Showing posts with label Al Fatihah. Show all posts
Showing posts with label Al Fatihah. Show all posts

Sunday, 16 May 2021

Lebaran Pertama tanpa Ayah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Mungkin banyak yang berlebaran tanpa ayahnya, saya salah satunya. Memang ada satu perasaan yang hilang ketika merayakan hari Idul Fitri tanpa Ayah. Biasanya, sekeluarga full team sungkeman, memohon maaf atas segala kesalahan dan mendapatkan doa dari kedua orangtua. Jika salah satu orangtua kita tidak ada atau kedua-duanya tidak ada, acara sungkeman kepada orangtua pun tak ada lagi.

Karena tak ada lagi acara seperti orangtua masih ada, perasaan kehilangan itu pun menimbulkan rasa rindu. Kerinduan itu pun diupayakan untuk dipenuhi. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa-masa lebaran, banyak orang yang mengunjungi makam orangtuanya. Itu karena rindu dan sangat manusiawi. Tindakan mengunjungi makam karena rindu bukanlah perilaku sesat.

Masa rindu orangtua dibilang sesat?


Begitu juga saya. Lebaran kali ini hanya ada Mamah, tetapi Bapak tidak ada. Untuk mengobati kerinduan itu, saya mengajak anak bungsu saya yang sudah menginjak remaja untuk mengunjungi makam ayah saya, kakeknya anak-anak. Hal itu saya lakukan sekaligus mengajarkan anak saya untuk tetap menjaga ikatan rasa dengan ahli kubur dengan cara memeriksa keadaan makamnya, mengecek tugas penjaga makam karena kan keluarga sudah membayar agar makamnya terawat, membersihkan makamnya dengan tangan sendiri, memberinya bunga agar terlihat lebih indah, menyiraminya air agar lebih segar, dan tentu saja mendoakan ayah saya. 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan bahwa jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya. Dia sudah tidak bisa lagi beramal, berkarya, atau melakukan berbagai hal seperti ketika masih hidup, kecuali tiga hal. Ketiga hal itu ialah “sedekah jariyah” yang dilakukan ketika hidup karena pahalanya terus mengalir meskipun sudah wafat; “Ilmu yang bermanfaat” yang diajarkan dan diimplementasikan ketika masih hidup; “Doa anak soleh”, doa Sang Anak pahalanya akan terus mengalir kepada orangtua yang sudah wafat. Oleh sebab itu, saya berusaha sejauh yang saya bisa selalu berdoa untuk ayah saya dengan harapan pahalanya mengalir terus kepada ayah saya dan saya pun mendapatkan pahala dari kebaikan yang saya lakukan.


“De,” kata saya kepada anak saya yang bungsu itu, saya memanggilnya Dede, namanya sih Radifta Badar Natabuana, “Semua orang pasti meninggal. Dede bakal meninggal, Mamah, Papah, Aa, Teteh, Enin, Bibi, semua bakal meninggal. Kita semua hanya menunggu giliran. Orang yang sudah meninggal tidak bisa ngapa-ngapain lagi, mereka menunggu doa dari kita yang masih hidup. Dengan doalah mereka masih mendapatkan pahala di alam kuburnya.


Yuk, kita berdoa buat Aki semoga diampuni seluruh dosanya, diterima iman dan islamnya, diberikan tempat yang nyaman, terang, dan menyenangkan di alam kubur, serta dipersatukan dengan orang-orang yang telah diberikan kenikmatan, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Jangan lupa pula doakan seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat supaya terus diberikan kemudahan dan perlindungan oleh Allah swt.

Al Fatihah.”

Selepas berdoa, saya ajak anak saya berbicara kepada kakeknya sebagaimana ketika masih hidup, “Aki, kami pulang dulu ya, semoga Aki tenang dan bahagia di alam sana.”

Kami pun pulang. Alhamdulillaah, kerinduan sedikit terobati.

Sampurasun.

Tuesday, 21 March 2017

Tanda Nabi Prabu Siliwangi as Hidup pada Zaman Sundaland

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Prabu Siliwangi adalah nabi yang hidup pada masa Indonesia masih berupa Benua Sundaland, bukan kepulauan seperti sekarang ini. Penjelasannya baca pada tulisan saya yang lalu berjudul Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam. Indonesia memang dulunya sebuah benua besar yang sangat hebat dan makmur tiada tara serta menjadi pusat awal seluruh peradaban dunia ini. Penjelasannya baca pada tulisan saya yang lalu berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah swt.

            Sekarang pada tulisan ini saya ingin berbagi bahwa ada tanda atau bukti bahwa memang Nabi Prabu Siliwangi as adalah tokoh yang pernah hidup di dunia ini dan berada pada masa Sundaland. Tulisan ini sengaja saya buat untuk mengajak berdiskusi mereka yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi hanyalah tokoh sastra dan tidak pernah benar-benar hidup dan mereka yang percaya Prabu Siliwangi adalah memang tokoh sejarah, tetapi sering kalang kabut menyangka bahwa Prabu Siliwangi adalah Raja Sunda pada masa-masa lebih ke sini yang tak jelas raja yang mana, kadang Sri Baduga Maharaja, kadang Lingga Buana Wisesa, kadang Niskala Wastukancana, kadang raja yang lain. Berdiskusi itu baik untuk kesehatan dan bermanfaat untuk mendapatkan kebenaran. Jangan membiasakan diri angkuh merasa paling benar sendiri, padahal hanya sok tahu tanpa ada landasan bukti dan pemikiran yang jelas. Yang penting “gue paling bener”, yang lain “salah”. Perilaku angkuh seperti itu sudah seharusnya dibuang agar semua orang bisa memberikan masukan bermanfaat sehingga mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar.

            Sebagaimana hasil penelitian paling mutakhir, Indonesia dulunya adalah benua yang besar, Benua Sundaland, tetapi hancur berkeping-keping oleh bencana alam yang sangat dahsyat dalam waktu teramat singkat. Air laut meluap hingga menenggelamkan gunung-gunung yang tinggi. Tekanan air laut itu menyebabkan tanah dan batu bergerak sehingga menimbulkan gempa tektonik sekaligus memicu gempa vulkanik yang mengakibatkan gunung-gunung berapi meletus secara bersamaan. Bencana maha mengerikan yang belum pernah terjadi lagi sepanjang sejarah manusia itu mengubur seluruh kekayaan, kemakmuran, kemajuan teknologi, kepesatan spiritualisme, dan peradaban yang teramat tinggi. Kebesaran Benua Sundaland yang mengagumkan itu pun harus hancur dan hilang sama sekali dari muka Bumi.

            Allah swt mengabadikan kehancuran itu dalam Al Quran sebagai akibat dari kemurkaan-Nya kepada manusia-manusia Indonesia yang teramat zalim.

“… Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS 34 : 19)

Meskipun demikian, Allah swt masih memberikan kesempatan kepada manusia untuk mempelajari kehebatan penduduk Benua Sundaland masa lalu dengan berbagai karya luar biasanya. Allah swt sengaja membukakan sedikit demi sedikit bangunan-bangunan megah yang berteknologi tinggi dan bernilai spiritual luar biasa yang berupa candi, barang-barang, pusaka, dan istana-istana mewah yang telah terkubur ratusan ribu tahun. Sangat banyak candi dan istana yang belum tergali di perut Bumi Indonesia ini. Bahkan, banyak yang hanya baru muncul ujung istananya. Jika digali, akan tampak istana megah luar biasa karya menakjubkan.

Salah satu istana yang dihancurkan Allah swt dan kemudian ditampakkan lagi itu adalah milik Nabi Prabu Siliwangi as. Tampaknya, orang Indonesia ini selepas masa kenabian Prabu Siliwangi as, Nabi Sulaeman as, Nabi Daud as, dan nabi-nabi lainnya yang tidak semua dicatat Al Quran, telah melakukan penyelewengan perilaku serta penyalahgunaan tempat ibadat dan istana-istana suci menjadi tempat pemujaan Iblis dan syetan laknatullah.

“Dan sungguh, Iblis telah dapat meyakinkan terhadap mereka kebenaran sangkaannya, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian dari orang-orang Mukmin.” (QS 34 : 20)

Oleh sebab itu, Allah swt menghancurkannya sekalipun itu tempat suci. Tempat suci akan tidak suci lagi jika digunakan untuk kemaksiatan dan kekotoran perilaku serta keyakinan yang salah. Masjidil Aqsha, yaitu “Candi Borobudur” dikubur Allah swt dalam lumpur gara-gara dijadikan tempat pemujaan syetan dan baru ditemukan pada masa kolonial Belanda. Penjelasan tentang ini baca pada tulisan saya yang lalu berjudul Bukan Al Aqsha Yang Itu, Melainkan The Real Al Aqsha.

“….. Maka (lihatlah) bagaimana dahsyatnya akibat kemurkaan-Ku.” (QS 34 : 45)

Demikian pula, istana Nabi Prabu Siliwangi as baru ditemukan kembali di Bogor  oleh anak buah Letnan Tanuwijaya, orang Sumedang, yang menjadi prajurit Belanda. Sersan Scipio, tentara Belanda, mencatatnya ketika dalam ekspedisinya bersama pasukannya mengunjungi daerah Batu Tulis di Bogor pada 1 September 1687. Dalam catatannya, Scipio menulis bahwa istana itu sudah berupa puing-puing dan dikelilingi hutan tua. Puing-puing itu dicatatnya sebagai peninggalan Kerajaan Pakuan atau Pajajaran. Ia pun menjelaskan bahwa dua hari sebelumnya di tempat tersebut seorang anggota ekspedisinya menderita patah leher karena diterkam harimau.

Pada 23 September 1687 G.J. Joanes Camphuijs menulis laporan kepada atasannya di Amsterdam yang di antaranya berbunyi, “Dat hetseve paleijsen specialijek de veherven zitplaets van den javaense. Coning Padzia Dziarum nu gog gedulzig door een groot getal tijgers bewaakt en bewaart wort.”

Artinya, istana tersebut dan terutama tempat duduk yang ditinggalkan kepunyaan Raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.

Laporan tentang harimau ini berasal dari penduduk Kedung Halang dan Parung Angsana yang mengiringi Scipio dalam ekspedisinya. Mungkin mereka itulah sumber isu bahwa prajurit Pajajaran “berubah wujud menjadi harimau”.

Tiga tahun kemudian Kapiten Adolf Winkler diperintahkan memimpin ekspedisi khusus untuk membuat peta lokasi bekas Pakuan. Pada Kamis, 25 Juni 1690 Winkler beserta rombongannya tiba di lokasi bekas keraton. Ia menemukan een accurate steene vloering off weg (sebuah lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi). Jalan itu menuju ke bekas paseban tua dan di situ ia melihat ada tujuh batang pohon beringin. Dari penduduk Parung Angsana yang mengiringinya, Winkler mendapat penjelasan bahwa yang dilihat mereka itu adalah peninggalan Prabu Siliwangi. Hal-hal itu tertulis dalam makalah Siliwangi sebagai Pangkal Silsilah Kebangsaan (Tradisi Naskah Abad XVIII dan XIX) yang disusun oleh Saleh Danasasmita pada 1991.

Jalan masuk ke wilayah itu di samping sempit, juga mendaki. Jalan masuk itu pun diapit oleh parit yang sangat dalam dan mengerikan. Allah swt memang tampaknya benar-benar murka sehingga jalan menuju ke sana pun benar-benar sulit dan mengerikan.

Reruntuhan puing Istana Prabu Siliwangi as menguatkan tanda bahwa memang Prabu Siliwangi as adalah seorang nabi yang mengajarkan Islam dengan nama agama Sunda Wiwitan pada masa Benua Sundaland. Akan tetapi, sepeninggalnya, banyak orang yang meninggalkan agama Sunda Wiwitan sampai-sampai memuja Iblis dan syetan sehingga Allah swt murka dan menghancurkannya sekaligus menenggelamkannya ke dalam perut Bumi untuk menghancurkan kesombongan dan keangkuhan manusia.

Hari itu kejahatan dan pengingkaran manusia dibalas oleh Allah swt dengan sangat dahsyat. Allah swt berbuat sekehendak diri-Nya sendiri.

Raja pada Hari Pembalasan (QS Al Fatihah : 3).
          
          Sampurasun.

Monday, 8 June 2015

Jalan Lurus



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Paling tidak umat Islam berdoa tujuh belas kali dalam sehari semalam untuk mendapatkan petunjuk dari Allah swt. Kaum muslim berharap Allah swt memberinya petunjuk dalam kehidupan agar tidak salah arah, tidak salah langkah, dan tidak salah tujuan. Doa itu ada di dalam Surat Al Fatihah ayat 6:

            “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

            Jalan yang lurus itu apa, bagaimana?

            Di dunia ini banyak sekali ditawarkan jalan-jalan kehidupan yang diklaim sebagai jalan yang paling lurus, paling benar, dan paling hebat. Ada yang menawarkan agama, keyakinan tertentu, pandangan hidup, sistem pergaulan, atau sistem sosial lainnya. Jika dilihat sekilas, tawaran-tawaran itu tampak baik, hebat, masuk akal, dan patut untuk dijalani.  Akan tetapi, itu semua hanyalah khayalan, dugaan, kira-kira, pendapat, pandangan, dan pemikiran yang banyak sekali mengandung celah kesesatan.

            Dalam bahasa aslinya jalan yang lurus itu adalah shiraatal mustaqiim. Saya jadi ingat ceritera masa kecil dulu bahwa yang namanya shiraatal mustaqiim itu sangat tipis, bagaikan seutas rambut dibelah tujuh. Sesungguhnya, itu bukanlah ceritera bualan atau dongeng tanpa dasar, melainkan kondisi yang digambarkan oleh orangtua kita bahwa jalan yang lurus itu adalah sangat samar bagi kebanyakan manusia. Jika tidak diberi pandangan yang tajam dan petunjuk oleh Allah swt, kita bisa memilih dan melangkah di jalan yang sesat, tetapi kita menduganya jalan yang benar. Itulah shiraatal mustaqiim, jalan yang sering disamarkan oleh jalan-jalan syetan sehingga manusia tidak benar-benar melangkah di jalan itu. Manusia hanya menduga saja bahwa dirinya sedang melakukan hal yang benar, padahal sesungguhnya berada dalam jalan syetan.

            Bayangkan saja gambaran para orangtua kita bahwa shiraatal mustaqiim itu bagaikan seutas rambut dibelah tujuh. Seutas rambut saja sudah sangat tipis, kadang-kadang kalau terjatuh, kita tidak bisa melihatnya. Apalagi kalau rambut yang sudah tipis itu dibelah tujuh, semakin tidak terlihat. Kalau ingin melihatnya, terpaksa kita harus menggunakan alat yang mampu membuat benda tipis dan kecil tampak ribuan kali lipat besarnya. Biasanya alat itu disebut mikroskop.

            Nah, begitulah shiraatal mustaqiim yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang telah ditajamkan matanya, dicerahkan pikirannya, dibeningkan hatinya, diluaskan pandangannya, dan disucikan perilakunya oleh Allah swt. Kepada merekalah sebenarnya umat Islam harus menuju, belajar, meminta pandangan, dan berharap nasihat agar tak salah langkah dan tak salah arah.

            Tak heran jika pada masa ini banyak sekali manusia yang gelisah, bingung, mudah marah, mudah sedih, grasa-grusu, sering cemas, gemar bertengkar, gampang memfitnah, enteng berbohong, ketakutan terhadap masa depan, kehilangan wibawa dan harga diri, dan berbagai kekusutan lainnya. Padahal, mereka sudah merasa seolah-olah melakukan hal yang benar, menjalankan ritual agama dengan baik, mengeluarkan uang untuk orang lain, dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan kebanyakan manusia hanya menduga telah berjalan pada jalan yang lurus, padahal sesungguhnya sedang terjerembab dalam kesesatan.

            Jadi, bagaimana dan apa sesungguhnya jalan yang lurus itu?

            Allah swt sudah sedikit memberikan dorongan berupa penjelasan mengenai jalan lurus itu. Yang dimaksud Allah swt sebagai jalan yang lurus adalah sebagaimana dalam firman-Nya pada Surat Al Fatihah ayat 7:

            “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

            Jelas, kan?

            Meskipun sudah jelas, agar kita lebih mudah untuk melaksanakannya dan agar kita tidak salah, harus dipilah dulu mana jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat  serta jalan mereka yang dimurkai dan sesat. Jika kita tidak memilah-milah dulu, kita bakalan terjerumus dengan mencampurkan antara kebaikan dan kesesatan.   

Ada dua jalan yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu jalan orang-orang yang diberi kenikmatan yang harus kita ikuti serta jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat yang harus kita hindari.

            Siapa saja orang-orang yang telah diberi kenikmatan tersebut?

            Siapa saja orang-orang yang dimurkai dan sesat itu?

            Orang-orang yang telah diberi kenikmatan tentu saja para nabi dan orang-orang yang mengikuti para nabi tersebut secara utuh dan terlepas dari dorongan hawa nafsunya sendiri yang rendah.

            Nabi yang mana?

            Ya para nabi yang sudah disebutkan Allah swt dalam Al Quran. Bukan orang-orang yang mengaku-aku nabi setelah kenabian ditutup oleh Muhammad Rasulullaah saw.

            Terus, siapa saja orang-orang yang dimurkai dan sesat itu?

            Mereka adalah orang-orang yang merendahkan ajaran para nabi, menyingkirkan ajaran nabi hanya untuk upacara keagamaan, mengampanyekan bahwa pikiran manusia lebih hebat, menuding bahwa ajaran para nabi sudah tidak lagi bisa dilaksanakan pada masa ini, membanggakan hasil pikirannya sendiri, tidak menyentuh ajaran para nabi, dan atau membanggakan diri sebagai pengikut orang-orang yang sudah sesat.

            Lihat bagaimana sudah sangat tersesatnya kita!

            Jika kita sekolah atau menyekolahkan anak, apa tujuannya?

            Sebagian besar dari kita berharap agar kita dan atau anak kita mendapatkan pekerjaan yang baik, bergaji besar, dan terhormat!

            Benar kan?

           
Saya tanya nabi siapa yang mengajarkan hal seperti itu?

            Tidak ada!

            Itu adalah ajaran para syetan kapitalis yang berasal dari luar negeri.

            Para nabi mengajarkan bahwa kita memang wajib menuntut ilmu adalah agar kita dapat lebih baik lagi mengabdikan diri kepada Allah swt dan bermanfaat bagi manusia lain dan lingkungan sekitar kita. Khairunnas anfauhum linnas, ‘sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya’.

            Karena kita sudah tersesat dengan pikiran-pikiran sesat, tetapi kita menganggapnya sebagai “kebenaran dan kebaikan”, lihat apa hasil dari itu semua. Orang-orang berlomba mencari uang sebanyak-banyaknya dan kehormatan setinggi-tingginya tanpa mempedulikan etika dan orang lain. Mereka kemudian tenggelam pada perilaku korupsi, kolusi, kerja sama rahasia, melecehkan orang lain, tidak menghargai karya orang lain, berupaya menjatuhkan orang lain, dan lain sebagainya. Di pikiran mereka hanya ada “uang” dan “kehormatan”.

            Pikiran dan tujuan “sekolah” yang hanya untuk kerja, uang, dan kehormatan jelas membuat jauh dari ajaran kebenaran, ajaran orang-orang yang telah diberikan nikmat, yaitu para nabi. Coba kita perhatikan apakah korupsi, kolusi, kerja sama rahasia, bersaing secara buruk, curang, menjatuhkan orang lain, dan melecehkan itu merupakan cerminan dari khairunnas anfauhum linnas?

            Apakah perilaku-perilaku itu merupakan perilaku yang bermanfaat bagi orang lain?

            Jelas tidak!

            Penyebabnya padahal sepele, yaitu bersekolah untuk mendapatkan uang, kedudukan, dan kehormatan.

            Berbeda jauh dengan “sekolah” yang bertujuan memberikan manfaat kepada orang lain. Ilmu yang telah didapatnya dan posisi yang telah ditempatinya akan digunakan sebagai alat untuk memberikan manfaat kepada orang lain dan sarana mengabdikan diri kepada Allah swt. Soal uang, materi, kekayaan, dan harta benda akan mengikuti sendiri. Allah swt akan melengkapi kehidupan seseorang agar seseorang itu melaksanakan tugasnya untuk memberikan manfaat kepada manusia lainnya.

            Jika menjadi dokter, dia akan berhati-hati agar tidak merugikan pasien dan tidak akan mengambil keuntungan secara curang dari pasiennya. Jika menjadi guru atau dosen, tidak akan memberatkan siswanya, apalagi jualan ijazah palsu. Jika menjadi pemimpin masyarakat, ia tidak akan menyedot harta rakyat karena hal itu membuatnya menjadi pengkhianat bagi dirinya sendiri. Orang yang tujuannya hanya Allah swt dengan cara memberikan manfaat kepada orang lain akan terhindar dari perilaku buruk karena jika berperilaku buruk, sama saja dengan mencederai cita-cita sebagai orang yang ingin memberikan manfaat bagi manusia lainnya.

            Sekarang contoh lain.

            Masih ingat bahwa kita tidak boleh sombong dan jika memberi dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu?

            Ajaran itu adalah ajaran para nabi.

            Akan tetapi, dengan hidup menggunakan politik demokrasi, kita dituntut menjadi orang-orang sombong yang suka menyebarluaskan kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan. Untuk mendapatkan kedudukan dalam proses demokrasi, jelas harus menampilkan diri dan berteriak-teriak bahwa kita adalah paling baik dibandingkan orang lain serta merinci segala kegiatan baik kita di hadapan orang banyak. Bahkan, adapula orang yang cuma mengarang dan menipu masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang seolah-olah baik, padahal palsu.

            Kita menganggap bahwa demokrasi adalah baik dan benar, tetapi lihat apa buktinya. Kita jadi gemar menuduh, suka bertengkar, rajin korupsi, sombong, mudah stress, berupaya mencari celah dari jeratan hukum padahal sudah jelas bersalah, kerap berdusta, ringan memfitnah, senang sekali melihat orang lain jatuh, dan lain sebagainya.

            Begitukah ciri-ciri orang yang khairunnas anfauhum linnas?

            Padahal, yang namanya jabatan itu adalah beban di dunia dan penyesalan di akhirat. Jabatan itu sesungguhnya amanat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan diakhirat. Kini kita sudah sangat sering melihat bahwa banyak sekali orang yang dulunya menduduki jabatan tinggi, lalu terlempar ke penjara.

            Demokrasi itu kelihatannya ajaran yang baik, tetapi sesungguhnya mendorong orang untuk menjauh dari ajaran para nabi, ajaran orang-orang yang diberikan kenikmatan. Bahkan, sesungguhnya hanya memancing orang untuk mengikuti jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat.

            Lihat saja orang-orang yang lebih dahulu melaksanakan demokrasi di negeri asalnya. Mereka sudah sangat sering gelisah, tak tahu hidup untuk apa, penghormatan kepada orangtua sudah hampir musnah, seks bebas jadi kewajaran, sering sekali memfitnah orang lain, gemar berdusta, mudah bertengkar, tidak menghormati perempuan, gampang membunuh, grasa-grusu, meragukan eksistensi Tuhan, menjatuhkan orang lain merupakan kebiasaan, korup, dan seabrek kemaksiatan lainnya.


Hanya Satu Jalan

Hanya ada satu jalan dan jalan itu sebenarnya ada di depan mata, hanya kita harus menguatkan mental dan keinginan kita untuk melangkah pada jalan itu. Jalan itu adalah milik para nabi yang jelas-jelas diberikan kenikmatan oleh Allah swt.

            Jalan-jalan lain yang menyimpang dan bertentangan dengan para nabi adalah jalan yang dimurkai dan sesat.

            Sebagai seorang muslim, kita harus menampakkan bahwa kita berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mengikuti jalan para nabi. Kita hanya harus mengikuti jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan.

            Jika kita ternyata menggunakan cara hidup atau jalan hidup sebagaimana orang-orang yang dimurkai dan sesat, lalu apa bedanya kita dengan mereka?

            Kita harus menjadi cahaya dalam kehidupan dunia ini, bukan hidup dalam kegelapan sebagaimana mereka yang tenggelam dalam kegelapan. Begitulah seharusnya muslim bersikap dan bangga dengan hal itu karena kita pun akan sama-sama diberikan kenikmatan oleh Allah swt bukan kemurkaan dan kesesatan.
 
Akan tetapi, jika kita hidup berada di jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat, tanyalah diri kita sendiri, “Apakah kita benar-benar muslim atau hanya seorang beridentias muslim yang senang mengikuti jalan hidup orang-orang yang dimurkai dan sesat?”

Friday, 5 June 2015

Mengabdi Dulu Baru Meminta



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Hampir di seluruh instansi, baik swasta maupun negeri, biasanya gaji, honor, maupun bonus, selalu diberikan setelah kita bekerja. Artinya, kita harus melakukan dulu serangkaian aktivitas yang dikehendaki oleh atasan kita, kemudian kita berhak meminta atau memohon upah atas kerja yang kita lakukan. Sangatlah aneh jika ada seseorang atau sekelompok orang yang protes meminta haknya diberikan, tetapi tidak dapat menunjukkan hasil kerjanya. Ia tidak akan pernah mendapatkan apa yang dia inginkan sebelum bekerja dengan baik. Bekerja dengan baik adalah syarat utama untuk mendapatkan upah dan tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Jika tidak bekerja dengan baik atau bekerja tidak sesuai instruksi, ia bisa tidak mendapatkan honor atau bahkan diberhentikan dari pekerjaan tersebut.

            Demikian pula seharusnya kita bersikap kepada Allah swt. Kita harus menunjukkan diri terlebih dahulu sebagai hamba yang baik, taat, dan tahan uji agar Allah swt mengasihi kita, melindungi kita, memberikan jalan keluar bagi kita dari berbagai kesulitan, dan membimbing kita ke jalan yang Dia inginkan. 

Begitulah etika yang harus dilakukan jika kita mengharapkan sesuatu dari Allah swt sebagaimana firman Allah swt dalam Al Quran Surat Al Fatihah ayat 5:

“Hanya kepada Engkaulah kami mengabdi dan  hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”

Ayat tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya kita harus mengabdi dulu kepada Allah swt, baru meminta pertolongan. Kita harus menunjukkan sepenuh jiwa raga bahwa hanya Allah swt yang kita sembah, yang kita agungkan, yang kita abdi, bukan yang lain. Kita harus jelas secara lahir dan batin bahwa Allah swt sajalah yang menjadi tujuan serta zat yang kita takuti dan kita taati. Kita tidak boleh taat kepada siapa pun, kecuali Allah swt. Setelah kita menunjukkan diri sebagai hamba sejati Allah swt, baru kita pantas untuk meminta pertolongan Allah swt.

Yang harus diingat adalah Allah swt pemilik segalanya dan berkuasa atas segala sesuatu. Artinya, Allah swt adalah Zat yang seharusnya paling ditakuti dan dipatuhi. Segala sesuatu yang bertentangan dengan Allah swt harus pula menjadi musuh kita dan kita tidak boleh berada di dalam kubangan para penentang Allah swt.

Sangatlah tidak etis jika kita hidup jauh dari tuntunan Allah swt, bahkan berada dalam kubangan lumpur kesesatan, tetapi ketika kita ditimpa musibah atau menginginkan sesuatu, tiba-tiba kita memohon kepada Allah swt. Kita pasti tidak berani meminta uang atau gaji kepada seorang direktur yang tidak kita kenal dan kita tidak pernah bekerja padanya.

Akan tetapi, mengapa kita berani meminta kepada Allah swt tanpa menunjukkan kepatuhan kita secara nyata kepada Allah swt?

Tidak tahu malukah kita?

Yang lebih parah adalah menuding Allah swt sebagai tidak adil jika tidak mengabulkan permohonan kita. Lebih jauh lagi adalah menganggap bahwa doa itu sama sekali tidak berguna karena keinginan kita tidak dipenuhi Allah swt.

Memangnya Allah swt adalah Koordinator Pengadaan Barang dan Jasa?

Memangnya Allah swt adalah  Penjaga Gudang Barang dan Jasa?

Terlalu banyak orang yang telah merendahkan Allah swt dengan cara memohon tanpa menunjukkan bukti diri sebagai orang yang taat kepada-Nya.

Benar sekali Allah swt memiliki segalanya serta menjaga dan memelihara segala milik-Nya, baik di Bumi maupun di langit, baik yang tampak maupun yang gaib. Oleh sebab itu, kita harus menunjukkan diri sebagai pribadi-pribadi yang pantas mendapatkan pertolongan dan rahmat Allah swt.


Allah swt Menjerumuskan Manusia ke Lembah Kesulitan

Sering pula Allah swt menjerumuskan hamba-Nya ke dalam lembah kesulitan dan penderitaan yang seolah-olah tak berakhir. Allah swt membiarkannya dalam kesengsaraan dan kepedihan mendalam. Itu artinya Allah swt sedang menguji dan membersihkan diri seseorang dari berbagai dosa dan kekotoran hidup. 

Allah swt benar-benar menyaksikan orang-orang yang dijerumuskan-Nya dalam kehinaan dan mengujinya, apakah benar-benar beriman serta kembali kepada-Nya ataukah akan mengambil jalan pintas yang teramat buruk dan menyesatkan?

Jika orang-orang itu tetap beriman dan kembali kepada Allah swt, kemudian dengan sangat lirih mengakui berbagai dosa yang telah diperbuatnya serta menangis memohon pertolongan Allah swt dengan kata-kata permohonan yang tulus penuh mutiara hikmah, Allah swt senang kepada orang itu dan membanggakannya di hadapan para malaikat. Sungguh, Allah swt kerap menjebak manusia dalam lembah kesengsaraan agar mereka menggunakan lidahnya dengan bersih untuk memohon ampun, mengagungkan Allah swt, dan meminta dengan kepasrahan untuk segera dilepaskan dari kesulitan yang sedang dideritanya.

Menurut Syekh Abdul Qadir Jaelani, manusia itu tidak akan pasrah kepada Allah swt jika masih ada sesuatu yang lain yang bisa menolong dirinya. Orang itu tidak akan pernah benar-benar tunduk kepada Allah swt jika masih ada orang lain atau sesuatu yang lain yang menjadi andalannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi, ketika tidak ada seorang pun atau sesuatu pun yang mampu menolong dirinya, ia mulai menyadari bahwa hanya Allah swt yang mampu menyelamatkan dirinya.

Ketika ditimpa kesulitan, biasanya manusia berusaha dengan dirinya sendiri. Ketika dirinya tidak mampu menyelesaikannya, dia meminta pertolongan kepada orang banyak, orang yang lebih kuat, atau orang yang punya kekuasaan atas banyak hal. Ia akan sangat mengharapkan pertolongan mereka. Tak letih ia mondar-mandir, menunggu berjam-jam, berhari-hari hanya untuk merayu dan mengemis rasa kasihan dari orang-orang yang dianggap lebih berkuasa atas dirinya. Akan tetapi, ketika orang-orang itu tidak dapat memberikan pertolongan dan terlepas dari dirinya, ia mulai mencari hal-hal lain yang dapat menyelamatkan dirinya. Ia akan berpayah-payah mencari jalan keluar dari kesedihan dan kebingungan yang menimpanya. Ketika tak ada sesuatu pun atau seorang pun yang dapat dijadikan penolong bagi dirinya, ia mulai kecewa teramat berat, sedih tiada terkira, bingung bukan kepalang. Ia benar-benar merasa putus dari sekelilingnya, tak ada lagi yang bisa diharapkan. Benar-benar dia putus asa. Allah swt memang sedang benar-benar meremukan dirinya. Hancurlah dirinya, terhina sampai ke dasar-dasarnya.

Ia sudah sangat putus asa. Ia berulang-ulang berdoa kepada Allah swt dengan kalimat-kalimat yang menyedihkan dan penuh keputusasaan. Ia benar-benar sangat mengharapkan Allah swt. Akan tetapi, sayang seribu sayang, Allah swt tetap membiarkannya dalam keadaan tanpa harapan. Allah swt membenamkannya dalam lumpur kehinaan. Doa-doa yang dipanjatkannya tak kunjung terkabul karena memang Allah swt tidak mengabulkannya.

Ketika semua sudah tak bisa lagi diharapkan dan Allah swt seolah-olah membiarkan doa-doanya hangus dan hancur menjadi serpihan-serpihan tak berguna yang ditiup angin terbuang ke segala arah, ia kemudian hanya bertumpu pada ruhnya. Ia kini hidup bagai bola sepak yang ditendang ke sana kemari oleh para pemain bola tanpa bisa melakukan apa pun karena sudah terlalu letih. Ia sudah bagai jenazah di tangan orang-orang yang memandikannya. Ia sudah tak ada lagi upaya untuk melakukan sesuatu bagai mayat yang dibolak-balikan oleh orang yang memandikannya.

Sungguh ia sedang diuji. Dalam keadaan terkapar penuh derita, ia bisa memilih antara kesesatan dan Allah swt. Jika dia memilih kesesatan, Allah swt akan membiarkannya terombang-ambing dalam lautan kebingungan tanpa petunjuk hingga akhir hayatnya jika Allah swt tidak memberikannya pertolongan dan berakhir dalam neraka. Akan tetapi, jika dia memilih kebenaran, Allah swt mulai menjanjikannya dengan berbagai harapan-harapan. Perlahan namun pasti, Allah swt mulai membasuh luka-lukanya, menghangati lagi tubuhnya dari dinginnya kesengsaraan. Allah swt memperlakukannya bagai bayi yang baru lahir. Bayi itu menangis atau tidak, Sang Ibu tetap menyusuinya. Artinya, berdoa ataupun tidak Allah swt akan memberikan rahmatnya. Allah swt mulai menyembuhkannya dari segala kesusahan dan diberinya jalan keluar dari berbagai kesulitan.

Kondisi ini adalah kondisi terbaru bagi dirinya. Dia sudah sangat diperhatikan Allah swt. Jika Allah swt mulai lagi memberinya banyak kemudahan, lalu dia terlena lagi dengan kemudahan itu, Allah swt mengancamnya lagi dan mulai lagi menghancurkannnya seremuk-remuknya. Kemudian, jika dia kembali sadar dengan cepat, Allah swt pun memudahkannya lagi. Dalam keadaan sulit, ia tetap diberikan harapan. Dalam keadaan penuh dengan kemudahan, ia tetap berada dalam ancaman Allah swt.

Allah swt memperlakukannya demikian karena menginginkan dia melakukan pengabdian yang utuh kepada-Nya agar Allah swt mengujinya. Kemudian jika dia berhasil, Allah swt tetap bersamanya. Jika dia gagal, tersesatlah dalam kehampaan hidup.

Mulailah menunjukkan diri sebagai pengabdi sejati Allah swt dan ingkari seluruh hal yang menjauhkan diri dari Allah swt. 

Mudah-mudahan Allah swt selalu melindungi dan memberikan petunjuk kepada kita semua.

Amin.