Friday, 21 May 2021

Pentingnya Pasukan Perdamaian di Al Quds

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam menyikapi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina yang menimbulkan perang dan menimbulkan kerusakan terhadap kemanusiaan, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi hadir dalam Sidang Majelis Umum (SMU) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis, 20 Mei 2021. Sengaja dia datang untuk mendesak PBB mengambil tiga aksi penting untuk menghentikan perang dan kekerasan yang terjadi. Setelah Menlu RI Retno menyampaikan desakannya, kita tahu bahwa besoknya, pukul 02.00 dini hari disepakati gencatan senjata antara Israel dan Hamas untuk menghentikan “sementara” penggunaan senjata dan aksi-aksi militer di kedua belah pihak.

            Dari tiga aksi penting yang diusulkan Retno Marsudi dalam SMU PBB tersebut, dalam tulisan kali ini saya ingin beropini tentang satu usulan aksi tersebut. Hal itu adalah desakan Retno agar hadirnya “kekuatan internasional” di “Al Quds” untuk mengawasi dan memastikan keselamatan rakyat Palestina serta menjamin perlindungan status “Kompleks Al-Haram Al-Sharif” yang dianggap sebagai tempat suci bagi tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.

            Selama ini, kompleks tersebut diklaim, dikelola, dan dikuasai Israel. Pasukan Israel adalah yang berkuasa di tempat tersebut. Hal itu menimbulkan kerawanan konflik yang bisa kapan saja terjadi mengingat masih besarnya kebencian di antara mayoritas warga Palestina dan Israel. Perang yang terjadi di antara mereka baru-baru ini pun diklaim Israel dan pendukungnya gara-gara warga Palestina yang melempari pasukan Israel dengan batu-batu di kawasan Al Quds. Padahal, pelemparan itu pun sebenarnya diakibatkan oleh perilaku Israel sebelumnya terhadap warga Palestina yang kerap melakukan penggusuran, pengusiran, dan penindasan lainnya. Dengan demikian, di tempat itu bisa dikatakan mudah sekali terjadi bentrokan.

            Usulan Menlu RI Retno Marsudi adalah sangat masuk akal untuk menjaga rakyat dan keamanan di kawasan tersebut. Pasukan perdamaian internasional diharapkan dapat lebih netral bersikap dan lebih bijak mengambil tindakan. Kalaulah masih timbul kecurigaan atau kekhawatiran, baik dari pihak Palestina atau Israel terhadap kenetralan pasukan perdamaian di luar kalangan mereka, Indonesia bisa menawarkan diri menjadi pasukan perdamaian pertama di kawasan itu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas usulan tersebut. Artinya, kekhawatiran bisa timbul dari pihak Palestina jika pasukan perdamaian berasal dari negara-negara barat karena dianggap pro-Israel atau Israel bisa khawatir jika pasukan perdamaian berasal dari negara-negara Arab yang dianggap membenci mereka. Indonesia bisa menjembatani berbagai kekhawatiran itu mengingat “politik luar negeri bebas dan aktif” yang mengharuskan dirinya bebas dari tekanan negara mana pun dan mewajibkan dirinya untuk selalu aktif menciptakan perdamaian dunia. Di samping itu, Indonesia pun sedang dalam keadaan terus berupaya adil untuk mengelola bangsanya yang majemuk, beragam agama, suku, dan ras. Tambahan pula bahwa Indonesia itu dalam hal militer cenderung bersikap “defensive”, ‘pertahanan diri’, setiap orang Indonesia tidak pernah ingin untuk menyerang negara lain dan tidak ingin menjajah negara lain.

            Intinya, untuk membuat situasi lebih terkendali, diperlukan pasukan perdamaian internasional yang lebih netral, lebih adil, dan lebih biijak. Syaratnya, pasukan ini harus mendapat mandat dari PBB, Israel bersedia mundur dari Kompleks Al-Haram Al-Sharif, dan Palestina harus menghormati kehadiran pasukan perdamaian tersebut.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment