oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kali kedua saya menulis
tentang sikap penolakan yang dilakukan sebagian warga Natuna, kepulauan Riau,
terhadap saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air Indonesia. Saudara-saudara
kita, sebagian warga Natuna ini memang harus diingatkan lebih jauh dan lebih
dalam tentang pemahaman bahwa kita ini adalah sesama saudara sebangsa dan
setanah air. Para pendidik, ahli agama, ahli budaya, dan para stake holder lainnya memiliki tugas dan
tanggung jawab untuk memberikan pemahaman-pemahaman tersebut.
Pertama, sejak
Susi Pudjiastuti menjadi Menteri KKP, mereka menolak kehadiran nelayan-nelayan
dari Pulau Jawa. Padahal, Natuna adalah bagian dari wilayah NKRI. Seluruh
wilayah NKRI adalah milik warga NKRI juga. Kekayaan alam yang terkandung di
dalam wilayah NKRI adalah untuk seluruh warga NKRI, dari pulau mana pun mereka
berasal.
Adalah hal yang lucu jika warga Jawa Barat, Jakarta, atau
pulau-pulau lainnya menolak warga Natuna untuk berobat, kuliah, bekerja, atau
tamasya. Warga Natuna boleh beraktivitas apa saja di pulau mana saja karena
warga Natuna adalah juga warga NKRI. Demikian pula sebaliknya, saudara-saudara
sebangsa dan setanah air pun boleh beraktivitas di Natuna.
Kedua, ketika
kementerian KKP dipegang oleh Edhy Prabowo, warga Natuna tetap melakukan upaya penolakan
terhadap nelayan-nelayan Pantura atau Pulau Jawa untuk mencari ikan di perairan
Natuna Utara, padahal kehadiran nelayan-nelayan dari Pulau Jawa itu adalah
untuk mengamankan perairan Natuna Utara dari pencurian ikan yang dilakukan
negara lain, terutama Cina. Nelayan Natuna sendiri belum mampu meramaikan
kawasan Laut Natuna Utara sehingga pencurian ikan terus terjadi di kawasan itu.
Sekarang karena wilayah itu harus diamankan oleh patroli laut, Bakamla, TNI AL,
bahkan dengan menggunakan pesawat F16, dibutuhkan biaya yang banyak. Salah satu
sumber dana yang dibutuhkan itu bisa dari hasil tangkapan nelayan-nelayan
Indonesia, sementara itu hasil tangkapan nelayan Natuna sendiri masih terbatas.
Salah satu solusinya adalah mengajak saudara-saudaranya dari Pulau Jawa untuk
beraktivitas di Natuna Utara.
Daripada dicuri oleh negara lain, mendingan berbagi
dengan saudara sebangsa sendiri, ya nggak?
Ketiga, warga
Natuna menolak dengan keras kehadiran warga Negara Indonesia (WNI) yang
“terpaksa” pulang dari Cina, terutama Kota Wuhan, Provinsi Hubei akibat dari
merebaknya virus corona di Cina. Kepulangan WNI ini merupakan upaya untuk
menghindari virus corona di Cina. Penolakan ini bagi saya cukup mengejutkan.
WNI yang pulang itu adalah saudara-saudara warga Natuna sendiri, sebangsa dan
setanah air. Mereka sudah sangat tersiksa di Cina mempertahankan dan
menghindarkan diri dari infeksi virus corona. Mereka sudah ketakutan,
menderita, dan sempat kesulitan makanan. Sebelum pulang, mereka sudah diperiksa
otoritas Cina dan dinyatakan sehat. WNI yang mengalami demam dan sakit, tidak
diperbolehkan pulang. Mestinya, kita sebagai saudaranya sebangsa setanah air
menyambutnya dan menolongnya, bukan menganggapnya sebagai ancaman. Toh,
pemerintah Indonesia pun sangat berhati-hati dengan hal ini. Para petugas
menggunakan pakaian superketat meskipun sudah dinyatakan sehat. Para WNI itu
pun disemprot lagi dengan cairan khusus. Saya yakin bahwa pemerintah RI pun
sudah sangat waspada karena jika terjangkit virus, yang susah adalah pemerintah
dan rakyat Indonesia sendiri.
Pemilihan Natuna sebagai tempat kepulangan WNI dari Wuhan
sudah melalui berbagai pertimbangan. Dalam detiknews
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa Natuna memiliki
pangkalan militer dengan fasilitas rumah sakit yang dikelola Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Di samping itu, Natuna
memiliki landas pacu (runway) yang berdekatan
dengan wilayah yang dijadikan kawasan observasi (pengamatan). Dengan demikian,
proses masuk ke penampungan sejak turun pesawat menjadi lebih sangat cepat.
Tambahan pula, jarak dari hangar (garasi pesawat) dengan pemukiman penduduk
cukup jauh, yaitu sekitar 5-6 km. Demikian pula jarak dengan dermaga, sekitar
5-6 km. Dengan demikian, hal itu memenuhi syarat untuk protokol kesehatan.
Pertimbangan yang dilakukan oleh Panglima TNI tersebut
sangat masuk akal dibandingkan dengan menggunakan wilayah-wilayah lain yang
mungkin tidak seistimewa Natuna.
Kalaupun warga Natuna atau aparat pemerintah daerahnya
merasa khawatir, seharusnya meminta penjelasan dari pemerintah pusat dan
meminta jaminan agar kekhawatiran mereka sama sekali tidak terjadi. Tidak perlu
melakukan tindakan emosional yang didorong oleh kecurigaan yang berlebihan
pula. Kita adalah sesama warga bangsa Indonesia yang harus tolong-menolong,
bergotong royong. Jika sebagian warga bangsa sakit, seluruh warga pun
seharusnya merasakan sakit pula sehingga bahu-membahu untuk menghilangkan rasa
sakit itu. Indonesia itu satu tubuh, NKRI.
Meskipun demikian, ada pelajaran yang harus diingat
pemerintah pusat, yaitu soal koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Hal
ini sebagaimana yang dinyatakan Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti yang
juga sempat menolak keras wilayahnya dijadikan tempat observasi bahwa pemilihan
Natuna menjadi tempat evakuasi tidak melalui proses koordinasi yang jelas
antara pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, dijadikannya Natuna sebagai
tempat transit pun tanpa alasan yang
jelas.
Persoalan koordinasi ini hendaknya menjadi pelajaran dan
perhatian pemerintah agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kecurigaan yang berlebihan.
Koordinasi ini penting agar semua program bisa dijalankan dengan baik, lancar,
dan berhasil.
Kita adalah Indonesia. Indonesia adalah kita.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment