oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
“Saya Pernah Punya Seorang
Sahabat”. Begitu arti judul tulisan ini. Itu adalah
judul lagu dalam bahasa Jerman. Lagu ini dilantunkan dengan syahdu nan merdu menggunakan
terompet oleh angkatan laut Jerman untuk menghormati 53 awak KRI Nanggala 402
yang gugur di perairan Bali beberapa waktu lalu. Angkatan laut Jerman merasa
kehilangan sahabat-sahabatnya dari Indonesia, terutama sesama awak kapal selam.
Mereka memang bersahabat karena di samping banyak prajurit Indonesia yang
belajar di Jerman, juga karena KRI Nanggala 402 adalah kapal selam buatan Jerman.
Ada hal yang menarik bagi saya tentang simpati dan empati
yang ditunjukkan oleh para prajurit Jerman untuk para prajurit Indonesia itu.
Hal itu adalah sudah semakin lunturnya dan menghilangnya kepercayaan kuno
bangsa Jerman yang menganggap dirinya ras manusia paling unggul di muka Bumi.
Dulu mereka menganggap dirinya adalah keturunan Dewa Aria, ras terunggul dan
berhak menguasai Bumi. Kepercayaan inilah yang membuat Hitler memicu perang
dunia. Mereka menganggap bahwa ras di luar mereka adalah ras rendah, bahkan menurut
kalangan para ateis, bangsa di luar Eropa adalah kera yang masih berproses
menjadi manusia. Indonesia pun bukan manusia, melainkan kera yang belum menjadi
manusia utuh. Begitu menurut mereka karena bersandarkan pada teori Darwin. Akan
tetapi, dengan adanya ritual atau upacara penghormatan kepada para awak KRI
Nanggala 402 yang gugur itu, tampak bahwa keangkuhan keyakinan kuno sudah mulai
hancur meskipun masih ada di kalangan fanatik kuno. Lantunan menyayat hati “Ich Hatte Einen Kamerad” membuktikan
bahwa mereka pun merasa bahwa kita semua adalah manusia yang bisa bersahabat
dan kehilangan. Artinya, tak tampak ada keangkuhan purba yang mengaku-aku
sebagai manusia paling tinggi di dunia
itu.
Upacara penghormatan Jerman untuk Indonesia itu
menunjukkan bahwa manusia sudah jauh lebih maju dalam hal kemanusiaan. Manusia
sudah sangat menginginkan persahabatan, perdamaian, dan kerja sama yang
positif. Manusia berusaha sejauh mungkin menghindari hal-hal yang menjurus ke arah
konflik, apalagi konflik fisik. Dengan demikian, mereka yang selalu cari
gara-gara untuk menimbulkan konflik, merekayasa huru-hara, dan memancing
kerusakan hidup adalah manusia yang menarik-narik manusia lainnya untuk hidup
di zaman kuno, zaman pembunuhan, zaman penguasaan manusia atas manusia lainnya
dengan menggunakan kekerasan.
Jerman
saja yang pernah mengklaim diri sebagai manusia terhebat hingga memicu perang
dunia serta membantai bangsa Israel, bisa melunak, ingin bersahabat dengan
manusia ras lainnya, dan menghormati Indonesia. Masa orang-orang yang pas-pasan
ilmunya, pas-pasan ekonominya, pas-pasan informasinya, pas-pasan pengalamannya,
pas-pasan kekuatannya, petantang-petenteng ingin menguasai dunia hingga
menimbulkaan tindakan teror di antara manusia?
Persahabatan
dengan bangsa mana pun harus dijalin jika bangsa tersebut menghormati manusia
dan kemanusiaan.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment