oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Konflik Israel dan Palestina
memunculkan dua kubu pemikiran di tanah air Indonesia. Ada yang pro-Palestina dan
ada yang pro-Israel. Mayoritas adalah yang pro-Palestina, sedangkan yang
pro-Israel jumlahnya hanya beberapa gelintir orang, sebagaimana jumlah orang
Israel yang juga sangat sedikit, dengan jumlah penduduk DKI Jakarta saja
beda-beda tipis, sekitar sembilan juta orang. Dilihat dari opini yang beredar,
para pendukung Israel ini miskin data, berpendapat hanya parsial, tidak utuh,
dan menyandarkan pendapatnya dari sumber-sumber Israel. Mereka membenci Hamas
yang dianggapnya penjahat dan teroris karena melawan Israel. Padahal, Hamas
eksis itu disebabkan perilaku Israel yang banyak melakukan kejahatan kepada
bangsa Palestina.
Jika
Israel dari dulu mau secara beradab mengikuti program “two state solution”, ‘solusi dua negara merdeka’, yaitu di wilayah
itu tercipta Negara Israel Merdeka dan Palestina Merdeka dengan hidup
berdampingan, situasinya akan jauh berbeda, persoalan bisa diselesaikan dengan
cara berdialog dan diskusi-diskusi yang jauh lebih elegan. Akan tetapi, zionis
lebih memilih jalan premanisme, terorisme, dan kriminalisme yang mengakibatkan
situasi semrawut hingga saat ini. Mereka memang kurang belajar dari sejarah
mereka sendiri yang penuh masalah dan penuh kekacauan dari zaman ke zaman.
Bagi zionis dan para pendukungnya, termasuk yang berada
di Indonesia, Israel memiliki hak untuk melakukan kekerasan dan kekejaman
terhadap bangsa Palestina dengan dalih bahwa Israel pun berhak hidup dan
membela dirinya. Oleh sebab itu, bagi mereka, Hamas adalah penjahat yang harus
dimusnahkan karena melawan Israel. Bagi Palestina dan para pendukungnya di
seluruh dunia, Zionis Israel adalah penjahat karena menjajah Palestina. Hamas
adalah pahlawan yang mengimbangi berbagai kejahatan yang dilakukan Israel
terhadap rakyat Palestina.
Sesungguhnya, perbedaan pendapat dan pemikiran ini selalu
ada dalam setiap konflik yang terjadi antara para penjajah dengan bangsa yang
dijajah. Tidak terlalu aneh.
Di Indonesia, bagi Belanda, selaku penjajah, dan para
pendukung penjajahan, Pangeran Diponegoro adalah perampok, penjahat, dan
provokator yang menghasut para petani untuk memberontak terhadap Belanda. Akan
tetapi, bagi Indonesia, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan yang sangat
dihormati hingga saat ini karena membela rakyat kecil, termasuk para petani.
Haji Hasan Arif
dari Cimareme, Garut, adalah provokator, ekstrimis, dan penghasut karena memprovokasi
para petani untuk tidak menyerahkan beras sebagai pajak kepada Belanda. Dia
mengumpulkan para santri dari Garut, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung,
dan beberapa daerah lainnya di Jawa Barat untuk berperang melawan Belanda. Bagi Belanda, selaku
penjajah, dan para pendukungnya, Haji Hasan Arif adalah penjahat yang harus
dibunuh karena melawan penjajahan. Akan tetapi, bagi Indonesia, khususnya rakyat
Garut, Hasan Arif adalah pejuang, pahlawan karena melakukan perlawanan kepada
Belanda.
Omar Mochtar, bagi Italia adalah perampok, pembunuh, dan
penjahat karena melakukan serangkaian serangan kepada pasukan Italia yang
melakukan penjajahan pada Libya. Bagi rakyat Libya dan para pendukungnya, Omar
Mochtar adalah pejuang, pahlawan, dan mujahid yang sangat dihormati. Ia sampai
hari ini dikenal dengan gelarnya sebagai “Lion
of The Desert”, ‘Singa Padang Pasir’.
Hamas bagi Zionis Israel dan pendukungnya adalah penjahat
karena melakukan perlawanan terhadap Israel yang menjajah Palestina. Bagi
bangsa Palestina dan pendukungnya, saat
ini Hamas adalah pejuang dan pahlawan karena melakukan pembalasan atas
kejahatan yang dilakukan Israel kepada bangsa Palestina.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sebutan pahlawan atau
penjahat bergantung posisi kita. Jika kita mendukung penjajahan, mereka yang
melawan penjajahan adalah penjahat. Sebaliknya, jika kita mendukung rakyat
terjajah, mereka yang melawan penjajahan adalah pejuang dan pahlawan. Posisi
kita menentukan pendapat kita.
Secara konstitusi, rakyat Indonesia wajib mendukung
rakyat terjajah dan harus anti terhadap penjajahan. Secara kemanusiaan yang
berlaku universal, kita wajib mengakui bahwa semua manusia itu memiliki hak
dasar yang sama untuk merdeka. Secara ketuhanan, kita harus memahami bahwa semua
manusia itu memiliki kewajiban untuk hidup harmonis dan saling menyayangi.
Ingat
bahwa pendapat dan perilaku kita akan
dimintai pertanggungjawaban di alam akhirat nanti.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment