oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam menyikapi konflik yang
terjadi antara Israel dan Palestina yang menimbulkan perang dan menimbulkan
kerusakan terhadap kemanusiaan, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno
Marsudi hadir dalam Sidang Majelis Umum (SMU) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada Kamis, 20 Mei 2021. Sengaja dia datang untuk mendesak PBB mengambil tiga
aksi penting untuk menghentikan perang dan kekerasan yang terjadi. Setelah
Menlu RI Retno menyampaikan desakannya, kita tahu bahwa besoknya, pukul 02.00
dini hari disepakati gencatan senjata antara Israel dan Hamas untuk
menghentikan “sementara” penggunaan senjata dan aksi-aksi militer di kedua
belah pihak.
Dari tiga aksi penting yang diusulkan Retno Marsudi dalam
SMU PBB tersebut, dalam tulisan kali ini saya ingin beropini tentang satu
usulan aksi tersebut. Hal itu adalah desakan Retno agar hadirnya “kekuatan
internasional” di “Al Quds” untuk mengawasi
dan memastikan keselamatan rakyat Palestina serta menjamin perlindungan status “Kompleks Al-Haram Al-Sharif” yang
dianggap sebagai tempat suci bagi tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.
Selama ini, kompleks tersebut diklaim, dikelola, dan dikuasai
Israel. Pasukan Israel adalah yang berkuasa di tempat tersebut. Hal itu
menimbulkan kerawanan konflik yang bisa kapan saja terjadi mengingat masih
besarnya kebencian di antara mayoritas warga Palestina dan Israel. Perang yang
terjadi di antara mereka baru-baru ini pun diklaim Israel dan pendukungnya
gara-gara warga Palestina yang melempari pasukan Israel dengan batu-batu di
kawasan Al Quds. Padahal, pelemparan itu pun sebenarnya diakibatkan oleh
perilaku Israel sebelumnya terhadap warga Palestina yang kerap melakukan
penggusuran, pengusiran, dan penindasan lainnya. Dengan demikian, di tempat itu
bisa dikatakan mudah sekali terjadi bentrokan.
Usulan Menlu RI Retno Marsudi adalah sangat masuk akal
untuk menjaga rakyat dan keamanan di kawasan tersebut. Pasukan perdamaian
internasional diharapkan dapat lebih netral bersikap dan lebih bijak mengambil
tindakan. Kalaulah masih timbul kecurigaan atau kekhawatiran, baik dari pihak Palestina
atau Israel terhadap kenetralan pasukan perdamaian di luar kalangan mereka,
Indonesia bisa menawarkan diri menjadi pasukan perdamaian pertama di kawasan
itu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas usulan tersebut. Artinya,
kekhawatiran bisa timbul dari pihak Palestina jika pasukan perdamaian berasal
dari negara-negara barat karena dianggap pro-Israel atau Israel bisa khawatir
jika pasukan perdamaian berasal dari negara-negara Arab yang dianggap membenci
mereka. Indonesia bisa menjembatani berbagai kekhawatiran itu mengingat “politik luar negeri bebas dan aktif” yang
mengharuskan dirinya bebas dari tekanan negara mana pun dan mewajibkan dirinya
untuk selalu aktif menciptakan perdamaian dunia. Di samping itu, Indonesia pun
sedang dalam keadaan terus berupaya adil untuk mengelola bangsanya yang
majemuk, beragam agama, suku, dan ras. Tambahan pula bahwa Indonesia itu dalam
hal militer cenderung bersikap “defensive”,
‘pertahanan diri’, setiap orang Indonesia tidak pernah ingin untuk
menyerang negara lain dan tidak ingin menjajah negara lain.
Intinya, untuk membuat situasi lebih terkendali,
diperlukan pasukan perdamaian internasional yang lebih netral, lebih adil, dan
lebih biijak. Syaratnya, pasukan ini harus mendapat mandat dari PBB, Israel
bersedia mundur dari Kompleks Al-Haram Al-Sharif, dan Palestina harus
menghormati kehadiran pasukan perdamaian tersebut.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment