oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam menanggapi kekhawatiran
aksi-aksi makar di Indonesia, TNI-Polri tampaknya sangat siap untuk melakukan
jihad secara fisik untuk menjaga keutuhan NKRI dan stabilitas kedamaian di
Indonesia. Mereka tampaknya mengambil jalan pencegahan dibandingkan
penanggulangan karena memang “mencegah” itu selalu lebih baik dibandingkan
dengan “mengobati”. TNI-Polri berupaya keras di samping mengonsolidasikan
dirinya, juga menebarkan imbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan
hal-hal yang dapat dianggap sebagai makar terhadap negara. Di samping itu,
TNI-Polri pun mulai menyebarkan semacam “teror” kepada pihak-pihak yang berniat
mencoba mengganggu jalannya pemerintahan dan perkembangan hidup Indonesia.
Teror itu disampaikan TNI-Polri dengan pesan tegas yang akan menindak siapa pun
yang berniat melakukan makar, apalagi jika benar-benar melakukannya. Teror yang
disampaikan itu diharapkan dapat mengurungkan niat siapa pun yang memiliki
keinginan untuk mengganggu NKRI, baik mereka yang berada di dalam maupun di
luar negeri. TNI-Polri lebih memilih untuk “meneror” mereka yang berkehendak
bertindak inkonstitusional untuk menyelamatkan mereka yang berkehendak hidup
secara konstitusional.
Hal yang patut diingat adalah jihad itu harus selalu “untuk
Allah swt” dan bukan untuk hal lainnya, apa pun itu. Jihad itu wajib menjadi
alat untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dan bukan untuk mengabdikan diri
kepada hal-hal lain di luar Allah swt. Apabila kita melakukan jihad bukan untuk
Allah swt, celakalah kita karena akan berakhir di neraka. Rugi sekali kita
karena menyangka telah melakukan hal yang benar, tetapi sesungguhnya sesat di
hadapan Allah swt. Satu-satunya jihad yang benar hanyalah untuk pengabdian
kepada Allah swt, bukan untuk negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945,
Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan lain sebagainya. Jika kita berjihad
dalam arti perang secara fisik tanpa menghubungkan diri dengan Allah swt,
nerakalah tempat kita nanti, itu pasti. Dengan demikian, setiap langkah kita
sejak niat jihad haruslah “hanya untuk Allah swt” agar mendapatkan surga yang
dijanjikan beserta kenikmatan bidadari-bidadara, kehidupan menyenangkan yang
tercukupi, kebahagiaan yang tiada pernah putus, dan janji-janji pasti Allah swt
lainnya.
Selintas tampaknya merupakan sesuatu hal yang benar bahwa
berperang untuk kemuliaan negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945,
Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi,
sesungguhnya hal itu menyesatkan dan menyebabkan kita tidak dapat mencapai surga
Allah swt.
Ada kisah nyata yang teramat menarik tentang hal ini.
Dalam sebuah perang pada zaman Muhammad Rasulullah saw, ada seseorang yang
tewas dari barisan kaum muslimin. Banyak orang yang memuji dia sebagai pahlawan
karena berperang tanpa lelah dan tanpa takut sampai akhirnya tewas terkena
banyak anak panah dan sabetan pedang. Orang-orang menduga dia pasti syahid dan
mendapatkan kenikmatan surga.
Akan tetapi, Muhammad saw mengatakan, “Dia akan masuk
neraka.”
Orang-orang bingung dan kaget. Kemudian, mencari tahu hal
ihwal orang yang tewas itu.
Tak lama, diketahuilah bahwa ada orang yang sempat
mendengar dia pernah berkata lantang, “Aku
berperang sesungguhnya bukan untuk Allah dan Muhammad, melainkan aku tidak suka
Madinah tanah airku dirusakkan oleh para penyerang!”
Pahamlah orang-orang bahwa dia berperang dan mati bukan
untuk Allah swt dan Islam, melainkan untuk tanah airnya sendiri. Oleh sebab
itu, dia tidak syahid dan bukan syuhada. Nerakalah memang tempat dia nanti.
Mau seperti dia?
Jangan mau!
Apabila TNI-Polri berperang untuk kemuliaan negara,
penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan
NKRI, matinya pasti masuk neraka. Rugi banget.
Segala yang kita lakukan harus diawali dengan pengetahuan
yang jelas dan benar. Apabila ada kesalahan, segera perbaiki. Dengan pemahaman
yang benar, niat pun akan benar, caranya pun akan benar, serta berakhir di
tempat yang benar, yaitu Surga Allah swt.
Agar jihad atau perang fisik yang kita lakukan mendapatkan
ridha dan surga Allah swt, pemahaman kita harus lengkap sehingga niat pun akan
bulat tanpa ada keraguan dan kekecewaan sedikit pun. Dengan demikian, jika kita
tetap hidup, berada dalam kemuliaan dan jika kita mati, syahid mendapatkan
kemuliaan pula. Pilihannya hanya dua, yaitu mati
syahid atau hidup mulia. Tak ada kerugian di dalam kedua hal itu.
Allah swt telah menganugerahi kita, Indonesia, dengan
Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Sumpah
Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Anugerah besar dari Allah swt itu harus
kita jaga sebagai bentuk pengabdian kita kepada Allah swt. TNI-Polri dilengkapi
dengan fisik dan senjata untuk menjaga anugerah Allah swt. Dengan demikian,
jihad dalam arti perang fisik yang dilakukan TNI-Polri harus tetap dalam rangka
mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara menjaga, melindungi, melestarikan,
dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945,
Proklamasi, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Allah swt yang tetap
harus menjadi tujuan kita dengan cara menjaga seluruh anugerah-Nya. Kita jangan
terjebak dengan terbatas hanya pada kecintaan terhadap anugerah-Nya, tetapi
harus pula lebih mencintai Sang Pemberi Anugerah itu, yaitu Allah swt.
Apabila hal ini bisa dipahami dengan benar dan dibulatkan
dalam hati hingga menjadi niat yang pasti, insyaallah,
apabila harus mati, keadaannya berada dalam kesyahidan dan mendapatkan surga
dengan berlipat kenikmatan dan kebahagiaan sebagaimana yang dijanjikan Allah
swt. Sebaliknya, apabila hanya terjebak dalam kecintaan pada anugerah-Nya,
neraka akan menjadi tempat terakhir kalian.
Memang cukup sulit saya menerangkannya karena memang
sangat sulit. Itulah sebabnya kita diwajibkan minimal tujuh belas kali dalam
sehari semalam membaca surat Al Fatihah. Artinya,
minimal tujuh belas kali kita harus memohon petunjuk agar Allah swt berkenan menjelaskan
kepada kita tentang shiratal mustaqim, ‘jalan
yang lurus’ dan bukan jalan yang bengkok. Hal itu disebabkan sebagaimana yang
kita tahu bahwa shiratal mustaqim itu
digambarkan bagai rambut yang dibelah
tujuh. Sehelai rambut saja sudah sangat tipis dan cukup sulit dilihat,
apalagi jika rambut yang sudah sangat tipis itu dibelah tujuh.
Terbayang kan bagaimana sulitnya kita melihat sehelai rambut
dibelah tujuh?
Tipis, tipis sekali, bahkan mungkin harus menggunakan
kaca pembesar atau mikroskop untuk melihatnya dengan lebih jelas.
Bagai rambut
dibelah tujuh itu menjelaskan bahwa batas antara benar dan salah itu sangat
tipis. Batas baik dan buruk itu sering samar. Pemahaman soal surga dan neraka
pun sering dikaburkan dan tampak buram. Hal-hal itu mengakibatkan kita bisa
salah paham, salah niat, dan salah melangkah karena menyangka telah berbuat
baik, padahal sesungguhnya sedang melakukan keburukan. Kita bisa menduga bakal
masuk surga, tetapi sesungguhnya adalah calon penghuni neraka.
Sama rumitnya dengan memahami soal jihad dan akibatnya.
Apabila TNI-Polri berjihad hanya untuk membela Proklamasi
Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI, tempatnya pasti di neraka.
Apabila TNI-Polri berjihad untuk mengabdikan diri kepada
Allah swt dengan cara menjaga dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila,
Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI,
tempatnya insyaallah di surga.
Bisa kan membedakannya?
Yang satu hanya mencintai ciptaan Allah swt, tempatnya di
neraka.
Yang satu lagi mencintai Allah swt dengan segala
ciptaan-Nya, tempatnya di surga.
Insyaallah, kita
semua bisa mengerti. Mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan petunjuk kepada
kita. Amin.