Sunday, 23 February 2020

Jangan Terlalu Bangga Disebut Negara Maju


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Baru-baru ini Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa Indonesia adalah negara maju. Untuk mereka yang mencintai Negara Indonesia, bisa tiba-tiba tersentak bangga dengan predikat sebagai negara maju, tetapi rasa bangga itu seketika tertahan jika merasakan kondisi hidupnya sehari-hari dan atau melihat keadaan ekonomi sekitarnya.

            Benarkah kita, Indonesia, sudah menjadi negara maju?

            Pernyataan Presiden AS tersebut harus diteliti lagi maksudnya. Sebagai negara mayoritas muslim, kita harus ingat bahwa proses tabayun, cek en ricek, wajib dilakukan jika mendapatkan berita apapun, baik itu berita baik maupun berita buruk.

            Dari beberapa sumber yang saya pelajari, kita wajar kecewa dengan disebut sebagai negara maju dan dikeluarkan dari daftar negara miskin atau negara berkembang. Hal itu disebabkan AS tidak akan lagi memberikan subsidi atau bantuan terhadap Indonesia dalam mengekspor barang-barang Indonesia untuk diimpor oleh AS. Salah satunya, akan ada kenaikan tarif bea masuk bagi barang-barang Indonesia yang diimpor AS.

            AS memang memiliki undang-undang untuk melindungi negara-negara miskin atau berkembang agar terlepas dari kemiskinan. Negara Donald Trump itu memberikan tarif bea masuk rendah bagi negara-negara yang dianggap masih miskin atau berkembang agar negara-negara itu bisa maju. Dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang yang berarti menjadi negara maju, tarif bea masuk akan tinggi. Hal itu akan memukul para pengusaha Indonesia yang mengekspor barang ke AS. Dengan tarif bea masuk tinggi, harga-harga barang Indonesia di AS akan menjadi semakin mahal dan itu dikhawatirkan semakin mengurangi daya saing produk Indonesia di AS. Padahal, saat ini nilai hubungan dagang Indonesia-AS telah membuat neraca perdagangan Indonesia surplus. Artinya, Indonesia untung besar. Dengan kenaikan tarif, bisa saja keuntungan perdagangan itu menurun dan terus turun.

            Meskipun demikian, Indonesia tidak perlu terlalu risau, hadapi saja kenyataan yang ada dengan kerja keras dan doa agar produk Indonesia semakin berkualitas dan semakin beragam sehingga kenaikan tarif bea masuk yang diterapkan AS tidak mengganggu kenaikan keuntungan perdagangan AS-Indonesia. Hal yang patut diingat, kita harus sama-sama bergotong royong. Kalau belum bisa gotong royong dan menyumbangkan diri untuk negara, minimal jangan bikin huru-hara. Hal itu disebabkan jika negara maju, kita pun ikut maju, kecuali kalau kitanya malas dan tidak memanfaatkan kesempatan yang ada.

            Jadi, jangan terlalu bangga jika disebut negara maju. Saya melihatnya itu hanya upaya Amerika Serikat untuk tidak lagi membantu Indonesia sebagai negara berkembang. AS tampaknya sedang membutuhkan uang sehingga tidak ingin lagi memberikan subsidi bagi Indonesia.

            Bagi saya, Indonesia belum maju dan masih termasuk negara berkembang. Hal itu disebabkan saya masih percaya pada teori dari Rektor Universitas Al-Ghifari Prof. Dr. Didin Muhafidin bahwa negara maju itu hidup dari otaknya, sedangkan negara berkembang hidup dari sumber daya alamnya. Oleh sebab itu, Bank Dunia tidak memasukkan Arab Saudi atau negara-negara Timur Tengah sebagai negara maju meskipun punya banyak uang dan disebut Negara Petrodollar. Hal itu disebabkan Arab Saudi dan Timur Tengah sama dengan Indonesia yang hidup bukan dari otaknya, melainkan mengandalkan hidup dari sumber daya alamnya. Indonesia masih belum maju, masih berkembang.

            Meskipun demikian, tidak perlu berkecil hati karena Indonesia pun sekarang sudah menjadi negara ranking ke-7 di dunia dalam hal ekonomi. Sayangnya, kebesaran ekonomi Indonesia jika dibagi jumlah penduduk yang sebanyak 267 juta, pendapatan perkapitanya menjadi peringkat 97 di dunia. Tidak apalah karena itu juga sudah menunjukkan adanya peningkatan dari setiap periode kepemimpinan Indonesia.

            Jangan bergantung pada orang lain, kerja keras adalah paling utama.

            Kata Presiden Soekarno, “Bukanlah kemerdekaan namanya jika rakyat Indonesia masih belum sejahtera.”

            Kesejahteraan itu hanya bisa dilakukan dengan kerja sama antara pemerintah dengan rakyat. Oleh sebab itu jangan gemar ribut. Kalau ada masalah besar, kita kecilkan. Kalau ada masalah kecil, kita hilangkan. Jangan meributkan hal-hal yang tidak perlu.

            Sampurasun.

Saturday, 22 February 2020

Salam

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Salam mengandung doa dan harapan. Salam apa pun dalam bahasa apa pun sepanjang untuk kebaikan, ada doa dan harapan di dalamnya.

            Dalam masa perjuangan Indonesia ada salam revolusi, “Merdeka!”

            Di dalamnya ada doa dan harapan agar kita dibebaskan dari penjajahan asing sekaligus tetap semangat untuk mandiri. Salam ini sampai sekarang tetap digunakan, terutama di kalangan veteran perang dan para nasionalis.

            Dalam kegiatan Pramuka ada, “Salam Pramuka!”

            Itu juga doa dan harapan agar para Pramuka tetap bersatu dan bersemangat sekaligus mengingatkan setiap anggota Pramuka untuk mengamalkan Dasadarma, Trisatya, dan ajaran lainnya dalam kepramukaan.

            Mario Teguh selalu mengatakan, “Salam Super!”

            Salam itu di dalamnya ada doa dan harapan agar para audiens menjadi orang-orang super yang tahan banting dan bijak dalam menghadapi hidup.

            Motivator-motivator lain juga sering menggunakan salam dengan kalimatnya sendiri untuk memberi semangat dan mengingatkan para pendengarnya sesuai dengan tujuan materi training yang dibawakannya.

            Saya sendiri rencananya melaksanakan progam berbahasa Inggris one day in a week, ‘sehari dalam seminggu’ buat mahasiswa “Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Al-Ghifari”. Saya wajibkan kami berbahasa Inggris setiap Kamis. Tidak masalah jika kemampuan berbahasa Inggris masih rendah, yang penting Pede aja dulu berbahasa Inggris.

            Ketika masuk kelas di semester berapa saja, saya akan ucapkan salam, “Hello, diplomats!”

            “Halo para diplomat!”

            Salam itu pun doa, harapan, pengingat, sekaligus penyemangat agar para mahasiswa bangga dan semangat bahwa dirinya selalu bersemangat kuliah dan mudah-mudahan dipercaya Allah swt untuk mampu berdiplomasi dalam menjaga serta mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk Negara Indonesia ketika berhadapan dengan negara luar di meja-meja perundingan.

            Soal salam “Assalaamualaikum”, tanya para Ustadz. Mereka lebih paham.

            Sekarang “Salam Pancasila”. Di dalamnya pun ada doa dan harapan agar bangsa Indonesia tetap bersatu, harmonis, tidak bercerai-berai, dan terhindar dari paham-paham radikal.

            Semua salam dalam bahasa apa pun, insyaallah berpahala, asal untuk tujuan baik. Allah swt memberikan manusia beragam bahasa untuk berkomunikasi, tidak perlu selalu harus berbahasa Arab untuk mendapatkan pahala.

            “Mahasuci Engkau ya Allah, ampuni aku, lindungi aku, sejahterakan aku,” kalimat ini pun berpahala meskipun menggunakan bahasa Indonesia.

            Terus, bagaimana jika kita jatuh cinta dan mengucapkan “salam sayang, salam kangen, salam rindu, salam cinta?”

            Salam itu mah pikirin aja sendiri.

            Sampurasun.

Wednesday, 12 February 2020

Apa Kabar Dajjal?


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera sang Surya
Dajjal adalah tokoh yang dipercaya datang pada akhir zaman menjelang kiamat. Dia datang dengan membawa kemunafikan, kedustaan, kejahatan, kemunkaran, kekejian, dan berbagai kerusakan di muka Bumi.

            Sudahlah, saya nggak mau serius ngomongin Dajjal. Saya hanya pengen ketawa saja kalau ada yang ngomongin Dajjal tanpa dasar dan tanpa sumber yang jelas. Banyak sekali yang berbicara atau menulis tentang Dajjal dengan bertentangan dan ngawur. Saya tulis beberapa yang ngawur itu.

            Beberapa waktu lalu, saat terjadi gempa di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia, pada grup-grup WhatsApp (WA) beredar postingan bahwa gempa di Palu adalah disebabkan “Jokowi sedang membangunkan Dajjal”. Maklum, saat itu lagi ramai-ramainya menjelang Pemilihan Presiden Republik Indonesia. Jokowi adalah calon presiden yang kini sudah terpilih kembali menjadi presiden.

            Luar biasa sekali Jokowi kenal dengan Dajjal, tokoh dunia yang katanya disebut-sebut para nabi, bahkan bisa membangunkannya. Selain itu, berarti Dajjal adalah orang Palu. Dia tidur di Indonesia. Luar biasa. Sayangnya, banyak orang yang percaya, bahkan postingan itu di-share, ‘disebarluaskan’ ke grup-grup WA lainnya. Luar biasa.

            Dua bulan sejak gempa di Palu, Indonesia, terjadi gempa di Iran. Lalu, banyak tulisan di Medsos bahwa gempa di Iran itu terjadi disebabkan Dajjal sedang berupaya bangun dari tidur panjangnya untuk membuat kerusakan di Bumi. Luar biasa.

            Jadi, Dajjal itu orang Palu, Indonesia, atau orang Iran?

            Lagian dia itu tidur melulu. Setiap bangun, gempa. Setiap menguap, timbul angin topan. Ngaco.

            Subuh hari ini, saya mendapat pertanyaan dari seorang ibu jamaah pengajian tertentu, “Kang, benarkah Raja Arab sudah membangun sebuah tempat untuk kedatangan Dajjal?”

            “Kata siapa?” saya balik bertanya.

            “Kata Ustadz itu,” dia lalu memberitahukan lokasi rumah ustadz yang dimaksudkannya.

            “Bohong!” tegas saya.

            “Iya yah, kan Dajjal itu jahat, tapi kenapa Raja Arab membuatkan tempat untuk kedatangannya?” Si Ibu itu bingung.

            “Ibu bertanya nggak sama ustadz itu tentang alasan Raja Arab membangun tempat untuk Dajjal?”

            “Bertanya.”

            “Apa jawabannya?”

            “Ustadz itu bilang, ‘yaa, begitulah’,” jawab Si Ibu.

            Luar biasa. Kisah itu luar biasa.

            Saya tegaskan, ustadz itu berdusta karena hanya berceritera tanpa menjelaskan sumber kisahnya.  Dia pun tidak menerangkan alasan Raja Arab membuat tempat untuk kedatangan Dajjal. Di samping itu, belum lama ini saya baru pulang umroh dan tidak mendapatkan informasi atau melihat ada tempat itu di Arab. Kalau memang ada, mungkin para pembimbing umroh atau haji akan mengajak para jamaahnya ke tempat itu. Bahkan, mungkin para wartawan dari seluruh dunia sudah menyiarkan berita luar biasa itu ke seluruh dunia.

            Mengapa hanya Sang Ustadz yang tahu, sedangkan orang lain tidak tahu?

            Dia tahu dari mana?

            Luar biasa, Ustadz.

            Sampurasun.

Tuesday, 4 February 2020

Soal Virus Corona di Natuna, Clear


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Tulisan saya yang lalu menegaskan bahwa memang sebagian masyarakat Natuna beserta pemerintah daerah dan tokoh masyarakatnya menolak kehadiran warga Negara Indonesia yang pulang atau dipulangkan dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina untuk diobservasi di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Penolakan tersebut diakibatkan oleh hoax tentang virus corona yang merajalela, kurangnya upaya masyarakat mencari informasi yang akurat dan benar, serta minimnya koordinasi dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah.

            Dijadikannya Natuna sebagai lokasi observasi tanpa koordinasi yang maksimal mengakibatkan masyarakat Natuna ketakutan sekaligus marah. Mereka takut menjadi tempat tersebarnya virus corona di Indonesia. Mereka marah karena curiga seolah-olah tempatnya “dikorbankan” sehingga merasa diri tidak dipentingkan dibandingkan warga lain di Indonesia ini.

            Akan tetapi, persoalan mulai mencair ketika terjadi komunikasi yang lebih jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuh orang perwakilan dari Natuna berkomunikasi langsung dengan pemerintah pusat di Jakarta. Dengan adanya komunikasi yang baik, penjelasan yang lengkap, pemahaman yang jelas, semuanya bisa selesai. Meskipun rasa takut dan marah itu tidak segera menghilang karena perlu waktu, semuanya berangsur-angsur membaik.

            Hal yang membuat saya tertarik adalah kenegarawanan pemerintah pusat yang mengakui dengan sempurna bahwa mereka telah melakukan kesalahan karena tidak melakukan koordinasi yang sempurna terhadap pemerintah daerah Kabupaten Natuna. Pengakuan diri telah melakukan kesalahan itu adalah sangat baik dibandingkan tidak mengakuinya. Sulit mengakui diri salah ketika berada di posisi atas dan berkuasa, tetapi mereka mengakuinya. Itu adalah hal yang teramat mulia sehingga kesalahan itu tidak boleh diulang lagi pada masa depan.

            Di samping itu, bantahan dari Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti terhadap pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tentang jarak antara hanggar (garasi pesawat) dengan pemukiman penduduk, tidak mendapatkan penyangkalan. Sebelumnya, Hadi mengatakan jaraknya adalah 5-6 km, tetapi Ngesti membantahnya dengan menjelaskan jaraknya hanya 1,2 km.  Itu juga baik karena polemik berhenti sampai di situ. Meskipun demikian, jarak 1,2 km itu sudah sangat jauh karena menurut Satgas Pencegahan Virus Corona, virus itu hanya bisa menular jika Si Sakit batuk di dekat orang sehat dalam jarak 1 hingga 1,8 meter. Tidak mungkin ada orang batuk sejauh 1 km. Virus corona pun tidak bisa hidup di udara dengan iklim tropis seperti Indonesia. Indonesia memang diuntungkan secara iklim. Akan tetapi, kita tetap harus waspada.

            Kini warga Natuna bisa lebih tenang setelah mendapatkan penjelasan lebih lengkap dan melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat. Sebaiknya, kita semua berharap dan berdoa agar warga Negara Indonesia yang diobservasi di Natuna dapat segera benar-benar pulih dan kembali kepada keluarganya dengan baik.

            Sampurasun.

Monday, 3 February 2020

Warga Natuna Jangan Tolak WNI dari Cina


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kali kedua saya menulis tentang sikap penolakan yang dilakukan sebagian warga Natuna, kepulauan Riau, terhadap saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air Indonesia. Saudara-saudara kita, sebagian warga Natuna ini memang harus diingatkan lebih jauh dan lebih dalam tentang pemahaman bahwa kita ini adalah sesama saudara sebangsa dan setanah air. Para pendidik, ahli agama, ahli budaya, dan para stake holder lainnya memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pemahaman-pemahaman tersebut.

            Pertama, sejak Susi Pudjiastuti menjadi Menteri KKP, mereka menolak kehadiran nelayan-nelayan dari Pulau Jawa. Padahal, Natuna adalah bagian dari wilayah NKRI. Seluruh wilayah NKRI adalah milik warga NKRI juga. Kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah NKRI adalah untuk seluruh warga NKRI, dari pulau mana pun mereka berasal.

            Adalah hal yang lucu jika warga Jawa Barat, Jakarta, atau pulau-pulau lainnya menolak warga Natuna untuk berobat, kuliah, bekerja, atau tamasya. Warga Natuna boleh beraktivitas apa saja di pulau mana saja karena warga Natuna adalah juga warga NKRI. Demikian pula sebaliknya, saudara-saudara sebangsa dan setanah air pun boleh beraktivitas di Natuna.

            Kedua, ketika kementerian KKP dipegang oleh Edhy Prabowo, warga Natuna tetap melakukan upaya penolakan terhadap nelayan-nelayan Pantura atau Pulau Jawa untuk mencari ikan di perairan Natuna Utara, padahal kehadiran nelayan-nelayan dari Pulau Jawa itu adalah untuk mengamankan perairan Natuna Utara dari pencurian ikan yang dilakukan negara lain, terutama Cina. Nelayan Natuna sendiri belum mampu meramaikan kawasan Laut Natuna Utara sehingga pencurian ikan terus terjadi di kawasan itu. Sekarang karena wilayah itu harus diamankan oleh patroli laut, Bakamla, TNI AL, bahkan dengan menggunakan pesawat F16, dibutuhkan biaya yang banyak. Salah satu sumber dana yang dibutuhkan itu bisa dari hasil tangkapan nelayan-nelayan Indonesia, sementara itu hasil tangkapan nelayan Natuna sendiri masih terbatas. Salah satu solusinya adalah mengajak saudara-saudaranya dari Pulau Jawa untuk beraktivitas di Natuna Utara.

            Daripada dicuri oleh negara lain, mendingan berbagi dengan saudara sebangsa sendiri, ya nggak?

            Ketiga, warga Natuna menolak dengan keras kehadiran warga Negara Indonesia (WNI) yang “terpaksa” pulang dari Cina, terutama Kota Wuhan, Provinsi Hubei akibat dari merebaknya virus corona di Cina. Kepulangan WNI ini merupakan upaya untuk menghindari virus corona di Cina. Penolakan ini bagi saya cukup mengejutkan. WNI yang pulang itu adalah saudara-saudara warga Natuna sendiri, sebangsa dan setanah air. Mereka sudah sangat tersiksa di Cina mempertahankan dan menghindarkan diri dari infeksi virus corona. Mereka sudah ketakutan, menderita, dan sempat kesulitan makanan. Sebelum pulang, mereka sudah diperiksa otoritas Cina dan dinyatakan sehat. WNI yang mengalami demam dan sakit, tidak diperbolehkan pulang. Mestinya, kita sebagai saudaranya sebangsa setanah air menyambutnya dan menolongnya, bukan menganggapnya sebagai ancaman. Toh, pemerintah Indonesia pun sangat berhati-hati dengan hal ini. Para petugas menggunakan pakaian superketat meskipun sudah dinyatakan sehat. Para WNI itu pun disemprot lagi dengan cairan khusus. Saya yakin bahwa pemerintah RI pun sudah sangat waspada karena jika terjangkit virus, yang susah adalah pemerintah dan rakyat Indonesia sendiri.

            Pemilihan Natuna sebagai tempat kepulangan WNI dari Wuhan sudah melalui berbagai pertimbangan. Dalam detiknews Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa Natuna memiliki pangkalan militer dengan fasilitas rumah sakit yang dikelola Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Di samping itu, Natuna memiliki landas pacu (runway) yang berdekatan dengan wilayah yang dijadikan kawasan observasi (pengamatan). Dengan demikian, proses masuk ke penampungan sejak turun pesawat menjadi lebih sangat cepat. Tambahan pula, jarak dari hangar (garasi pesawat) dengan pemukiman penduduk cukup jauh, yaitu sekitar 5-6 km. Demikian pula jarak dengan dermaga, sekitar 5-6 km. Dengan demikian, hal itu memenuhi syarat untuk protokol kesehatan.

            Pertimbangan yang dilakukan oleh Panglima TNI tersebut sangat masuk akal dibandingkan dengan menggunakan wilayah-wilayah lain yang mungkin tidak seistimewa Natuna.

            Kalaupun warga Natuna atau aparat pemerintah daerahnya merasa khawatir, seharusnya meminta penjelasan dari pemerintah pusat dan meminta jaminan agar kekhawatiran mereka sama sekali tidak terjadi. Tidak perlu melakukan tindakan emosional yang didorong oleh kecurigaan yang berlebihan pula. Kita adalah sesama warga bangsa Indonesia yang harus tolong-menolong, bergotong royong. Jika sebagian warga bangsa sakit, seluruh warga pun seharusnya merasakan sakit pula sehingga bahu-membahu untuk menghilangkan rasa sakit itu. Indonesia itu satu tubuh, NKRI.

            Meskipun demikian, ada pelajaran yang harus diingat pemerintah pusat, yaitu soal koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti yang juga sempat menolak keras wilayahnya dijadikan tempat observasi bahwa pemilihan Natuna menjadi tempat evakuasi tidak melalui proses koordinasi yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, dijadikannya Natuna sebagai tempat transit pun tanpa alasan yang jelas.

            Persoalan koordinasi ini hendaknya menjadi pelajaran dan perhatian pemerintah agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kecurigaan yang berlebihan. Koordinasi ini penting agar semua program bisa dijalankan dengan baik, lancar, dan berhasil.

            Kita adalah Indonesia. Indonesia adalah kita.

            Sampurasun.

Saturday, 1 February 2020

Jangan Memusuhi Ganja

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ini kali kedua saya menulis tentang hal ini. Dulu saya menulis dengan judul “Ganja Tidak Salah”. Tidak disangka tulisan itu menimbulkan banyak reaksi positif, paling tidak, banyak yang ingin mengontak saya, tetapi semuanya berasal dari Eropa dan rata-rata memang “pengusaha ganja”. Mereka kirim foto-foto ladang ganja dengan diri mereka juga.

            Tulisan kali ini mencoba ikut menanggapi usulan ekspor ganja sebagai salah satu komoditas ekspor nasional yang sempat dilontarkan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rafli Kande. Akan tetapi, belakangan dia ditegur partainya, lalu meminta maaf.

            Sebetulnya, kesalahan dia itu adalah mengajukan ekspor ganja sebelum diketahui manfaat ganja yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara hukum. Ganja itu memang barang haram yang tergolong narkotika kelas 1. Itulah yang membuatnya diserang dan dianggap bersalah. Seharusnya, dia dorong dulu penelitian tentang ganja hingga berhasil dan anggarkan dananya untuk penelitian tersebut. Dia kan anggota DPR RI yang memiliki kuasa dalam anggaran. Jika penelitian itu berhasil dan memang terbukti ganja ada manfaatnya, baru dorong perubahan undang-undang sekaligus upaya ekspor ganja dalam bentuk jadi, bisa berbentuk makanan atau obat.

            Dalam tulisan yang lalu saya menjelaskan bahwa ganja itu tidak bersalah dan tidak boleh dimusuhi.

            Kalau orang Eropa, bilang, “Itu kan hanya tanaman.”

            Saya bilang, “Itu kan ciptaan Allah swt.”

            Orang Eropa yang tadi saya sebutkan tidak mengerti jika manusia harus bermusuhan dengan tanaman. Saya berpendapat jangan ada yang dimusuhi atau dimusnahkan karena akan mengganggu ekosistem dan rantai makanan.

            Contoh pemusnahan nyamuk pernah terjadi di Afrika, akibatnya kucing banyak yang mati. Hal itu disebabkan nyamuk adalah makanan cicak, cicak makanan kucing. Karena nyamuk musnah, cicak tidak punya makanan dan ikut musnah, akibatnya kucing kelaparan, mati juga. Begitulah rantai makanan bekerja.

            Contoh lain ketidakseimbangan adalah kita bosan harus memotong rumput terus-terusan karena tumbuh lagi, tumbuh lagi. Akhirnya, jalan ditembok, pekarangan ditembok, saluran pembuangan air ditembok juga, semua diaspal. Akibatnya, tanah tidak bisa menyerap air hujan. Akibat lebih jauhnya, kalau musim hujan, banjir; kalau kemarau, kekurangan air bersih. Itu gara-gara kita memusnahkan rumput.

            Sampai hari ini kita mungkin belum tahu bahwa ganja ada gunanya karena belum ada penelitian tentang hal itu. Akan tetapi, kalau tanaman ganja dimusnahkan, bisa terjadi ketidakseimbangan alam yang kita belum tahu apa itu. Hal yang jelas adalah “seluruh ciptaan Allah swt tidak akan pernah sia-sia”. Ganja itu tidak bersalah. Tanaman itu ciptaan Allah swt. Kitanya saja yang belum tahu manfaatnya. Kita hanya tiba-tiba dikejutkan oleh efek negatif dari “penyalahgunaan ganja”. Ganjanya sendiri tidak bermasalah. Yang bersalah adalah manusianya yang menyalahgunakan tanaman itu. Hal itu sebagaimana alkohol dan morfin yang bermanfaat jika digunakan untuk keperluan medis, pengobatan. Alkohol dan morfin jika diminum sembarangan, itulah penyalahgunaan dan bisa berakibat rusaknya kesehatan serta pelanggaran hukum. Contoh lain, obat nyamuk bakar tidak salah, Bodrex tidak salah, Coca Cola tidak bersalah, tetapi jika obat nyamuk bakar dan Bodrex dibubukkan, lalu diminum bareng Coca Cola, jadilah penyalahgunaan. Itu mah  bukan mengakibatkan “fly” lagi, melainkan ngajak “modar”.

            Ganja pun jangan dimusuhi. Tanaman itu bergantung kepada kita menyikapinya. Dulu ketika saya menyusun buku “Bahaya Napza bagi Pelajar”, saya dibantu Polda Jawa Barat dalam mencari bahan-bahan tulisannya. Napza itu singkatan dari “Narkotika, Psikotropika, dan Zat Addiktif Lainnya”. Saya mendengar bahwa dulu ibu-ibu di Aceh terbiasa menggunakan daun ganja sebagai bumbu penyedap masakan. Kalau di Pulau Jawa seperti daun salam, pandan, atau lengkoas. Sepertinya, tak ada masalah jika jadi penyedap masakan. Akan tetapi, menjadi masalah jika ganja dikeringkan, lalu dibentuk seperti tembakau untuk kemudian dihisap sebagaimana rokok linting. Nah, ini baru penyalahgunaan yang mengakibatkan orang kehilangan kesadaran. Segala sesuatu kalau disalahgunakan, memang menjadi bahaya.






            Usulan Rafli Kande sebenarnya bagus agar ganja diekspor, tetapi jangan diekspor mentahnya karena rawan penyalahgunaan. Sebaiknya, adakan dulu penelitian, lalu jika memang para peneliti kita menemukan manfaat dari tananam ganja, baik sebagai makanan maupun obat-obatan, umumkan ke seluruh dunia, lalu biarkan para peneliti dunia mengujinya hingga hasil penelitian kita tak terkalahkan. Hal itu akan membanggakan Indonesia sebagai salah satu negara peneliti di samping memiliki hak paten atas hasil penelitian itu. Setelah itu, buat produk makanan atau obat-obatan dari hasil penelitian itu, baru diekspor. Hasil olahan ganja itu pun akan menjadi paten milik Indonesia.

            Itu juga kalau hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada manfaat positif dari tanaman ganja. Kalau tidak, ya jangan. Akan tetapi, jangan juga dimusnahkan karena dikhawatirkan bisa mengganggu keseimbangan alam yang kita belum tahu apa akibatnya.

            Sampurasun.