oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kenapa Freeport harus dilawan?
Harus!
Hal itu disebabkan Freeport sudah terlalu lama menyedot
kekayaan alam Indonesia di Papua dan hanya memberikan bagian yang sangat kecil
bagi Negara Indonesia. Di samping itu, ada ketentuan yang seharusnya dilakukan
PT Freeport yang ternyata tidak dilaksanakan oleh Freeport.
Memang Freeport hanya memberikan bagian sangat minim pada
Indonesia bukan salah Freeport sendirian, melainkan karena perjanjian yang
dilakukan pemerintah Indonesia pada masa lalu dengan PT Freeport. Demikian
pula, ketentuan yang dilanggar Freeport bukan salah Freeport sendirian,
melainkan pula karena pemerintah Indonesia tidak “rewel” dan tidak “tegas”
dalam memaksa Freeport untuk melaksanakan seluruh kewajibannya pada Indonesia.
Freeport itu perusahaan asing yang jangan diharapkan
mencintai Negara Indonesia. Mereka itu hanya berkonsentrasi pada “mendapatkan”
keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana ajaran kapitalis. Mereka senang saja
menghadapi orang-orang Indonesia yang masih berjiwa “terjajah”. Mereka senang
dan bergembira dengan keyakinan bangsa Indonesia yang menganggap dirinya belum
mampu mengelola tambang emas sendiri. Freeport sangat bahagia dengan ketakutan
bangsa Indonesia yang meyakini dirinya akan kalah jika “diadukan” ke hukum
internasional. Freeport sangat nikmat hati bangsa Indonesia kehilangan jiwa
revolusionernya.
Kita harus ingat ketika Belanda mengatakan kepada rakyat
Indonesia pada masa lalu, “Indonesia memerlukan waktu 200 tahun lagi untuk bisa
merdeka dan mengurus dirinya sendiri.”
Kalau tidak salah, Belanda mengatakan hal itu di hadapan
Mohammad Hatta yang kemudian menjadi wakil presiden pertama Indonesia.
Akan tetapi, propaganda Belanda yang membodohkan itu
tidak dipedulikan para pejuang dan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia tidak
perlu waktu lama lagi untuk merdeka. Hanya beberapa tahun setelah Belanda mempropagandakan
“ketidakmampuan” Indonesia untuk merdeka, Indonesia membuktikan dirinya untuk
benar-benar merdeka dan mengurus dirinya sendiri. Itu sejarah dan kita
berhasil.
Sekarang ada orang-orang yang berjiwa “terjajah” dan
tidak memiliki jiwa revolusioner mempropagandakan hal yang mirip dengan yang
diumbar-umbar penjajah Belanda. Indonesia dipropagandakan sebagai bangsa yang
tidak mampu mengelola tambang emas sendiri dan pasti kalah jika diadukan ke
hukum internasional. Orang-orang yang sama-sama bermental terjajah pasti
setuju. Akan tetapi, lain halnya dengan orang-orang yang berjiwa revolusioner.
Mereka tidak peduli dengan ocehan para inlander
itu. Mereka akan berupaya keras untuk mengambil alih pengelolaan sumber
daya alam untuk dikelola sendiri atau paling tidak tetap bekerja sama dengan
prinsip saling menguntungkan. Artinya, Indonesia mendapatkan keuntungan yang
sangat besar dan Freeport masih bisa tetap beroperasi.
Kalau ternyata Indonesia masih mau diatur-atur oleh
Freeport, kita harus mengakui bahwa kita adalah bangsa-yang kata Ir. Soekarno-kambing yang meyakini dirinya harus
dituntun dan diatur bangsa lain.
Kita bukan kambing congek!
Kita adalah Garuda Perkasa!
Kita berhutang semangat dan berhutang cita-cita kepada
para orang tua kita. Pada masa lalu orang tua kita kehilangan harapan, kehilangan
cita-cita, putus asa, dan pasrah dengan keadaan dirinya. Akan tetapi,
keputusasaan itu tidak ingin mereka wariskan kepada anak cucu mereka. Oleh
sebab itu, mereka tetap semangat dalam kepasrahan dan keputusasaan. Mereka
menitipkan pesan, cita-cita, dan harapan kepada anak cucunya dalam bentuk yang
tersembunyi.
Mereka kumandangkan dan wujudkan harapannya itu lewat
lagu, tarian, dan atraksi sisingaan. Atraksi
sisingaan adalah manifestasi dari kekalahan diri dan keputusasaan dalam menghadapi
kenyataan. Akan tetapi, semangat dan cita-citanya itu tetap disalurkan dan
dihembuskan kepada anak cucunya, generasi muda. Para orang tua kita yang sudah
terjatuh lunglai itu menitipkan ruh kemenangan pada anak cucunya. Biarlah dirinya hancur dan terhina,
tetapi tidak untuk anak cucunya.
Mari kita lihat atraksi seni sisingaan. Empat orang tua atau
lebih memanggul boneka singa yang disebut sisingaan. Di atas sisingaan itu
duduk anak kecil yang masih polos dan lugu, tersenyum ceria dan bangga.
Para orang tua yang memanggul sisingaan itu perlambang
kekalahan diri dan pengakuan bahwa dirinya sangat lemah serta takluk harus
hidup di bawah kaki penjajah kapitalis. Boneka singa yang mereka usung itu
adalah perlambang kekejian penjajahan dan memang penjajah Belanda memiliki simbol
singa sebagai stempel resmi Kerajaan Belanda. Para orang tua kita itu sudah memosisikan
dirinya sebagai “kaum terhina” yang harus selalu patuh, bersedia ditipu, dan
diinjak harga dirinya oleh penjajah. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak
bersedia jika keadaan menyedihkan yang dideritanya akan diderita pula oleh anak
cucunya. Oleh sebab itu, anak kecil sebagai perlambang anak cucu dan generasi
penerus bangsa diposisikan duduk berada di atas singa. Anak kecil itu harus
berada di atas singa dan mengendalikan singa.
Para orang tua kita itu seolah-olah berbicara, “Biarlah
kami yang harus hidup di bawah kaki penjajah. Akan tetapi, tidak bagi anak cucu
kami! Generasi muda kami harus hidup berada di atas penjajah dan mengendalikan
para penjajah kapitalis untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.”
Begitulah cita-cita mereka saat itu. Mereka menginginkan
kita yang mengendalikan orang lain, bukan orang lain yang mengendalikan kita.
Mereka sudah “memasrahkan diri” untuk hidup terhina, tetapi kita tidak boleh
terhina. Mereka sudah takluk untuk ditipu dan disedot seluruh energinya oleh
orang asing, tetapi kita tidak boleh takluk dan tidak boleh bersedia ditipu
oleh orang asing.
Apabila kita masih diatur dan ditipu bangsa asing,
menangislah jiwa orang tua kita yang sudah berharap agar kita menjadi bangsa
yang hebat. Apabila kita masih mau diatur dan ditipu bangsa asing, kita sudah
mengkhianati orang tua kita sendiri yang berpeluh kesah bercucuran keringat
menumpahkan darah. Kita ternyata masih sekelas
kambing congek buduk!
Mari kita ingat orang tua kita yang sudah lelah berjuang!
Lawan Freeport dan seluruh kekuatan asing apa pun yang
berusaha menyedot energi Indonesia secara tidak sah dan tanpa moral.
Gunakan
Semangat Sisingaan!
Tong Honcewang!
Jangan takut!
No comments:
Post a Comment