Sunday 16 May 2021

Lebaran Pertama tanpa Ayah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Mungkin banyak yang berlebaran tanpa ayahnya, saya salah satunya. Memang ada satu perasaan yang hilang ketika merayakan hari Idul Fitri tanpa Ayah. Biasanya, sekeluarga full team sungkeman, memohon maaf atas segala kesalahan dan mendapatkan doa dari kedua orangtua. Jika salah satu orangtua kita tidak ada atau kedua-duanya tidak ada, acara sungkeman kepada orangtua pun tak ada lagi.

Karena tak ada lagi acara seperti orangtua masih ada, perasaan kehilangan itu pun menimbulkan rasa rindu. Kerinduan itu pun diupayakan untuk dipenuhi. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa-masa lebaran, banyak orang yang mengunjungi makam orangtuanya. Itu karena rindu dan sangat manusiawi. Tindakan mengunjungi makam karena rindu bukanlah perilaku sesat.

Masa rindu orangtua dibilang sesat?


Begitu juga saya. Lebaran kali ini hanya ada Mamah, tetapi Bapak tidak ada. Untuk mengobati kerinduan itu, saya mengajak anak bungsu saya yang sudah menginjak remaja untuk mengunjungi makam ayah saya, kakeknya anak-anak. Hal itu saya lakukan sekaligus mengajarkan anak saya untuk tetap menjaga ikatan rasa dengan ahli kubur dengan cara memeriksa keadaan makamnya, mengecek tugas penjaga makam karena kan keluarga sudah membayar agar makamnya terawat, membersihkan makamnya dengan tangan sendiri, memberinya bunga agar terlihat lebih indah, menyiraminya air agar lebih segar, dan tentu saja mendoakan ayah saya. 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan bahwa jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya. Dia sudah tidak bisa lagi beramal, berkarya, atau melakukan berbagai hal seperti ketika masih hidup, kecuali tiga hal. Ketiga hal itu ialah “sedekah jariyah” yang dilakukan ketika hidup karena pahalanya terus mengalir meskipun sudah wafat; “Ilmu yang bermanfaat” yang diajarkan dan diimplementasikan ketika masih hidup; “Doa anak soleh”, doa Sang Anak pahalanya akan terus mengalir kepada orangtua yang sudah wafat. Oleh sebab itu, saya berusaha sejauh yang saya bisa selalu berdoa untuk ayah saya dengan harapan pahalanya mengalir terus kepada ayah saya dan saya pun mendapatkan pahala dari kebaikan yang saya lakukan.


“De,” kata saya kepada anak saya yang bungsu itu, saya memanggilnya Dede, namanya sih Radifta Badar Natabuana, “Semua orang pasti meninggal. Dede bakal meninggal, Mamah, Papah, Aa, Teteh, Enin, Bibi, semua bakal meninggal. Kita semua hanya menunggu giliran. Orang yang sudah meninggal tidak bisa ngapa-ngapain lagi, mereka menunggu doa dari kita yang masih hidup. Dengan doalah mereka masih mendapatkan pahala di alam kuburnya.


Yuk, kita berdoa buat Aki semoga diampuni seluruh dosanya, diterima iman dan islamnya, diberikan tempat yang nyaman, terang, dan menyenangkan di alam kubur, serta dipersatukan dengan orang-orang yang telah diberikan kenikmatan, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Jangan lupa pula doakan seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat supaya terus diberikan kemudahan dan perlindungan oleh Allah swt.

Al Fatihah.”

Selepas berdoa, saya ajak anak saya berbicara kepada kakeknya sebagaimana ketika masih hidup, “Aki, kami pulang dulu ya, semoga Aki tenang dan bahagia di alam sana.”

Kami pun pulang. Alhamdulillaah, kerinduan sedikit terobati.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment