Wednesday, 27 January 2021

Revolusi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam sosiologi, revolusi diartikan sebagai perubahan cepat yang mengubah sendi-sendi dan keseluruhan kehidupan masyarakat. Perubahan ini bisa terjadi melalui kekerasan atau tanpa kekerasan. Tentang ukuran cepat, seberapa lama perubahan ini bisa terjadi, sesungguhnya tidak ada ukuran waktu yang pasti. Akan tetapi, yang jelas lebih cepat dibandingkan evolusi (perubahan lambat). Revolusi industri di Inggris pun terjadi dalam waktu yang cukup lama yang ditandai dengan berubahnya proses produksi tanpa mesin ke proses produksi dengan  menggunakan mesin-mesin. Di samping itu, revolusi ini pun telah mengubah struktur dan budaya masyarakat Inggris.

            Revolusi dengan menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengubah kehidupan secara cepat, misalnya, revolusi kemerdekaan di Indonesia dan revolusi di Perancis. Adapun contoh lain revolusi tanpa kekerasan yang terjadi di Indonesia adalah Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan cepatnya perkembangan penggunaan internet dengan berbagai aplikasinya sehingga yang tidak mengikuti perkembangan ini akan segera tertinggal zaman, terbelakang, serta kehilangan kesempatan dan informasi.

            Terdapat beberapa syarat agar suatu revolusi dapat tercapai.

            Pertama, adanya masyarakat dengan perasaan tidak puas dan keinginan mencapai kehidupan yang lebih baik.

            Kedua, adanya pemimpin atau sekelompok orang yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mengadakan perubahan.

            Ketiga, adanya pemimpin yang mampu menampung aspirasi masyarakat dan merumuskan aspirasi tersebut menjadi program kerja.

            Keempat, adanya tujuan jelas yang dapat dicapai. Artinya, diperlukan suatu ideologi tertentu untuk menggerakkan masyarakat sebagai tujuan yang akan dicapai.

             Kelima, adanya momentum yang tepat untuk melakukan revolusi. Artinya, ada waktu dan situasi yang sangat baik dan sangat tepat untuk bergerak. Contoh nyata adalah revolusi kemerdekaan Indonesia yang dilakukan dalam momentum yang sangat tepat, yaitu ketika terjadi kekosongan pemerintahan di Indonesia yang disebabkan kekalahan Jepang dan menyerah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945.

            Berkaitan dengan hal itu, meskipun Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus  1945, masih banyak kelompok yang menginginkan revolusi untuk mengubah secara cepat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, mereka menginginkan revolusi agar kehidupan Negara Indonesia sesuai dengan kehendak kelompok mereka, bukan sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Akan tetapi, keinginan untuk revolusi itu tidak pernah berhasil terlaksana. Kalaupun sempat terjadi percikan revolusi, mereka selalu gagal dan jatuh.

            Berdasarkan syarat-syarat revolusi tadi, bisa dikatakan bahwa para “revolusioner baru” itu tidak memenuhi kelima syarat tersebut. Selalu berhasil ditumpas oleh kekuatan NKRI 17 Agustus 1945.

            Kalau mau dianalisis, tinggal dipahami syarat revolusi ke berapa yang tidak terpenuhi. Setiap orang bisa punya pendapat sendiri.

            Hal yang jelas, jangan coba-coba revolusi jika tidak memenuhi kelima syarat tersebut. Kemungkinan gagalnya bisa mencapai 99%.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wijayanti, Fitria; Kusumantoro, Sri Muhammad; Irawan, Hanif, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Tuesday, 26 January 2021

Hubungan Antarkelompok Melalui Akulturasi dan Dominasi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Berbagai perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia menimbulkan pola-pola hubungan tertentu dalam berinteraksi. Akulturasi dan dominasi merupakan pola yang terjadi dalam hubungan manusia.

 

Akulturasi

Akulturasi terjadi ketika dua kelompok, ras, atau budaya bertemu. Keduanya berbaur dan mulai menyatu. Akan tetapi, keaslian kelompok itu masih tampak terlihat. Misalnya, kebudayaan Cina dan Betawi bertemu, lalu menghasilkan tari-tarian tertentu. Akan tetapi, budaya Cina dan Betawi masih dapat terlihat dalam tarian tersebut.

            Meskipun demikian, dapat pula terjadi dekulturasi, yaitu penghilangan paksa budaya tertentu sehingga tidak ada lagi. Hal ini terjadi ketika penjajahan Belanda yang mengubah rakyat jajahannya di Indonesia.

 

Dominasi

Dominasi terjadi apabila suatu kelompok menguasai kelompok lainnya. Contohnya, hal ini terjadi pada zaman penjajahan ketika bangsa penjajah mencari sumber daya alam, pasar, dan tenaga kerja murah untuk dirinya dengan menguasai penduduk di tanah jajahan.

            Kornblum dalam Kun Maryati dan Juju Suryawati (2014) menjelaskan bahwa ada lima macam kemungkinan yang terjadi dalam dominasi.

            Pertama, genosida. Hal ini adalah pembunuhan massal secara sengaja, sistematis, dan terstruktur oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Contohnya, pembantaian terhadap muslim Bosnia oleh kelompok Serbia.

            Kedua, pengusiran. Hal ini bisa dilihat dari pengusiran yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Contoh lainnya adalah pengusiran kaum muslim Rohingya oleh rezim di Myanmar.

            Ketiga, perbudakan. Contoh perbudakan adalah yang terjadi terhadap penduduk Indonesia ketika zaman Belanda dengan kerja paksa rodi dan zaman Jepang dengan kerja paksa romusha.

            Keempat, segregasi. Hal ini berupa pemisahan penduduk berdasarkan ras atau budaya tertentu. Contohnya, ketika terjadi politik apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan warga kulit hitam dengan warga kulit putih.

            Kelima, asimilasi. Interaksi semacam ini terjadi antara dua kelompok yang berbeda kebudayaan sehingga memunculkan kebudayaan baru dan menghilangkan ciri dari budaya aslinya. Misalnya, pembangunan candi-candi di Indonesia berasal dari budaya asing yang kemudian bercampur dengan budaya asli setempat Indonesia.

            Demikian penjelasan mengenai hubungan antarkelompok melalui proses akulturasi dan dominasi.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka:

Wijayanti, Fitria; Rahmawati, Farida; Irawan, Hanif; Sosiologi: untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Maryati, Kun; Suryawati, Juju; 2014, Sosiologi: untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Sumber Dasar Interaksi

  

                                                             oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Untuk berinteraksi, orang biasanya mencari tahu segala hal tentang pihak-pihak yang berinteraksi dengan dirinya. Hal itu dilakukan sebagai dasar agar interaksi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Hal-hal yang menjadi sumber informasi tentang pihak-pihak yang akan berinteraksi dengan dirinya menjadi dasar-dasar interaksi yang terjadi.

        Menurut Karp dan Yoels dalam Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013), ada tujuh sumber informasi dalam interaksi.

 

Warna Kulit

Warna kulit dapat menjadi sumber informasi untuk memahami watak, sejarah, dan perjalanan hidup seseorang. Contohnya, orang yang berkulit hitam berasal dari Afrika memiliki kebiasaan hidup tertentu yang berbeda dibandingkan warna kulit lainnya. Warna kulit putih memberikan informasi bahwa orang itu berasal dari Eropa atau negara lainnya yang berasal dari barat dengan segala perilakunya. Orang kulit merah adalah Indian yang dikenal sebagai orang yang hidup penuh perjuangan dan spiritual di Amerika Serikat. Kulit kuning menunjukan dari wilayah Tiongkok, Semenanjung Korea, atau Jepang. Kulit sawo matang menunjukkan informasi dari bangsa melayu dengan segala kepribadiannya.

 

Usia

Usia menunjukkan data agar lebih mudah untuk kita bersikap. Ada perbedaan yang harus kita lakukan ketika berinteraksi antara orang yang lebih tua dibandingkan kita dengan orang yang berusia lebih muda.

 

Penampilan Fisik

Penampilan fisik biasanya menjadi daya tarik utama dari diri seseorang. Orang yang berpenampilan menarik biasanya lebih mudah mendapatkan perhatian. Di samping itu, mudah pula mendapatkan pasangan dibandingkan orang-orang yang kurang menarik. Penampilan yang menarik ini bisa lebh berdaya tarik jika ditambah dengan perilaku dan tutur kata yang menarik pula.

 

Bentuk Tubuh

Bentuk tubuh memiliki kaitan yang cukup erat dengan sifat seseorang (Wells dan Siegal, 2012). Orang bulat, gemuk sifatnya tenang, santai, dan pemaaf. Orang yang atletis, berotot sifatnya dominan, percaya diri, dan aktif. Orang yang tinggi, kurus bersifat tegang dan pemalu.

 

Pakaian

Orang yang berpakaian rapi dan berkelas lebih dihormati dibandingkan orang yang berpakaian kucel, compang-camping, dan murahan.

 

Wacana

Pembicaraan seseorang akan menjadi informasi tentang siapa orang itu. Kita dapat menilai seseorang dari isi bicaranya. Misalnya, orang yang sedang berbicara pengalamannya berhadapan dengan gubernur dan pejabat lainnya akan lebih dianggap hebat dibandingkan orang yang berbicara pengalamannya bergerombol bersama para preman jalanan.

 

        Demikian sumber-sumber informasi yang dapat dijadikan dasar untuk berinteraksi.

        Sampurasun.

 

Sumber Pustaka

Irawan, Hanif; Rahmawati, Farida; Febriyanto, Alfian; Muhammad Kusumantoro, Sri, Sosiologi: Untuk SMA/MA Kelas X Semester 1

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial; untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wednesday, 20 January 2021

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kebutuhan

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kebutuhan setiap manusia, setiap kelompok manusia terkadang berbeda. Bahkan, sering berbeda. Kebutuhan anak kecil berbeda dengan orang dewasa. Kebutuhan guru berbeda dengan kebutuhan pedagang bakso. Kebutuhan presiden berbeda dengan kebutuhan dokter.

            Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan kebutuhan untuk setiap individu.

 

Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang mendorong perbedaan kebutuhan manusia. Lingkungan tertentu menyebabkan kebutuhan tertentu pula. Misalnya, orang yang hidup di daerah dingin membutuhkan pakaian yang tebal dan makanan yang berkalori tinggi. Hal itu disebabkan mereka membutuhkan berbagai hal yang membuat tubuh mereka hangat. Akan tetapi, terbalik dengan mereka yang hidup di daerah panas. Mereka memilih pakaian yang tipis dan menghindari makanan berkalori tinggi agar tubuh mereka menjadi lebih sejuk dan tidak kepanasan.

 

Agama

Agama merupakan faktor yang mendorong pula perbedaan kebutuhan di antara manusia sesuai dengan keyakinannya. Orang Islam membutuhkan Al Quran, sajadah, tasbih, hewan qurban, biaya ke Mekah, dan lain sebagainya. Orang Hindu membutuhkan bunga-bunga dan alat-alat lainnya untuk beribadat, tetapi tidak membutuhkan daging sapi untuk dimakan karena mereka tidak ingin mengonsumsinya.

 

Adat Istiadat

Adat istiadat pun sangat memengaruhi perbedaan kebutuhan. Orang Sunda membutuhkan banyak bunga, pakaian adat, dan alat seni untuk menyelenggarakan upacara adat. Demikian pula orang Jawa, Batak, Bugis, dan lain sebagainya membutuhkan barang-barang tertentu untuk melakukan upacara adat yang berbeda dengan suku-suku lainnya.

 

Peradaban

Peradaban membuat kebutuhan manusia semakin berkembang, beragam, dan berbeda. Dulu alat-alat masak manusia cukup dengan kayu bakar, daun pisang, dan alat-alat sederhana lainnya. Sekarang manusia menggunakan alat-alat masak yang menggunakan energi listrik dan gas. Demikian pula dengan komunikasi, dulu orang berkomunikasi dengan menggunakan kertas surat atau telepon rumah. Sekarang, manusia menggunakan Hp dan internet.

            Demikian penjelasan tentang faktor-faktor yang memengaruhi kebutuhan manusia.

            Sampurasun.

 

 

Sumber Pustaka

Novasari, Yunita; Jawangga, Yan Hanif; Setiadi, Inung Oni; Hastyorini, Irim Rismi (editor); Ekonomi untuk SMA/MA Kelas X Semester I: Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

S., Alam, 2013, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Evolusi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Evolusi adalah suatu istilah yang diartikan sebagai perubahan lambat dan berlangsung dalam waktu yang lama. Perubahan yang lambat dalam masyarakat biasanya terjadi tanpa ada rencana dan paksaan tertentu. Masyarakat berubah sendiri tanpa terasa, kemudian menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu.

            Terdapat tiga kategori yang dapat dikatakan sebagai evolusi, yaitu:

 

Unilinear Theories of Evolution

Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat berikut kebudayaannya mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu yang pasti dari bentuk yang sangat sederhana, sederhana, hingga ke bentuk yang rumit, canggih, hingga mencapai tahapan kesempurnaannya.

            Para penganut teori ini adalah Auguste Comte dan Herbert Spencer.

            Teori ini pun dikuatkan oleh teori Cyclical Theories yang menjelaskan bahwa masyarakat berikut kebudayaannya berubah dan berkembang melalui tahap-tahap tertentu membentuk sebuah lingkaran. Perubahan ini terus menerus terjadi secara berulang-ulang. Teori ini dikemukakan oleh Vilfredo Pareto.

            Ada pula pemikir lain yang berpendapat senada, yaitu Pitrim A. Sorokin. Dia menjelaskan bahwa masyarakat  berkembang melalui tahap-tahap tertentu yang didasarkan pada suatu sistem kebenaran. Artinya, masyarakat akan berkembang sesuai dengan nilai kebenaran yang dimilikinya.

 

Universal Theory of Evolution

Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat berkembang tanpa perlu melalui tahap-tahap tertentu yang pasti. Perkembangan masyarakat adalah hasil dari perubahan masyarakat yang homogen ke masyarakat yang heterogen, baik sifat maupun susunannya.

 

Multilined Theories of Evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap proses-proses dan tahap-tahap tertentu yang terjadi dalam evolusi di masyarakat. Misalnya, pengaruh dari perubahan masyarakat yang asalnya hidup dari pertanian ke masyarakat industri terhadap sistem kekeluargaan dan kekerabatan.

            Demikian penjelasan dari perubahan lambat yang sering disebut dengan evolusi.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wijayanti, Fitria; Kusumantoro, Sri Muhammad; Irawan, Hanif, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Hubungan Antarkelompok dalam Dimensi Institusi dan Dimensi Gerakan Sosial

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Hubungan antarkelompok bisa dilihat dari dimensi institusi/lembaga dan dari dimensi gerakan sosial.

 .

Dimensi Institusi

Dalam dimensi institusi, hubungan antarkelompok dapat berupa institusi politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan lain sebagainya. Institusi atau lembaga dapat mempengaruhi hubungan-hubungan dalam masyarakat. Hal ini berarti dapat mengendalikan perilaku masyarakat agar berhubungan sebatas yang diperlukan dengan institusi tersebut. Akan sangat berbeda hubungannya dengan hubungan yang terjadi di keluarga, masyarakat terdekat, atau dengan orang-orang yang dikenal. Misalnya, hubungannya hanya bersifat birokratis dan secukupnya tanpa ada hubungan personal yang lebih dalam. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihatnya dengan mudah jika ada orang yang berhubungan dengan institusi tertentu. Contoh nyata adalah jika kita hendak mengurus surat-surat kependudukan atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) di kecamatan, kita tidak perlu mengenal siapa petugas kecamatan tersebut. Demikian pula petugas kecamatan tidak perlu mengenal kita dengan lebih dekat. Hubungan antara kita dengan petugas kecamatan sebatas mengurus KTP secara administratif. Setelah kebutuhan kita selesai mendapatkan KTP, hubungan kita dengan petugas kecamatan pun selesai. Tidak lebih jauh dari itu.

 

Dimensi Gerakan Sosial

Dalam dimensi gerakan sosial, hubungan antarkelompok dipengaruhi oleh para aktivis yang biasanya berkehendak untuk melakukan perubahan di masyarakat atau sebaliknya, ingin mempertahankan keadaan yang sudah ada dan tidak menginginkan adanya perubahan. Contohnya, ada banyak gerakan perempuan yang menginginkan kesetaraan gender, perempuan ingin sama hak-hak dan kewajibannya dengan kaum pria. Akan tetapi, ada pula pihak-pihak yang ingin mempertahankan bahwa peran dan posisi kaum perempuan tetap mengikuti kebiasaan yang sudah  ada dan sesuai dengan tradisi yang turun temurun.

            Demikian penjelasan hubungan antarkelompok dilihat dari dimensi institusi dan dimensi gerakan sosial.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka:

Wijayanti, Fitria; Rahmawati, Farida; Irawan, Hanif; Sosiologi: untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Maryati, Kun; Suryawati, Juju; 2014, Sosiologi: untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Simpati dan Empati

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kita sering mendengarkan orang mengatakan istilah simpati dan empati. Banyak orang yang sulit membedakan kedua istilah itu karena memang keduanya memiliki arti dan posisi yang sangat erat.

            Simpati adalah kondisi ketertarikan seseorang kepada orang lain dan merasakan apa yang dialami, dipikirkan, dan dirasakan orang lain. Dia menempatkan posisinya dalam posisi orang lain. Contohnya, ketika orang lain mendapatkan musibah bencana alam, banjir, atau gempa bumi. Dia bersimpati kepada para korban dan merasakan penderitaan mereka. Oleh sebab itu, ia berupaya membantu para korban sesuai dengan kemampuannya, misalnya, dengan memberikan makanan, pakaian, uang, ataupun obat-obatan. Bahkan, dia sendiri jika memiliki kesempatan akan mendatangi para korban musibah tersebut.

            Empati adalah perasaan yang lebih mendalam dibandingkan dengan simpati. Seseorang yang memiliki empati akan terpengaruh oleh objek yang membuatnya tertarik. Contohnya, seseorang yang melihat atau mendapatkan orang yang dikasihinya sedang sakit keras akan merasakan sakit yang diderita orang yang dikasihinya itu. Pikiran dan perasaannya dipenuhi oleh gambaran orang yang dikasihinya itu. Akibatnya, dia pun jadi ikut sakit sebagaimana orang yang dikasihinya.

            Baik simpati maupun empati merupakan interaksi yang biasa terjadi di masyarakat. Proses-proses interaksi itu menimbulkan hubungan yang kuat di antara masyarakat. Kedua proses interaksi itu dapat membangun rasa kebersamaan, ikatan kemesraan, dan hubungan positif yang sangat kuat.

            Demikian pemahaman simpati dan empati.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka

Irawan, Hanif; Rahmawati, Farida; Febriyanto, Alfian; Muhammad Kusumantoro, Sri, Sosiologi: Untuk SMA/MA Kelas X Semester 1

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial; untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wednesday, 13 January 2021

Syekh Ali Jaber yang Saya Tahu

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Syekh Ali Jaber tidak mengenal saya karena saya hanya melihat dan mendengarnya melalui televisi dan tayangan Youtube. Meskipun hanya memperhatikan dari jauh, banyak hal yang saya pahami dari diri Syekh Ali Jaber.

Pertama kali saya melihatnya di televisi, isi ceramahnya biasa saja. Banyak penceramah Indonesia yang berceramah seperti itu, bahkan lebih hebat. Saya hanya berpikir bahwa orang Indonesia itu pengennya selalu yang “kearab-araban”. Orang Arab biasanya dipandang lebih hebat agamanya, padahal tidak. Soal agama itu adalah soal ilmu dan akhlak, bukan soal tempat kelahiran. Jadi, Syekh Ali Jaber bagi saya, biasa-biasa saja. Tidak ada istimewanya.

Seiring perjalanan waktu, tanpa sengaja saya melihat Syekh Ali Jaber mencium tangan remaja dan anak-anak Indonesia yang hapal Al Quran. Bahkan, bukan hanya tangan, kaki remaja dan anak Indonesia pun dia cium. Syekh bersedia menurunkan kepalanya dengan badannya bertumpu pada lututnya untuk mencium kaki penghapal Al Quran. Saya tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran dan hati Ali Jaber. Saya hanya melihatnya dia memuliakan para penghapal Al Quran dan bersedia merendahkan hatinya untuk mencium kaki penghapal Al Quran. Sikap itu tampak bukan sikap dibuat-buat seperti akting Sinetron, melainkan sikap yang tulus yang tampak dari mata dan gerak tubuhnya. Luar biasa ini orang. Istimewa sekali.

Sejak saat itu saya mengagumi Syekh. Sikap seperti itu pasti lahir dari hati yang penuh hormat, penuh kemuliaan, dan kelembutan.

Sejak itu pula saya lebih lama memperhatikan ceramah-ceramah Syekh, baik di televisi maupun di Youtube. Kalimat-kalimatnya luar biasa menenangkan yang pastinya berasal dari llmu pengetahuan yang dalam. Beliau mengajarkan untuk memuliakan dan menghormati orang lain. Diingatkannya pula untuk tidak mudah menghakimi orang lain. Bahkan, nasihatnya yang saya perhatikan ketika beliau menjadi tamu bersama Gus Miftah di Podcast Deddy Corbuzier sungguh luar biasa mengagumkan. Syekh menjelaskan bahwa kita tidak boleh menghakimi dan merendahkan perempuan yang tidak berhijab karena kita tidak tahu mungkin saja perempuan itu punya shalat dua rakaat yang membuat Allah swt memasukkannya ke dalam surga. Kita tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya hubungan perempuan itu dengan Allah swt. Pandangan dan pendapat seperti itu pasti keluar dari mulut orang yang sangat berhati-hati bersikap dalam hidup serta memiliki ilmu pengetahuan yang dalam. Dalam beberapa kali ceramahnya, Syekh mengingatkan saya pada tulisan-tulisan “Syekh Abdulqadir Jaelani” tentang “Penyingkap Kegaiban” yang dipenuhi nasihat untuk selalu bergantung penuh dan percaya penuh kepada Allah swt sehingga segala yang terjadi kepada kita di dunia ini hanya peristiwa biasa yang tidak berpengaruh apa pun kepada kita. Mau kita kaya ataupun miskin, mudah ataupun sulit, tidak mempengaruhi kita karena kita hidup dalam kendali Allah swt, bersama Allah swt.

Kini Syekh Ali Jaber telah berpulang kepada Pemilik-nya, Allah swt, “mulih ka jati, mulang ka asal”.

“Innaalillaahi waa innaa ilaihi roojiuun”

Allah swt Mahatahu, Mahakasih kepada hamba-Nya. Syekh menjadikan Indonesia tanah yang dicintainya sebagai ladangnya untuk beramal shaleh.

Sampurasun

Friday, 8 January 2021

Negara Harus Lebih Kuat Dibandingkan Rakyat

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Surya

Dalam teori-teori realis dijelaskan bahwa negara harus memiliki kekuatan yang sangat besar dibandingkan rakyatnya untuk mengendalikan rakyatnya. Pemikiran ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia pada dasarnya selalu ingin berkuasa, ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ingin mendapatkan berbagai hal. Dalam memperoleh keinginannya itu, manusia kerap terlibat konflik, persaingan, pertarungan, perang, hingga pembunuhan. Perang-perang di antara manusia terjadi diakibatkan oleh perebutan manusia untuk memperoleh keinginannya, baik keinginan untuk berkuasa maupun keinginan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu, negara diperlukan untuk mengendalikan manusia, rakyatnya, agar tidak lagi terlibat perang atau pembunuhan dalam memenuhi keinginannya.

            Di negara mana pun selalu ada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki keyakinan, pandangan, gagasan, dan tujuan yang berbeda-beda. Jika negara lemah, kelompok-kelompok ini akan bertarung sendiri untuk mengalahkan kelompok lainnya, kemudian menguasainya. Negara yang lemah tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan perkelahian, pertengkaran, hingga pembunuhan, bahkan dia sendiri terlibat dalam pertengkaran itu. Negara itu bisa hancur dan  dikuasai oleh negara yang lainnya. Kondisi ini bisa kita lihat terjadi di negara-negara yang sampai saat ini masih berkonflik di dalamnya, misalnya, Irak, Libya, Afghanistan, dan Suriah.  Setiap kelompok menganggap dirinya benar dan lebih celaka lagi mereka memiliki senjata yang membuat mereka saling bunuh.

            Beruntung Indonesia tidak seperti itu, paling banter saling maki di Medsos, saling hina, atau saling klaim bahwa kelompoknya yang paling benar, tetapi tidak sampai saling bunuh. Coba kalau setiap kelompok punya senjata, sudah dari dulu kacau balau dan tidak aman. Kita ini aman karena negara punya cukup kekuatan mengendalikan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Para pembaca aman membaca tulisan saya karena ada keamanan. Jika tidak, ketika sedang membaca tulisan ini, bom bisa tiba-tiba meledak di rumah siapa saja kapan saja seperti di negara-negara yang selalu berperang itu.

            Kalau Indonesia lemah dan tidak memiliki kemampuan mengendalikan masyarakat, setiap kelompok yang punya pasukan “berani mati” bisa kapan saja saling serang. Pasukan Merah, Pasukan Hijau, Pasukan Biru, Pasukan Putih, Pasukan Ungu, Pasukan Belang, Pasukan Warna-Warni, atau pasukan dengan warna apapun bisa dengan mudah saling bunuh. Kalau sudah begitu, tidak ada keamanan, tidak bisa sekolah dengan baik, fasilitas kesehatan runtuh, bisnis macet, kemiskinan merajalela, kematian semakin meningkat, tidak ada kemajuan, kebodohan jadi kebanggaan, dan berbagai kerusakan lainnya.

            Saya suka mengajarkan hal ini, baik kepada siswa mulai Kelas X Madrasah Aliyah Mawaddi maupun kepada mahasiswa di Universitas Al-Ghifari dengan cara yang mudah mereka pahami.

Saya contohkan jika kita punya uang Rp50 juta, lalu ingin membuka warung atau toko kecil, tempat mana yang akan kita pilih?

Pertama, buka toko di tempat yang banyak huru-hara, penduduknya punya uang sedikit, orang-orangnya tidak saling menghormati dan tidak patuh pada pemimpinnya, banyak begal, banyak kriminal, dan kerap terjadi pembunuhan.

Kedua, buka toko di tempat yang aman, penduduknya punya banyak uang, orang-orangnya saling menghormati dan patuh pada pemimpinnya, keamanan terkendali, masyarakatnya saling menjaga, serta toleransinya tinggi.

Seluruh murid saya selalu menjawab “buka toko di tempat kedua”.

Begitu pula dengan Indonesia. Jika negaranya kacau, rakyatnya tidak bisa dikendalikan, banyak huru-hara, dan negaranya lemah, tak akan ada investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. Bahkan, investor dalam negeri pun akan berlarian ke luar negeri dan menanamkan uangnya di luar negeri seperti yang terjadi dulu, para pengusaha Indonesia malah buka pabrik dan perusahaan di Vietnam, Thailand, dan Filipina. Miskinlah kita, bahkan hancur, lemah, dan mudah dikuasai negara lain. Jika negara aman, bisnis lancar, kesehatan terfasilitasi, pendidikan terpenuhi, lapangan kerja baru bermunculan, dan berbagai bidang lain mengalami peningkatan sehingga bisa menjadi negara makmur pada masa depan, 2045.

Berkaca dari hal itu, negara harus lebih kuat daripada rakyat untuk bisa menjamin keamanan rakyat. Setiap kelompok masyarakat harus bisa dikendalikan. Setiap kelompok yang dianggap tidak bisa bekerja sama dengan kelompok masyarakat lain dan tidak sepakat dengan tujuan berbangsa dan bernegara, harus “dibina” agar bisa sama-sama hidup dalam menciptakan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional   bangsa Indonesia.

Untuk menjaga perilaku negara agar tidak berlebihan dalam mengendalikan rakyatnya, diperlukan hukum yang disepakati bersama. Dengan demikian, negara tetap dapat mengendalikan rakyatnya tanpa harus melanggar azas-azas kemanusiaan.

Sampurasun.