Tuesday, 22 November 2016

TNI-Polri Berjihad Bisa Masuk Neraka

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam menanggapi kekhawatiran aksi-aksi makar di Indonesia, TNI-Polri tampaknya sangat siap untuk melakukan jihad secara fisik untuk menjaga keutuhan NKRI dan stabilitas kedamaian di Indonesia. Mereka tampaknya mengambil jalan pencegahan dibandingkan penanggulangan karena memang “mencegah” itu selalu lebih baik dibandingkan dengan “mengobati”. TNI-Polri berupaya keras di samping mengonsolidasikan dirinya, juga menebarkan imbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat dianggap sebagai makar terhadap negara. Di samping itu, TNI-Polri pun mulai menyebarkan semacam “teror” kepada pihak-pihak yang berniat mencoba mengganggu jalannya pemerintahan dan perkembangan hidup Indonesia. Teror itu disampaikan TNI-Polri dengan pesan tegas yang akan menindak siapa pun yang berniat melakukan makar, apalagi jika benar-benar melakukannya. Teror yang disampaikan itu diharapkan dapat mengurungkan niat siapa pun yang memiliki keinginan untuk mengganggu NKRI, baik mereka yang berada di dalam maupun di luar negeri. TNI-Polri lebih memilih untuk “meneror” mereka yang berkehendak bertindak inkonstitusional untuk menyelamatkan mereka yang berkehendak hidup secara konstitusional.

            Hal yang patut diingat adalah jihad itu harus selalu “untuk Allah swt” dan bukan untuk hal lainnya, apa pun itu. Jihad itu wajib menjadi alat untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dan bukan untuk mengabdikan diri kepada hal-hal lain di luar Allah swt. Apabila kita melakukan jihad bukan untuk Allah swt, celakalah kita karena akan berakhir di neraka. Rugi sekali kita karena menyangka telah melakukan hal yang benar, tetapi sesungguhnya sesat di hadapan Allah swt. Satu-satunya jihad yang benar hanyalah untuk pengabdian kepada Allah swt, bukan untuk negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan lain sebagainya. Jika kita berjihad dalam arti perang secara fisik tanpa menghubungkan diri dengan Allah swt, nerakalah tempat kita nanti, itu pasti. Dengan demikian, setiap langkah kita sejak niat jihad haruslah “hanya untuk Allah swt” agar mendapatkan surga yang dijanjikan beserta kenikmatan bidadari-bidadara, kehidupan menyenangkan yang tercukupi, kebahagiaan yang tiada pernah putus, dan janji-janji pasti Allah swt lainnya.

            Selintas tampaknya merupakan sesuatu hal yang benar bahwa berperang untuk kemuliaan negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi, sesungguhnya hal itu menyesatkan dan menyebabkan kita tidak dapat mencapai surga Allah swt.

            Ada kisah nyata yang teramat menarik tentang hal ini. Dalam sebuah perang pada zaman Muhammad Rasulullah saw, ada seseorang yang tewas dari barisan kaum muslimin. Banyak orang yang memuji dia sebagai pahlawan karena berperang tanpa lelah dan tanpa takut sampai akhirnya tewas terkena banyak anak panah dan sabetan pedang. Orang-orang menduga dia pasti syahid dan mendapatkan kenikmatan surga.

            Akan tetapi, Muhammad saw mengatakan, “Dia akan masuk neraka.”

            Orang-orang bingung dan kaget. Kemudian, mencari tahu hal ihwal orang yang tewas itu.

            Tak lama, diketahuilah bahwa ada orang yang sempat mendengar dia pernah berkata lantang, “Aku berperang sesungguhnya bukan untuk Allah dan Muhammad, melainkan aku tidak suka Madinah tanah airku dirusakkan oleh para penyerang!”

            Pahamlah orang-orang bahwa dia berperang dan mati bukan untuk Allah swt dan Islam, melainkan untuk tanah airnya sendiri. Oleh sebab itu, dia tidak syahid dan bukan syuhada. Nerakalah memang tempat dia nanti.

            Mau seperti dia?

            Jangan mau!

            Apabila TNI-Polri berperang untuk kemuliaan negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, matinya pasti masuk neraka. Rugi banget.

            Segala yang kita lakukan harus diawali dengan pengetahuan yang jelas dan benar. Apabila ada kesalahan, segera perbaiki. Dengan pemahaman yang benar, niat pun akan benar, caranya pun akan benar, serta berakhir di tempat yang benar, yaitu Surga Allah swt.

            Agar jihad atau perang fisik yang kita lakukan mendapatkan ridha dan surga Allah swt, pemahaman kita harus lengkap sehingga niat pun akan bulat tanpa ada keraguan dan kekecewaan sedikit pun. Dengan demikian, jika kita tetap hidup, berada dalam kemuliaan dan jika kita mati, syahid mendapatkan kemuliaan pula. Pilihannya hanya dua, yaitu mati syahid atau hidup mulia. Tak ada kerugian di dalam kedua hal itu.

            Allah swt telah menganugerahi kita, Indonesia, dengan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Anugerah besar dari Allah swt itu harus kita jaga sebagai bentuk pengabdian kita kepada Allah swt. TNI-Polri dilengkapi dengan fisik dan senjata untuk menjaga anugerah Allah swt. Dengan demikian, jihad dalam arti perang fisik yang dilakukan TNI-Polri harus tetap dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara menjaga, melindungi, melestarikan, dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Allah swt yang tetap harus menjadi tujuan kita dengan cara menjaga seluruh anugerah-Nya. Kita jangan terjebak dengan terbatas hanya pada kecintaan terhadap anugerah-Nya, tetapi harus pula lebih mencintai Sang Pemberi Anugerah itu, yaitu Allah swt.

            Apabila hal ini bisa dipahami dengan benar dan dibulatkan dalam hati hingga menjadi niat yang pasti, insyaallah, apabila harus mati, keadaannya berada dalam kesyahidan dan mendapatkan surga dengan berlipat kenikmatan dan kebahagiaan sebagaimana yang dijanjikan Allah swt. Sebaliknya, apabila hanya terjebak dalam kecintaan pada anugerah-Nya, neraka akan menjadi tempat terakhir kalian.

            Memang cukup sulit saya menerangkannya karena memang sangat sulit. Itulah sebabnya kita diwajibkan minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam membaca surat Al Fatihah. Artinya, minimal tujuh belas kali kita harus memohon petunjuk agar Allah swt berkenan menjelaskan kepada kita tentang shiratal mustaqim, ‘jalan yang lurus’ dan bukan jalan yang bengkok. Hal itu disebabkan sebagaimana yang kita tahu bahwa shiratal mustaqim itu digambarkan bagai rambut yang dibelah tujuh. Sehelai rambut saja sudah sangat tipis dan cukup sulit dilihat, apalagi jika rambut yang sudah sangat tipis itu  dibelah tujuh.

            Terbayang kan bagaimana sulitnya kita melihat sehelai rambut dibelah tujuh?

            Tipis, tipis sekali, bahkan mungkin harus menggunakan kaca pembesar atau mikroskop untuk melihatnya dengan lebih jelas.

            Bagai rambut dibelah tujuh itu menjelaskan bahwa batas antara benar dan salah itu sangat tipis. Batas baik dan buruk itu sering samar. Pemahaman soal surga dan neraka pun sering dikaburkan dan tampak buram. Hal-hal itu mengakibatkan kita bisa salah paham, salah niat, dan salah melangkah karena menyangka telah berbuat baik, padahal sesungguhnya sedang melakukan keburukan. Kita bisa menduga bakal masuk surga, tetapi sesungguhnya adalah calon penghuni neraka.

            Sama rumitnya dengan memahami soal jihad dan akibatnya.

            Apabila TNI-Polri berjihad hanya untuk membela Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, tempatnya pasti di neraka.

            Apabila TNI-Polri berjihad untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara menjaga dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, tempatnya insyaallah di surga.

            Bisa kan membedakannya?

            Yang satu hanya mencintai ciptaan Allah swt, tempatnya di neraka.

            Yang satu lagi mencintai Allah swt dengan segala ciptaan-Nya, tempatnya di surga.

            Insyaallah, kita semua bisa mengerti. Mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan petunjuk kepada kita. Amin.




Tuesday, 15 November 2016

Dua Jempol untuk Polri

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Penetapan Ahok sebagai tersangka dugaan penistaan agama oleh Polri pada 16/11/2016 merupakan keputusan yang luar biasa hebat. Dengan penetapan itu, Polri sudah menjaga nama baik Negara Indonesia, Presiden, dan institusi Polri sendiri. Hal itu disebabkan sebelum-sebelumnya beredar banyak tuduhan dan berita-berita samar yang menunjukkan Polri telah mendapat suap dari Ahok, Presiden Jokowi telah melindungi Ahok, dan rupa-rupa bahasa aneh lainnya. Dengan ditetapkannya Ahok sebagai tersangka, Polri telah menunjukkan dirinya sama sekali terbebas dari tekanan siapa pun atau suap dari mana pun. Di samping itu, Polri telah pula menjaga nama baik Presiden dengan membuktikan bahwa Jokowi sama sekali tidak melindungi Ahok.

            Nah, bagi orang-orang yang kemarin-kemarin suudzhon kepada Polri dan Presiden RI, sebaiknya segera meminta maaf karena tuduhan dan kecurigaan kalian sama sekali tidak terbukti. Berikan dukungan dan permohonan maaf kepada Presiden RI dan Polri melalui Medsos-medsos yang sebelumnya kalian gunakan untuk menebar berita-berita tidak berdasar. Begitu seharusnya orang Indonesia menunjukkan martabat dirinya yang dilahirkan oleh para ibu yang tidak menginginkan anaknya menjadi orang-orang hina.

            Penetapan Ahok menjadi tersangka oleh polisi pun diterangkan alasan-alasannya dengan baik oleh kepolisian, terutama oleh Kapolri Tito Karnavian. Penjelasan-penjelasan itu membuat masyarakat memahami mengapa Ahok harus ditetapkan menjadi tersangka. Penetapan itu tidak membuat masyarakat bertanya-tanya dan meragukannya. Ada baiknya organisasi apa pun di Indonesia belajar kepada Polri jika menetapkan atau memutuskan atau membuat fatwa tentang sesuatu. Berikan penjelasan yang masuk akal sehingga orang lain mengerti. Jangan tiba-tiba keluar ketetapan tanpa penjelasan, orang bisa bingung. Inti dari penetapan Ahok sebagai tersangka itu diakibatkan oleh terbelahnya pendapat para ahli dan para penyidik sendiri. Mereka tidak memiliki suara bulat apakah Ahok melakukan tindak pidana atau tidak. Oleh sebab itu, Polri sepakat bahwa kasus itu harus diangkat ke meja pengadilan dengan cara menjadikan Ahok sebagai tersangka.

            Penetapan itu pun disambut baik oleh Ahok karena sudah lebih dari satu kali Ahok siap untuk mematuhi hukum. Bahkan, kasusnya diharapkan segera masuk ke pengadilan dan disiarkan secara langsung sehingga seluruh masyarakat mengetahuinya. Dengan demikian, tak ada yang ditutup-tutupi. Semua orang bisa memberikan penilaian. Soal keputusan salah atau benar, jelas ada pada majelis hakim.

            Saya sendiri sebenarnya merasa senang dengan keinginan Presiden Jokowi sebelumnya untuk melakukan gelar perkara terbuka karena hal itu akan mencerdaskan masyarakat, menghilangkan syak wasangka, dan terutama saya dapat menguji pendapat saya sendiri, apakah pendapat saya salah atau tidak. Hal itu disebabkan sebagai seseorang yang mencari nafkah dengan menggunakan kemampuan berbahasa Indonesia, saya tidak menemukan ada kata-kata penghinaan yang dilakukan oleh Ahok, baik terhadap Al Quran, maupun ulama. Saya hanya melihat kesalahan etika yang dilakukan oleh Ahok. Di samping itu, saya pun berpendapat bahwa Q.S. Al Maaidah : 51 berdasarkan tafsir Ibnu Katsir, terjemahan Al Quran yang disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A., dan Sejarah Muhammad karya Muhammad Haekal sama sekali tidak ada hubungan dengan Pilkada, bahkan dengan sistem politik demokrasi pun tak ada kaitannya sama sekali. Dengan gelar perkara terbuka, saya dapat menguji pendapat saya sendiri, apakah benar atau tidak. Akan tetapi, Polri memutuskan untuk menggelar perkara secara terbuka terbatas. Tak apalah.

            Mudah-mudahan, jika masuk ke pengadilan, dapat disiarkan secara langsung sehingga masyarakat mendapatkan pelajaran yang banyak, termasuk saya. Soal akan ada komentar-komentar bodoh di Medsos, itu tak bisa dihindari. Akan tetapi, mudah-mudahan orang Sunda yang jumlahnya mungkin sekitar 41 juta jiwa dapat mendidik dirinya dan mendidik bangsa Indonesia untuk menggunakan bahasa-bahasa yang baik dan mulia karena memiliki ajaran hade ku basa goreng ku basa, ‘mulia karena bahasa hina karena bahasa’ dari Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam. Kalau mereka benar mencintai Prabu Siliwangi, mereka akan menjaga dirinya untuk tetap berbahasa yang mulia dan mencerahkan.

            Kembali ke soal penetapan Ahok sebagai tersangka. Penetapan ini pun menjadi harapan sebagian umat Islam yang merasa terganggu oleh ucapan Ahok saat di kepulauan seribu. Mereka berharap Ahok diproses secara hukum, bahkan sebagian sudah memvonis Ahok sebagai penista agama meskipun belum ada kepastian hukum untuk hal tersebut.

            Hal tersebut menunjukkan bahwa Polri telah mengakomodasi keinginan mereka bahwa Ahok harus diproses secara hukum. Jadi, penetapan Ahok sebagai tersangka oleh pihak Polri telah mendekati win-win solution. Hal tersebut adalah Polri telah menunjukkan dirinya netral dan telah menjaga nama baik Presiden RI, Ahok mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya dengan cara tampil di depan pengadilan (apalagi jika disiarkan secara live) sehingga masyarakat seluruh Indonesia dapat menyaksikannya, dan mereka yang tersinggung oleh Ahok pun terpuaskan karena kasus hukum Ahok diproses dengan benar.

            Memang ada yang sedikit tersudut, yaitu pihak Ahok. Akan tetapi, satu-satunya jalan untuk mempertontonkan bahwa dirinya tidak bersalah adalah melalui jalan pengadilan yang disiarkan secara langsung. Hal itu memang lebih dari satu kali dikatakan oleh Ahok di media televisi.

            Penetapan Ahok sebagai tersangka itu telah memberikan kebaikan kepada banyak pihak. Semua pihak terkait dapat membuktikan kebaikan dirinya masing-masing agar terhindar dari gosip-gosip murahan. Soal keputusan pengadilan apakah Ahok bersalah atau tidak, itu urusan majelis hakim.

            Tak berlebihan jika kiranya kita  mengacungkan dua jempol kepada Polri.

            Secara pribadi, saya sangat berharap jika kasus Ahok masuk ke pengadilan, dapat disiarkan secara langsung karena di samping menambah wawasan, juga menguji pendapat saya sendiri, apakah benar atau tidak.


            Kalau sekarang saya ditanya apakah saya benar atau tidak, jawabannya adalah saya benar. Besok-besok, bisa tetap benar atau saya harus memperbaikinya.

Monday, 14 November 2016

Ahok dan Gubernur Itu Soal Kecil

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Siapa sih yang namanya Ahok itu?

            Dia kan cuma WNI keturunan Cina nonmuslim yang aktif dalam politik hingga menjadi gubernur DKI. Tidak lebih daripada itu. Dia bukan WNI keturunan Cina nonmuslim terbaik. Banyak yang lebih hebat dibandingkan dia dalam bidangnya masing-masing. Ada yang menjadi olahragawan, pengusaha, pendidik, budayawan, rohaniwan, dan lain sebagainya. Soal Ahok itu soal kecil. Jadi, tidak perlu menjadikan dia sebagai subjek penting yang harus diomong-omongin setiap hari. Biasa saja atuh.

            Masyarakat harus fokus terhadap dugaan penistaan agama yang dia lakukan dan bukan terhadap sosoknya secara khusus. Dia manusia biasa. Jadi, perhatikan saja kasusnya atau materinya, bukan mengembangkan kebencian kepada dirinya.

            Sehebat apa sih yang namanya jabatan gubernur itu hingga harus mati-matian berebut dan menjegal orang lain?

            Gubernur itu kan hanya jabatan politik untuk memimpin pemerintahan sipil. Gubernur bukanlah pemimpin keseluruhan dari sebuah provinsi. Gubernur DKI tidak menguasai seluruh bidang di Provinsi DKI. Gubernur pun tidak akan bisa seenaknya dalam memimpin DKI. Hal itu disebabkan ada pemimpin-pemimpin lain di DKI yang tidak di bawah pemerintahannya. Ada pemimpin lain di DKI, misalnya Ketua DPRD DKI yang bisa menjadi penyeimbang gubernur dalam memimpin DKI. Ketua DPRD bukanlah pegawai gubernur. Kepada Ketua DPRD-lah masyarakat seharusnya berkeluh kesah apabila ada kebijakan gubernur yang membuat kerusakan di masyarakat. Adapula Pangdam yang sama sekali tidak patuh kepada gubernur. Artinya, Gubernur tidak menguasai TNI. Ada juga Kapolda yang bukan bawahan gubernur. Kalau gubernur melanggar hukum, Kapolda bisa menangkapnya. Di samping itu. ada pula kekuasaan kehakiman yang sama sekali di luar kekuasaan gubernur. Jadi,  gubernur DKI itu hanya salah satu pemimpin yang bertugas melayani masyarakat DKI dengan kekuasaan yang sangat terbatas, bahkan berada dalam pengawasan KPK. Sekali tercium bau korupsi dan terbukti nyata, KPK bisa segera menangkapnya.

            Mengapa hanya gubernur yang harus beragama Islam?

            Bagaimana jika Pangdam beragama Kristen?

            Bagaimana jika Kapolda beragama Konghucu?

            Bagaimana jika Kapolres dan Kapolsek beragama Hindu?

            Bagaimana jika hakim ketua di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi beragama Budha?

            Bagaimana jika kepala Rumah Sakit Umum Daerah beragama Kaharingan?

            Mereka semua itu adalah para pemimpin di instansinya masing-masing.

            Mau protes juga dengan menggunakan Q.S. Al Maaidah : 51?

            Dalam kasus dugaan penistaan agama sesungguhnya soal Ahok dan jabatan gubernur itu adalah soal kecil. Bagi saya, menjadi tidaklah penting yang namanya Ahok dan jabatan gubernur. Hal yang sangat penting adalah adanya bidang-bidang yang akan berubah jika salah memutuskan perkara ini. Perubahan itu bisa menjadi sangat buruk dan mengganggu perkembangan Indonesia. Bidang-bidang itu adalah bahasa Indonesia, keamanan dan ketertiban, keberlangsungan hidup negara, penggunaan ayat Al Quran, serta pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51.

            Ucapan Ahok yang dianggap menistakan agama itu menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, harus dikaji bahasa yang digunakan Ahok itu, apakah mengandung unsur penistaan atau tidak.

            Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Akan tetapi, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi bahasa baru yang meninggalkan bahasa Melayu. Para ahli bahasa Indonesia mencermati terus perkembangan ini dan memberikan panduan bagi penggunaannya berupa aturan-aturan yang harus digunakan untuk berkomunikasi. Aturan-aturan itu digunakan untuk tetap menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terus berkembang, tetapi tetap efektif dan efisien untuk digunakan sebagai alat komunikasi sehingga tidak menimbulkan distorsi ataupun kesalahan penafsiran dari para penggunanya, baik itu penyampai pesan maupun penerima pesan.

            Hal itu menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu menafsirkan bahasa orang lain, termasuk bahasa yang digunakan Ahok ketika dianggap menistakan ayat Al Quran, apalagi jika sudah masuk ke ranah hukum. Tidak bisa semua orang mengklaim bahwa dirinya sudah memeriksa kata per kata, lalu membuat kesimpulan sendiri.

            Memangnya dia siapa?

            Mereka siapa?

            Harus orang yang memahami aturan berbahasa dan teruji secara akademis yang dapat dijadikan rujukan dalam menafsirkan bahasa Indonesia. Mereka bisa berasal dari kalangan perguruan tinggi dengan gelar yang sangat tinggi dalam bidang bahasa Indonesia.

            Kalau semua orang bisa menafsirkan bahasa Indonesia seenak dirinya, saya jadi pengangguran dong. Beberapa penerbit dan penulis naskah kerap menghubungi saya untuk memastikan apakah bahasa Indonesia yang mereka pergunakan adalah sudah baik dan benar sehingga pikiran mereka bisa sampai dengan sempurna kepada para pembacanya.

            Kalau semua orang memahami bahasa Indonesia dengan baik, mengapa para penerbit dan penulis itu masih menghubungi saya untuk saya edit bahasa mereka?

            Terbitkan saja langsung masuk ke percetakan kalau mereka yakin benar. Buktinya, mereka tidak yakin hingga meminta bantuan saya.

            Jadi, karena bahasa yang dipergunakan Ahok adalah bahasa Indonesia, harus orang yang benar-benar ahli bahasa Indonesia yang mampu mengeluarkan fatwa dalam hal bahasa berdasarkan aturan-aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Di samping itu, fatwa itu pun harus dijelaskan dengan benar asal-usulnya atau alasan-alasannya. Jangan tiba-tiba keluar fatwa tanpa ada penjelasan apa yang menyebabkan fatwa itu muncul. Poin-poin penting penyebab munculnya fatwa itu harus masuk akal sehat.

            Apabila aparat penegak hukum salah dalam memutuskan perkara Ahok, aturan-aturan bahasa Indonesia bisa berantakan. Inilah yang patut dikhawatirkan karena akan merusakkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang anarkis yang mudah sekali menimbulkan berbagai kesalahan penafsiran. Itu adalah hal yang teramat buruk.

            Keamanan dan ketertiban pun akan terganggu jika salah memutuskan. Semua kelompok atau bahkan semua orang bisa seenaknya menuduh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Kemudian, siapa pun berhak untuk mendesakkan keinginannya sehingga jika tidak sesuai dengan keinginannya akan menimbulkan goncangan-goncangan lainnya. Hukum menjadi sangat tidak berwibawa. Hukum sebagai panglima menjadi hanyalah mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan. Hal ini bisa merosot ke arah kehidupan yang anarkis.

            Kehidupan negara pun akan mulai terancam jika tidak mematuhi proses hukum dan salah dalam memutuskan. Akan ada banyak orang yang tidak mengerti atas keputusan yang salah dan itu memicu perlawanan serta penurunan kepercayaan kepada negara. Lambat laun, cepat atau lambat negeri ini bisa meluncur ke arah kegagalan sebagaimana yang terjadi di negara-negara gagal, seperti, Irak, Libya, Suriah, Afghanistan, dan yang lainnya.

            Untuk mencegah hal ini terjadi, hukum harus ditegakkan berdasarkan aturan-aturan hukum dan bukan atas dasar kepentingan mayoritas maupun minoritas. Kebenaran itu tidak didasarkan atas jumlah mayoritas dan minoritas, melainkan atas bukti dan fakta yang masuk akal. Kaum muslimin di Mekah pada masa Rasulullah saw adalah minoritas, tetapi itu adalah kebenaran. Justru yang mayoritas kaum kafir adalah pihak yang salah. Apabila ternyata ada hukum yang dianggap salah sehingga mengakibatkan keputusan yang salah, ubahlah hukum itu terlebih dahulu secara konstitusional dan bukan dengan cara huru-hara.

            Apabila salah dalam memutuskan, pelecehan terhadap ayat-ayat Al Quran akan terus terjadi. Bagi saya, penggunaan ayat-ayat Al Quran dalam setiap pemilihan yang berkaitan dengan politik dan ekonomi adalah pelecehan. Setiap calon pemimpin menggandeng ahli agama, lalu menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk mendukung jagoannya. Akan tetapi, dalam prosesnya mereka saling menyerang dan menjatuhkan, bahkan melakukan black campaign. Setiap pesaing menggunakan ayat Al Quran untuk menjatuhkan saingannya. Itu adalah pelecehan terhadap ayat-ayat suci Al Quran.

            Hal tersebut pun berkaitan dengan pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 yang kerap berbeda. Saya sangat berharap perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok justru memunculkan banyak hikmah untuk kaum muslimin. Allah swt sudah menjadikan perbedaan yang terjadi di antara sesama kaum muslim sebagai berkah dan rahmat. Hal itu disebabkan perbedaan-perbedaan yang terjadi dapat mendorong kaum muslimin untuk mencari kebenaran yang sama karena tujuannya adalah sama, yaitu mengabdikan diri kepada Allah swt. Ke depan pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 hendaklah sama, tidak lagi berbeda. Para ahli Islam harus mencari jalan untuk pemahaman dan pelaksanaan yang sama berdasarkan penjelasan dari ayat-ayat Al Quran lain di luar Al Maaidah : 51, penafsiran para ahli tafsir terdahulu dan terpercaya, hadits-hadits Nabi saw, tarikh, dan lain sebagainya. Minimal itu yang harus menjadi dasarnya, bukan emosi, kemarahan, dukungan politik kepada suatu kelompok, maupun kebencian kepada suatu kelompok. Para ahli Islam harus bersama-sama tidak merasa letih dan bosan untuk mendapatkan kesamaan, jangan hanya puas dengan perbedaan dan nyaman dengan banyak perbedaan. Dengan kesungguhan dan pengabdian yang kuat kepada Allah swt, kita akan menemukan penafsiran yang lebih jelas dan masuk akal atas ayat-ayat yang kerap dipahami dan dilaksanakan secara berbeda. Tuhan kita sama, Nabi kita sama, Al Quran kita sama. Dengan kejernihan pikiran dan hati, insyaallah kita akan mendapatkan pemahaman yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan sama pula.

            Jika para ahli Islam Indonesia dapat menemukan kesamaan itu, dunia Islam akan mencontoh kita dalam menjalankan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Kita pun dapat menyadarkan saudara-saudara kita sesama muslim yang sedang saling bunuh di negara-negara gagal itu untuk berpegang kepada pemahaman-pemahaman yang sama. Mereka berkelahi dan saling bunuh di antara sesamanya karena memiliki pemahaman yang berbeda. Setiap pihak yang bertempur memiliki keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Itu adalah situasi yang membingungkan. Al Quran-nya sama, tetapi saling bunuh. Kemungkinan besarnya adalah di antara mereka terdapat kepentingan-kepentingan duniawi yang rendah yang diperjuangkan dengan cara menggunakan ayat-ayat Al Quran. Itulah pelecehan terhadap ayat-ayat Al Quran. Hal yang membuat situasi lebih parah adalah suasana itu dimanfaatkan oleh orang-orang di luar Islam dengan tujuan merampok kekayaan umat Islam.

            Maukah kita seperti mereka?

            Tidak, bukan?

            Maukah kita di Indonesia ini menjadi cahaya bagi dunia Islam, bahkan bagi seluruh dunia?

            Masa tidak mau.

            

Sunday, 13 November 2016

Hade ku Basa Goreng ku Basa

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Hade ku basa goreng ku basa itu pepatah Sunda yang artinya mulia oleh bahasa hina pun oleh bahasa. Maksudnya, kemuliaan dan kehinaan seseorang, sekelompok orang, suatu bangsa, suatu agama, suatu keyakinan, atau suatu negara sangat ditentukan oleh bahasa yang dipergunakan mereka. Apabila bahasa yang mereka gunakan sangat bagus, indah, mulia, sopan, mencerahkan, dan menyejukkan, mulialah mereka. Sebaliknya, apabila bahasa yang mereka gunakan kotor, buruk, dan menyakitkan hati orang lain tanpa alasan yang jelas dan dibenarkan, hinalah mereka.

            Yang dimaksud bagus berbahasa itu bukan berarti hanya lembut, baik, dan tidak menyakiti orang lain, melainkan pula memiliki dasar pengetahuan yang jelas, tujuan yang pasti, serta memberikan pencerahan dan mendamaikan kehidupan manusia. Kalaupun dengan sangat terpaksa harus menggunakan bahasa-bahasa yang keras, tujuannya tetap untuk memuliakan manusia dan kemanusiaan, bukan untuk berbohong, melindungi kebodohan, menutupi kesalahan, mengaburkan permasalahan, maupun menimbulkan huru-hara dalam kehidupan.

            Yang dimaksud buruk berbahasa itu bukan hanya kotor, kasar, dan rendah, melainkan pula memiliki maksud-maksud jahat, melecehkan orang lain, menimbulkan huru-hara, menyesatkan manusia, mengadudomba di antara manusia, menutupi kebohongan, mengajak pada kerusakan, melindungi kebodohan, menolak kebenaran, mempertahankan sifat keras kepala, melecehkan nasihat-nasihat yang bermanfaat, menganggap diri selalu paling benar, dan lain sebagainya.


Sunda Kudu Makalangan

Sunda kudu makalangan, ‘Sunda harus aktif mengelola negara’.

            Orang Sunda mesti jujur bahwa dirinya telah lama berharap untuk lebih aktif dalam mengelola negara dan tidak selalu berada di pinggir pentas perpolitikan nasional dan internasional. Pasca-kehancuran Kerajaan Sunda Pajajaran, lebih tepatnya setelah selesainya Pertempuran Talaga yang mengakibatkan musnahnya kekuatan pasukan Sunda akibat penyerangan yang dilakukan pasukan Cirebon, orang Sunda jatuh ke dalam masa Sunda Papa, ‘Sunda Sengsara’. Hal itu terbukti, orang-orang Sunda pun terpinggirkan dan hidup dalam berbagai kesengsaraan yang bertubi-tubi. Selepas masa itu, orang Sunda harus terus bersabar melakoni berbagai “uga”, ‘prediksi’ yang wajib terjadi, yaitu memasuki kehidupan masa Sunda Tunggara, ‘Sunda Menderita’. Penderitaan yang dialami orang Sunda pun bagai tak berhenti menjatuhkan harga diri dan membuat tanah kekuasaannya dikuasai bukan oleh orang-orang Sunda. Warga Sunda sendiri tersisih, miskin, merana, dan tak memiliki jalan untuk kembali berjaya. Takdir bagaikan menutup pintu bagi orang-orang Sunda untuk memperbaiki diri dan harga dirinya. Kegetiran dan kegetiran selalu menemani.

            Saya merasa bahwa dua masa itu, yaitu: Sunda Papa dan Sunda Tunggara telah terlewati. Masih ada dua masa lagi yang harus dilakoni orang Sunda, yaitu masa Sunda Tampil dan masa Sunda Makalangan. Untuk masa Sunda Tampil, saat ini sedang berlangsung. Orang Sunda sudah tampil pada berbagai bidang kehidupan, baik dalam aktivitas swasta, keamanan, maupun pemerintahan. Bahkan, banyak permasalahan pelik dan tidak bisa diselesaikan oleh orang lain, diselesaikan dengan sempurna oleh orang Sunda. Misalnya, dalam hal keamanan negara yang sulit dituntaskan, orang Sunda dapat menyelesaikannya dengan baik. Berbagai konflik sosial dan bersenjata, termasuk pemberontakan bersenjata yang terjadi di Indonesia sejak kemerdekaan, telah diselesaikan dengan baik oleh Pasukan Siliwangi. Jika pasukan ini telah bergerak, masalah konflik bersenjata pun selesai. Lihat saja catatan sejarah. Persoalan komunis, DI/TII, GAM, dan lain sebagainya diselesaikan dengan baik oleh Pasukan Siliwangi. Dalam bidang pemerintahan, banyak orang Sunda yang telah menjadi menteri dan pejabat tinggi lainnya. Bahkan, persoalan batas wilayah laut Indonesia diperjuangkan sampai berhasil oleh Otto Iskandar Dinata. Dalam  bidang keagamaan dan sosial, orang Sunda sudah tampil menjadi rujukan banyak orang untuk menyelesaikan banyak permasalahan mereka. Dalam dunia hiburan, sudah tidak diragukan lagi bahwa orang Sunda adalah mayoritas dalam jumlah artis dan aktor yang malang melintang di Indonesia ini karena memiliki anugerah kecantikan dan ketampanan yang berada di atas rata-rata. Akan tetapi, kita harus mengakui bahwa prestasi-prestasi orang Sunda itu belum cukup mendorong hidupnya untuk memasuki masa Sunda Makalangan, ‘aktif mengelola negara’.

            Orang Sunda selalu berharap segera memasuki masa itu di samping untuk membuktikan dirinya sebagai suku yang memiliki potensi dan manfaat yang besar bagi bangsa dan negara, juga berkeinginan untuk menyelesaikan berbagai masalah dan kemelut yang selalu melanda Indonesia. Tak heran banyak orang Sunda yang kerap menyandarkan harapannya pada berbagai uga dan ramalan tentang keempat masa itu, yaitu: Sunda Papa, Sunda Tunggara, Sunda Tampil, dan Sunda Makalangan. Sayangnya, banyak yang membuat syair-syair palsu yang “meninabobokan” orang Sunda hingga menjadi lemah dan hanya menyandarkan harapannya pada ramalan-ramalan palsu.

            Saya sebagai orang Sunda, eh … nggak murni-murni amat sih soal kesundaan saya. Dari garis ayah, leluhur saya tersambung sebagai orang Jawa. Kakek ayah saya namanya Minggon. Jelas nama Jawa. Bahkan, di atasnya lagi ada yang nama belakangnya Kolopaking yang mungkin dari Solo.

            Kata ayah saya, “Pokoknya leluhur kamu itu bareng berperang dengan Pangeran Diponegoro melawan Belanda.”

            Dari garis ibu lebih dekat lagi ke Suku Jawa. Nenek saya sering tertawa-tawa cekikikan jika pada sore hari mendengar dongeng dari radio dengan bahasa yang tidak pernah saya mengerti karena menggunakan bahasa Jawa. Mungkin dongeng itu dongeng jenaka. Kalau mau tidur pun, nenek saya mengajarkan etika tidur dengan cara Jawa. Dia kebut-kebut kasur dan bantal menggunakan kainnya. Dikebut-kebut pula seluruh ranjang sampai ke atasnya hingga kainnya hampir menyentuh langit-langit. Dirapikannya seluruh bantal dan guling. Jadi, tempat tidur itu selalu dirapikan, baik setelah bangun tidur maupun hendak tidur. Dia melakukannya sambil terus komat-kamit berdoa. Ketika hendak tidur, nenek saya selalu mengajarkan membaca doa dengan bahasa Jawa yang tidak bisa saya hapal sampai hari ini.

            “Niyat ingsun repan riyalat …,” hanya itu yang saya ingat karena saya selalu membaca doa dengan bahasa Arab seperti yang diajarkan guru ngaji di masjid.

            Karena saya lahir di Bandung, berbahasa Ibu Sunda, hidup di lingkungan Sunda, banyak memahami Sunda dan kesundaan, serta merasa nyaman dengan hal-hal itu, saya meyakini dan mengklaim diri bahwa saya adalah orang Sunda. Di samping itu, memang ayah dan ibu saya tidak pernah menggunakan bahasa Jawa sepanjang hidupnya. Mereka selalu menggunakan bahasa Sunda dan lahir di tanah Sunda.

            Sebagai orang Sunda, saya berharap bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk menginjakkan kaki berdiri dan melangkah menyongsong masa Sunda Makalangan. Orang Sunda harus menunjukkan dirinya untuk menjadi pemecah persoalan, bukan menjadi pemicu masalah ataupun pembuat kekusutan. Baik mereka yang duduk di eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun sebagai rakyat biasa, harus mengerahkan potensinya memberikan solusi-solusi positif bagi permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia.

            Orang Sunda sudah diberikan anugerah yang besar oleh Allah swt. Sunda itu bukan hanya nama suku, melainkan pula nama agama, yaitu Sunda Wiwitan. Agama Sunda Wiwitan adalah agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam. Di dalam agama ini ada ajaran yang kita kenal sebagai pepatah hade ku basa goreng ku basa, ‘mulia oleh bahasa hina oleh bahasa’. Jika kita mencintai Nabi Prabu Siliwangi, patuhilah ajarannya, laksanakan segala nasihatnya. Jika kita ingin menjadi penerus Prabu Siliwangi as, pedomani seluruh titahnya. Jangan hanya bikin organisasi kesundaan, tetapi tidak melaksanakan ajaran Sunda itu sendiri. Jangan hanya mengucapkan nama Prabu Siliwangi berulang-ulang hingga hampir menyaingi mengucapkan nama Nabi Muhammad saw, tetapi bersikap hanya menyandarkan pada dongeng-dongeng kesaktian Prabu Siliwangi as. Prabu Siliwangi sakti karena dia adalah Nabi kepercayaan Allah swt. Prabu Siliwangi terkenal ke seluruh dunia karena tercatat sebagai manusia sempurna yang tidak memiliki cacat dalam sepanjang hidupnya. Jika kita ingin jiwa Prabu Siliwangi as hadir di tengah-tengah kita, lakukan segala ajarannya.  Ajaran Prabu Siliwangi as adalah ajaran Islam yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam yang dibawa Muhammad saw.

            Ajaran Prabu Siliwangi as yang dapat menjadi pemecah persoalan bangsa Indonesia saat ini adalah hade ku basa goreng ku basa. Negeri ini sedang sakit karena kehilangan kemampuan berbahasa yang baik, benar, mulia, dan mencerahkan. Presiden RI Jokowi mencemaskan perkataan-perkataan kotor yang berseliweran di Medsos. Kapolri Tito Karnavian berulang-ulang mengimbau masyarakat untuk tidak langsung percaya berita-berita di Medsos. Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengkhawatirkan adanya penunggang-penunggang gelap dari dalam dan luar negeri yang memanfaatkan persoalan dalam negeri Indonesia untuk merampok kekayaan sumber daya alam Indonesia.

            Apa ini artinya?

            Artinya, negeri ini sedang sakit menderita kerusakan jiwa akibat kehilangan kemampuan berbahasa yang penuh kehormatan. Negeri ini sedang gemar berbahasa penuh keburukan yang menistakan dirinya, keluarganya, masyarakatnya, dan negaranya sendiri.

            Hade ku basa goreng ku basa, ‘mulia karena bahasa dan hina karena bahasa’, mengajarkan bahwa kemuliaan dan kehinaan kita ditentukan oleh bahasa yang kita gunakan. Bahasa itu menentukan rasa, membina jiwa, membimbing rohani. Bahasa yang buruk akan menghancurkan kestabilan jiwa dan menyerahkan diri kita pada syetan. Bahasa yang baik akan melembutkan hati, melapangkan pikiran, meluaskan pandangan, menajamkan spiritual, membuat bijak ruhani, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

            Orang Sunda harus memulai sejak sekarang lebih mengendalikan bahasa yang digunakan, baik di  dunia nyata, maupun di dunia maya. Kita harus memberikan contoh berbahasa yang penuh kemuliaan untuk mendamaikan dan melembutkan suasana. Dengan berbahasa yang penuh kehormatan, pikiran kita akan semakin baik, jiwa semakin bijak, pandangan semakin luas sehingga ada banyak kunci kehidupan dan pengetahuan yang semakin terlihat secara nyata. Pengetahuan dan kunci tentang hidup yang telah terbuka di dalam batin kita akan mencerahkan kehidupan kita sendiri dan memberikan jalan penyelesaian masalah bagi orang lain.

            Jika orang Sunda sudah letih menderita dan sengsara, secepat mungkin gunakan bahasa-bahasa yang baik dan bijak sehingga nilai diri kita di hadapan Sang Hyang Tunggal yaitu Sang Hyang Kersa yaitu Sang Hyang Widi yaitu Sang Hyang Jatiraga yaitu Allah swt semakin tinggi. Jika nilai diri kita sudah semakin tinggi, Sang Hyang Wujud yaitu Allah swt akan mempercayai kita untuk menjadi perkakas-Nya dalam memimpin manusia menuju kebenaran hakiki.

            Hentikan bermimpi orang Sunda mendapatkan zaman keemasan dan zaman kemuliaan jika hanya bangga dengan ikat kepala bermotif batik, pakaian hitam-hitam atau putih-putih, menggunakan berbagai pernak-pernik tradisi Sunda, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa yang baik dan mulia sebagaimana yang diajarkan Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam. Jangan lagi menyebut-nyebut nama suci Prabu Siliwangi jika orang Sunda justru menjadi agen-agen pemicu kerusuhan, huru-hara, dan menyesatkan pikiran orang lain. Tidak pantas kalian menjadi orang Sunda jika tidak menjaga perdamaian di antara manusia.

            Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H. (alm) pernah mengatakan kepada saya secara langsung ketika saya membantunya menyusun biografinya, “Orang Sunda punya sifat asli nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara.”

            Maksudnya orang Sunda aslinya adalah kaum yang mematuhi hukum sekaligus menegakkan hukum dan selalu menunjang kedaulatan negara. Orang Sunda secara otomatis tanpa diperintah akan menyediakan dirinya untuk keutuhan bangsa dan negara. Jika ada orang Sunda yang tidak menghormati hukum dan tidak menjaga tegaknya negara, tak pantas dia disebut orang Sunda.

            Allah swt tidak akan memberikan masa Sunda Makalangan jika orang Sunda tidak mampu berbahasa yang baik, menyejukkan, dan mencerahkan. Pedomani ajaran Prabu Siliwangi as untuk berbahasa yang baik, benar, dan mulia hingga orang-orang akan menuju diri kita untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dideritanya. Jika orang Sunda sudah menjadi tujuan banyak orang, saat itulah Sunda Makalangan akan terjadi. Allah swt akan percaya penuh kepada orang Sunda. Insyaallah.

            Hade ku basa goreng ku basa, Indonesia bisa mulia karena bangsanya mampu berbahasa yang baik dan mulia, tetapi Indonesia bisa hancur karena bangsanya berbahasa kotor, hina, penuh kebohongan, dan sarat dengan kesesatan.

            Orang Sunda punya ajaran Sunda dari Prabu Siliwangi as, mulia oleh bahasa hina oleh bahasa. Didik diri dan negeri ini untuk menjadi orang-orang mulia dengan bahasa penuh kemuliaan. Songsonglah Sunda Makalangan terjadi secara nyata dalam kehidupan ini. Untuk Indonesia dan untuk dunia.


            Demi Allah swt.

Thursday, 10 November 2016

Amerika Serikat Tak Siap Kesetaraan Gender

oleh Tom Finadin


Bandung, Putera Sang Surya

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) atas Hillary Clinton, tak lepas dari perilaku dan suasana kebatinan rakyat AS sendiri. Angka hasil pemilihan di AS dapat dijadikan cermin bagaimana sebenarnya perilaku batin rakyat AS kebanyakan. Seorang pengusaha AS dalam bidang IT, Timothy Francis, yang diwawancarai tvOne secara langsung dari AS, menyatakan bahwa kekalahan Hillary Clinton salah satunya disebabkan oleh “tidak siapnya rakyat AS menerima perempuan sebagai pemimpin atau presiden”. Rakyat AS ternyata seperti itu, masih mempersoalkan jenis kelamin dalam hal kepemimpinan.

            Saya hanya ingin tertawa terbahak-bahak. Bukan menertawakan AS, melainkan menertawakan orang-orang sok tahu dan sok pintar di Indonesia. Banyak aktivis kesetaraan gender di Indonesia sangat sering merendahkan pandangan, nilai, dan norma bangsanya sendiri, Indonesia, sebagai masih terbelakang karena mendahulukan pria untuk menjadi pemimpin serta meminggirkan kaum perempuan dalam soal politik dan hubungan sosial. Banyak aktivis dan politisi sejenis ini yang sering sekali membanding-bandingkan antara Indonesia dengan Amerika Serikat mengenai kesetaraan gender. Mereka dengan sangat yakin bahwa Amerika Serikat lebih maju karena tidak menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin. Kata mereka rakyat AS sudah berpikiran sangat terbuka karena tidak mempermasalahkan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Mereka sangat yakin bahwa AS lebih beradab dibandingkan Indonesia.

            Dasar sok tahu orang-orang ini!

            Dasar Penipu!

            Mereka berbicara sok cerdas dengan mengharapkan Indonesia menjadi seperti AS dengan memberikan kesempatan yang luas bagi kaum perempuan.

            Dasar banyak omong tanpa ilmu kalian!

            Sampai sekarang saja Amerika Serikat menurut Timothy Francis masih enggan untuk memiliki presiden berjenis kelamin perempuan sehingga Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45. Jadi, para aktivis dan politisi yang sok tahu dan penipu itu sudah terpenjara pikirannya dengan selalu menganggap bahwa apa pun tentang AS pasti bagus dan apa pun tentang Indonesia pasti buruk dan terbelakang. Lalu, pengetahuan mereka yang terbatas itu digunakan untuk merendahkan Indonesia dan Islam dengan membuat ilustrasi bahwa Islam dan Indonesia menghalangi perempuan untuk maju.

            Bodoh orang-orang ini!

            Mereka pantas ditertawakan … hahahahahaha …!

            Soal gender ini justru Indonesia lebih bagus. Indonesia pernah punya presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputeri. Bahkan, sesungguhnya sejak zaman dulu pun Indonesia sudah memberikan kesempatan yang teramat luar biasa bagi perempuan untuk aktif dalam berbagai bidang kehidupan asal para perempuannya bisa aktif di luar rumah. Tak ada yang menghalangi perempuan Indonesia untuk berkiprah dalam kehidupan. Jauh sebelum orang-orang kulit putih itu teriak-teriak soal kesetaraan gender, Indonesia sudah memiliki banyak pemimpin perempuan.

            Saya ingatkan lagi soal ini.

            Soekarno mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan Indonesia itu ibarat dua sayap burung Garuda. Burung Garuda bisa terbang sangat tinggi jika kedua sayapnya kuat dan sehat. Jika salah satu sayapnya sakit, Garuda pun tidak bisa terbang tinggi.

            Hal itu menunjukkan bahwa Soekarno sangat mendukung para perempuan dalam memajukan bangsa dan negara bersama kaum laki-laki. Bahkan, dalam hal pendidikan, jika dalam sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi untuk menyekolahkan anaknya, anak yang harus lebih dulu mendapatkan pendidikan adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki. Biarkan anak laki-laki belakangan. Dahulukan anak perempuan. Soekarno menjelaskan bahwa anak perempuan harus lebih dahulu mendapatkan pendidikan karena akan menjadi ibu dan harus mendidik putera-puterinya untuk masa depan. Di samping itu, Soekarno menjelaskan bahwa kaum pria hanya bekerja sepanjang siang, sedangkan perempuan bekerja siang dan malam.

            Apa lagi yang diragukan mengenai penghormatan Indonesia kepada kaum perempuannya?

            Jangan sedikit-sedikit mencontohkan luar negeri. Sedikit-sedikit Amerika Serikat. Sedikit-sedikit Eropa. Sebetulnya, bangsa Indonesia ini sudah membebaskan perempuan untuk bergerak dan berprestasi dari dulu. Asal perempuannya mau dan bisa, tidak ada yang akan menghalangi. Akan tetapi, kalau tidak mau dan tidak bisa, jangan teriak-teriak pengen bebas dan memiliki hak sama.

            Memangnya mau melakukan apa teriak-teriak tentang kebebasan?

            Pengen bebas keluyuran?

            Pengen bebas berbuat maksiat?

            Tidak perlu teriak-teriak soal kesamaan hak. Perempuan Indonesia itu dari dulu sudah bebas kok asal mau dan bisa.

            Nggak percaya?

            Perhatikan para perempuan yang bebas bergerak tanpa harus teriak tentang persamaan hak dan Ham dari luar negeri itu!

            Subanglarang, Permaisuri Raja Sunda Pajajaran. Ia hidup antara abad 16-17 Masehi. Subanglarang adalah ratu yang melahirkan Raden Kian Santang, Pangeran Sunda yang menyebarkan Islam di tanah Pasundan. Subanglarang mendirikan pesantren besar dan mendapat cinderamata dari Laksamana Cina Cheng Ho berupa mercusuar.

            Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga sekitar tahun 674 Masehi. Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan serta mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Ia pun melarang rakyat untuk memiliki emas. Ia sadar emas bisa membuat rakyatnya jahat dan gemar bertengkar.  Ia pernah menghukum anaknya sendiri karena kaki anaknya tidak sengaja menyentuh karung emas.

            Dyah Pitaloka Citraresmi, hidup antara 1340-1357 Masehi. Ia  adalah Puteri Kerajaan Sunda. Ia adalah perempuan tercantik di seluruh kerajaan kepulauan Nusantara. Banyak raja yang ingin memperistri Dyah Pitaloka dan tak ada perempuan yang membuat Raja Majapahit Hayam Wuruk jatuh cinta, kecuali Dyah Pitaloka Citraresmi.

            Ia perempuan yang sangat berani. Ia tetap melakukan perlawanan meskipun seluruh prajurit dan keluarganya telah gugur dalam Perang Bubat. Ia sendirian bertahan melawan 5.000 pasukan musuh. Dyah Pitaloka Citraresmi tetap mempertahankan harga diri Kerajaan Sunda dari penghinaan musuh-musuhnya. Sampai hari ini ada ribuan gadis Sunda yang menggunakan nama Dyah Pitaloka.

            Cut Nyak Dhien, pemimpin besar Perang Kerajaan Islam Aceh yang hidup antara  1848–1908. Sepanjang hidupnya bertempur melawan penjajahan Belanda. Dia tidak pernah kalah perang. Teriakan Allahu Akbar adalah senjatanya.

            Akan tetapi, ketika sudah tua, ia sakit. Seorang pasukannya mengadakan perjanjian dengan Belanda. Ia ingin Belanda mengobati Cut Nyak Dhien. Belanda setuju. Akan tetapi, Cut Nyak Dhien marah.

            Meskipun dirawat di rumah sakit, ia tetap berhubungan dengan pasukan Aceh untuk terus bertempur.  Akhirnya, Belanda memindahkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal di sana.

            Gambar Cut Nyak Dhien menjadi gambar salah satu pecahan mata uang kertas Indonesia.

            Cut Nyak Meutia. pejuang perang Aceh yang hidup pada 1870-1910. Ia bersama suaminya yang bernama Teuku Muhammad melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

            Raden Dewi Sartika adalah pahlawan pendidikan yang lahir di Bandung. Ia hidup antara 1884–1947. Ia adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Dewi Sartika adalah orang pertama yang membuka sekolah untuk perempuan, “Sakola Istri”.

            Raden Adjeng Kartini, puteri bangsawan Jawa. Ia hidup  antara 1879-1904. Ia gemar membaca majalah-majalah Eropa. Ia kemudian berhubungan melalui surat menyurat dengan teman-temannya di Eropa. Setelah Kartini meninggal, surat-surat itu dikumpulkan kemudian menjadi buku, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

            Rangkayo Rasuna Said, perempuan pejuang antikolonial yang hebat. Ia hidup antara 1910 s.d. 1965. Tulisan-tulisannya yang sangat tajam menyerang pemerintah Kolonial Belanda. Akibatnya, ia sempat ditahan Belanda. Kemudian, ia dipercaya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat. Setelah itu, ia kembali dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.

            Maria Walanda Maramis  hidup pada 1872-1924. Ia lahir dalam keluarga pejuang antikolonialis. Kakaknya, Andries Maramis, adalah aktivis yang  memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kemudian, ia pernah menjadi menteri dan duta besar Indonesia.

            Maria Walanda Maramis adalah perempuan yang sangat memperhatikan tugas dan tanggung jawab perempuan, baik di dalam rumah tangga sebagai ibu, sebagai istri, maupun sebagai pendidik. Ia kemudian mendirikan organisasi  Percintaan Ibu kepada Anak Temurunannya (Pikat). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.

            Martha Christina Tiahahu, pemberani yang hidup antara 1800-1818. Pada usia 17 ia melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Ia selalu mendampingi ayahnya Kapitan Paulus Tiahahu dalam menyerang Belanda. Ia selalu mengobarkan semangat perang prajuritnya dan mengajak para perempuan untuk ikut berperang. Akibatnya, Belanda kewalahan mendapat perlawanan dari para perempuan. Karena semangat dan keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat patung Martha Christina Tiahahu.

            Siti Walidah Ahmad Dahlan hidup pada 1872-1946. Ia adalah Istri Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Muhammadiyah. Siti sangat memperhatikan kaum perempuan. Oleh sebab itu, ia mendirikan organisasi perempuan yang bernama Sopo Tresno  untuk mendidik kaum perempuan. Ia bersama suaminya mengganti nama Sopo Tresno menjadi Aisyiyah. Nama itu berasal dari nama isteri Nabi Muhammad saw, Aisyah ra. Dalam organisasi itu, ia mendirikan lembaga pendidikan bagi para perempuan. Para perempuan dididik agar mampu menjadi pendidik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin rapat besar organisasi besar Muhammadiyah di Indonesia.

            Nyi Ageng Serang terlahir dengan nama asli Raden Ajeng (RA) Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi. Nyi Ageng Serang merupakan puteri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkeu Buwono I. Nyi Ageng juga merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga penyebar Islam yang sangat berpengaruh di Indonesia.

            Ketika menjadi penguasa Serang, banyak rakyatnya kelaparan dan mengalami kesengsaraan akibat ulah dari penjajah Belanda. Ia selalu membantu kesengsaraan rakyatnya dengan membagi-bagikan pangan. Selain itu, ia juga melakukan perlawanan fisik untuk mengusir pasukan Belanda dari tanah kelahirannya itu.

            Ia pun ikut dalam Perang Diponegoro pada 1825. Atas jasa dan keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat monumen Nyi Ageng Serang.

            Opu Daeng Risadju, anggota keluarga bangsawan Luwu.  Ia lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, pada 1880. Dalam sepanjang hidupnya ia dididik ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama Islam.

            Opu Daeng Risaju melakukan perlawanan terhadap kejahatan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. NICA memutuskan untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Al-Quran. Opu Daeng Risaju pun segera membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.

            Indonesia sejak dulu sudah sangat menghormati perempuan. Bahkan, semakin tua perempuan, semakin besar kekuasaannya di Indonesia ini. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Belanda (saya lupa lagi namanya) disebutkan bahwa hidup kaum perempuan Indonesia masa lalu terbagi dalam tiga fase penting, yaitu masa kanak-kanak yang penuh keriangan dan kesenangan, masa kepatuhan kepada suami, dan masa penuh kekuasaan ketika menjadi seorang nenek. Ketiga masa itu adalah sangat bagus dan penuh kehormatan dibandingkan masa sekarang yang terlalu bangga dengan perilaku-perilaku impor dari negara lain. Masa sekarang ini malah cenderung mengkhawatirkan karena perempuan Indonesa bisa terjerumus ke dalam empat fase kehidupan penting yang negatif, yaitu: masa kanak-kanak yang penuh kebingungan karena kurang pengawasan, masa remaja yang penuh kegalauan tanpa bimbingan, masa pernikahan yang rentan perceraian akibat perselingkuhan, dan masa pembuangan ke panti jompo setelah menjadi nenek.

            Mana yang lebih baik, masa lalu yang diikat oleh keluhuran norma dan budaya asli Indonesia atau masa sekarang yang bangga dengan perilaku impor bangsa asing?

            Orang waras yang punya otak cerdas dan jernih pasti bisa menjawabnya dengan mudah.

            Dengan demikian, jangan suka sok tahu dengan mengatakan bahwa orang-orang Barat peradaban nilai dan normanya lebih hebat dibandingkan Indonesia. Sementara itu, Indonesia masih terbelakang karena tidak menghargai perempuan. Padahal, Hillary Clinton tidak bisa menjadi presiden AS salah satunya disebabkan dia perempuan. Ini terjadi pada abad modern.

            Paham, ya?


            Masa tidak paham.