Friday, 25 December 2015

Makin Mudah Menggebuk Anti-Islam dan Pemfitnah Indonesia

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Ini pengalaman pribadi. Ketika mulai melakukan perdebatan di Youtube serta “mengganggu” situs-situs anti-Islam dan pemfitnah Indonesia, saya memang agak harus ekstra kerja keras menerangkan kebenaran Islam dan kebaikan Indonesia. Ada banyak ayat Al Quran, teori sosial, sejarah, dan logika yang saya gunakan untuk mengalahkan mereka.

Saya memang lumayan senang berdebat dengan mereka karena dunia berpikir mereka adalah “orang-orang hebat dan tinggal di negara-negara well developed”, tetapi ternyata mereka tidak sepintar yang disangka orang dan sama sekali tidak hebat. Saya yakin sekali mereka sama sekali tidak istimewa. Kita saja yang terlalu bodoh mempercayai berbagai propaganda mereka yang menganggap mereka lebih pintar daripada kita. Di samping itu, kita sejak awal sudah terbius dengan anggapan yang dibangun mereka bahwa kita lebih bodoh dibandingkan mereka. Salah sekali Saudara. Sungguh, kita lebih pintar dan lebih bijaksana dibandingkan mereka. Persoalannya adalah kita harus yakin dan memiliki banyak kesempatan serta ruang untuk mengaktualisasikan kecerdasan dan kebijaksanaan kita. Jujur saja, keyakinan kita masih sangat kecil, kesempatan yang ada pun sangat minim, ruang untuk mengaktualisasikan kecerdasan dan kebijaksanaan kita pun sangat terbatas.

Siapa yang salah atas hal itu?

Semua akan menuduh dengan mudah bahwa pemerintahlah yang salah!

Selalu begitu. Pemerintahlah yang pasti disalahkan jika bangsa ini tidak berkembang. Padahal, bukan hanya pemerintah yang salah, rakyatnya juga salah tidak memaksa pemerintah untuk benar-benar serius mengembangkan potensi masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari biaya penelitian yang sangat minim. Kalaupun dana penelitian yang ada bisa diserap akademisi, banyak dana yang justru jatuh ke tangan akademisi korup yang tidak menghasilkan penelitian yang signifikan bagi pembangunan bangsa. Akademisi korup itu hanya menikmati dana penelitian sebagai penambah kesenangan diri tanpa hasil yang bisa dibanggakan. Kalaupun ada anak bangsa yang cerdas dan berpotensi, pemerintah tidak segera menyiapkan ruang dan fasilitas untuk mengembangkan potensinya, malah ada kesan “meragukan” yang seterusnya “membiarkan” potensi itu tidak bermanfaat. Bagi orang cerdas yang beruntung, potensi mereka justru dimanfaatkan oleh negara lain, untuk kemudian berkarir dan  berkarya untuk negara lain. Bagi yang tidak beruntung, ya harus cukup puas dengan “ketidakberuntungannya”. Hal itu terjadi bukan hanya pada bidang ilmu pasti, melainkan pula pada bidang-bidang ilmu sosial. Hal itu disebabkan kita masih “tersihir” oleh keharusan menggunakan teori-teori dan pendapat “asing” yang sebetulnya banyak yang tidak terlalu sesuai untuk keadaan Negara Indonesia. Sementara itu, hasil olah pikir berdasarkan sejarah dan budaya bangsa “terpinggirkan”, padahal memiliki kesesuaian yang tinggi terhadap kondisi Negara Indonesia. Masih banyak hal lain yang bisa menunjukkan bahwa kita, Indonesia, belum memiliki kesadaran untuk membuka kesempatan dan ruang agar potensi asli bangsa ini bisa berkembang maksimal. Kita hanya baru bisa bersikap “kampungan” dengan berbangga diri jika telah bisa mengikuti cara hidup dan gaya hidup orang lain.

Oke, kita kembali pada maksud judul tulisan ini. Saat ini saya sama sekali tidak merasa sulit berdebat dengan orang-orang asing itu, baik tentang Islam maupun tentang Indonesia. Hal itu disebabkan di samping banyak sekali yang telah saya sampaikan dan tidak terbantahkan, juga keterbatasan pengetahuan mereka untuk mendebat saya. Artinya, mereka hanya memiliki pengetahuan terbatas dan menganggap keterbatasannya itu sebagai kehebatannya. Akibatnya, mereka selalu berupaya mengalahkan saya dengan masalah yang sudah selesai saya perdebatkan dengan orang lain. Mereka mendesakkan masalah yang sama dan selalu berulang. Saya mudah saja menjawab mereka. Saya suruh mereka membaca perdebatan saya dengan orang lain karena hal yang mereka sampaikan sudah saya jelaskan sedetail-detailnya. Kalau ada yang sangat arogan tidak mau membaca perdebatan saya dengan orang lain dan memaksa saya untuk secara khusus berdebat dengan dirinya, saya mudah saja melakukannya, yaitu copy-paste dari perdebatan yang pernah saya lakukan dengan orang lain.

Sama saja kan?

Lucu jadinya.

Mereka menjadi tambah lucu dan saya sering sekali menertawakannya. Mereka sering protes bahwa saya menghina mereka karena saya banyak tertawa.

Mau tidak tertawa bagaimana, mereka itu lucu karena mencari permasalahan lain yang tidak mereka kuasai dan sebatas dugaan dengan pikiran yang semrawut dan kalimat yang juga semrawut. Contohnya, pada awal-awal berdebat dengan saya, mereka sering sekali menunjukkan situs-situs yang memuat berita tentang “intoleransi” di Indonesia. Mereka tahu bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Di situs-situs yang mereka tunjukkan memang banyak berita yang membuat kesan bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar yang tidak memiliki rasa toleransi tinggi, bahkan sangat tidak toleran. Mereka menunjukkan berita tentang kisruh di Ambon, Poso. Akan tetapi, setelah saya perhatikan, berita yang ditulis di situs itu banyak bohongnya dan penuh dengan opini. Saya lebih tahu dibandingkan mereka tentang hal itu. Mereka pun menunjukkan berita tentang penggusuran rumah ibadat agama-agama tertentu. Lagi-lagi, saya melihat banyak kebohongan dari berita yang mereka tulis itu. Masa ada candi yang dihancurkan oleh salah satu pemerintah daerah di Indonesia. Lagi pula, mereka hanya melihat penggusuran sebagai tindakan intoleransi, padahal Indonesia itu punya aturan yang harus dipatuhi dalam membangun rumah ibadat. Kalau tidak sesuai aturan, ya harus digusur. Mereka juga menunjukkan berita perilaku pengusiran dan huru-hara yang dilakukan pihak mayoritas terhadap minoritas. Padahal, saya sangat tahu berita tentang itu. Pihak mayoritas memang melakukan kekerasan, tetapi kekerasan itu dipicu oleh arogansi pihak minoritas yang mengganggu kenyamanan mayoritas. Oleh sebab itu, menurut saya, siapa pun yang menebarkan kebencian dan permusuhan atas dasar merasa benar sendiri adalah “Ajaran Sesat Berdasarkan Pancasila”.

Itu adalah agama sesat!

Aliran sesat!

Ajaran sesat!

Kesesatan perilaku mereka telah membuat Indonesia yang kita cintai menjadi bulan-bulanan di media sosial asing dan media massa asing. Indonesia dipandang sebagai negeri yang tidak beradab dan jauh dari rasa kemanusiaan.

Memalukan!

Sesungguhnya, kita, Indonesia adalah lebih beradab dibandingkan orang lain Demi Allah swt kita adalah lebih beradab. Persoalannya, kita terlalu banyak mendengarkan bisikan dan pendapat orang-orang asing serta menganggap benar pendapat mereka. Padahal, menarik kesimpulan dan bergerak atas dasar pendapat orang asing adalah kesalahan sangat besar jika tanpa dianalisis lebih mendalam dengan menggunakan kearifan lokal bangsa Indonesia. Terlalu banyak mendengarkan opini asing hanya akan membuat kita menjadi brutal seperti mereka. Lihat saja saja sejarah mereka yang dipenuhi oleh pembunuhan, perang, penipuan, penindasan, persaingan, penguasaan, dan penjajahan. Sementara itu, Indonesia diajari para leluhurnya untuk selalu hidup harmonis, baik dengan sesama manusia, alam, maupun Sang Maha Pencipta.

Beruntung sekali, Allah swt selalu memberikan jalan keluar kepada Indonesia agar menyelesaikan permasalahan konflik-konflik sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Lihat saja banyak permasalahan yang diselesaikan dengan kembali pada kesadaran diri atas keharusan hidup saling menghargai, memaafkan, berbagi, saling melindungi, dan mau bekerja sama secara positif. Penyelesaian-penyelesaian itu bukan didasarkan teori asing, tetapi berdasarkan local wisdom bangsa Indonesia.

Tidakkah kita mengerti hal itu dan mengambil pelajaran dari hal itu?

Beruntung sekali pula orang-orang luar negeri yang berupaya mendiskreditkan Indonesia sebagai negara tidak beradab hanya berdasarkan berita-berita sepotong-sepotong yang kemudian dilumuri banyak kebohongan, dugaan tak berdasar, serta opini tak berpengetahuan. Oleh sebab itu, saya mudah sekali mengalahkan mereka karena saya berdasarkan kenyataan dan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Mereka tak bisa apa-apa lagi karena memang tidak bisa menunjukkan pendapat mereka sebagai kebenaran.

Akan tetapi, lucunya, mereka tidak berhenti berupaya menyudutkan Indonesia meskipun dengan mempermalukan diri mereka sendiri. Maksudnya, mereka mencari celah-celah untuk mengalahkan saya dengan pikiran mereka yang semrawut dan menggelikan. Saking mereka kehabisan bahan untuk menyudutkan Indonesia, mereka berupaya mendiskreditkan dengan hal yang sangat mustahil diterima akal. Akibatnya, saya mudah sekali menggebuk mereka. Sekali dua kali gebuk mereka terjatuh, tak bangun lagi.

Begini contohnya.

Seseorang yang menggunakan nama New Age mendebat saya dengan aneh. Dia sepertinya orang India, tetapi saya tidak tahu pasti. Saya hanya melihatnya dari nama teman-temannya yang punya nama India. Tentu saja perdebatan itu dalam bahasa Inggris, saya menerjemahkannya di sini


New Age
Dapatkah kamu memberitahukan pemisahan persentase dari populasi nonmuslim di Indonesia? Juga, dapatkah kamu mencoba dan membayangkan Indonesia yang dikatakan 20% Kristen, 20% Budha, 20% Hindu, 60% Muslim? Segalanya akan menjadi jelas dalam topik “intoleransi”.


Tom Finaldin
Pemisahan?

Hmmmm … sesungguhnya, kami tidak mengenal istilah itu.

Kami memang memiliki banyak perbedaan, tetapi kami adalah satu.

Indonesia memiliki sekitar 250 juta penduduk. 90% muslim dan 10% adalah Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu.

Jadi, bagaimana bisa kamu menghubungkan antara komposisi penduduk dengan intoleransi?

Tunjukkan kecerdasanmu padaku!


New Age
Itulah maksudku. Bahwa % dari nonmuslim hanya bisa menurun di Indonesia. Tidak pernah bertambah.


Tom Finaldin
Kamu orang yang lucu.

Apa hubungannya antara nonmuslim yang tidak bertambah banyak dengan intoleransi?


==================================================================
Perdebatan itu pun terhenti karena dia tidak bisa menjawabnya. Pasti dia tidak bisa meneruskannya karena dari awal, kalimat dan pikirannya saja sudah semrawut.

            Akan tetapi, ada seorang muslim lain yang mengomentari Si New Age. Dia menggunakan nama Billing Visamaster. Mungkin nama perusahaannya. Dia orang Indonesia yang pernah tinggal di Jepang.

            Saya tidak akan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahkan saja sendiri.
==================================================================


Billing Visamaster
New Age, you are very very smart ass hole


==================================================================
Ada lagi yang berupaya mengalahkan saya dengan menggunakan nama Gojo Bojo. Saya tidak tahu apakah dia orang India atau Jepang. Lagi-lagi dia mendebat saya dengan hal yang sudah selesai saya perdebatkan dengan orang lain. Saya copy-paste aja jawaban saya untuk orang lain buat menjawab Si Gojo Bojo. Kali ini saya terjemahkan lagi.
==================================================================


Gojo Bojo
Islam disebarkan dengan perang dan pemberontakan dan pemaksaan sampai saat ini sejarahnya tertulis di dalam buku.


Tom Finaldin
Buku?

Buku di dalam halusinasi kamu?

Beritahu aku tentang buku itu.

Apa judul buku itu? Apa warnanya? Siapa yang menulisnya? Tahun berapa buku itu diterbitkan? Buku itu diterbitkan di kota mana? Apa nama penerbitnya? Berapa edisi? Kamu membacanya dalam edisi yang ke berapa?


==================================================================

            Perdebatan itu pun segera berhenti. Total. Mutlak berhenti. Dia pikir dengan berbohong telah membaca buku bisa mengalahkan saya. Tidak bisa. Karena saya ingin juga baca jika buku itu benar-benar ada dan ingin tahu kredibilitas penulisnya. Di samping itu, saya ingin tahu dari mana Sang Penulis mendapatkan bahan-bahan untuk membuat buku bohong itu.

            Mereka berupaya mendiskreditkan Indonesia melalui media sosial dan media massa internasional karena memang ada peristiwa yang mereka anggap sebagai intoleransi, kemudian membumbuinya dengan ribuan kebohongan. Padahal, yang terjadi bukanlah intoleransi, melainkan kekacauan yang diciptakan oleh para pengacau yang mengakibatkan orang-orang menjadi marah. Kemarahan dan tindakan kasar masyarakat yang merasa terganggu itulah yang mereka sebut sebagai intoleransi. Pendapat yang sangat tidak adil dan tidak berpengetahuan.

            Pemerintah dan tokoh masyarakat Indonesia harus dapat mencegah kelompok-kelompok kecil yang sering sekali memicu huru-hara. Mereka bisa melakukan fitnah, adu domba, dan kebohongan yang membuat marah banyak orang. Ketika orang banyak marah, media massa asing melihatnya dengan “lahap” sebagai makanan lezat untuk dihidangkan setelah dibumbui dengan opini kerdil dan analisis menyesatkan. Dengan demikian, Indonesia tercetak dalam ingatan dunia sebagai bangsa yang tidak beradab.

            Saya menduga memang ada orang-orang yang berkeliaran di dunia nyata dan di dunia maya dengan membuat berbagai kesemrawutan dan memicu berbagi permusuhan serta pertengkaran. Saya melihat modus yang mirip dengan hasil yang juga banyak yang mirip. Salah satu contohnya, ada kenalan saya yang tiba-tiba di akun facebook-nya ada yang menghina Agama Kristen, kemudian ada orang Kristen yang balik menyerang Islam dengan kata-kata kotor dan merendahkan. Teman saya itu tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan sama sekali tidak mengenalnya. Beruntung, pancingan-pancingan murahan itu tidak ditanggapi sama yang lainnya sehingga ditinggalkan begitu saja bagai sampah. Akan tetapi, itu merupakan pertanda memang ada orang-orang yang bertujuan untuk membuat pertengkaran. Jika pertengkaran itu memuncak, mereka mundur dengan senang dan memicu pertengkaran lagi di tempat lainnya. Orang-orang seperti inilah yang harus ditangkap dan dibasmi karena memang punya cita-cita membuat orang lain bermusuhan.

            Indonesia, baik pemimpin dan masyarakatnya harus mengenal benar jati dirinya dan mampu tampil sebagai cahaya bagi dunia dengan nilai-nilai luhurnya. Jangan sampai mudah diadu domba sehingga mempermalukan diri dan bangsa sendiri.


            Kalau ada orang yang memfitnah Indonesia, gebuk saja dengan kenyataan dan kebaikan kita. Mudah kok asal kitanya juga baik.

No comments:

Post a Comment