Showing posts with label Doa. Show all posts
Showing posts with label Doa. Show all posts

Sunday, 5 December 2021

Tuhan Bukan Orang Arab

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Judul itu adalah pernyataan Kasad Jenderal Dudung Abdurachman ketika diwawancara di podcast Deddy Corbuzier. Tayangan video itu sekitar satu jam sembilan menit. Saya mendengarnya biasa saja dari awal hingga akhir, tidak ada yang aneh.

            Tuhan memang bukan orang Arab kan?

            Tuhan memang bukan orang, bukan manusia, dan bukan Arab.

            Apanya yang aneh?

            Hal yang aneh justru banyak yang meributkan pernyataan itu dengan memutarbalikkan fakta dan membahasnya hingga menjadi kacau tidak karuan. Mereka yang meributkan pernyataan itu justru telah membuat “misleading information”, ‘informasi menyesatkan’. Banyak orang yang katanya ustadz, ulama menambah kekacauan informasi sehingga timbul tuduhan bahwa Dudung telah menyamakan Tuhan dengan orang. Dudung dianggap penista agama. Padahal, di dalam kalimat Dudung itu ada kata “bukan” yang artinya Tuhan tidak sama dengan orang. Tidak ada dasar yang bisa membuat suatu kesimpulan bahwa Dudung telah menyamakan Tuhan dengan orang.

            Orang-orang itu cuma bikin ribut saja. Mereka gemar sekali menyesatkan pikiran orang lain dan membiarkan orang lain dalam kebodohan.

            Begini yang saya perhatikan dalam podcast itu. Dudung menjelaskan bahwa dirinya setiap selesai shalat selalu berdoa dengan menggunakan bahasa Indonesia.

            Dia bilang, “Tuhan kan bukan orang Arab.”

            Maksudnya, berdoa dengan bahasa apa pun Tuhan pasti tahu, pasti mengerti, pasti paham. Tidak harus selalu menggunakan bahasa Arab. Tuhan kan memahami seluruh bahasa karena Dia sendiri yang menciptakan bahasa itu. Pernyataan Dudung justru menunjukkan bahwa Tuhan adalah Sang Penguasa terhadap segala sesuatu, termasuk bahasa. Sesederhana itu untuk memahami kalimat Dudung.

            Kalimat-kalimat ini bukan hanya dari Dudung yang saya dengar, melainkan dari banyak orang. Banyak ustadz, kyai, ulama, profesor yang mengaku bahwa lebih suka menggunakan bahasa Sunda atau bahasa Indonesia ketika berdoa karena lebih terasa di hati. Saya yakin di antara para pembaca pun sering dan banyak yang berdoa dengan menggunakan bahasanya sendiri dibandingkan menggunakan bahasa Arab. Itu biasa, normal, wajar karena itu persoalan hati dan pemahaman terhadap bahasa untuk menyampaikan keinginan kita kepada Tuhan dengan lebih baik.

            Memang banyak doa yang diajarkan Allah swt dan Nabi Muhammad saw dengan menggunakan bahasa Arab, banyak yang hapal, banyak yang paham, banyak yang sering mengucapkannya. Akan tetapi, keinginan manusia itu banyak dan sangat banyak yang tidak diajarkan dalam bahasa Arab.

            Contohnya, seorang sais atau kusir delman berdoa, “Ya Allah, Ya Tuhanku, sehatkanlah kudaku, kuatkanlah aku, bahagiankanlah para penumpangku agar aku tetap mendapatkan rezeki untuk keluargaku.”

            Bagi orang Arab atau orang yang fasih berbahasa Arab, tidak akan kesulitan berdoa seperti itu dalam bahasa Arab. Akan tetapi, bagi orang yang tidak ahli berbahasa Arab, pasti sangat kesulitan.

            Bahasa apa yang akan digunakan untuk doa-doa seperti itu?

            Pastinya adalah bahasa yang dia mengerti. Tuhan pun akan mengerti bahasa dia karena memahami seluruh bahasa.

            Saya sendiri berdoa di depan Kabah di Mekah sambil memegang tembok Kabah memakai baju batik dan ikat kepala Sunda dengan mengunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, dan Arab. Allah swt pasti mengerti doa-doa yang saya sampaikan karena Allah swt Mahatahu Segala Bahasa.







            
Jadi, Tuhan itu bukan orang dan bukan Arab karena orang dan Arab itu adalah makhluk, ‘ciptaan’. Adapun Tuhan adalah khalik, ‘pencipta’.

            Jangan bikin sesuatu yang biasa dan nggak penting menjadi heboh nggak karuan, apalagi menyesatkan dan menumbuhkan kebencian.

            Begitu, ya.

            Sampurasun.

Sunday, 16 May 2021

Lebaran Pertama tanpa Ayah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Mungkin banyak yang berlebaran tanpa ayahnya, saya salah satunya. Memang ada satu perasaan yang hilang ketika merayakan hari Idul Fitri tanpa Ayah. Biasanya, sekeluarga full team sungkeman, memohon maaf atas segala kesalahan dan mendapatkan doa dari kedua orangtua. Jika salah satu orangtua kita tidak ada atau kedua-duanya tidak ada, acara sungkeman kepada orangtua pun tak ada lagi.

Karena tak ada lagi acara seperti orangtua masih ada, perasaan kehilangan itu pun menimbulkan rasa rindu. Kerinduan itu pun diupayakan untuk dipenuhi. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa-masa lebaran, banyak orang yang mengunjungi makam orangtuanya. Itu karena rindu dan sangat manusiawi. Tindakan mengunjungi makam karena rindu bukanlah perilaku sesat.

Masa rindu orangtua dibilang sesat?


Begitu juga saya. Lebaran kali ini hanya ada Mamah, tetapi Bapak tidak ada. Untuk mengobati kerinduan itu, saya mengajak anak bungsu saya yang sudah menginjak remaja untuk mengunjungi makam ayah saya, kakeknya anak-anak. Hal itu saya lakukan sekaligus mengajarkan anak saya untuk tetap menjaga ikatan rasa dengan ahli kubur dengan cara memeriksa keadaan makamnya, mengecek tugas penjaga makam karena kan keluarga sudah membayar agar makamnya terawat, membersihkan makamnya dengan tangan sendiri, memberinya bunga agar terlihat lebih indah, menyiraminya air agar lebih segar, dan tentu saja mendoakan ayah saya. 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan bahwa jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya. Dia sudah tidak bisa lagi beramal, berkarya, atau melakukan berbagai hal seperti ketika masih hidup, kecuali tiga hal. Ketiga hal itu ialah “sedekah jariyah” yang dilakukan ketika hidup karena pahalanya terus mengalir meskipun sudah wafat; “Ilmu yang bermanfaat” yang diajarkan dan diimplementasikan ketika masih hidup; “Doa anak soleh”, doa Sang Anak pahalanya akan terus mengalir kepada orangtua yang sudah wafat. Oleh sebab itu, saya berusaha sejauh yang saya bisa selalu berdoa untuk ayah saya dengan harapan pahalanya mengalir terus kepada ayah saya dan saya pun mendapatkan pahala dari kebaikan yang saya lakukan.


“De,” kata saya kepada anak saya yang bungsu itu, saya memanggilnya Dede, namanya sih Radifta Badar Natabuana, “Semua orang pasti meninggal. Dede bakal meninggal, Mamah, Papah, Aa, Teteh, Enin, Bibi, semua bakal meninggal. Kita semua hanya menunggu giliran. Orang yang sudah meninggal tidak bisa ngapa-ngapain lagi, mereka menunggu doa dari kita yang masih hidup. Dengan doalah mereka masih mendapatkan pahala di alam kuburnya.


Yuk, kita berdoa buat Aki semoga diampuni seluruh dosanya, diterima iman dan islamnya, diberikan tempat yang nyaman, terang, dan menyenangkan di alam kubur, serta dipersatukan dengan orang-orang yang telah diberikan kenikmatan, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Jangan lupa pula doakan seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat supaya terus diberikan kemudahan dan perlindungan oleh Allah swt.

Al Fatihah.”

Selepas berdoa, saya ajak anak saya berbicara kepada kakeknya sebagaimana ketika masih hidup, “Aki, kami pulang dulu ya, semoga Aki tenang dan bahagia di alam sana.”

Kami pun pulang. Alhamdulillaah, kerinduan sedikit terobati.

Sampurasun.

Tuesday, 10 November 2015

Mendoakan Orang yang Tidak Jelas Adalah Kebegoan



oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Doa adalah senjata orang beriman. Itu jelas. Doa bisa menembus batas waktu dan tempat. Ia akan menarik energi ketuhanan sebagaimana kalimat-kalimat yang dipanjatkan dan akan memberikan energi ekstra bagi pendoanya. Orang yang gemar berdoa hatinya akan lembut dan penuh percaya diri dalam menapaki kehidupan ini. Allah swt adalah satu-satunya zat yang membuatnya kuat dan tenang sepanjang hidupnya.

            Doa pun berarti permohonan agar Allah swt memberikan atau menganugerahkan sesuatu sesuai dengan keinginan pendoanya. Doa pun berarti pengakuan diri bahwa pendoa adalah makhluk yang lemah dan sangat membutuhkan pertolongan dari Zat Mahakuat, Allah swt.

            Berdoa untuk orang lain adalah sangat baik. Dalam suatu keterangan disebutkan bahwa jika kita berdoa untuk kebaikan orang lain, saat itu pula ada seribu malaikat yang berdoa untuk kita. Jadi, berdoa untuk orang lain itu memiliki manfaat positif pula bagi pendoanya yang jauh berlipat ganda kebaikannya dibandingkan dengan doa yang kita panjatkan.

            Berdoa untuk orang lain adalah bagus. Akan tetapi, akan menjadi aneh jika kita mendoakan orang-orang yang tidak jelas, orang-orang yang tidak kita ketahui manfaatnya bagi diri kita, orang-orang yang hanya diklaim sebagai orang baik tanpa kita tahu sejauh mana kebaikannya, orang-orang yang hanya diiklankan sebagai pemimpin tanpa kita tahu apa manfaatnya dia bagi kita, orang-orang yang hanya dikampanyekan sebagai orang shaleh tanpa kita tahu dengan jelas keshalehannya.

            Hal yang lebih lucu adalah jika mendoakan pemimpin negara lain yang sama sekali tidak memberikan manfaat apa pun bagi kita. Bahkan, ada banyak orang di Indonesia ini yang begonya bukan main. Orang-orang bego ini mendoakan pemimpin negara lain, baik yang masih hidup maupun yang sudah modar sejak lama dan menginginkan orang-orang Indonesia serta Negara Indonesia untuk mengekor pada para pemimpin negara lain itu. Aneh. Padahal, orang-orang bego itu sendiri tidak pernah mendapatkan manfaat apa pun dari orang yang disanjung-sanjungnya itu. Aneh bin tolol. Begonya, mereka yakin bahwa kebegoannya itu adalah suatu kebaikan. Benar-benar goblok. Gilanya lagi orang-orang bego itu bikin-bikin acara seperti tradisi negara lain yang aneh dan dianggap suatu ritual utama sesuai anjuran dari para pemimpin negara lain itu. Kusut pikiran mereka itu.

Ngapain sih mereka melakukan hal-hal tolol serupa itu?

Pernah mendapat keuntungan apa sih dari para pemimpin negara lain itu?

Mengapa begitu yakin jika mengikuti para pemimpin yang tidak bermanfaat itu bakalan masuk sorga?

Emang pernah ada jaminan dari Allah swt bahwa mereka itu adalah sudah dipastikan masuk sorga?

Benar-benar herman saya … eh … heran saya.

Nih, saya kasih tahu bahwa yang lebih baik kita doakan itu adalah Ir. Soekarno, Proklamator RI, yang sejak muda sudah mencintai bangsanya dan menderita berulang-ulang ditahan pihak kolonialis. Dia berjuang untuk kita dan kita pun mendapatkan manfaat dari Ir. Soekarno. Dia adalah orang yang sangat pantas didoakan daripada mendoakan pemimpin negara lain yang tidak jelas juntrungnya.

Yang pantas didoakan itu adalah Jenderal Sudirman yang sekuat tenaga dalam keadaan sakit keluar masuk hutan untuk kemerdekaan Indonesia. Meskipun sudah dinasihati banyak orang untuk beristirahat, ia tidak mau berhenti berjuang.

Ia dengan tegas dalam keadaan sakit parah mengatakan, “Sudirman boleh sakit, tetapi Jenderal Sudirman tidak boleh sakit.”

Hebat kan perjuangannya?

Kita orang Indonesia mendapatkan manfaat dan keuntungan dari sepak terjangnya Jenderal Besar Sudirman. Bodoh jika kita merasa dirugikan oleh Jenderal Sudirman. Dialah yang lebih berhak untuk kita doakan dibandingkan para petinggi negara lain yang gemar mengafirkan orang itu.

Yang pantas didoakan itu adalah Mohammad Natsir yang banyak memberikan pencerahan dan pelajaran berharga bagi Indonesia. Ia adalah intelektual nomor wahid yang pikirannya tajam dan jauh ke depan sehingga bangsa Indonesia mendapatkan banyak wawasan dalam berbangsa dan bernegara. Dia adalah orang yang pantas kita doakan daripada orang-orang yang mengklaim diri sebagai orang yang dekat dengan Tuhan, tetapi gemar berbohong.

Yang pantas didoakan dan didengar nasihatnya itu adalah Prabu Kian Santang, Buya Hamka, Tjut Nyak Dhien, Tuanku Tambusai, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Ternate, Hasanuddin, dan ribuan pahlawan Indonesia lainnya yang telah bertaruh nyawa untuk kita. Sangatlah goblok kita jika mendoakan orang-orang yang hanya dikabarkan sebagai orang berilmu, tetapi justru menebar perpecahan di antara kita.

Tradisi yang pantas diikuti adalah tradisi yang diciptakan para wali. Para wali itu menciptakan tradisi untuk suasana gotong royong, kebersamaan, dan harmonisasi kehidupan. Beda banget dengan tradisi yang dijalankan di luar negeri yang diklaim sebagai ritual utama, tetapi penuh dengan kekerasan dan menumbuhkan dendam serta kebencian.

Kalian mengerti apa yang saya tulis ini?

Kebangetan kalau kalian tidak mengerti!

Yang pantas kita doakan dan kita dengar nasihatnya adalah mereka yang benar-benar mencintai kita dan membuktikannya dalam sepanjang hidup mereka, bukan orang-orang yang berasal dari luar negeri yang hanya berupaya menyebarkan pengaruh dan menimbulkan kekisruhan di antara kita, bahkan sama sekali tidak memberikan manfaat apa pun bagi kita.

Sudah jangan berperilaku bego lagi ngikut-ngikut orang-orang yang hanya mengklaim diri sebagai orang benar, tetapi tidak membuktikan diri sebagai orang yang mencintai kita dan peduli dengan cinta itu sendiri.

Kalian ngerti ini?

Harus!