Monday, 3 February 2020

Warga Natuna Jangan Tolak WNI dari Cina


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kali kedua saya menulis tentang sikap penolakan yang dilakukan sebagian warga Natuna, kepulauan Riau, terhadap saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air Indonesia. Saudara-saudara kita, sebagian warga Natuna ini memang harus diingatkan lebih jauh dan lebih dalam tentang pemahaman bahwa kita ini adalah sesama saudara sebangsa dan setanah air. Para pendidik, ahli agama, ahli budaya, dan para stake holder lainnya memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pemahaman-pemahaman tersebut.

            Pertama, sejak Susi Pudjiastuti menjadi Menteri KKP, mereka menolak kehadiran nelayan-nelayan dari Pulau Jawa. Padahal, Natuna adalah bagian dari wilayah NKRI. Seluruh wilayah NKRI adalah milik warga NKRI juga. Kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah NKRI adalah untuk seluruh warga NKRI, dari pulau mana pun mereka berasal.

            Adalah hal yang lucu jika warga Jawa Barat, Jakarta, atau pulau-pulau lainnya menolak warga Natuna untuk berobat, kuliah, bekerja, atau tamasya. Warga Natuna boleh beraktivitas apa saja di pulau mana saja karena warga Natuna adalah juga warga NKRI. Demikian pula sebaliknya, saudara-saudara sebangsa dan setanah air pun boleh beraktivitas di Natuna.

            Kedua, ketika kementerian KKP dipegang oleh Edhy Prabowo, warga Natuna tetap melakukan upaya penolakan terhadap nelayan-nelayan Pantura atau Pulau Jawa untuk mencari ikan di perairan Natuna Utara, padahal kehadiran nelayan-nelayan dari Pulau Jawa itu adalah untuk mengamankan perairan Natuna Utara dari pencurian ikan yang dilakukan negara lain, terutama Cina. Nelayan Natuna sendiri belum mampu meramaikan kawasan Laut Natuna Utara sehingga pencurian ikan terus terjadi di kawasan itu. Sekarang karena wilayah itu harus diamankan oleh patroli laut, Bakamla, TNI AL, bahkan dengan menggunakan pesawat F16, dibutuhkan biaya yang banyak. Salah satu sumber dana yang dibutuhkan itu bisa dari hasil tangkapan nelayan-nelayan Indonesia, sementara itu hasil tangkapan nelayan Natuna sendiri masih terbatas. Salah satu solusinya adalah mengajak saudara-saudaranya dari Pulau Jawa untuk beraktivitas di Natuna Utara.

            Daripada dicuri oleh negara lain, mendingan berbagi dengan saudara sebangsa sendiri, ya nggak?

            Ketiga, warga Natuna menolak dengan keras kehadiran warga Negara Indonesia (WNI) yang “terpaksa” pulang dari Cina, terutama Kota Wuhan, Provinsi Hubei akibat dari merebaknya virus corona di Cina. Kepulangan WNI ini merupakan upaya untuk menghindari virus corona di Cina. Penolakan ini bagi saya cukup mengejutkan. WNI yang pulang itu adalah saudara-saudara warga Natuna sendiri, sebangsa dan setanah air. Mereka sudah sangat tersiksa di Cina mempertahankan dan menghindarkan diri dari infeksi virus corona. Mereka sudah ketakutan, menderita, dan sempat kesulitan makanan. Sebelum pulang, mereka sudah diperiksa otoritas Cina dan dinyatakan sehat. WNI yang mengalami demam dan sakit, tidak diperbolehkan pulang. Mestinya, kita sebagai saudaranya sebangsa setanah air menyambutnya dan menolongnya, bukan menganggapnya sebagai ancaman. Toh, pemerintah Indonesia pun sangat berhati-hati dengan hal ini. Para petugas menggunakan pakaian superketat meskipun sudah dinyatakan sehat. Para WNI itu pun disemprot lagi dengan cairan khusus. Saya yakin bahwa pemerintah RI pun sudah sangat waspada karena jika terjangkit virus, yang susah adalah pemerintah dan rakyat Indonesia sendiri.

            Pemilihan Natuna sebagai tempat kepulangan WNI dari Wuhan sudah melalui berbagai pertimbangan. Dalam detiknews Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa Natuna memiliki pangkalan militer dengan fasilitas rumah sakit yang dikelola Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Di samping itu, Natuna memiliki landas pacu (runway) yang berdekatan dengan wilayah yang dijadikan kawasan observasi (pengamatan). Dengan demikian, proses masuk ke penampungan sejak turun pesawat menjadi lebih sangat cepat. Tambahan pula, jarak dari hangar (garasi pesawat) dengan pemukiman penduduk cukup jauh, yaitu sekitar 5-6 km. Demikian pula jarak dengan dermaga, sekitar 5-6 km. Dengan demikian, hal itu memenuhi syarat untuk protokol kesehatan.

            Pertimbangan yang dilakukan oleh Panglima TNI tersebut sangat masuk akal dibandingkan dengan menggunakan wilayah-wilayah lain yang mungkin tidak seistimewa Natuna.

            Kalaupun warga Natuna atau aparat pemerintah daerahnya merasa khawatir, seharusnya meminta penjelasan dari pemerintah pusat dan meminta jaminan agar kekhawatiran mereka sama sekali tidak terjadi. Tidak perlu melakukan tindakan emosional yang didorong oleh kecurigaan yang berlebihan pula. Kita adalah sesama warga bangsa Indonesia yang harus tolong-menolong, bergotong royong. Jika sebagian warga bangsa sakit, seluruh warga pun seharusnya merasakan sakit pula sehingga bahu-membahu untuk menghilangkan rasa sakit itu. Indonesia itu satu tubuh, NKRI.

            Meskipun demikian, ada pelajaran yang harus diingat pemerintah pusat, yaitu soal koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti yang juga sempat menolak keras wilayahnya dijadikan tempat observasi bahwa pemilihan Natuna menjadi tempat evakuasi tidak melalui proses koordinasi yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, dijadikannya Natuna sebagai tempat transit pun tanpa alasan yang jelas.

            Persoalan koordinasi ini hendaknya menjadi pelajaran dan perhatian pemerintah agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kecurigaan yang berlebihan. Koordinasi ini penting agar semua program bisa dijalankan dengan baik, lancar, dan berhasil.

            Kita adalah Indonesia. Indonesia adalah kita.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment