oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ini
pengalaman pribadi. Ketika mulai melakukan perdebatan di Youtube serta “mengganggu”
situs-situs anti-Islam dan pemfitnah Indonesia, saya memang agak harus ekstra kerja
keras menerangkan kebenaran Islam dan kebaikan Indonesia. Ada banyak ayat Al
Quran, teori sosial, sejarah, dan logika yang saya gunakan untuk mengalahkan
mereka.
Saya
memang lumayan senang berdebat dengan mereka karena dunia berpikir mereka
adalah “orang-orang hebat dan tinggal di negara-negara well developed”, tetapi ternyata mereka tidak sepintar yang
disangka orang dan sama sekali tidak hebat. Saya yakin sekali mereka sama
sekali tidak istimewa. Kita saja yang terlalu bodoh mempercayai berbagai
propaganda mereka yang menganggap mereka lebih pintar daripada kita. Di samping
itu, kita sejak awal sudah terbius dengan anggapan yang dibangun mereka bahwa
kita lebih bodoh dibandingkan mereka. Salah sekali Saudara. Sungguh, kita lebih
pintar dan lebih bijaksana dibandingkan mereka. Persoalannya adalah kita harus
yakin dan memiliki banyak kesempatan serta ruang untuk mengaktualisasikan
kecerdasan dan kebijaksanaan kita. Jujur saja, keyakinan kita masih sangat
kecil, kesempatan yang ada pun sangat minim, ruang untuk mengaktualisasikan
kecerdasan dan kebijaksanaan kita pun sangat terbatas.
Siapa
yang salah atas hal itu?
Semua
akan menuduh dengan mudah bahwa pemerintahlah yang salah!
Selalu
begitu. Pemerintahlah yang pasti disalahkan jika bangsa ini tidak berkembang.
Padahal, bukan hanya pemerintah yang salah, rakyatnya juga salah tidak memaksa
pemerintah untuk benar-benar serius mengembangkan potensi masyarakat. Hal itu
bisa dilihat dari biaya penelitian yang sangat minim. Kalaupun dana penelitian
yang ada bisa diserap akademisi, banyak dana yang justru jatuh ke tangan
akademisi korup yang tidak menghasilkan penelitian yang signifikan bagi
pembangunan bangsa. Akademisi korup itu hanya menikmati dana penelitian sebagai
penambah kesenangan diri tanpa hasil yang bisa dibanggakan. Kalaupun ada anak
bangsa yang cerdas dan berpotensi, pemerintah tidak segera menyiapkan ruang dan
fasilitas untuk mengembangkan potensinya, malah ada kesan “meragukan” yang
seterusnya “membiarkan” potensi itu tidak bermanfaat. Bagi orang cerdas yang
beruntung, potensi mereka justru dimanfaatkan oleh negara lain, untuk kemudian berkarir
dan berkarya untuk negara lain. Bagi
yang tidak beruntung, ya harus cukup puas dengan “ketidakberuntungannya”. Hal
itu terjadi bukan hanya pada bidang ilmu pasti, melainkan pula pada
bidang-bidang ilmu sosial. Hal itu disebabkan kita masih “tersihir” oleh
keharusan menggunakan teori-teori dan pendapat “asing” yang sebetulnya banyak
yang tidak terlalu sesuai untuk keadaan Negara Indonesia. Sementara itu, hasil
olah pikir berdasarkan sejarah dan budaya bangsa “terpinggirkan”, padahal
memiliki kesesuaian yang tinggi terhadap kondisi Negara Indonesia. Masih banyak
hal lain yang bisa menunjukkan bahwa kita, Indonesia, belum memiliki kesadaran
untuk membuka kesempatan dan ruang agar potensi asli bangsa ini bisa berkembang
maksimal. Kita hanya baru bisa bersikap “kampungan” dengan berbangga diri jika
telah bisa mengikuti cara hidup dan gaya hidup orang lain.
Oke,
kita kembali pada maksud judul tulisan ini. Saat ini saya sama sekali tidak
merasa sulit berdebat dengan orang-orang asing itu, baik tentang Islam maupun
tentang Indonesia. Hal itu disebabkan di samping banyak sekali yang telah saya
sampaikan dan tidak terbantahkan, juga keterbatasan pengetahuan mereka untuk
mendebat saya. Artinya, mereka hanya memiliki pengetahuan terbatas dan
menganggap keterbatasannya itu sebagai kehebatannya. Akibatnya, mereka selalu
berupaya mengalahkan saya dengan masalah yang sudah selesai saya perdebatkan
dengan orang lain. Mereka mendesakkan masalah yang sama dan selalu berulang.
Saya mudah saja menjawab mereka. Saya suruh mereka membaca perdebatan saya
dengan orang lain karena hal yang mereka sampaikan sudah saya jelaskan
sedetail-detailnya. Kalau ada yang sangat arogan tidak mau membaca perdebatan
saya dengan orang lain dan memaksa saya untuk secara khusus berdebat dengan
dirinya, saya mudah saja melakukannya, yaitu copy-paste dari perdebatan yang pernah saya lakukan dengan orang
lain.
Sama
saja kan?
Lucu
jadinya.
Mereka
menjadi tambah lucu dan saya sering sekali menertawakannya. Mereka sering
protes bahwa saya menghina mereka karena saya banyak tertawa.
Mau
tidak tertawa bagaimana, mereka itu lucu karena mencari permasalahan lain yang
tidak mereka kuasai dan sebatas dugaan dengan pikiran yang semrawut dan kalimat
yang juga semrawut. Contohnya, pada awal-awal berdebat dengan saya, mereka
sering sekali menunjukkan situs-situs yang memuat berita tentang “intoleransi”
di Indonesia. Mereka tahu bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas
muslim terbesar di dunia. Di situs-situs yang mereka tunjukkan memang banyak
berita yang membuat kesan bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk Islam
terbesar yang tidak memiliki rasa toleransi tinggi, bahkan sangat tidak toleran.
Mereka menunjukkan berita tentang kisruh di Ambon, Poso. Akan tetapi, setelah
saya perhatikan, berita yang ditulis di situs itu banyak bohongnya dan penuh
dengan opini. Saya lebih tahu dibandingkan mereka tentang hal itu. Mereka pun
menunjukkan berita tentang penggusuran rumah ibadat agama-agama tertentu.
Lagi-lagi, saya melihat banyak kebohongan dari berita yang mereka tulis itu.
Masa ada candi yang dihancurkan oleh salah satu pemerintah daerah di Indonesia.
Lagi pula, mereka hanya melihat penggusuran sebagai tindakan intoleransi,
padahal Indonesia itu punya aturan yang harus dipatuhi dalam membangun rumah
ibadat. Kalau tidak sesuai aturan, ya harus digusur. Mereka juga menunjukkan berita
perilaku pengusiran dan huru-hara yang dilakukan pihak mayoritas terhadap
minoritas. Padahal, saya sangat tahu berita tentang itu. Pihak mayoritas memang
melakukan kekerasan, tetapi kekerasan itu dipicu oleh arogansi pihak minoritas
yang mengganggu kenyamanan mayoritas. Oleh sebab itu, menurut saya, siapa pun
yang menebarkan kebencian dan permusuhan atas dasar merasa benar sendiri adalah
“Ajaran Sesat Berdasarkan Pancasila”.
Itu
adalah agama sesat!
Aliran
sesat!
Ajaran
sesat!
Kesesatan
perilaku mereka telah membuat Indonesia yang kita cintai menjadi bulan-bulanan
di media sosial asing dan media massa asing. Indonesia dipandang sebagai negeri
yang tidak beradab dan jauh dari rasa kemanusiaan.
Memalukan!
Sesungguhnya,
kita, Indonesia adalah lebih beradab dibandingkan orang lain Demi Allah swt
kita adalah lebih beradab. Persoalannya, kita terlalu banyak mendengarkan
bisikan dan pendapat orang-orang asing serta menganggap benar pendapat mereka.
Padahal, menarik kesimpulan dan bergerak atas dasar pendapat orang asing adalah
kesalahan sangat besar jika tanpa dianalisis lebih mendalam dengan menggunakan
kearifan lokal bangsa Indonesia. Terlalu banyak mendengarkan opini asing hanya
akan membuat kita menjadi brutal seperti mereka. Lihat saja saja sejarah mereka
yang dipenuhi oleh pembunuhan, perang, penipuan, penindasan, persaingan,
penguasaan, dan penjajahan. Sementara itu, Indonesia diajari para leluhurnya
untuk selalu hidup harmonis, baik dengan sesama manusia, alam, maupun Sang Maha
Pencipta.
Beruntung
sekali, Allah swt selalu memberikan jalan keluar kepada Indonesia agar
menyelesaikan permasalahan konflik-konflik sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Lihat saja banyak permasalahan yang diselesaikan dengan kembali pada kesadaran
diri atas keharusan hidup saling menghargai, memaafkan, berbagi, saling
melindungi, dan mau bekerja sama secara positif. Penyelesaian-penyelesaian itu
bukan didasarkan teori asing, tetapi berdasarkan local wisdom bangsa Indonesia.
Tidakkah
kita mengerti hal itu dan mengambil pelajaran dari hal itu?
Beruntung
sekali pula orang-orang luar negeri yang berupaya mendiskreditkan Indonesia
sebagai negara tidak beradab hanya berdasarkan berita-berita sepotong-sepotong
yang kemudian dilumuri banyak kebohongan, dugaan tak berdasar, serta opini tak
berpengetahuan. Oleh sebab itu, saya mudah sekali mengalahkan mereka karena
saya berdasarkan kenyataan dan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Mereka tak
bisa apa-apa lagi karena memang tidak bisa menunjukkan pendapat mereka sebagai
kebenaran.
Akan
tetapi, lucunya, mereka tidak berhenti berupaya menyudutkan Indonesia meskipun
dengan mempermalukan diri mereka sendiri. Maksudnya, mereka mencari celah-celah
untuk mengalahkan saya dengan pikiran mereka yang semrawut dan menggelikan.
Saking mereka kehabisan bahan untuk menyudutkan Indonesia, mereka berupaya
mendiskreditkan dengan hal yang sangat mustahil diterima akal. Akibatnya, saya
mudah sekali menggebuk mereka. Sekali dua kali gebuk mereka terjatuh, tak
bangun lagi.
Begini
contohnya.
Seseorang
yang menggunakan nama New Age mendebat
saya dengan aneh. Dia sepertinya orang India, tetapi saya tidak tahu pasti.
Saya hanya melihatnya dari nama teman-temannya yang punya nama India. Tentu saja
perdebatan itu dalam bahasa Inggris, saya menerjemahkannya di sini
New
Age
Dapatkah kamu memberitahukan
pemisahan persentase dari populasi nonmuslim di Indonesia? Juga, dapatkah kamu
mencoba dan membayangkan Indonesia yang dikatakan 20% Kristen, 20% Budha, 20%
Hindu, 60% Muslim? Segalanya akan menjadi jelas dalam topik “intoleransi”.
Tom
Finaldin
Pemisahan?
Hmmmm … sesungguhnya, kami
tidak mengenal istilah itu.
Kami memang memiliki banyak
perbedaan, tetapi kami adalah satu.
Indonesia memiliki sekitar
250 juta penduduk. 90% muslim dan 10% adalah Kristen, Budha, Hindu, dan
Konghucu.
Jadi, bagaimana bisa kamu menghubungkan
antara komposisi penduduk dengan intoleransi?
Tunjukkan kecerdasanmu
padaku!
New
Age
Itulah maksudku. Bahwa %
dari nonmuslim hanya bisa menurun di Indonesia. Tidak pernah bertambah.
Tom
Finaldin
Kamu orang yang lucu.
Apa hubungannya antara
nonmuslim yang tidak bertambah banyak dengan intoleransi?
==================================================================
Perdebatan itu pun terhenti
karena dia tidak bisa menjawabnya. Pasti dia tidak bisa meneruskannya karena
dari awal, kalimat dan pikirannya saja sudah semrawut.
Akan tetapi, ada seorang muslim lain yang mengomentari Si
New Age. Dia menggunakan nama Billing
Visamaster. Mungkin nama perusahaannya. Dia orang Indonesia yang pernah
tinggal di Jepang.
Saya tidak akan menerjemahkannya ke dalam bahasa
Indonesia. Terjemahkan saja sendiri.
==================================================================
Billing
Visamaster
New
Age, you are very very smart ass hole
==================================================================
Ada lagi yang berupaya
mengalahkan saya dengan menggunakan nama Gojo
Bojo. Saya tidak tahu apakah dia orang India atau Jepang. Lagi-lagi dia
mendebat saya dengan hal yang sudah selesai saya perdebatkan dengan orang lain.
Saya copy-paste aja jawaban saya
untuk orang lain buat menjawab Si Gojo Bojo. Kali ini saya terjemahkan lagi.
==================================================================
Gojo
Bojo
Islam disebarkan dengan
perang dan pemberontakan dan pemaksaan sampai saat ini sejarahnya tertulis di
dalam buku.
Tom
Finaldin
Buku?
Buku di dalam halusinasi
kamu?
Beritahu aku tentang buku
itu.
Apa judul buku itu? Apa
warnanya? Siapa yang menulisnya? Tahun berapa buku itu diterbitkan? Buku itu
diterbitkan di kota mana? Apa nama penerbitnya? Berapa edisi? Kamu membacanya
dalam edisi yang ke berapa?
==================================================================
Perdebatan itu pun segera berhenti. Total. Mutlak
berhenti. Dia pikir dengan berbohong telah membaca buku bisa mengalahkan saya.
Tidak bisa. Karena saya ingin juga baca jika buku itu benar-benar ada dan ingin
tahu kredibilitas penulisnya. Di samping itu, saya ingin tahu dari mana Sang
Penulis mendapatkan bahan-bahan untuk membuat buku bohong itu.
Mereka berupaya mendiskreditkan Indonesia melalui media
sosial dan media massa internasional karena memang ada peristiwa yang mereka
anggap sebagai intoleransi, kemudian membumbuinya dengan ribuan kebohongan.
Padahal, yang terjadi bukanlah intoleransi, melainkan kekacauan yang diciptakan
oleh para pengacau yang mengakibatkan orang-orang menjadi marah. Kemarahan dan
tindakan kasar masyarakat yang merasa terganggu itulah yang mereka sebut
sebagai intoleransi. Pendapat yang sangat tidak adil dan tidak berpengetahuan.
Pemerintah dan tokoh masyarakat Indonesia harus dapat
mencegah kelompok-kelompok kecil yang sering sekali memicu huru-hara. Mereka
bisa melakukan fitnah, adu domba, dan kebohongan yang membuat marah banyak
orang. Ketika orang banyak marah, media massa asing melihatnya dengan “lahap”
sebagai makanan lezat untuk dihidangkan setelah dibumbui dengan opini kerdil
dan analisis menyesatkan. Dengan demikian, Indonesia tercetak dalam ingatan
dunia sebagai bangsa yang tidak beradab.
Saya menduga memang ada orang-orang yang berkeliaran di
dunia nyata dan di dunia maya dengan membuat berbagai kesemrawutan dan memicu
berbagi permusuhan serta pertengkaran. Saya melihat modus yang mirip dengan
hasil yang juga banyak yang mirip. Salah satu contohnya, ada kenalan saya yang
tiba-tiba di akun facebook-nya ada yang menghina Agama Kristen, kemudian ada orang
Kristen yang balik menyerang Islam dengan kata-kata kotor dan merendahkan.
Teman saya itu tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan sama sekali tidak
mengenalnya. Beruntung, pancingan-pancingan murahan itu tidak ditanggapi sama
yang lainnya sehingga ditinggalkan begitu saja bagai sampah. Akan tetapi, itu
merupakan pertanda memang ada orang-orang yang bertujuan untuk membuat
pertengkaran. Jika pertengkaran itu memuncak, mereka mundur dengan senang dan
memicu pertengkaran lagi di tempat lainnya. Orang-orang seperti inilah yang
harus ditangkap dan dibasmi karena memang punya cita-cita membuat orang lain
bermusuhan.
Indonesia, baik pemimpin dan masyarakatnya harus mengenal
benar jati dirinya dan mampu tampil sebagai cahaya bagi dunia dengan
nilai-nilai luhurnya. Jangan sampai mudah diadu domba sehingga mempermalukan
diri dan bangsa sendiri.
Kalau ada orang yang memfitnah Indonesia, gebuk saja
dengan kenyataan dan kebaikan kita. Mudah kok asal kitanya juga baik.