Tuesday, 15 December 2015

Melawan Freeport dengan Sisingaan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

            Kenapa Freeport harus dilawan?

            Harus!

            Hal itu disebabkan Freeport sudah terlalu lama menyedot kekayaan alam Indonesia di Papua dan hanya memberikan bagian yang sangat kecil bagi Negara Indonesia. Di samping itu, ada ketentuan yang seharusnya dilakukan PT Freeport yang ternyata tidak dilaksanakan oleh Freeport.

            Memang Freeport hanya memberikan bagian sangat minim pada Indonesia bukan salah Freeport sendirian, melainkan karena perjanjian yang dilakukan pemerintah Indonesia pada masa lalu dengan PT Freeport. Demikian pula, ketentuan yang dilanggar Freeport bukan salah Freeport sendirian, melainkan pula karena pemerintah Indonesia tidak “rewel” dan tidak “tegas” dalam memaksa Freeport untuk melaksanakan seluruh kewajibannya pada Indonesia.

            Freeport itu perusahaan asing yang jangan diharapkan mencintai Negara Indonesia. Mereka itu hanya berkonsentrasi pada “mendapatkan” keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana ajaran kapitalis. Mereka senang saja menghadapi orang-orang Indonesia yang masih berjiwa “terjajah”. Mereka senang dan bergembira dengan keyakinan bangsa Indonesia yang menganggap dirinya belum mampu mengelola tambang emas sendiri. Freeport sangat bahagia dengan ketakutan bangsa Indonesia yang meyakini dirinya akan kalah jika “diadukan” ke hukum internasional. Freeport sangat nikmat hati bangsa Indonesia kehilangan jiwa revolusionernya.

            Kita harus ingat ketika Belanda mengatakan kepada rakyat Indonesia pada masa lalu, “Indonesia memerlukan waktu 200 tahun lagi untuk bisa merdeka dan mengurus dirinya sendiri.”

            Kalau tidak salah, Belanda mengatakan hal itu di hadapan Mohammad Hatta yang kemudian menjadi wakil presiden pertama Indonesia.

            Akan tetapi, propaganda Belanda yang membodohkan itu tidak dipedulikan para pejuang dan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia tidak perlu waktu lama lagi untuk merdeka. Hanya beberapa tahun setelah Belanda mempropagandakan “ketidakmampuan” Indonesia untuk merdeka, Indonesia membuktikan dirinya untuk benar-benar merdeka dan mengurus dirinya sendiri. Itu sejarah dan kita berhasil.

            Sekarang ada orang-orang yang berjiwa “terjajah” dan tidak memiliki jiwa revolusioner mempropagandakan hal yang mirip dengan yang diumbar-umbar penjajah Belanda. Indonesia dipropagandakan sebagai bangsa yang tidak mampu mengelola tambang emas sendiri dan pasti kalah jika diadukan ke hukum internasional. Orang-orang yang sama-sama bermental terjajah pasti setuju. Akan tetapi, lain halnya dengan orang-orang yang berjiwa revolusioner. Mereka tidak peduli dengan ocehan para inlander itu. Mereka akan berupaya keras untuk mengambil alih pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola sendiri atau paling tidak tetap bekerja sama dengan prinsip saling menguntungkan. Artinya, Indonesia mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan Freeport masih bisa tetap beroperasi.

            Kalau ternyata Indonesia masih mau diatur-atur oleh Freeport, kita harus mengakui bahwa kita adalah bangsa-yang kata Ir. Soekarno-kambing yang meyakini dirinya harus dituntun dan diatur bangsa lain.

            Kita bukan kambing congek!

            Kita adalah Garuda Perkasa!

            Kita berhutang semangat dan berhutang cita-cita kepada para orang tua kita. Pada masa lalu orang tua kita kehilangan harapan, kehilangan cita-cita, putus asa, dan pasrah dengan keadaan dirinya. Akan tetapi, keputusasaan itu tidak ingin mereka wariskan kepada anak cucu mereka. Oleh sebab itu, mereka tetap semangat dalam kepasrahan dan keputusasaan. Mereka menitipkan pesan, cita-cita, dan harapan kepada anak cucunya dalam bentuk yang tersembunyi.

            Mereka kumandangkan dan wujudkan harapannya itu lewat lagu, tarian, dan atraksi sisingaan. Atraksi sisingaan adalah manifestasi dari kekalahan diri dan keputusasaan dalam menghadapi kenyataan. Akan tetapi, semangat dan cita-citanya itu tetap disalurkan dan dihembuskan kepada anak cucunya, generasi muda. Para orang tua kita yang sudah terjatuh lunglai itu menitipkan ruh kemenangan pada anak  cucunya. Biarlah dirinya hancur dan terhina, tetapi tidak untuk anak cucunya.

            Mari kita lihat atraksi seni sisingaan. Empat orang tua atau lebih memanggul boneka singa yang disebut sisingaan. Di atas sisingaan itu duduk anak kecil yang masih polos dan lugu, tersenyum ceria dan bangga.

            Para orang tua yang memanggul sisingaan itu perlambang kekalahan diri dan pengakuan bahwa dirinya sangat lemah serta takluk harus hidup di bawah kaki penjajah kapitalis. Boneka singa yang mereka usung itu adalah perlambang kekejian penjajahan dan memang penjajah Belanda memiliki simbol singa sebagai stempel resmi Kerajaan Belanda. Para orang tua kita itu sudah memosisikan dirinya sebagai “kaum terhina” yang harus selalu patuh, bersedia ditipu, dan diinjak harga dirinya oleh penjajah. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak bersedia jika keadaan menyedihkan yang dideritanya akan diderita pula oleh anak cucunya. Oleh sebab itu, anak kecil sebagai perlambang anak cucu dan generasi penerus bangsa diposisikan duduk berada di atas singa. Anak kecil itu harus berada di atas singa dan mengendalikan singa.

            Para orang tua kita itu seolah-olah berbicara, “Biarlah kami yang harus hidup di bawah kaki penjajah. Akan tetapi, tidak bagi anak cucu kami! Generasi muda kami harus hidup berada di atas penjajah dan mengendalikan para penjajah kapitalis untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.”

            Begitulah cita-cita mereka saat itu. Mereka menginginkan kita yang mengendalikan orang lain, bukan orang lain yang mengendalikan kita. Mereka sudah “memasrahkan diri” untuk hidup terhina, tetapi kita tidak boleh terhina. Mereka sudah takluk untuk ditipu dan disedot seluruh energinya oleh orang asing, tetapi kita tidak boleh takluk dan tidak boleh bersedia ditipu oleh orang asing.

            Apabila kita masih diatur dan ditipu bangsa asing, menangislah jiwa orang tua kita yang sudah berharap agar kita menjadi bangsa yang hebat. Apabila kita masih mau diatur dan ditipu bangsa asing, kita sudah mengkhianati orang tua kita sendiri yang berpeluh kesah bercucuran keringat menumpahkan darah. Kita ternyata masih sekelas kambing congek buduk!

            Mari kita ingat orang tua kita yang sudah lelah berjuang!

            Lawan Freeport dan seluruh kekuatan asing apa pun yang berusaha menyedot energi Indonesia secara tidak sah dan tanpa moral.

Gunakan Semangat Sisingaan!

            Tong Honcewang!


            Jangan takut!

No comments:

Post a Comment