oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Tulisan saya yang lalu
menegaskan bahwa memang sebagian masyarakat Natuna beserta pemerintah daerah
dan tokoh masyarakatnya menolak kehadiran warga Negara Indonesia yang pulang
atau dipulangkan dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina untuk diobservasi di
Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Penolakan tersebut diakibatkan oleh hoax tentang virus corona yang merajalela,
kurangnya upaya masyarakat mencari informasi yang akurat dan benar, serta minimnya
koordinasi dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah.
Dijadikannya Natuna sebagai lokasi observasi tanpa
koordinasi yang maksimal mengakibatkan masyarakat Natuna ketakutan sekaligus
marah. Mereka takut menjadi tempat tersebarnya virus corona di Indonesia.
Mereka marah karena curiga seolah-olah tempatnya “dikorbankan” sehingga merasa
diri tidak dipentingkan dibandingkan warga lain di Indonesia ini.
Akan tetapi, persoalan mulai mencair ketika terjadi
komunikasi yang lebih jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Tujuh orang perwakilan dari Natuna berkomunikasi langsung dengan pemerintah
pusat di Jakarta. Dengan adanya komunikasi yang baik, penjelasan yang lengkap,
pemahaman yang jelas, semuanya bisa selesai. Meskipun rasa takut dan marah itu
tidak segera menghilang karena perlu waktu, semuanya berangsur-angsur membaik.
Hal yang membuat saya tertarik adalah kenegarawanan
pemerintah pusat yang mengakui dengan sempurna bahwa mereka telah melakukan
kesalahan karena tidak melakukan koordinasi yang sempurna terhadap pemerintah
daerah Kabupaten Natuna. Pengakuan diri telah melakukan kesalahan itu adalah
sangat baik dibandingkan tidak mengakuinya. Sulit mengakui diri salah ketika
berada di posisi atas dan berkuasa, tetapi mereka mengakuinya. Itu adalah hal
yang teramat mulia sehingga kesalahan itu tidak boleh diulang lagi pada masa depan.
Di samping itu, bantahan dari Wakil Bupati Natuna Ngesti
Yuni Suprapti terhadap pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tentang
jarak antara hanggar (garasi pesawat) dengan pemukiman penduduk, tidak
mendapatkan penyangkalan. Sebelumnya, Hadi mengatakan jaraknya adalah 5-6 km,
tetapi Ngesti membantahnya dengan menjelaskan jaraknya hanya 1,2 km. Itu juga baik karena polemik berhenti sampai
di situ. Meskipun demikian, jarak 1,2 km itu sudah sangat jauh karena menurut
Satgas Pencegahan Virus Corona, virus itu hanya bisa menular jika Si Sakit
batuk di dekat orang sehat dalam jarak 1 hingga 1,8 meter. Tidak mungkin ada
orang batuk sejauh 1 km. Virus corona pun tidak bisa hidup di udara dengan iklim
tropis seperti Indonesia. Indonesia memang diuntungkan secara iklim. Akan
tetapi, kita tetap harus waspada.
Kini warga Natuna bisa lebih tenang setelah mendapatkan
penjelasan lebih lengkap dan melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat. Sebaiknya,
kita semua berharap dan berdoa agar warga Negara Indonesia yang diobservasi di Natuna dapat segera benar-benar pulih dan kembali kepada keluarganya dengan baik.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment