Saturday, 15 May 2021

Palestina Jangan Bergantung pada Negara Lain

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya




Hidup itu jangan selalu bergantung pada orang lain. Boleh sekali-sekali, tetapi tidak untuk selamanya. Kita harus mampu mengandalkan potensi, kekuatan, dan kreativitas diri agar lebih punya harga diri dan sanggup untuk memutuskan segala hal untuk kebaikan diri kita sendiri. Jika kita selalu hidup bergantung kepada orang lain, selalu berharap belas kasihan orang lain, kekuasaan kita untuk berkuasa terhadap diri sendiri pun akan sangat rendah. Wibawa kita akan sangat minim.

            Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu bangsa atau negara akan berwibawa jika mampu menggali potensi dirinya, kemudian mewujudkannya dalam kehidupan internasional. Kita bisa lihat Singapura, negara kecil segede pelok buah mangga itu mampu berwibawa karena dapat mengeksplorasi potensi dirinya, baik para elit maupun rakyatnya, kemudian menggunakannya dalam pergaulan internasional.

            Jika kita melihat kasus-kasus di Palestina terkait konfliknya dengan Israel, tampak sekali ketergantungannya kepada negara lain. Setiap terjadi konflik, Palestina, dunia Arab, negara berpenduduk mayoritas muslim, maupun para aktivis kemanusiaan kerap berteriak meminta bantuan dan pertanggungjawaban negara lain.

            Kok Arab Saudi diam saja?

            Bagaimana negara-negara muslim lainnya? Kok tenang-tenang saja?

            Turki seharusnya kirim pasukan perang melawan Israel ke Palestina!

            Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia seharusnya lebih keras bersikap kepada Israel!

            Bagaimana pertanggungjawaban PBB?

            Kalimat-kalimat semacam itu sering terdengar. Hal itu menjadikan Palestina sebagai “anak teraniaya” yang harus selalu dilindungi orang lain. Padahal, di tanah itulah muncul kisah manusia paling perkasa sedunia “Syamun Al Ghazi” yang dikenal dunia lewat film dan  ceritera sebagai “Samson”.

            Sesungguhnya, kemerdekaan, kedaulatan, dan kekuasaan mengatur dirinya sendiri adalah bergantung pada dirinya sendiri. Kita bisa berkaca pada kemerdekaan Negara Indonesia yang mengalami penjajahan paling mengerikan di muka Bumi dalam waktu yang sangat panjang (C. Santin dalam Soekarno : 1963), lebih lama dibandingkan Palestina. Dalam hitungan saya dari beberapa literatur yang saya baca, bantuan dari luar negeri atau pihak asing untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, paling hanya 10%; kemudian 10% dari momen dunia saat itu; persentase terbesarnya adalah 80% perjuangan bangsa Indonesia sendiri.

            Bantuan pihak asing yang diterima Indonesia bisa berupa dukungan kepada perjuangan dan kemerdekaan Indonesia di organisasi internasional, pendidikan para pemuda Indonesia, bantuan materi bagi orang-orang Indonesia yang menjalin hubungan dengan orang-orang di luar negeri, dan lain sebagainya. Momen dunia yang menguntungkan Indonesia adalah kekalahan Jepang setelah perang melawan pasukan multinasional (sekutu). Perjuangan rakyat Indonesia adalah penyumbang terbesar terhadap keberhasilan mendapatkan kemerdekaan Indonesia.

            Hal yang paling menguatkan perjuangan Indonesia adalah adanya rasa persatuan, senasib dan sepenanggungan, serta kesetiaan kepada komando revolusi. Saya teringat ajaran guru saya ketika SD soal “sapu lidi”. Sapu lidi itu kuat dan bermanfaat jika lidi-lidi yang terpisah itu diikat dan disatukan menjadi sapu lidi. Akan tetapi, jika diceraiberaikan menjadi lidi yang terpisah-pisah, akan lemah dan mudah dipatahkan. Begitulah perumpaan “persatuan Indonesia”. Oleh sebab itu, sampai saat ini pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia yang “waras otak” selalu memerangi setiap upaya beberapa gelintir orang yang dianggap mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Kalau Indonesia sampai tercerai-berai, lemahlah kemerdekaan negaranya.

            Begitu pula dengan Palestina saat ini. Saya kurang yakin jika kemerdekaan Palestina bisa dicapai jika hitungan persentasenya dibalik: 80% bantuan asing, 10% momen dunia, dan 10% perjuangannya sendiri. Sulit sekali menjadi berdaulat jika hitungannya seperti itu.

            Situasi dan kondisi di Palestina saat ini masih belum menunjukkan rasa persatuan yang utuh. Kelompok-kelompok perlawanan atau kalau diibaratkan sebagai lidi-lidi yang ada, masih tercerai berai, belum kuat seperti sapu lidi yang terikat kuat. Tak jarang di antara kelompok-kelompok itu terlibat perselisihan yang sebetulnya merugikan mereka sendiri. Israel dan para pendukung Israel memanfaatkan kelemahan Palestina itu untuk terus memperlemah Palestina dan memiliki celah untuk bersikap arogan terhadap Palestina.

            Bersatulah dulu dalam satu komando, insyaallah sekuat Syamun Al Ghazi atau Samson.

            Soal senjata?

            Penjajah Indonesia menggunakan senjata modern dan canggih, kita awalnya cuma pakai bambu runcing. Bisa menang kok.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment