Wednesday 16 December 2015

Penjilat Pasti Kalah Memalukan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya


Para penjilat itu selalu kalah dan tersingkir secara memalukan. Itu pasti. Akan tetapi, orang-orang jenis ini selalu ada dari zaman ke zaman. Para penjilat itu selalu hadir dan bersembunyi meliuk-liuk di antara orang-orang dalam lingkungan sebuah kelompok kecil, menengah, besar, bahkan dalam lingkungan negara dan dunia. Orang-orang ini memang selalu menjengkelkan, tetapi selalu berakhir memilukan dan memalukan. Tidak pernah ada penjilat yang hidup bahagia, tenang, berakhir secara terhormat, dan namanya tercatat dalam ingatan sejarah manusia sebagai orang yang berbudi luhur. Orang-orang hanya mengingatnya sebagai perusak suasana, pembuat kegaduhan, dan pencipta kedengkian. Mereka membuat suasana rusak, gaduh, dan dengki dengan memiliki harapan dirinya dan kelompoknya mendapatkan keuntungan besar dari kelicikan yang diperbuatnya, sementara orang-orang yang difitnahnya dan disingkirkannya diharapkan menderita berkepanjangan. Begitulah cara penjilat itu hidup.

            Saya mengingatkan siapa saja yang membaca blog ini tentang kisah hidup para penjilat di negeri ini dan yang telah berakhir secara memalukan serta hanya menjadi bahan ejekan banyak orang. Bahkan, diabadikan dalam sebuah syair Sunda yang sangat terkenal, yaitu Ayang Ayang Gung.

            Perhatikan lagu ini. Orang Sunda pasti ingat meskipun tidak tahu artinya karena lagu ini menggunakan bahasa Sunda Lama yang tidak mudah dimengerti sekalipun oleh orang Sunda. Saya pun meskipun sering menyanyikannya semasa kecil, tidak tahu arti dan maknanya. Saya baru paham ketika guru ngaji saya menerangkannya.

            Begini lagunya dalam bahasa Sunda. Nanti saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kemampuan saya mengartikannya.


            Ayang ayang gung
            Gung goongna rame
            Menak Ki Mastanu
            Nu jadi wadana
            Naha maneh kitu?
            Tukang olo-olo
            Loba anu giru
            Ruket jeung Kumpeni
            Niat jadi pangkat
            Katon kagorengan
            Ngantep Kangjeng Dalem
            Lempa lempi lempong
            Ngadu pipi jeung nu ompong



            Dalam bahasa Indonesia:


            Ayang ayang gung
            Gung goongnya rame
            Menak Ki Mastanu
            Yang menjadi wedana
            Kenapa kamu begitu?
            Hidup menjadi penjilat
            Banyak yang berusaha keras
            Hidup erat dengan Kompeni
            Niatnya sih ingin pangkat tinggi
            Akan tetapi, ternyata 
            hanya mendapatkan keburukan
            Membiarkan Kangjeng Dalem
            Lempa lempi lempong
            Adu pipi sama yang ompong


            Memang tidak mudah memahaminya, harus diterangkan maksud yang tersembunyi dari setiap kalimat yang ada dalam syair tersebut. Saya coba jelaskan maknanya sebagaimana yang saya pahami.

            Ayang ayang gung
            Gung goongnya rame

            Syair itu memiliki makna mengisahkan suatu keadaan masyarakat yang sedang dihebohkan oleh isu atau kasus tertentu. Saking hebohnya berita tersebut, lagu itu menggambarkannya seperti bunyi gong yang dipukul berulang-ulang ramai sekali sehinggga membuat bising suasana yang biasanya tenang. Orang-orang membicarakan isu tersebut dari orang kecil, pengusaha, petani sampai ke pejabat.

            Menak Ki Mastanu
            Yang menjadi wedana

            Isu yang menggegerkan masyarakat itu adalah kasus yang menimpa seorang pejabat turunan bangsawan. Namanya Ki Mastanu. Dia adalah pejabat yang menduduki posisi sebagai wedana.

            Kenapa kamu begitu?
            Hidup menjadi penjilat

            Dia sangat terkenal serta menjadi sumber kehebohan dan kegaduhan masyarakat karena perilakunya yang menjijikan, yaitu hidup sebagai penjilat.

            Banyak yang berusaha keras
            Hidup erat dengan Kompeni

            Sebenarnya, bukan hanya Ki Mastanu yang hidup mati-matian menjadi penjilat. Sangat banyak sesungguhnya para pejabat yang hidup sebagai penjilat. Ki Mastanu hanya kebetulan saja perilakunya itu ketahuan orang lain. Sementara itu, pejabat yang berperilaku sebagai penjilat sangat banyak, tetapi belum atau tidak ketahuan seperti Ki Mastanu.

            Ki Mastanu dan pejabat korup lainnya hidup sebagai penjilat adalah dengan menjilati pantat penjajah Belanda. Mereka banyak mengemis dan minta-minta komisi pada Kompeni. Mereka merayu-rayu Belanda agar memberikan persentase dari keuntungan yang didapat Belanda sebagai hasil dari memeras keringat dan darah rakyat Indonesia serta menyedot kekayaan alam Indonesia. Pejabat-pejabat yang bermental seperti Ki Mastanu tidak peduli dengan penderitaan rakyat dan kerusakan alam Indonesia. Bagi mereka, yang penting hasil jilatannya ke dubur Belanda mendapatkan untung besar dan uang banyak.

            Niatnya sih ingin pangkat tinggi
            Akan tetapi, ternyata 
            hanya mendapatkan keburukan

            Di samping menginginkan materi yang banyak, pejabat-pejabat bermental Ki Mastanu mengharapkan pula pangkat dan jabatan yang tinggi dari kolonial Belanda. Mereka menduga bahwa pangkat tinggi sebagai hadiah dari Belanda akan lebih mengukuhkan kedudukan mereka dan memudahkan mereka untuk mendapatkan materi dan kesenangan lebih banyak sebagai hasil dari menguasai rakyat dan wilayahnya.

            Akan tetapi, sayang sejuta sayang, ternyata uang yang mereka harapkan, harta yang mereka cita-citakan, dan kedudukan yang kuat yang mereka impi-impikan tidak menjadi kenyataan. Mereka hanya mendapatkan keburukan dan berakhir terhina memalukan.

            Apa keburukan yang mereka dapatkan?

            Keburukan itu ada dalam syair berikutnya, yaitu:

            Membiarkan Kangjeng Dalem
            Lempa lempi lempong
            Adu pipi sama yang ompong

            Ternyata, Belanda yang mereka harapkan belas kasihannya dan keberkahannya itu meninggalkan para pejabat korup itu. Belanda terpaksa pergi meninggalkan Indonesia karena para pejuang dan rakyat Indonesia telah mengalahkannya. Belanda harus angkat kaki dari Bumi Pertiwi. Mereka sudah tak memiliki lagi kekuasaan untuk mengatur Indonesia. Para revolusioner mengambil alih pemerintahan Belanda di Indonesia.

            Rakyat pun mengejek Ki Mastanu dan para pejabat korup itu dengan syair:

            Lempa lempi lempong
            Adu pipi sama yang ompong

            Artinya, Ki  Mastanu dan para pejabat korup itu hanya cipika cipiki sama orang yang ompong. Maksudnya, mereka hanya bermesra-mesraan dengan pemerintah Belanda yang sudah tidak punya gigi, euweuh huntuan, tidak bisa unjuk gigi lagi untuk menguasai Indonesia. Geus teu boga huntu Walandana oge.

            Ki Mastanu dan pejabat sejenisnya hanya punya harapan kosong untuk kemudian berakhir terhina memalukan dan tersingkir. Hal itu disebabkan rakyat sudah tidak mempercayai mereka lagi dan meminggirkan mereka benar-benar ke pinggir percaturan politik bangsa. Memalukan sekali.

            Nah, dalam kasus perpanjangan kontrak atau izin PT Freeport Indonesia, insting saya mengatakan bahwa di sana kemungkinan besar bertebaran para penjilat semodel Ki Mastanu yang mati-matian menjilati Freeport untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan menipu rakyat Indonesia sambil melecehkan bangsa sendiri. Berbagai cara mereka lakukan untuk mengelabui rakyat Indonesia. Mereka tak peduli dengan rakyat. Mereka tak peduli dengan kerusakan lingkungan. Bagi mereka yang penting uang dan uang itu bisa digunakan untuk memperkaya diri, memperkaya kroninya, dan menguatkan kedudukan mereka.

            Akan tetapi, sayang sejuta sayang, mereka hanya akan berakhir terhina, memalukan, dan tersingkir. Tunggu saja.

Allah swt akan menjatuhkan mereka dengan cara-Nya sendiri. Allah swt akan menghukum mereka dengan hukuman yang bisa langsung dari diri-Nya sendiri atau Allah swt menggunakan manusia untuk menghukum mereka.

Lihat saja saat ini. Tingkah polah mereka dan para pendukungnya telah berhasil membuat rakyat, terutama saya tertawa terpingkal-pingkal. Mereka hanya mendulang kelucuan demi kelucuan.


Memalukan.

No comments:

Post a Comment