oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Shalat khusyuk adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam yang selalu
diulang-ulang diingatkan oleh para ustadz, mubaligh, dai, penceramah, dan lain
sebagainya. Hal itu disebabkan kekhusyukan shalat sangat mempengaruhi
diterima-tidaknya shalat kita dan atau nilai dari shalat kita.
Kita sangat khawatir jika shalat kita hanya dinilai oleh
Allah swt sebatas tepukan dan siulan
belaka. Teramat rugilah kita melakukan shalat yang dinilai sangat rendah
apalagi tidak bernilai sama sekali.
Untuk mencapai shalat khusyuk, beragam cara yang
dilakukan orang. Kita sering berlatih, mencoba mempraktikan isi ceramah para
penceramah tentang shalat, mempelajari buku-buku tentang shalat, mengikuti
cara-cara shalat orang yang kita hormati, dan lain sebagainya. Akan tetapi,
sampai saat ini banyak orang yang bertanya-tanya tentang bagaimana shalat yang
khusyuk tersebut dan banyak yang mengakui bahwa dirinya sama sekali tidak bisa
khusyuk dalam shalat meskipun sudah berusaha keras, bahkan teramat keras dan
meletihkan. Akhirnya, banyak yang menyerahkan segala upaya itu kepada Allah swt
dalam arti mereka menyerah pada kondisi shalat yang terbiasa mereka lakukan
tidak khusyuk tersebut.
Sungguh saya yakin, bukan hanya orang biasa yang
kesulitan untuk melaksanakan shalat khusyuk, melainkan pula para penceramah,
ustadz, mubaligh, dai, bahkan para penulis buku tentang shalat khusyuk pun
masih berjuang berusaha keras setiap shalat agar benar-benar khusyuk
sebagaimana yang diinginkan Allah swt. Saya pun sama berupaya menggunakan
beragam cara untuk melaksanakan shalat secara khusyuk. Saya juga mereka-reka
cara agar mencapai keadaan khusyuk tersebut. Hal itu benar-benar menyulitkan
karena kita tidak menemukan kekhusyukan tersebut. Benar-benar susah dan sulit
bukan main. Kita seolah-olah tersesat, kemudian menyerahkan upaya kita yang ala
kadarnya itu kepada Allah swt.
Akan tetapi, tidak perlu khawatir karena Allah swt itu
Mahaadil, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Allah swt akan menilai upaya kita
seberapa pun upaya itu kita lakukan. Kita tetap akan mendapatkan pahala dari Allah
swt sebagai hasil dari upaya kita untuk melaksanakan shalat khusyuk tersebut.
Mereka yang tidak mendapatkan pahala adalah yang tidak berupaya untuk khusyuk
dan shalat seenaknya sendiri. Malahan, orang-orang dari jenis ini kemungkinan
akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Bayangkan, orang yang shalat saja
masih mendapatkan ancaman siksaan, apalagi yang tidak melaksanakan shalat. Oleh
sebab itu, shalat khusyuk itu sangat penting dan berupaya keras untuk shalat
secara khusyuk pun sangat penting.
Terpana
Penjelasan Borobudur
Beragam buku dan penjelasan
para ahli yang saya terima dan praktikan, ternyata belum mengantarkan saya
untuk shalat khusyuk, kecuali sedikit. Memang ada manfaat yang saya terima dari
itu semua, tetapi hanya mendorong saya untuk sedikit meningkat dalam
kekhusyukan.
Pemahaman dan pengetahuan saya bertambah sangat drastis justru
setelah saya memperhatikan penjelasan kisah hidup Sang Buddha yang tergambar dalam
Candi Borobudur. Kemudian, saya cermati sendiri bangunan candi itu dan saya
menemukan keajaiban yang luar biasa, yaitu panduan
shalat khusyuk.
Sewaktu masih menjadi wartawan sebuah majalah kepemudaan,
saya diajak untuk menemani rombongan Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Provinsi
Jawa Barat dalam rangka kunjungan kerja ke Candi Borobudur. Mereka mengajak
saya karena perlu publikasi mengenai kunjungan tersebut sekaligus laporan kepada
masyarakat tentang hal-hal yang mereka kerjakan dalam meningkatkan kualitas
generasi muda melalui gerakan Pramuka.
Ketika sampai di lokasi, kami dipersilakan memasuki
ruangan yang sejuk dan sudah dilengkapi dengan proyektor. Di sana kami
mendapatkan penjelasan yang cukup lengkap mengenai Borobudur berikut arti-arti
dalam setiap relief yang tergambar pada setiap tingkat di Candi Borobudur. Juru
penerang di sana menerangkan bahwa relief-relief tersebut menggambarkan
kehidupan Sang Buddha.
Saya
sungguh terpana dengan penjelasan-penjelasan tersebut. Akan tetapi, saya
mendapatkan pengetahuan lain dari yang lain. Bagi saya, penjelasan kisah Sang
Buddha tersebut merupakan pelajaran bagaimana
cara shalat secara khusyuk. Tentunya, bukan tentang tatacara shalat dari
awal sampai dengan akhir yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, melainkan cara mengondisikan jiwa
dan spiritual kita agar mendapatkan kekhusyukan yang paripurna.
Jujur
saja, saya tidak berani bilang sama siapa-siapa soal itu karena bisa timbul
fitnah dari orang yang tidak berpengetahuan. Saya khawatir akan ada reaksi
bodoh dari orang banyak jika saya mengatakan bahwa Buddha Sidharta Gautama
telah mengajarkan shalat khusyuk.
Saya
sangat khawatir ada orang bilang, “Masa orang Islam belajar shalat sama Buddha?”
Oleh
sebab itu, pengetahuan itu untuk saya sendiri saja. Sejak itu pun saya mulai
mempraktikan ajaran dari Borobudur ketika saya melaksanakan shalat. Hasilnya,
luar biasa, amazing. Tingkat
kekhusyukan dalam shalat benar-benar bertambah sangat hebat jika mempraktikan
apa yang tergambar dalam relief-relief di Borobudur. Demi Allah swt. Akan
tetapi, jika saya lupa melakukannya, kondisi shalat saya ya menurun lagi
seperti biasa.
Kehebatan
ajaran Borobudur bukan saja membuat shalat kita menjadi lebih khusyuk dari awal
sampai akhir, melainkan pula membuat pengaruh yang dahsyat terhadap diri
pribadi, bahkan resonansinya mempengaruhi secara positif lingkungan di sekitar
kita. Itu apabila kita melakukannya dengan konsisten. Jika tidak, ya turun lagi
seperti biasa dan kita tidak pernah benar-benar mendapatkan kenikmatan dari shalat
kita serta lingkungan sekitar kita pun biasa-biasa saja.
Mulai
Berani Berdiskusi
Seperti saya bilang, saya
hanya sendirian memahami ajaran shalat dari Borobudur dan mempraktikkannya
karena khawatir akan ada fitnah atau saya disebut bidah. Maklum, orang kita itu mudah sekali menuding ini-itu sebagai
bidah hanya karena belum paham hal
tersebut. Akan tetapi, setelah menyaksikan ceramah Quraish Shihab, penyusun tafsir Al
Misbah, yang ditayangkan di Metro TV,
saya merasa lebih tenang. Hal itu disebabkan ia mengutip pendapat seorang
ahli tafsir bahwa Buddha Sidharta Gautama itu adalah nabi. Saya jadi merasa
tidak salah jika mempraktikan apa yang diajarkan dalam relief Candi Borobudur
dalam setiap shalat, toh Buddha itu adalah nabi. Artinya, saya sama sekali tidak salah belajar shalat dari salah
seorang nabi Allah swt.
Pendapat ahlil tafsir yang dikutip Quraish Shihab itu
didasarkan pada firman Allah swt, “Demi
pohon Tiin dan pohon Zaitun”.
Menurutnya,
sampai saat ini yang disebut pohon Tin itu
tidak pernah ada secara nyata. Memang susah kita menunjukkan pohon Tin itu ada
di mana. Ahli tafsir itu mengatakan bahwa pohon Tin itu adalah pohon Bodi tempat Buddha Sidharta
Gautama melakukan meditasi. Begitulah dalilnya.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa siapa pun yang
mempercayai Buddha adalah nabi, memiliki dalil. Akan tetapi, siapa pun yang
tidak mempercayai Buddha adalah nabi, tidak berdosa karena nama Buddha tidak
disebutkan Allah swt secara jelas dalam Al Quran sebagaimana para nabi yang
berjumlah 25 itu.
Penjelasan Quraish Shihab itu bukan saja membuat saya
tenang, melainkan pula membuat saya menjadi lebih berani untuk berdiskusi
dengan orang lain. Saya memulainya berdiskusi dengan adik saya dan ibu
saya. Mereka pun tertarik, malahan ingin melihatnya sendiri di Candi Borobudur.
Meragukan
Kenabian Buddha Sidartha Gautama
Saya termasuk orang yang
percaya bahwa Buddha itu nabi berdasarkan penjelasan Quraish Shihab. Akan
tetapi, ketika saya diminta menemani seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia Mewakili Provinsi Jawa Barat Prof. Dr. H. Mohamad Surya
dalam melakukan kunjungan kerja, keyakinan terhadap Buddha itu adalah nabi
mulai goyah.
Saat
itu saya diminta menemani kunjungan kerja ke daerah Kadipaten, Kabupaten
Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Tepatnya, kunjungan kerja ke sebuah
Sekolah Menengah Atas. Sekolah itu memiliki taman di tengah-tengahnya yang
ditumbuhi berbagai tanaman. Mata saya tertuju pada sebuah pohon rindang yang
agak aneh karena saya belum pernah melihatnya sebelumnya.
Saya
tanya kepada salah seorang guru yang kebetulan berdiri di dekat saya, “Pohon
apa itu, Pak?”
Sang
Guru yang juga penduduk di sana menjawab tegas, “Pohon Tin.”
Jawaban
itu membuat saya kaget karena setahu saya ada ahli tafsir yang mengatakan bahwa
pohon Tin itu tidak ada atau pohon Tin itu adalah pohon Bodi tempat Buddha
meditasi.
Ketika
saya berada dalam keadaan kaget, Sang Guru itu kembali menegaskan, “Iya itu
benar pohon Tin.”
Dari
sorot mata dan penjelasannya, ia tampaknya ingin meyakinkan saya bahwa itu
benar-benar pohon Tin yang dijadikan Allah swt sebagai sumpah dalam Al Quran.
“Nih,
ini buahnya, bisa dimakan,” kata Guru itu lagi sambil mengambil salah satu
buahnya, lalu memecahkannya, tetapi tidak sampai dia makan.
Saya
benar-benar heran dan ingin mengetahui lebih jauh tentang pohon itu, tetapi
sayang, saya kemudian harus segera melanjutkan perjalanan ke tempat lain
menemani Prof. Surya. Jadi, saya tidak terlalu jauh memahami tentang pohon Tin.
Karena
penjelasan guru tersebut, saya jadi ragu tentang Buddha itu adalah nabi. Hal
itu disebabkan dalil Buddha adalah nabi adalah sumpah Allah swt dengan
menggunakan pohon Tin. Seorang ahli tafsir mengatakan bahwa pohon itu tidak
ada, tetapi merupakan nama lain dari pohon Bodi tempat Buddha meditasi. Akan
tetapi, sekarang saya menemukan bahwa pohon Tin itu ada di Kadipaten, Kabupaten
Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Dengan demikian, otomatis bahwa
pohon Tin itu bukanlah pohon Bodi. Pohon Tin itu ada secara nyata sendiri dan
bukan nama lain dari pohon Bodi. Hal itu pun membuat dalil Buddha adalah nabi
menjadi gugur.
Kalaupun
Buddha tetap diyakini sebagai nabi, dalilnya bukanlah pohon Tin, tetapi harus
ada dalil lain. Paling tidak, ada sebuah artikel yang ditulis Tamim Pardede berjudul Nabi Idris as adalah Sidharta Buddha
Gautama. Dalam tulisannya, ia membandingkan kesamaan antara Nabi Idris as
dengan Buddha. Ia menduga sangat keras bahwa Buddha itu adalah Nabi Idris as.
Bagi
saya, sekarang tidak penting apakah Buddha itu nabi atau bukan. Toh, baik
percaya atau tidak Buddha sebagai nabi, tidak berdosa, bukan?
Akan
tetapi, tetap saya meyakini bahwa relief-relief di Candi Borobudur itu
mengajarkan shalat secara khusyuk karena saya pernah melakukannya. Hal yang
membuat saya bertambah yakin adalah hasil penelitian K.H. Fahmi Basya, ahli
Matematika Islam, yang menyatakan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi
Sulaiman as dalam hubungannya dengan Ratu Balqis. Hasil penelitian itu
menjadikan saya tambah tenang dan yakin bahwa Allah swt mengajari umat Islam
melaksanakan shalat khusyuk melalui relief-relief di Candi Borobudur.
Pelajaran
dari Relief
Borobudur itu memiliki sepuluh
tingkat. Sepuluh itu terdiri dari angka 1 dan 0. Jika kita jumlahkan, 1 + 0 =
1. Artinya, Allah swt itu esa. Setiap tingkatan itu mengandung ajaran tingkat kekhusyukan
secara bertahap. Mulai dari kekhusyukan terendah sampai dengan kekhusyukan yang
tertinggi.
Jika kita mau mempelajari lebih detail pada setiap
tingkatan itu, akan lebih mantap kita dalam melaksanakan shalat dan menjadi
pribadi-pribadi unik yang merupakan cerminan dari kekhusyukan ibadat kepada Allah
swt, baik mahdah maupun ghairu mahdah. Akan tetapi, kali ini
akan saya paparkan tingkatan-tingkatan kekhusyukan dalam Candi Borobudur yang
dapat saya ingat dengan cara merangkumnya. Tentu saja, masih banyak yang tidak
saya ingat, tetapi apa yang saya ingat cukup menjadi trigger agar kita dapat melaksanakan shalat lebih khusyuk dan mau
bersedia mempelajari Borobudur dengan lebih detail.
Di kaki Borobudur dindingnya dipenuhi dengan relief
tentang hiruk pikuknya kehidupan manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Manusia yang digambarkan di sana sangat terikat oleh kehidupan manusia dengan
sifat-sifatnya yang materialistis. Di sana ada persaingan, pertengkaran,
kegelisahan, kebingungan, kesakitan, kecurangan, kerja sama licik, keuntungan
bisnis semu, kerugian materi, kekayaan, kemiskinan, pemujaan terhadap seksual,
dan lain sebagainya. Nafsu-nafsu manusia pada bagian ini tidak berbeda dengan
hewan, yaitu hanya terfokus pada kesenangan hidup, perjuangan, konflik, seks,
dan makan. Oleh sebab itu, kehidupan ini dikategorikan kehidupan palilng rendah
dari seluruh tingkatan kehidupan manusia yang diciptakan Allah swt.
Relief-relief ini pun memang berada pada kaki Borobudur, tahapan yang paling
rendah.
Manusia-manusia pada tingkatan ini sering sekali lupa
shalat, malahan menyepelekan shalat, parahnya menghina shalat sebagai tindakan
sia-sia dan tak berguna. Kalaupun dia shalat, shalatnya hanya ikut-ikutan atau
sekedar olah badan karena pikiran dan nafsunya sangat dikuasai oleh dunia,
materi, dan seks.
Jika kita ingin melakukan shalat dengan lebih khusyuk,
kita harus berusaha keras melangkahkan kaki ke arah kehidupan yang lebih tinggi
sebagaimana dalam relief Borobudur pada tingkat berikutnya. Pada tingkat ini manusia
sudah melakukan upaya melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap dunia.
Kondisi jiwanya mulai terlepas dari kehidupan materi. Akan tetapi, dia masih
belum mampu menghapus dunia dari dirinya. Jadi, dia masih terikat juga, tetapi
keterikatan itu sudah mulai berkurang. Ia sudah mau shalat lebih baik lagi,
tetapi pikirannya masih terganggu oleh kecemasan, kekhawatiran, dan angan-angan
kegembiraan duniawi. Hal ini bisa dilihat dari relief yang menggambarkan
manusia dengan kehidupan duniawi yang mulai berkurang atau jumlahnya jauh lebih
sedikit dibandingkan kehidupan duniawi seperti yang digambarkan pada relief di
kaki candi.
Apabila hendak mencapai kekhusyukan yang lebih tinggi,
kita harus berupaya lebih keras lagi melangkah pada tingkat kehidupan
berikutnya, sebagaimana relief pada tingkat yang lebih tinggi. Pada bagian ini
manusia mulai terpengaruh oleh shalatnya sendiri. Dirinya mulai berperilaku
lebih baik, bijaksana, pikirannya sudah lebih dewasa dibandingkan sebelumnya,
dan lingkungannya mulai berubah. Ia sudah bergaul dengan orang-orang shaleh,
bijak, adil, dan para pemikir. Hal ini bisa dilihat dari adanya relief-relief
yang menggambarkan orang-orang tua dan para pemikir. Di samping itu, dalam
dirinya sudah tumbuh rasa cinta terhadap manusia, binatang, alam, dan
lingkungan sekitarnya sebagaimana yang tergambar dalam relief. Semakin
terlepasnya dia dari pengaruh duniawi dan hidup berada dalam lingkungan
positif, membuat shalatnya lebih khusyuk dan berkualitas.
Pada tingkat berikutnya, untuk lebih menyempurnakan lagi
pengabdiannya kepada Allah swt, ia memerlukan banyak pengetahuan. Pada tahapan
ini orang yang menginginkan shalatnya lebih khusyuk agar lebih bermanfaat
kepada dunia dan lebih dekat kepada Allah swt berupaya untuk menambah ilmu
pengetahuan. Ia sadar bahwa dirinya masih sangat bodoh dan perlu untuk belajar.
Oleh sebab itu, pada relief digambarkan orang yang berusaha belajar, melakukan
perjalanan untuk mendapatkan ilmu, berguru kepada orang yang lebih pandai.
Dengan pengetahuan dan pengalamannya yang terus bertambah, keimanannya secara
otomatis bertambah pula. Dengan demikian, ia menjadi lebih sadar tentang
pentingnya mendekatkan diri kepada Allah swt dan perlunya untuk selalu
bergantung kepada Allah swt. Hal itu membuat shalatnya semakin khusyuk dan
fokus.
Pada tingkat berikutnya kita melihat ada stupa-stupa yang
di dalamnya ada orang bersila dalam keadaan hening berkonsentrasi. Hal ini
menggambarkan bahwa upayanya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt,
lingkungan hidup yang sangat positif, dan berbagai pengetahuan yang telah
dikuasainya membuatnya lebih tenang, lebih arif, lebih cerdas, dan lebih luas
pandangannya. Shalatnya pun jelas lebih khusyuk. Hal itu bisa dilihat bahwa di
atas stupa tersebut ada sebentuk antenna yang melambangkan hubungan yang sudah
terjalin dengan lebih baik bersama Allah swt. Akan tetapi, ia masih mendapatkan
godaan-godaan yang sangat banyak. Ia masih mendapatkan serangan-serangan
duniawi. Ia memang sudah lama meninggalkan keburukan-keburukan duniawi, tetapi
godaan dalam posisinya ini masih sangat banyak. Orang dalam tingkat seperti ini
sudah menjadi panutan masyarakat dan benar-benar mendapatkan pencerahan dari
Allah swt. Oleh sebab itu, banyak orang yang mendatanginya untuk meminta
nasihat dan petunjuk untuk menyelesaikan banyak masalah. Tak heran jika banyak
yang datang untuk menjadikannya sebagai bumper
kepentingan-kepentingan politik, bisnis, ekonomi, bahkan pendidikan. Ia diminta
fatwanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Ini semua adalah godaan
duniawi juga. Hal itu bisa dilihat dari bentuk stupa yang memiliki
lubang-lubang berbentuk persegi tempe. Lubang-lubang tersebut menandakan orang
dalam tingkat kebaikan dan kekhusyukan seperti ini masih bisa digoda dan juga
bisa tergoda, lalu jatuh. Stupa-stupa itu menandakan bahwa dirinya sudah sangat
kuat menahan keterikatan terhadap nafsu-nafus hewani, tetapi lubangnya masih
terbuka dalam arti masih sangat banyak godaan yang datang kepadanya.
Godaan-godaan itu bisa berhasil menjatuhkan
benteng-benteng keimanan seseorang dan itu digambarkan dalam sebuah patung yang
bersila di seputar stupa, tetapi dia sendiri tidak berada dalam lindungan
stupa. Godaan yang datang membuatnya kehilangan benteng yang sekaligus
kehilangan hubungan mesra dengan Allah swt karena tanpa stupa, berarti tanpa antena.
Ia terbius oleh kehormatan, sanjungan, dan pujian sehingga pelindungnya copot
meskipun tidak menjatuhkan dirinya ke tingkat yang sangat rendah seperti pada
relief di kaki candi. Ia tetap terhormat, tetapi kembali pada nafsunya sendiri.
Ia sudah tidak berjudi, mabuk, curang, dan ecek-ecek lainnya, tetapi ia
bergerak karena gila hormat dan senang dipuji. Nafsunya sendiri yang menjadi
acuan karena petunjuk dari Allah swt yang berupa antenna telah hilang bersama
stupa pembenteng diri.
Apabila ingin hidup lebih baik lagi dan lebih khusyuk
lagi, setelah berada dalam stupa berlubang persegi tempe itu, harus
meningkatkan lagi pertahanan dirinya. Ia harus berusaha maksimal untuk
menghindari pujian terhadap dirinya, menghindari orang-orang yang berusaha
menghormatinya dengan niat busuk, serta tidak membiarkan dirinya terjebak dalam
rasa agung terhadap dirinya. Ia harus sadar bahwa ia sedang mendekatkan diri
kepada Yang Maha Agung, Allah swt. Semua bentuk pujian, kehormatan, serta rasa
kagum terhadap diri harus dilawan.
Orang yang sudah lebih tinggi tingkat kekhusyukannya dan
berada dalam benteng yang lebih kuat bisa diperhatikan ada dalam tingkatan
Borobudur yang lebih tinggi lagi. Orang ini berada dalam stupa berantena,
tetapi stupanya masih memiliki lubang-lubang berbentuk bujur sangkar. Artinya,
godaan-godaan tetap datang, tetapi dia sudah bisa menolaknya sehingga godaan
itu sudah tidak lagi seramai kepada orang yang berada dalam stupa berlubang
berbentuk persegi tempe. Godaan yang datang jauh lebih sedikit dan dia sendiri
sudah mampu mengenyahkan semuanya meskipun dalam hatinya keinginan untuk
menikmati godaan-godaan itu masih besar.
Siapa yang tidak ingin menjadi pemimpin terhormat, kaya,
dan sholeh?
Akan tetapi, itu semua adalah godaan yang bisa menghambat
dirinya menuju kebahagiaan hakiki bersama Allah swt.
Apabila ia konstan, fokus, dan terus berjuang untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt, insyaallah,
dirinya benar-benar dimasukkan Allah swt ke derajat yang tertinggi
dibandingkan manusia-manusia lainnya. Ia hidupnya sudah melebur dengan Allah
swt. Kondisi kekhusyukan tingkat paling tinggi ini disimbolkan dengan stupa
tertinggi di Candi Borobudur. Ia benar-benar melebur dengan Allah swt karena
berada dalam stupa yang tertutup sempurna, tak ada lagi godaan yang mampu
mendatanginya karena ia pun sudah tidak peduli lagi terhadap dunia dan
seisinya, bahkan terhadap surga sekalipun. Tujuannya hanya satu, yaitu Allah
swt. Di dalam pikiran dan hatinya sudah tak ada lagi yang menjadi beban
baginya. Pikiran dan hatinya hanya terfokus kepada Allah swt. Kerugian dunia
tidak akan membuatnya sedih dan kecewa. Kenikmatan dunia tidak akan membuatnya
bergembira ria berlebihan. Kesedihan, kekurangan, bencana, keberuntungan, dan
kenikmatan sudah tidak lagi berpengaruh pada dirinya. Ia menjadi pribadi tegar,
suci, penuh hikmah, dan selalu berada dalam “Ketuhanan”. Ia menjadi poros
dunia. Segala kata-katanya penuh tuah dan ampuh. Siapa pun yang membantahnya
akan berhadapan dengan Allah swt secara langsung. Allah swt selalu bersamanya.
Seluruh tubuhnya sudah menjadi media bagi Allah swt untuk menegakkan kebenaran
dan menyampaikan kesucian. Sahabatnya adalah sahabat Allah swt. Musuhnya adalah
musuh Allah swt.
Itulah puncak kekhusyukan, stupa berantena tertinggi
tanpa lubang sedikit pun.
Demikianlah pelajaran shalat khusyuk yang saya dapatkan
dari Candi Borobudur. Jadi, antara kehidupan nyata dengan shalat adalah saling
mempengaruhi. Kebaikan hidup dan kekhusyukan shalat adalah berbanding lurus.
Shalat dan hidup akan selalu sama menentukan kualitas setiap diri. Tidak akan
pernah ada orang yang shalatnya khusyuk, tetapi hidupnya tidak baik. Begitu juga
sebaliknya. Shalat dan hidup adalah cermin yang saling berhadapan. Satu pihak
menggambarkan pihak lainnya dan selalu sama.
Mudah-mudahan
Allah swt memberikan kita semua kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan
shalat lebih khusyuk dan hidup yang lebih baik lagi di dunia, kemudian di
akhirat.
Amin
No comments:
Post a Comment