu, kerugian materi, kekayaan, kemiskinan, pemujaan terhadap seksual, dan lain sebagainya. Nafsu-nafsu manusia pada bagian ini tidak berbeda dengan hewan, yaitu hanya terfokus pada kesenangan hidup, perjuangan, konflik, seks, dan makan. Oleh sebab itu, kehidupan ini dikategorikan kehidupan palilng rendah dari seluruh tingkatan kehidupan manusia yang diciptakan Allah swt. Relief-relief ini pun memang berada pada kaki Borobudur, tahapan yang paling rendah.

            Manusia-manusia pada tingkatan ini sering sekali lupa shalat, malahan menyepelekan shalat, parahnya menghina shalat sebagai tindakan sia-sia dan tak berguna. Kalaupun dia shalat, shalatnya hanya ikut-ikutan atau sekedar olah badan karena pikiran dan nafsunya sangat dikuasai oleh dunia, materi, dan seks.

            Jika kita ingin melakukan shalat dengan lebih khusyuk, kita harus berusaha keras melangkahkan kaki ke arah kehidupan yang lebih tinggi sebagaimana dalam relief Borobudur pada tingkat berikutnya. Pada tingkat ini manusia sudah melakukan upaya melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap dunia. Kondisi jiwanya mulai terlepas dari kehidupan materi. Akan tetapi, dia masih belum mampu menghapus dunia dari dirinya. Jadi, dia masih terikat juga, tetapi keterikatan itu sudah mulai berkurang. Ia sudah mau shalat lebih baik lagi, tetapi pikirannya masih terganggu oleh kecemasan, kekhawatiran, dan angan-angan kegembiraan duniawi. Hal ini bisa dilihat dari relief yang menggambarkan manusia dengan kehidupan duniawi yang mulai berkurang atau jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan kehidupan duniawi seperti yang digambarkan pada relief di kaki candi.

            Apabila hendak mencapai kekhusyukan yang lebih tinggi, kita harus berupaya lebih keras lagi melangkah pada tingkat kehidupan berikutnya, sebagaimana relief pada tingkat yang lebih tinggi. Pada bagian ini manusia mulai terpengaruh oleh shalatnya sendiri. Dirinya mulai berperilaku lebih baik, bijaksana, pikirannya sudah lebih dewasa dibandingkan sebelumnya, dan lingkungannya mulai berubah. Ia sudah bergaul dengan orang-orang shaleh, bijak, adil, dan para pemikir. Hal ini bisa dilihat dari adanya relief-relief yang menggambarkan orang-orang tua dan para pemikir. Di samping itu, dalam dirinya sudah tumbuh rasa cinta terhadap manusia, binatang, alam, dan lingkungan sekitarnya sebagaimana yang tergambar dalam relief. Semakin terlepasnya dia dari pengaruh duniawi dan hidup berada dalam lingkungan positif, membuat shalatnya lebih khusyuk dan berkualitas.

            Pada tingkat berikutnya, untuk lebih menyempurnakan lagi pengabdiannya kepada Allah swt, ia memerlukan banyak pengetahuan. Pada tahapan ini orang yang menginginkan shalatnya lebih khusyuk agar lebih bermanfaat kepada dunia dan lebih dekat kepada Allah swt berupaya untuk menambah ilmu pengetahuan. Ia sadar bahwa dirinya masih sangat bodoh dan perlu untuk belajar. Oleh sebab itu, pada relief digambarkan orang yang berusaha belajar, melakukan perjalanan untuk mendapatkan ilmu, berguru kepada orang yang lebih pandai. Dengan pengetahuan dan pengalamannya yang terus bertambah, keimanannya secara otomatis bertambah pula. Dengan demikian, ia menjadi lebih sadar tentang pentingnya mendekatkan diri kepada Allah swt dan perlunya untuk selalu bergantung kepada Allah swt. Hal itu membuat shalatnya semakin khusyuk dan fokus.

            Pada tingkat berikutnya kita melihat ada stupa-stupa yang di dalamnya ada orang bersila dalam keadaan hening berkonsentrasi. Hal ini menggambarkan bahwa upayanya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, lingkungan hidup yang sangat positif, dan berbagai pengetahuan yang telah dikuasainya membuatnya lebih tenang, lebih arif, lebih cerdas, dan lebih luas pandangannya. Shalatnya pun jelas lebih khusyuk. Hal itu bisa dilihat bahwa di atas stupa tersebut ada sebentuk antenna yang melambangkan hubungan yang sudah terjalin dengan lebih baik bersama Allah swt. Akan tetapi, ia masih mendapatkan godaan-godaan yang sangat banyak. Ia masih mendapatkan serangan-serangan duniawi. Ia memang sudah lama meninggalkan keburukan-keburukan duniawi, tetapi godaan dalam posisinya ini masih sangat banyak. Orang dalam tingkat seperti ini sudah menjadi panutan masyarakat dan benar-benar mendapatkan pencerahan dari Allah swt. Oleh sebab itu, banyak orang yang mendatanginya untuk meminta nasihat dan petunjuk untuk menyelesaikan banyak masalah. Tak heran jika banyak yang datang untuk menjadikannya sebagai bumper kepentingan-kepentingan politik, bisnis, ekonomi, bahkan pendidikan. Ia diminta fatwanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Ini semua adalah godaan duniawi juga. Hal itu bisa dilihat dari bentuk stupa yang memiliki lubang-lubang berbentuk persegi tempe. Lubang-lubang tersebut menandakan orang dalam tingkat kebaikan dan kekhusyukan seperti ini masih bisa digoda dan juga bisa tergoda, lalu jatuh. Stupa-stupa itu menandakan bahwa dirinya sudah sangat kuat menahan keterikatan terhadap nafsu-nafus hewani, tetapi lubangnya masih terbuka dalam arti masih sangat banyak godaan yang datang kepadanya.

            Godaan-godaan itu bisa berhasil menjatuhkan benteng-benteng keimanan seseorang dan itu digambarkan dalam sebuah patung yang bersila di seputar stupa, tetapi dia sendiri tidak berada dalam lindungan stupa. Godaan yang datang membuatnya kehilangan benteng yang sekaligus kehilangan hubungan mesra dengan Allah swt karena tanpa stupa, berarti tanpa antena. Ia terbius oleh kehormatan, sanjungan, dan pujian sehingga pelindungnya copot meskipun tidak menjatuhkan dirinya ke tingkat yang sangat rendah seperti pada relief di kaki candi. Ia tetap terhormat, tetapi kembali pada nafsunya sendiri. Ia sudah tidak berjudi, mabuk, curang, dan ecek-ecek lainnya, tetapi ia bergerak karena gila hormat dan senang dipuji. Nafsunya sendiri yang menjadi acuan karena petunjuk dari Allah swt yang berupa antenna telah hilang bersama stupa pembenteng diri.

            Apabila ingin hidup lebih baik lagi dan lebih khusyuk lagi, setelah berada dalam stupa berlubang persegi tempe itu, harus meningkatkan lagi pertahanan dirinya. Ia harus berusaha maksimal untuk menghindari pujian terhadap dirinya, menghindari orang-orang yang berusaha menghormatinya dengan niat busuk, serta tidak membiarkan dirinya terjebak dalam rasa agung terhadap dirinya. Ia harus sadar bahwa ia sedang mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung, Allah swt. Semua bentuk pujian, kehormatan, serta rasa kagum terhadap diri harus dilawan.

            Orang yang sudah lebih tinggi tingkat kekhusyukannya dan berada dalam benteng yang lebih kuat bisa diperhatikan ada dalam tingkatan Borobudur yang lebih tinggi lagi. Orang ini berada dalam stupa berantena, tetapi stupanya masih memiliki lubang-lubang berbentuk bujur sangkar. Artinya, godaan-godaan tetap datang, tetapi dia sudah bisa menolaknya sehingga godaan itu sudah tidak lagi seramai kepada orang yang berada dalam stupa berlubang berbentuk persegi tempe. Godaan yang datang jauh lebih sedikit dan dia sendiri sudah mampu mengenyahkan semuanya meskipun dalam hatinya keinginan untuk menikmati godaan-godaan itu masih besar. 

            Siapa yang tidak ingin menjadi pemimpin terhormat, kaya, dan sholeh?

            Akan tetapi, itu semua adalah godaan yang bisa menghambat dirinya menuju kebahagiaan hakiki bersama Allah swt.

            Apabila ia konstan, fokus, dan terus berjuang untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, insyaallah, dirinya benar-benar dimasukkan Allah swt ke derajat yang tertinggi dibandingkan manusia-manusia lainnya. Ia hidupnya sudah melebur dengan Allah swt. Kondisi kekhusyukan tingkat paling tinggi ini disimbolkan dengan stupa tertinggi di Candi Borobudur. Ia benar-benar melebur dengan Allah swt karena berada dalam stupa yang tertutup sempurna, tak ada lagi godaan yang mampu mendatanginya karena ia pun sudah tidak peduli lagi terhadap dunia dan seisinya, bahkan terhadap surga sekalipun. Tujuannya hanya satu, yaitu Allah swt. Di dalam pikiran dan hatinya sudah tak ada lagi yang menjadi beban baginya. Pikiran dan hatinya hanya terfokus kepada Allah swt. Kerugian dunia tidak akan membuatnya sedih dan kecewa. Kenikmatan dunia tidak akan membuatnya bergembira ria berlebihan. Kesedihan, kekurangan, bencana, keberuntungan, dan kenikmatan sudah tidak lagi berpengaruh pada dirinya. Ia menjadi pribadi tegar, suci, penuh hikmah, dan selalu berada dalam “Ketuhanan”. Ia menjadi poros dunia. Segala kata-katanya penuh tuah dan ampuh. Siapa pun yang membantahnya akan berhadapan dengan Allah swt secara langsung. Allah swt selalu bersamanya. Seluruh tubuhnya sudah menjadi media bagi Allah swt untuk menegakkan kebenaran dan menyampaikan kesucian. Sahabatnya adalah sahabat Allah swt. Musuhnya adalah musuh Allah swt.

            Itulah puncak kekhusyukan, stupa berantena tertinggi tanpa lubang sedikit pun.

            Demikianlah pelajaran shalat khusyuk yang saya dapatkan dari Candi Borobudur. Jadi, antara kehidupan nyata dengan shalat adalah saling mempengaruhi. Kebaikan hidup dan kekhusyukan shalat adalah berbanding lurus. Shalat dan hidup akan selalu sama menentukan kualitas setiap diri. Tidak akan pernah ada orang yang shalatnya khusyuk, tetapi hidupnya tidak baik. Begitu juga sebaliknya. Shalat dan hidup adalah cermin yang saling berhadapan. Satu pihak menggambarkan pihak lainnya dan selalu sama.

Mudah-mudahan Allah swt memberikan kita semua kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan shalat lebih khusyuk dan hidup yang lebih baik lagi di dunia, kemudian di akhirat.

            Amin

No comments:

Post a Comment